Rumit

Sahabatku Edgar pernah mengatakan, tidak ada yang lebih rumit dari runutan hati seorang wanita, dalam sajaknya yang dimuat majalah kampus beberapa bulan lalu. Aku terpingkal saat membacanya. Selama ini, aku menghabiskan hidup dengan kakak perempuan tunggal, setelah Ibuku meninggal karena diabetes saat aku berumur sebelas tahun. Tapi tidak pernah kutemui kerumitan itu. Kakakku yang belia, remaja baru lulus SMA, berjuang membesarkan adiknya seorang diri tanpa kenal lelah. Ia perempuan paling ringkas, cekatan dan gesit yang pernah kutemui. Tidak pernah sekali pun kudengar ia mengeluh atau marah-marah tak jelas terhadap nasibnya. Kami berjuang bersama, aku membantunya dengan rajin belajar dan mendapat beasiswa, ia berjuang dengan menambal kebutuhanku yang tidak tercukupi beasiswa. Namun menjelang peralihan ke dewasa muda, aku kini dihadapkan pada kerumitan hati wanita. 

Tidak hanya satu, melainkan dua sekaligus.

Amira menyantap jagung bakarnya dengan keanggunan luar biasa yang baru sekali ini kutemui. Tidak pernah kusangka, bahkan saat memakan jagung saja seseorang bisa terlihat secantik ini. Buru-buru kuteguk teh hangatku sebelum melanjutkan makan.

"Aku belum pernah jajan di pinggir jalan begini," akunya. "Tapi ternyata seru juga, ya."

"Kamu kebanyakan main di mall, sih," ledekku. Amira meninju lenganku pelan, namun terasa seperti ia sedang membelai manja.

"Oh ya, di Dongdaemun juga banyak penjual makanan-makanan di malam hari."

Kali ini aku tersedak, "Oke, aku nyerah. Kamu bukan cewek mall, tapi cewek impor."

Amira menyikutku lebih keras, kami tertawa lebar. Jika saja sebuah panggilan masuk tidak muncul di ponselku, menampilkan nama Nabilla besar-besar pada layar sentuhnya. Derai tawa Amira lenyap seketika. Aku menatap bergantian, dari wajahnya yang cemberut, atau ponselku yang berdering nyaring.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top