Part 21 - Putus
Seharusnya Putri tidak percaya pada ketua OSIS yang super berisik itu. Si ketua OSIS mengatakan bahwa kenalannya akan datang pada pukul empat sore di warung bakso mang Amin. Dan sekarang sudah hampir pukul lima sore, namun tanda-tanda kehadiran kenalan si ketua OSIS tidak kunjung datang.
Dan akan lebih baik jika tadi Putri menyetujui permintaan Mutia dan Acha untuk ikut. Agar ia tidak menunggu sendiri seperti orang bodoh di sini. Ingatkan Putri nanti untuk meninju wajah sok ganteng si ketua OSIS itu. Oh sungguh, Putri sangat kesal sekarang.
"Nak Putri, nungguin siapa sebenarnya? Adam?" mang Amin mengantar es teh pada Putri, ini gelas keduanya.
Putri cemberut mendengar penuturan mang Amin. Kalau Acha atau Mutia yang mengatakan hal itu jelas dia akan balas dengan nada ngegas, tapi yang berada di hadapan Putri saat ini adalah orangtua. Tidak mungkin Putri membentak mang Amin karena menyebut nama Adam.
"Nungguin teman, Mang," sahut Putri. Dia memilih untuk menampilkan senyuman setengah pada mang Amin.
"Teman siapa?"
Kenapa mang Amin mendadak jadi Knowing Every Particular Object alias KEPO, begini?
"Teman baru Putri, Mang. Ganteng. Pokoknya nanti kalau ada cowok ganteng yang datang berarti itu teman Putri," jawabnya asal.
"Kalau cowoknya jelek?" mang Amin balas bertanya.
"Berarti itu temannya Mamang." Putri tertawa ringan. Mang Amin berdesis sok kesal sebelum bergerak meninggalkan Putri, pria berumur emput puluhan itu kembali menjaga stand baksonya.
Putri menopang dagu dengan tangan kanan. Putri masih memiliki stok kesabaran untuk menunggu kenalan si ketua OSIS. Putri bisa saja menghubungi ketua OSIS untuk menanyai kejelasan PDKT ini, namun Putri urungkan mengingat sore ini ketua OSIS sedang rapat dengan jajarannya. Putri maklum, orang perting pasti jadwalnya padat. Tidak seperti dirinya.
Mendadak urat leher Putri menegang saat melihat seseorang memasuki warung bakso. Dengan gerakan pelan Putri lepaskan tangannya dari dagu dan duduk dengan posisi tegap. Ia terpaku pada sosok yang baru saja memasuki warung bakso, Putri bukan terpanah pada sosok itu melainkan dia terkejud.
Begitu juga orang yang memasuki warung bakso. Menatap tepat pada dua bola mata Putri. Waktu dan dunia mereka seolah berhenti.
"Lho, tadi katanya nggak nungguin Adam. Tapi ini Nak Adamnya dateng," ujar mang Amin tanpa rasa bersalah seraya berjalan kembali menghampiri meja yang Putri tempati.
Untuk pertama kalinya Putri menyesal menjadi pelanggan tetap warung bakso mang Amin.
"Jadi cowok ganteng yang Nak Putri maksud itu Adam toh," lanjut mang Amin.
Dan Putri ingin segera menenggelamkan diri di samudra Pasifik. Berenang bersama hiu di lautan lepas lebih menarik daripada bertemu Adam di warung bakso mang Amin. Well, mereka memiliki banyak kenangan di sini.
"Ayo duduk, Nak Adam. Dari tadi Nak Putri nungguin kamu. Sampai-sampai belum pesan apapun. Mamang siapkan racikan bakso kayak biasa, ya," mang Amin berujar semangat. Tanpa menunggu respons keduanya ia bergegas meracik bakso kesukaan Putri dan Adam.
Haruskah kabar putus ini diberitahukan pada mang Amin juga? Agar mang Amin berhenti mengingatkan kenangan antara Putri dan Adam. Walau pria yang berprofesi sebagai pedagang itu tidak sengaja membuka kenangan antara mantan kekasih itu. Sudah dikatakan sebelumnya, mang Amin tidak tahu mereka telah putus.
"Dam, kita makan baksonya di sini aja. Teman-teman yang lain pada nggak mau dibungkus, kata mereka masih kenyang." Safa datang dengan raut wajah ceria. Fokusnya terbagi antara ponsel untuk menchat teman-temannya dan juga pada Adam.
Tanpa sadar Putri berdecih melihat kehadiran Safa yang selalu tiba-tiba. Kenapa dua orang ini terlihat semakin lengket dari hari ke hari? Sialnya lagi tanpa sengaja Putri harus melihat kedekatan keduanya.
"Lho, Putri," Safa terkejut melihat Putri. Ia simpan ponsel pada rok abu-abunya. Safa dan Adam belum kembali ke rumah sejak pulang sekolah. Berbeda dengan Putri yang kini tampil dengan gaya pakaian santai.
Putri memilih untuk tidak menyahut, ia alihkan pandangan dari pasangan itu. Putri tahu, rasa cemburu itu masih ada pada Adam. Tidak dapat ia luaskan dalam bentuk apapun.
"Mungkin kita makan baksonya lain kali aja. Teman-teman yang lain udah nunggu di rumah Bian," suara Safa terdengar ragu.
"Kata lo tadi pengen makan bakso. Kita makan sekarang." Adam menarik kursi plastik untuk ia duduki, posisinya tidak jauh dari meja Putri. Bahkan apapun yang akan mereka dibicarakan akan dapat didengar satu sama lain.
Safa mengambil posisi duduk di depan Adam, dari tempatnya ia memunggungi Putri. Sementara Adam dapat dengan leluasa melirik Putri dari posisi duduknya.
"Gue nggak enak sama Putri," bisik Safa pelan.
"Santai aja," sahut Adam singkat.
"Lho, kenapa Nak Adam duduk di sana?" dengan polos mang Amin bertanya. Membuat Putri merasa kasihan pada dirinya sendiri. Mang Amin dengan bingung menatap pada Adam dan Putri secara bergantian. Ditangannya ada dua mangkuk bakso yang seharusnya untuk Adam dan Putri.
Putri mendesah jengah, enggan untuk mengedarkan pandangan entah ke arah manapun. Putri memilih untuk melabuhkan penglihatannya pada botol kecap yang ada di atas meja. Diam-diam kedua tangan Putri saling meremas di atas pangkuannya. Kini Putri benar-benar terlihat seperti orang bodoh.
"Sebenarnya kalian kenapa?" mang Amin kembali buka suara.
"Kami udah putus, Mang," Adam menjawab semua kebingungan mang Amin.
Ditelinga Putri suara cowok itu terdengar lugas, tanpa beban dan seolah kata putus bukan apa-apa baginya. Ya, beginilah seharusnya. Tindakan Adam sudah tepat. Sudah benar. Hanya Putri saja yang masih berlarut-larut dalam dilema, walau berulang kali dia mengumbar kata bahagia di hadapan Mutia, Acha bahkan si ketua OSIS.
Terbebas dari lingkungan Adam adalah pilihan yang sudah sangat tepat. Dan bagaimana dengan terbebas dari Adam sendiri? Harusnya juga tepat.
"Nak Putri, mau ke mana?" tanya mang Amin saat Putri bangun dari duduknya dengan gerakan cepat. Menyampirkan tas selempangnya di bahu kanan, Putri bersiap pergi.
"Putri permisi dulu, Mang." Putri melangkah cepat untuk pergi dari sana tanpa melirik pada siapapun.
"Tapi--" ucapan mang Amin menggantung. "Es tehnya belum dibayar. Terus bakso ini gimana?"
Adam menatap jalan yang baru dilalui Putri dengan pandangan datar. Beberapa detik Adam terpaku, sosok Putri sudah tidak tertangkap oleh indra lihat Adam lagi. Hanya terlihat orang-orang yang melintas di depan warung bakso mang Amin.
"Mang, baksonya bawa sini aja. Es teh Putri biar aku yang bayar," ini suara Safa.
TBC
Cerita ini aku ikut sertakan dalam challenge 30 hari menulis selama ramadhan bersama glorious publisher 😊😊Minta dukungannya teman-teman dengan vote dan komen yang buanyaaak 😁
Wish me luck gaess 😉
Ceritanya bakal aku up tiap hari, hayuk di vote dan komen makanya.
Spam next di sini 👉
❤ Awas ada typo ❤
#Challenge30GP
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top