Part 4 - Putus
"Belum baikan sama Adam?" tanya Mutia. Melihat raut wajah Putri yang bete sejak tadi pagi sudah pasti jawabannya belum.
"Belum," jawab Putri singkat sambil mendudukkan tubuhnya di kursi kantin, tepat di sisi Mutia. Sementara Acha duduk di depan mereka.
"Coba bicara baik-baik dulu. Komunikasi lo sama Adam yang salah di sini," saran Acha.
"Gue tiap lihat wajah Adam bawaannya emosi mulu. Nggak bisa berpikir positif sama sikap Adam. Gue cuma minta dia ngertiin gue." Putri hanya takut kalau Adam menyakiti hatinya. Ia bersikap keras untuk melindungi hatinya sendiri.
Mutia mengganguk paham.
"Dari awal gue memang nggak suka lo jadian sama Adam. Cowok kayak Adam itu bisanya cuma nyakitin hati perempuan karena tahu dia keren dan tampan. Lihat aja tuh, buktinya dia datang ke kantin sama cewek lain." Mutia menunjuk ke arah pintu masuk kantin dengan dagu.
Posisi Putri yang membelakangi pintu masuk membuat dia harus memutar kepala beberapa derajat. Saat sudah mendapat jawaban Putri kembali menoleh ke depan, memasang wajah kesal andalannya. Adam dan Safa duduk di kursi dekat pintu masuk, dan Adam tidak meyadari kehadiran Putri.
Tidak berapa lama teman-teman Adam yang lain ikut bergabung di meja yang sama. Terlihat Safa dan satu orang siswi pergi memesan makan, sementara Adam dan yang lainnya asik saling melempar candaan. Adam terlihat baik-baik saja saat sedang ada masalah dengan Putri. Lihat, bahkan tawa cowok itu terdengar sangat luwes.
Mutia menghela napas panjang. "Lo galau di sini, dia masih ketawa-ketiwi di sana."
"Sabar, Put," Acha menatap prihatin.
"Kalau memang udah nggak bisa dipertahankan buat apa tetap bertahan, Put?" sela Mutia.
"Ck, gue sayang sama Adam makanya gue tetap bertahan sama dia. Nggak semudah itu bisa putus darinya setelah dua tahun lebih bareng," Putri membuang pandangan secara sembarang. Mencari-cari objek yang mungkin saja dapat mengalihkan pikirannya dari Adam. Nyatanya tidak ada hal lain yang mampu menarik perhatian Putri selain Adam.
"Cabut aja, yuk," ajak Putri. Selera makannya hilang.
"Ya udah, kita jajan jam istirahat kedua aja nanti," Acha mengangguk paham.
Beruntung Putri memiliki dua teman yang sangat mengerti keadaannya. Putri melangkah meninggalkan area kantin, diikuti Mutia dan Acha. Saat melewati meja Adam dan teman-teman langkah Putri melambat. Adam akhirnya melihat pada Putri, akhirnya keberadaan Putri disadari oleh laki-laki itu. Putri melirik sekilas dengan pandangan dingin, tidak menyapa sama sekali dan terus melangkah. Adam pun diam saja.
"Itu Putri, Dam," ujar salah satu teman Adam saat Putri melewati meja mereka.
"Iya, gue tahu sejak tadi dia ada di sini," Adam berujar lirih. Mana mungkin dia tidak mengenali Putri, sekalipun hanya punggung cewek itu saja yang terlihat.
Terkadang radar mata Adam selalu tanggap jika soal Putri. Percayalah, tawa keras yang Adam perdengarkan sejak tadi hanya ingin menunjukkan pada Putri bahwa dia baik-baik saja. Walau dalam hati yang paling dalam perasaan Adam sedang bergejolak dengan hal tidak menentu tentang hubungan mereka.
Adam menghela napas jengah, perasaannya lelah.
-o0o-
"Baiklah, sampai di sini pertemuan kita hari ini. Jangan lupa selesaikan PR yang Ibu berikan." Kemudian guru berjilbab kuning itu bergerak meninggalkan kelas 12 IPS 4.
Putri membereskan semua alat tulis dan memasukkan ke dalam tas. Ia renggangkan ototnya yang terasa tegang selama menerima materi dari guru bahasa Indonesia tadi. Putri keluarkan ponsel miliknya, memeriksa barang kali ada chat dari Adam untuk mengajaknya pulang bersama. Tidak ada ternyata.
"Cha, hari ini gue piket. Tungguin bentar, ya," Mutia menghadap ke belakang, pada meja Putri dan Acha. Biasanya Mutia dan Acha sering pulang bersama, sementara Putri pulang dengan Adam.
"Lo pulang bareng Adem, Put?" tanya Acha.
Putri angkat bahunya. "Nggak tahu. Dia nggak ada ngechat gue," ada nada sebal dalam suara Putri.
"Udahlah, Put. Cari cowok baru aja kalau gitu. Daripada makan hati terus sama Adam," saran Mutia sambil melangkah menuju sudut belakang kelas untuk mengambil sapu.
"Cowok dari mana? Memangnya ada cowok lain yang dekat sama gue selain Adam?" cercah Putri.
"Kalau lo mau entar gue carikan," Mutia menatap dengan serius sebelum mulai menyapu kelas.
"Sesat ajaran lo, Mut!" hardik Acha. Yang hanya Mutia balas dengan tawa ringan.
"Udah, ah. Gue cabut duluan."
Putri menyandang tas ransel miliknya meninggalkan Mutia dan Acha. Kaki Putri bergerak pelan menelusuri koridor barisan kelas 12. Langkah Putri memelan ketika melintasi kelas Adam, melirik sekilas ke sana namun tidak berhasil menuntaskan rasa ingin tahu Putri. Apakah Adam sudah pulang?
"Dam, lo boncengin gue bentar dong beli kertas gambar buat tugas kesenian kelompok kita. Biar gue aja entar yang ngerjain, takutnya kalau di rumah nggak ada yang nganter gue. Lo tahu sendirikan gue nggak bisa bawa motor."
Itu suara Safa, cewek itu baru saja keluar dari ruang kelas. Ada Adam juga yang baru muncul dari sana. Perasaan Putri tidak menentu, dia yang baru melewati kelas Adam melirik ke belakang. Dan Putri memilih untuk kembali melangkah, ia tidak memiliki niat untuk mendengar lebih jauh percakapan Adam dan Safa.
Takut meyakini hal ini, namun hanya ini yang terlintas dalam benak Putri. Mungkin saja kini posisinya telah terganti.
"Gimana lo bisa, nggak?" tanya Safa.
Adam berpikir sejenak, kemudian mengangguk. "Tapi gue ke kelas Putri bentar. Takutnya nanti dia nungguin. HP gue habis baterai buat ngabarin dia."
"Gue tunggu di parkiran," Safa mengambil langkah ke arah parkiran sekolah, sementara Adam bergerak menuju kelas Putri.
Sejujurnya Adam ragu untuk menghampiri Putri mengingat hubungan mereka masih dingin. Adam juga punya rasa egois, disisi lain Adam ingin kembali berdamai dengan Putri. Tapi apa kabar nantinya dengan harga diri Adam?
Kaki Adam melangkah pelan, ragu apakah dia harus mengalah lagi kali ini atau tidak? Dan Adam memilih untuk sedikit egois hari ini, dia putar langkahnya berlawanan arah dari kelas Putri.
Baiklah, tidak untuk kali ini.
-o0o-
Putri ingin seperti Adam yang terlihat baik-baik saja walau mereka sedang bertengkar. Tiga hari berlalu dan sama sekali tidak ada titik terang yang membawa Adam dan Putri pada kata damai. Membuat Putri berulang kali berpikir untuk putus dari Adam. Untuk apa dipertahankan jika hanya membawa kesedihan?
Sementara itu Adam baru saja menyelesaikan jadwal latihan basket untuk turnamen leader champion. Tubuhnya boleh saja aktif dan terlihat bugar, namun siapa menyangka bahwa Adam menyimpan gejolak dalam hatinya tentang Putri.
"Haaah," Adam membuang napas panjang sambil mengambil posisi selonjoran di tepi langan.
"Beban hidup lo berat banget ya, Dam? Gue sering banget dengar lo menghela napas," Bian ikut ambil posisi di samping Adam.
Adam mengacak rambut dengan frustasi. "Bingung gue."
"Putri?"
"Memangnya siapa lagi yang bisa bikin gue uring-uringan selain dia?" Adam mendelik sinis.
"Ya udah, sih. Turunin ego lo, minta maaf sana. Gue udah pernah bilang, sebagai lelaki tampan kita hanya bisa mengalah, mengerti dan meminta maaf."
"Masa harus gue terus yang minta maaf duluan. Padahal akar masalahnya aja gue nggak tahu, gue nggak tahu Putri ngambek karena apa," decak Adam.
"Jadi lo nggak mau baikan nih sama Putri?" Bian menaikkan satu alisnya.
"Ya, maulah!"
"Ya udah, minta maaf sana!
Tbc
Cerita ini aku ikut sertakan dalam challenge 30 hari selama ramadhan bersama glorious publisher 😊😊Minta dukungannya teman-teman dengan vote dan komen yang buanyaaak 😁
Wish me luck gaess 😉
Ceritanya bakal aku up tiap hari, hayuk di vote dan komen makanya.
Spam next di sini 👉
❤ Awas ada typo ❤
#Challenge30GP
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top