Qanita 11
"Yang!"
Aku berjingkat kaget dan menoleh ke sumber suara. Duh, kenapa aku bisa lupa kalau aku tadi bersama Vino, ya?
Lihat wajahnya, sepertinya dia akan marah. Lelaki itu mendekat ke arah kami.
"Aku tungguin dari tadi kok malah di sini sih?" tanyanya tanpa memandang ke arahku, dan malah melirik sinis Mas Dafa.
"Eeemm—"
"Siapa dia?" Belum sempat menjawab, Vino bertanya lagi.
"Oh, kenalin ini Mas Dafa. Dia—"
"Oke, kita pulang," katanya sembari menarik tanganku.
"Eh, bentar deh. Sakit." Aku menahan langkah karena merasakan sakit akibat kerasnya Vino menggenggam tanganku. Dia tidak pernah seperti ini sebelumnya.
"Sebagai lelaki seharusnya tahu batasan dalam bersikap dengan perempuan, dan sebagai perempuan seharusnya tahu bagaimana seharusnya dia diperlakukan, tidak membiarkan orang lain untuk sembarangan menyentuhnya, apalagi dengan cara kasar." Ini suara Mas Dafa yang berkata sembari akan melangkah pergi.
Kenapa aku merasa tersentil, ya? Mukaku sudah merah menahan malu.
"Maksud lo apa, hah?"
Aduh, Vino malah marah lagi.
Mas Dafa tersenyum sinis, lalu melirikku sekilas. "Kalian sudah dewasa, saya tidak berhak ikut campur dengan hubungan kalian. Permisi," ucapnya sembari pergi.
"Heh! Gue tanya maksud lo apa?"
Vino berang, dia melepas tanganku dan beranjak menghampiri Mas Dafa. Tapi aku segera menahannya, apalagi saat melihat ke sekeliling, sudah banyak orang memperhatikan kami. Malu.
"Vin, udah. Dilihatin orang tuh."
Vino menatapku tajam dan menggeram menahan amarah. Tapi syukurlah akhirnya ia mengurungkan niatnya dan kembali ke mobil, sembari menarikku tentu saja.
"Lo ngapain sih deket-deket cowok kayak gitu?" bentaknya setelah kami duduk berdua di mobil.
Ku elus tanganku yang terasa kebas, sembari bertanya apa maksud dari ucapan Vino.
"Gue udah merhatiin lo agak lama tadi. Dan lo senyum-senyum dan tersipu malu nggak jelas di depan cowok itu."
"Hah? Masa aku seperti itu?"
"Iya, masa lo nggak nyadar?"
"Cuma perasaanmu aja kali, yang. Aku cuma ngobrol biasa kok sama Mas Dafa. Lagian kamu kenapa, sih? Biasanya juga nggak pernah marah kalau aku deket sama cowok lain. Kenapa sekarang malah jadi kayak begini?"
"Ini beda, Ta. Tatapan kamu sama dia tuh terlihat beda. Kamu kayak naksir sama dia."
Apa? Serius? Aku naksir Mas Dafa?
"Ih, kamu ini ada-ada aja."
Vino menarik napas panjang, lalu menghembuskan ya perlahan. "Aku tanya serius sama kamu. Apa jangan-jangan kamu sengaja berubah jadi rajin salat begini karena dia? Karena mau menarik perhatian dia?"
"Kamu mikir apa sih, Vin?"
Ini cowok otaknya mulai rada-rada deh. Masa aku berubah demi Mas Dafa? Dia kira aku ini wanita seperti apa?
"Pokoknya jangan deket-deket sama dia!" bentaknya. Aku tidak suka cara bicaranya saat ini, memerintah, dia tidak pernah seperti ini sebelumnya. Baru kali ini keluar watak aslinya.
"Punya hak apa kamu?"
Vino tersentak sepertinya tidak menyangka aku akan membalas seperti itu. "Kamu berani melawan aku?" tanyanya sembari melotot.
"Iya, memangnya kenapa? Kita belum sah jadi suami istri juga. Aku nggak pernah punya kewajiban untuk nurutin semua perintahmu."
"Kamu nggak pernah kayak gini sebelumnya, Ta. Kamu nggak pernah ngelawan aku. Jangan-jangan memang benar, kamu suka sama dia, kan? Iya, kan?"
"Kalau iya memangnya kenapa?" Aku terpancing untuk menantangnya.
Vino terlihat sangat emosi, begitupun denganku.
Mata kami beradu, memandang tajam satu sama lain. Ya, aku bisa melihat amarah Vino yang begitu besar sekarang.
Dan akhirnya aku yang memilih untuk memutus kontak terlebih dulu.
Hah! Sudahlah. Lagipula aku sudah lelah seharian bekerja lalu malah dipancing dengan emosi seperti ini. Rasanya badanku kepayahan.
"Aku pulang sendiri aja," ucapku sembari membuka pintu dan keluar dari mobilnya.
Tentu saja Vino tak terima. Ia ikut membuka pintu dan berteriak ke arahku. "Sekali kamu melangkah keluar kita putus lho, Ta."
Aku meliriknya kesal. Ancaman anak abegeh seperti ini bisa juga terlontar dari mulutnya. Dikira mempan. Dia tidak tahu kalau Qanita sudah marah seperti apa rupanya.
"Terserah!"
"Ta! Aku serius."
"Aku juga!" kataku sambil melangkah cepat meninggalkannya.
Terserah, terserah, terserah. Rasanya mataku memanas. Aku lelah, Vin! Seharusnya kamu tahu. Aku tidak butuh ancaman seperti itu. Aku tidak suka dikasari, aku tidak suka dibentak. Orang tuaku saja tak pernah memperlakukanku seperti itu.
"Yang!" Lelaki itu masih berteriak, tapi tak juga beranjak dari tempatnya.
Apa-apaan? Dia mau aku yang menghampirinya terlebih dulu begitu? Tidak akan!
"Tata!"
Ia berucap lagi.
Kali ini intonasinya menurun, dan aku bisa mendengar dia berlari mendekat. Sebenarnya ada perasaan bersalah juga dalam hatiku. Aku tahu, Vino hanya cemburu. Itu wajar karena dia adalah cowokku, itu menandakan dia sangat mencintaiku bukan? Tapi entah kenapa aku merasa marah saat ia menyinggung Mas Dafa.
Mas Dafa adalah orang yang sangat aku hormati, terlebih lagi dia sudah menolongku kemarin. Aku merasa malu melihat tingkah Vino di depan Mas Dafa.
"Tata! Awas!"
Aku tersentak, apa maksud Vino? Aku hampir berbalik, tapi tiba-tiba sesuatu menghantam tubuhku, lalu aku terpelanting entah berapa meter, otakku tak bisa bekerja. Yang kurasakan selanjutnya, kepalaku terbentur, dan ada cairan kental yang keluar dari sana, pusing, berat, mataku tak dapat lagi terbuka, gelap. Aku hilang kesadaran seketika.
~bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top