Qanita 1
بِسْــــــــــــــــــمِ اللهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيْمِ
Terkadang saking sempurnanya hidup ini, gue jadi takut kalau suatu saat semua direnggut secara tiba-tiba. Lo tahu kan roda selalu berputar?
***
Aku berjalan di sebuah pusat perbelanjaan bersama Amara. Dan mungkin hanya perasaanku saja atau memang benar adanya, semua mata seperti mengarah kepadaku, mengikuti setiap gerak tubuhku.
Kulihat dandananku, sepertinya tidak ada yang salah. Apa mungkin wajahku aneh? Make up-ku norak? Ah, tidak, kan?
"Gila, ya! Bisa nggak sih pesona lo dikurangin dikit aja? Kalau kayak gini, kapan cowok ngelirik gue pas jalan sama lo coba?" dumel Amara sembari menjilat eskrim yang baru saja ia beli.
Reflek, kepalaku menoleh ke arah Amara. Ah, dia selalu seperti itu, terlalu berlebihan. Bohong kalau tidak ada yang tertarik pada Amara, dia tidak jelek, malah aku sangat iri pada tubuh mungil dan wajah imutnya yang membuat sahabatku itu menjadi jauh lebih muda dari usianya. "Pesona apaan, sih? Biasa aja kali."
"Eh, gue bilangin ya, Ta." Amara menghentikan ucapannya sekadar untuk membuang wadah eskrim yang telah habis. "Setiap cewek di muka bumi ini pasti pengen punya wajah cantik dan body aduhai kayak lo, Ta."
"Yang ada semua cewek pengen selalu tampil awet muda kayak lo, di umur yang udah seperempat abad tapi masih berasa kayak anak SMA. Gue jadi berasa tante-tante yang ngajak jalan ponakannya tahu, nggak?"
"Cih! Apa enaknya coba dikira anak kecil terus."
"Enak, dong. Kan kalau naik angkot dapet harga anak sekolah."
Amara melirikku jenaka. "Iya juga, ya?" Gadis itu terbahak keras. "Tapi kalau disuruh milih, gue pengen tetep kelihatan sesuai umur, sih. Apalagi ini kan waktunya kita cari calon suami. Kalau berasa bocah terus kapan ada yang mau serius sama gue coba. Lo enak udah ada Vino yang siap ngelamar."
"Dih, siapa bilang Vino mau lamar gue?"
"Lo nggak lihat tatapan penuh cinta cowok itu saat lihat lo? Berasa pengen secepatnya milikin lo selamanya. Gue jamin deh, di anniversary tahun ini, dia pasti ngelamar."
"Ngarang!"
"Dibilangin juga."
Kami berhenti di sebuah butik pakaian ternama, melihat barang-barang yang ada di sana dan memilihnya.
"Eh tapi hidup lo emang berasa sempurna banget ya, Ta." Amara berujar lagi. "Lo punya keluarga yang care, pacar yang cinta banget sama lo, karir yang sukses, kurang apa coba?"
Aku tersenyum sembari mengambil salah satu pakaian dan menempatkannya di depan badanku. Amara bertugas mengamati, lalu menggeleng dan memintaku mengambil pakaian lain dengan isyarat.
"Gue juga ngerasa kayak gitu, Ra. Tapi terkadang saking sempurnanya hidup ini, gue jadi takut kalau suatu saat semua direnggut secara tiba-tiba. Lo tahu kan roda selalu berputar?"
Amara menunjuk salah satu pakaian yang dipilihnya dan menempelkan itu di badanku, ia tersenyum dengan pilihannya dan aku pun setuju dengan hal itu.
"Kamu kadang terlalu banyak mikir, Ta. Tinggal nikmatin aja lah semuanya. Nggak banyak orang yang bisa dapet anugerah kayak gini," jawab Amara sembari mendorongku memasuki ruang ganti untuk mencoba pakaian sedang ia menunggu di luar.
Kalau dipikir-pikir, benar kata Amara, kelemahan terbesarku memang terlalu memikirkan hal-hal yang belum terjadi. Terkadang sifat itu menjadikanku terlalu waspada dan tidak mempunyai banyak teman dekat.
Sesaat kemudian aku keluar dari ruang ganti menyerahkan pakaian yang kupilih kepada karyawan butik. Lalu kami segera ke kasir membayarnya.
"Tata!" panggil seseorang di depan butik, dan membuat aku dan Amara menoleh.
"Tuh, panjang umur. Baru diomongin dah sampe sini aja." Amara menyikut tubuhku dan menunjuk ke seorang lelaki tengah menanti kita di depan, Vino, pacarku.
"Lo mau langsung ke tempat pemotretan?" tanya Amara lagi.
Aku mengangguk sebagai jawaban.
"Oke, kalau gitu gue juga langsung balik ke agency, ya."
"Eh, nggak ikut gue?"
"Enggaklah. Kan ada Vino yang nemenin. Gue nggak mau jadi obat nyamuk." Amara mencondongkan badanku, mencium pipi kanan dan kiriku. "Sampai jumpa besok ya, Beib. Bye."
Ujung bibirku tertarik. "Bye."
***
"Jadi gimana shopping-nya, yang? Seru?" tanya Vino sembari pucuk kepalaku, sedangkan tangan kanannya tetap berada di kemudi.
"Aku sedang nggak terlalu minat belanja, sih. Tadi cuma beli satu baju aja sama makan-makan di food court."
Lelaki itu tersenyum, membiarkan lesung pipinya terekspose. Aku selalu suka dengan bagian tubuhnya itu, menggemaskan.
"Kenapa ngelirik pipiku terus? Mau cium?" Vino melirik jenaka.
"Dih! Geer!"
"Hayoooo ... ngaku aja, deh." Sekali lagi lelaki usil ini melirikku, cukup lama.
"Lihat ke depan ih, Vin. Lagi nyetir juga."
Bukannya menghentikan kerlingan nakalnya, ia justru sengaja menggodaku.
"Vin ..."
"Apa?"
Bibirku mengerucut dan kualihkan pandanganku. Terkadang Vino memang menyebalkan.
"Ih, kalau cemberut gini makin gemes, deh." Tangan Vino bergerilya menggelitik dan itu membuatku kegelian.
"Aduh, Vin, jangan gini, ah!" Aku mencoba mengelak dari serangannya. "Vin, kamu lagi nyetir. Vin!"
"Abisnya kamu lucu."
Ternyata tak mudah lolos dari dari ulah usil lelaki ini. "Vin!"
Duak!
Vino reflek menghentikan mobilnya, kami merasakan guncangan kecil dari belakang dan seketika melihat ke tempat di mana suara itu berasal.
"Ah, sialan!"
Wajah Vino yang semula penuh canda sekarang berubah menjadi emosi. Ia keluar dari mobil dan aku mengikutinya.
Hal yang pertama kulihat adalah bemper belakang mobil Vino yang lecet, kurasa tidak terlalu parah. Lalu mataku beralih ke arah lain, sebuah motor matic terjatuh di aspal dengan dua orang penumpang, yang tengah mencoba berdiri. Satu lelaki, sepertinya seumuranku, yang satunya lagi anak kecil dengan seragam SD.
"Eh, bisa naik motor nggak sih, Mas? Lecet, nih."
"Maaf." Lelaki itu bersuara, sembari memapah adik kecil di sampingnya ke trotoar. "Masnya juga nyetir nggak stabil, kadang pelan, kadang cepet."
"Lo nyalahin gue?" Vino hampir saja melangkah maju, tapi aku segera menghentikannya.
"Udah, Vin. Lecet cuma gitu doang, kok. Yang penting kita kan nggak papa. Tuh, malah adik kecilnya yang luka."
Vino mencebikkan bibir, masih merasa tak terima, tapi tak berniat membatah omonganku.
"Adeknya nggak papa, Mas?" Aku beranjak mendekati mereka, melihat lebih dekat luka yang diderita anak kecil di depanku.
"Kayaknya nggak papa." Lelaki itu mencoba menyentuh lutut anak kecil itu.
"Eh jangan!" Reflek aku memegang tangan sang lelaki dan membuatnya tersentak lalu menepisku. "Oh, maaf. Kayaknya harus disterilisasi dulu, nggak boleh asal dipegang."
"Oke."
"Yang!" Terdengar Vino memanggilku dari belakang. "Kok kamu malah perhatiin mereka, sih? Orangnya yang salah juga. Dia kan yang nabrak kita."
"Tap—"
"Udah, deh. Langsung cabut, yuk. Sebentar lagi kamu terlambat. Abis itu aku juga terpaksa ke bengkel buat benerin ini." Nada kesal terdengar jelas dari intonasi suara Vino, dan aku tidak mau membuat mood-nya makin bertambah buruk.
"Oke." Pandanganku beralih ke arah lelaki itu lagi, kurogoh sebuah benda di tasku. "Mas, ini kartu namaku. Kalau ada apa-apa sama adiknya, hubungi aku, ya. Terus langsung dibawa ke rumah sakit aja. Takut infeksi."
Lelaki itu mengangguk.
"Yang!" Dan Vino berteriak lagi.
"Iya, bentar." Ujung bibirku tertarik tipis. "Permisi."
Aku berlari cepat menuju ke Vino yang sudah ada di samping mobil, menungguku masuk. "Kamu apaan, sih? Udah bagus aku nggak minta ganti rugi."
"Jangan gitu, ah! Ayo berangkat."
Dan tak menunggu waktu lama mobil Vino kembali berjalan.
Aku sendiri malah melihat ke arah spion samping, melihat ke lelaki itu yang masih duduk di trotoar, telaten mengurusi entah anak atau adiknya dan tak sadar ujung bibirku tertarik. Aku selalu suka dengan lelaki yang penuh kasih sayang seperti itu. Orang yang menyayangi keluarganya sendiri, pasti orang yang baik, kan? Semoga mereka tidak apa-apa.
~bersambung
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top