Pyroxinia

Azul memperhatikan kuncup bunga ungu yang ia taruh potnya di dekat jendela. Meski sudah terkena sinar matahari dan asupan yang cukup, bunga tersebut tak kunjung mekar. Lelaki berkacamata itu jadi ingat perkataan tunangannya, Victoria Schoenheit, mengenai waktu mekar bunga langka yang diberi nama pyroxinia. Sudah enam bulan Azul menunggu, dan musim semi adalah musimnya bunga pyroxinia mekar.

Azul mengubah posisi duduk seraya menggeser sedikit kursi yang ia sengaja letakan di dekat jendela. Tangan kirinya memegang ponsel, sementara tangan kanannya memegang daftar nama. Sembari mencocokkan nama di antara daftar nama dan ponselnya, sesekali mata birunya melirik bunga pyroxinia pemberian tunangannya.

"Kapan bunga itu mekar? Ini sudah musim semi," gumam Azul sambil berdiri. Matanya tetap menatap lekat kuncup bunga seukuran 25 sentimeter, sedangkan telunjuk kanannya menyentuh kuncup bunga. "Tak kusangka bunganya lebih besar dari perkiraanku."

Azul menarik telunjuknya dari kuncup bunga yang terlihat basah, padahal sebelumnya ia yakin tidak terlihat basah. Netra biru itu juga tak sengaja melihat sesuatu yang mengikuti telunjuknya, seperti benang-benang tipis lengket serupa sarang laba-laba. Azul tahu, ini selalu terjadi acap kali ia menyentuh tanaman tersebut. Namun, ia tidak mencurigai apa pun, sebab tanaman ini tidak berbahaya, malah katanya bisa digunakan untuk obat.

Tanpa menoleh, lelaki itu kembali ke kegiatannya mempersiapkan pernikahan yang tinggal beberapa hari lagi. Azul hanya berharap jika bunga pyroxinia akan mekar di hari pernikahannya.

~o0o~

Sama seperti pagi sebelumnya, Azul selalu duduk di kursi dekat jendela, menikmati sarapan sembari memperhatikan bunga pyroxinia. Akan tetapi, pagi ini berbeda. Lelaki itu hendak menemui Jade yang pagi-pagi sekali sudah berkunjung. Begitu dirinya melewati tempat di mana bunga pyroxinia diletakan, netranya membesar. Kuncup bunga itu perlahan mulai mekar, dan sepertinya harapan lelaki itu soal mekar di hari pernikahan tidak akan terjadi.

"Oya, bunganya lebih besar dari gambar yang kulihat," celetuk Jade seraya berdiri di sampingnya.

"Lebih besar dari perkiraanku," sahut Azul diikuti senyuman. "Aku harus memotretnya, Victoria pasti senang kalau tahu bunganya akan segera mekar."

Jade tersenyum, meski matanya berkata lain. "Dia pasti senang karena kau tidak membuat bunga itu mati. Oh, andai saja aku juga punya bunga seperti ini."

Azul melirik sekilas kawannya. Terlihat jelas bahwa dia tak senang dengan ucapan Jade, tetapi lelaki itu memilih kembali melirik bunga pyroxinia. Di benaknya, ia sudah memperkirakan jika bunga itu akan mekar sempurna sebelum jam 10 pagi, jadi ia masih memiliki waktu untuk melakukan aktivitasnya yang lain.

Tatkala Azul hanyut oleh pikirannya sendiri, Jade memanggilnya. Ia sudah tahu jika pekerjaan tak bisa ditinggalkan, lagi pula lelaki itu tipikal yang ambisius dan mementingkan keberhasilan semua rencana dan keinginan di atas segalanya. Meskipun hari pernikahannya tinggal beberapa hari lagi, ia tetap tidak mau ambil cuti lalu menyerahkan Mostro Lounge II ke tangan orang yang paling ia percayai, Jade Leech.

"Padahal aku sudah berbaik hati menawarkan agar kau cuti, tapi kau tetap bersikeras untuk tidak libur," celetuk Jade dengan ekspresi pura-pura sedih.

"Kau kira aku tidak tahu kalau kau berencana untuk menambahkan jamur ke daftar menu seandainya aku cuti? Tidak akan pernah terjadi, Jade. Aku lebih memilih mengawasi Lounge sendiri," timpal Azul sembari mengambil mantel dan topi dari atas sofa. Kemudian, lelaki itu berjalan ke atas meja untuk mengambil beberapa dokumen. "Kurasa sekalian saja aku pergi ke butik untuk memastikan pakaian yang akan kami kenakan sudah selesai."

Azul sudah melangkah lebih dulu ke pintu sambil mengoceh. Ia sama sekali tidak sadar jika Jade terpaku seraya menatap bunga pyroxinia. Ekpresi lelaki itu terkejut sekaligus penasaran.

"Jade! Apa yang kau lakukan?" tanya Azul dengan nada sedikit tak sabaran. Akan tetapi, Jade sama sekali tak menggubrisnya, hingga membuat lelaki berkacamata menghampiri.

Di saat itulah Azul menyadari sesuatu. Ada yang mencoba bergerak keluar dari bunga pyroxinia yang mulai mekar. Entah apa itu, tetapi ukurannya kecil, berwarna ungu tua, dan tampak kenyal.

"I-itu apa?" pekik Azul yang langsung mengalihkan atensi Jade. "Jade, coba kau intip."

Mengikuti perkataan Azul, Jade maju beberapa langkah. Matanya dengan hati-hati mengawasi pergerakan dari dalam bunga yang hendak mekar. Kedua tangannya yang terbalut sarung tangan perlahan mencoba menyentuh bunga tersebut, bermaksud untuk mengintip sesuatu di dalam sana. Alangkah terkejutnya ia begitu menemukan sesuatu di dalam bunga rupanya hidup dan mungil.

"Hah? Apa ini peri bunga?" gumam Jade. "Wah, luar biasa!"

"Apanya?" Azul yang penasaran langsung berdiri di belakang Jade sambil bersidekap.

Siapa yang menyangka jika Jade benar-benar menyibak kelopak bunga pyroxinia seolah-olah memaksanya untuk mekar sempurna. Tentu saja hal itu membuat Azul tercekat, rasanya ia ingin melempar kawannya itu ke palung terdalam. Bunga yang menjadi hadiah pertunangan Azul bisa-bisa rusak karena Jade memaksanya mekar.

"Jade!"

"Oh, Azul, maaf. Aku hanya penasaran pada sosok mungil di dalam bunganya."

"Sosok mungil apanya? Kau merusak bunga pemberiaan Victoria!"

"Maaf, Victoria-san." Ekspresi Jade yang terlihat seakan-akan menyesal, membuat Azul makin kesal. Akan tetapi, air muka lelaki berkacamata itu berubah tatkala melihat sosok mungil menyerupai dirinya di tangan Jade. "Tak kusangka Victoria-san memberimu hadiah tak terduga. Oh andai saja bayi mungil ini milikku."

Azul tak bisa berkata-kata, dirinya terlalu terpana melihat bayi kecil yang ternyata selama ini berada di dalam kuncup bunga pyroxinia. Namun, bagaimana bisa?

Bayi mungil itu bukan bayi seperti yang ada di pikiran Azul. Wajahnya serupa sang pemilik tanaman, semuanya bahkan mirip kecuali wujudnya. Jika Azul memiliki dua kaki dan berwujud serupa manusia pada umumnya, bayi mungil itu justru adalah Azul versi octopus merman.

"Lho? Di-dia ... mirip—" Azul tersedak ludahnya sendiri sampai akhirnya perkataan lelaki itu dipotong cepat oleh Jade.

"Mirip Azul sewaktu kau masih chubby dan menggemaskan. Ahh, membuatku jadi lapar. Kuyakin jika Floyd melihatnya, dia pasti akan sangat senang."

Secepat kilat, Azul merebut bayi mungil dari tangan temannya diikuti raut wajah kesal. Sementara itu, Jade hanya tertawa pelan.

"Aku baru ingat jika moray eel memakan gurita," ujar Azul sebelum memutar badan. Otaknya berusaha berpikir keras untuk menyembunyikan bayi mungil itu dari temannya yang merupakan seorang moray eel merman.

~o0o~

Bayi mungil serupa Azul itu disembunyikan di dalam aquarium yang terdapat di ruangan rahasia, khawatir jika sebelum hari pernikahannya tiba, si kembar Jade dan Floyd Leech bisa menemukannya. Sebenarnya, ia tahu jika dua temannya itu tak akan memakan bayi octopus merman walaupun mereka menyukai menu makanan berbahan gurita. Hanya saja, ucapan mereka yang bisa menakuti orang lain bisa memengaruhi bayi tersebut, mengingat dia bisa mengerti yang semua perkataan Azul. Selama itu pula Azul merawatnya dan mencari tahu asal usul si bayi misterius. Namun, semua informasi yang ia kumpulkan tak memberinya jawaban.

Hingga hari pernikahannya tiba, ia ingin sekali menunjukkan makhluk mungil tersebut pada Victoria dan menceritakan tentang bunga pyroxinia yang setelah mekar justru layu. Azul sudah mengira jika ulah Jade bisa memberikan efek samping pada bunga tersebut. Sejujurnya, ia pun kesal, tetapi memaafkan temannya karena diberi kompensasi.

Sebelum matahari tenggelam di hari pernikahannya, dan acara resepsi diadakan, Azul sempat meminta Victoria untuk mengunjungi rumahnya sebentar. Tujuannya adalah memberitahukan soal bayi tersebut. Lelaki itu mulai memperkirakan ekspresi perempuan itu jika melihat bayi mungil, apalagi jika diceritakan jika makhluk itu muncul dari bunga pyroxinia. Setidaknya, butuh usaha untuk meyakinkan Vil Schoenheit selaku kakak Victoria yang bersikeras agar adiknya istirahat sebelum resepsi.

"Jadi, Azul, apa yang ingin kau tunjukkan padaku?" tanya Victoria kala memasuki ruang rahasia di balik tangga. Perempuan dengan surai pirang keemasan memperhatikan sekitarnya dengan alis yang saling bertautan.

"Kau ingat bunga pyroxinia yang waktu itu kau hadiahi padaku?" Azul menyalakan lampu ruangan sembari menoleh pada istrinya yang mengangguk. "Bunga itu benar-benar mekar, tapi di dalamnya ada sesuatu yang hidup."

"Sesuatu yang hidup? Larva?"

"Bukan, tapi ini." Azul melepaskan sarung tangannya, dan mengambil bayi mungil dari dalam aquarium. Begitu dikeluarkan, bayi itu tampak terlihat senang seraya bersuara pelan.

"Astaga!" pekik Victoria. "Di-dia ... mirip denganmu."

"Benar. Aku tidak tahu bagaimana bisa. Aku sudah mencoba mencari tahu tentang kemunculan makhluk ini dari bunga pyroxinia, tapi tak kunjung mendapatkan info apa pun."

Victoria terdiam sejenak, netra violetnya memperhatikan bayi mungil yang tengah memeluk ibu jari Azul. Dari tingkahnya, perempuan itu bisa mengetahui jika bayi tersebut begitu menyayangi Azul, seperti menganggap lelaki itu sebagai induknya.

"Oh, lucu sekali. Kau sudah beri dia nama?" tanya Victoria seraya mengelus puncak kepala bayi tersebut dengan telunjuknya.

Azul mengembuskan napas keras, lantas berkata, "Sungguh merepotkan seka—Eh, tidak, maksudku aku tidak memberinya nama."

Victoria terdiam sejenak, memikirkan sebuah nama yang cocok untuk bayi tersebut. Namun, tak ada ide muncul di kepalanya, jadi ia memutuskan untuk menggunakan nama Azul ditambah kata 'mini' di belakangnya. Meskipun, lelaki itu protes, bayi itu tetap dipanggil sebagai Azul Mini.

~o0o~

Kehadiran Azul Mini cukup membuat Azul sedikit cemburu, sebab perempuan itu lebih sering memperhatikan bayi tersebut. Bahkan membawanya di pundak, sedikit tersembunyi oleh rambutnya saat menyalami para tamu undangan. Jade dan Floyd menyadari jika bayi mungil yang muncul dari bunga itu dibawa ke pesta, dan mereka tak hentinya mengejek Azul akibat ekspresi tidak senang yang disembunyikan. Tentu saja, hal ini juga disadari oleh Vil. Tatkala perempuan itu sedang menghampiri neneknya, Vil mengikuti sang adik hanya untuk memastikan sesuatu yang bergerak di balik rambutnya.

"Victoria, itu apa?" tanya Vil dengan ekspresi terkejut kala melihat Azul Mini di pundak sang adik.

"Oh, ini Azul Mini. Dia lahir dari bunga pyroxinia," timpal Victoria seraya tersenyum.

"Hah? Tidak masuk akal." Vil mengernyit, ucapan adiknya tak bisa diterima. Bagaimana bisa bayi octopus-merman lahir dari bunga? Seumur hidupnya, belum penah ia mendengar ada bayi octopus merman yang lahir dari bunga, kecuali bayi peri. Ia pernah mendengar itu dulu sewaktu masih sekolah, tentang kehidupan para peri di Twisted Wonderland.

Sementara itu, nenek mereka yang awalnya terkejut, lekas tersenyum sembari berdiri. Mata violetnya terpaku pada Azul Mini yang tampak ketakutan melihat Vil. "Ah, jadi bunga itu memunculkan sesuatu yang tidak terduga lagi. Jadi nostalgia."

"Apa maksudnya, Nek?" Vil bersidekap dengan wajah penuh tanda tanya.

"Dulu ini pernah terjadi pada ibuku, nenek buyut kalian. Dulu, ibuku merawat bunga pyroxinia pemberian orang tuanya. Waktu itu aku masih kecil, dan sangat suka menunggu bunga itu mekar. Tapi, saat waktunya mekar, ada bayi mungil menyerupai ibuku di dalamnya. Kami terkejut saat itu. Akhirnya kami merawat bayi mungil itu dan menamainya," jelas nenek mereka.

Schoenheit bersaudara saling bertukar pandang, memikirkan pertanyaan yang sama di benak. Bagaimana bisa bayi itu mirip seseorang? Lebih tepatnya, menyerupai orang yang merawat tanaman itu.

"Bagaimana bisa?" tanya Victoria dengan nada pelan sembari mengambil Azul Mini.

"Aku tidak tahu pastinya, tapi saat itu kami menarik kesimpulan jika bayi tersebut lahir karena energi sihir yang terserap oleh pyroxinia setiap kali pemiliknya menyentuh kuncup bunganya. Ibuku dulu sering menyentuhnya, dan kuyakin Ashengrotto pun melakukan hal yang sama." Nenek mereka tersenyum seraya mengelus puncak kepala Azul Mini. "Ini bukan pertama kalinya terjadi, dulu, beberapa dari pemilik bunga ini mengalami hal serupa, sebagiannya lagi tidak. Karena bunga ini sudah cukup jarang ditemukan, kurasa kasus seperti ini jadi jarang dibahas."

"Energi sihir yang terserap ...." Netra Victoria memandangi Azul Mini yang tersenyum lebar.

"Dan bunga itu membentuk wujud si pemiliknya," lanjut Vil. "Lalu, apa yang terjadi pada bayi itu, Nenek?"

Wanita tua itu mengalihkan pandangan, disertai ekspresinya yang memudar. "Dia meninggal sehari setelah ibuku meninggal."

"Ka-kalau begitu, apakah bayi ini juga akan meninggal jika Azul meninggal?" tanya Victoria, kerutan di dahinya terlihat.

"Kenapa kau menyimpulkannya begitu?" tanya balik Vil.

"Entahlah, aku hanya menyimpulkan saja jika bayi ini lahir dari energi sihir Azul yang terserap, berarti ia hidup dari energi sihirnya Azul. Dan jika sumber energi itu meninggal, bukankah artinya dia juga akan ikut meninggal?" imbuh Victoria.

"Aku tidak tahu soal itu. tapi, kuharap kau dan Ashengrotto bisa merawatnya dengan baik," timpal sang nenek.

Victoria tersenyum senang, lalu mengelus puncak kepala Azul Mini seraya berkata, "Aku akan membesarkannya seperti dia anakku."

Namun, ucapan ceria tersebut justru membuat neneknya tertawa. "Satu lagi yang harus kau ingat, Vic, dia tidak akan tumbuh besar dan akan tetap seperti itu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top