Part 18 - Putus
Langkah Putri bergerak cepat menelusuri koridor sekolah yang sepi, berusaha secepat mungkin untuk mencapai lapangan basket sekolah. Selepas mendapat kabar dari Bian tanpa berpikir dua kali Putri segera pergi untuk melihat kondisi Adam. Bahkan Putri tidak sempat mengganti sendal rumah, celana training dan kaos rumahan yang ia kenakan. Kata Bian, Adam masih berada di lapangan basket dan masih ditangani seadanya setelah terjatuh.
Putri lupa menanyai seberapa serius kondisi Adam setelah jatuh. Karena efek panik yang Putri pikirkan hanya bagaimana cara untuk bertemu cowok itu.
"Adam," gumam Putri lirih. Langkahnya memelan saat sampai di lapangan basket. Ia melihat sosok yang sejak tadi menganggu pikirannya, terlihat Adam duduk lesehan di tepi lapangan bersama Bian dan dua orang teman mereka lainnya.
"Putri." Adam terkejut melihat Putri berjalan menghampiri dan kini berdiri di depannya.
"Hai, Put," sapa Bian dengan senyuman polos dan tanpa beban.
"Lo baik-baik aja?" tanya Putri tidak sabaran.
Kening Adam berkerut bingung. "Memangnya aku, maksudnya gue kenapa? Gue baik. Kenapa sore-sore begini lo datang ke sekolah?"
Hati Adam merasa risih saat menggunakan kata lo-gue pada Putri. Aneh sekali rasanya. Tidak pas. Tidak cocok.
Putri ikut merasa bingung. Kata Bian, Adam terjatuh. Tapi saat ini cowok itu tampak baik-baik saja. Tidak ada yang perlu dikhawatirkan.
"Lihat, gue berhasil bawa Putri ke sini," Bian berbisik pelan pada Adam. Dan saat itulah Adam baru mengerti. Sepertinya Bian telah melakukan sesuatu hingga membawa Putri ke sini dengan pakaian khas rumahan.
"Lo baik-baik aja setelah jatuh?" tanya Putri, suaranya nyaris berdesis.
"Gue baik, Put. Gue nggak jatuh."
Apa-apaan ini? Jawaban Adam membuat Putri merasa dibodohi. Lalu apa arti khawatirnya sejak tadi?
"Adam memang jatuh.... jatuh cinta sama lo," sela Bian dengan nada jenaka dan diiringi tawa ringan. Dia puas dengan hasil kebohongannya.
"Jadi ceritanya Putri lagi khawatir sama mantan, nih?" goda salah satu rekan satu tim basket Adam.
"Apa menurut kalian ini lucu?!" sentak Putri marah. Dan sukses membuat mereka semua terdiam. Mata Putri memerah menahan gejolak hebat dalam hatinya. Putri kecewa pada diri sendiri karena melakukan tindakan bodoh.
"Putri," panggil Adam parau. Sungguh dia tidak tahu apa-apa, ini semua ulah Bian.
Mata Putri yang berair menatap sinis pada semua orang. "Gue memang bodoh. Bisa-bisa gue percaya semua kebohongan kalian dan dijadikan bahan tertawaan."
"Put, gue nggak ada maksud begitu," sela Bian merasa bersalah. Niatnya baik ingin mempertemukan Adam dan Putri, walau dengan cara yang salah.
"Kalian mikir nggak sih kalau sikap kalian ini bikin gue sakit hati?! Mengolok-ngolok perasaan gue. Rasa khawatir gue yang cuma sebatas candaan buat kalian. Ah, apa yang sebenarnya gue harapkan? Orang-orang seperti kalian nggak akan paham gimana rasanya dikucilkan," Putri berusaha untuk tidak menangis.
Adam berdiri di hadapan Putri. "Put," panggilnya pelan.
"Apa lo merasa menang sekarang? Ngerasa hebat? Lo puas?" Putri tatap Adam dengan sengit.
Adam diam. Hanya tatapan dalam yang ia hujani pada dua bola Putri. Menelusuri wajah cantik itu yang diam-diam Adam rindukan. Rasa untuk Putri masih sama seperti mereka bersama beberapa waktu lalu. Putri selalu mampu mendebarkan perasaan Adam. Putri selalu berhasil membuat Adam ingin mengalah agar Putri tidak marah lagi padanya.
"Lo senang lihat kepedulian gue setelah putus? Apa tujuan lo sebenarnya? Lo mau lihat kalau gue nyesal putus dari lo? Begitu?" Putri menghujami Adam dengam berbagai pertanyaan tanpa membiarkan Adam memberi jawaban terlebih dahuli.
"Put, ini sama sekali nggak ada hubungannya dengan Adam. Kejadian ini murni karena kebohongan gue," Bian coba menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Well, Adam memang tidak tahu apa-apa.
"Kalian semua sama saja!" maki Putri, dia usap wajahnya sebelum melangkah pergi. Meninggalkan Adam dan kawan-kawan yang tercengang. Terutama Adam yang tidak tahu harus berbuat apa, cowok itu hanya mampu menatap kepergian dengan perasaan berdebar dan serba salah.
"Maaf, Dam. Gue nggak nyangka kalau tindakan gue ini bikin Putri sakit hati," sesal Bian.
Adam belum dapat mencerna apa yang terjadi saat ini. Pikirannya buntu.
"Sebaiknya lo kejar Putri. Jelaskan apa yang terjadi padanya. Satu yang harus lo tahu, Putri masih peduli sama lo. Perbaiki semua sebelum terlambat," Bian menyarankan apa yang sebaiknya harus Adam lakukan. Entah Adam dengarkan atau tidak.
"Luruskan kesalahpahaman ini, Adam. Sekarang atau tidak sama sekali," Bian menekankan.
Tanpa diperintah lebih jauh kaki Adam bergerak cepat. Menelusuri jalan yang tadi Putri lewati. Adam akan mencoba sekali lagi, ya, sekali lagi dia akan menjelaskan pada Putri bahwa yang terjadi tidak yang seperti Putri pikirkan. Putri harus tahu bahwa Adam tidak pernah memandangnya rendah. Dan Putri harus tahu bahwa Adam tidak peduli apa kata orang.
Pada akhirnya Adam dapat menggapai Putri di pelataran parkir sekolah. Ia cekal pergelangan tangan Putri dengan lembut. Membuat Putri mau tidak mau menghentikan langkah. Hal yang pertama kali Adam dapati kala menatap wajah Putri adalah mata cewek itu yang berair, Putri menahan tangis.
"Put," panggil Adam lembut.
Putri memberi tatapan sendu.
"Maaf soal kebohongan Bian. Ah bukan. Maksud aku, aku minta maaf," ungkap Adam tanpa melepaskan genggaman pada pergelangan Putri. Ia ketatkan pegangannya.
Air mata yang sejak tadi Putri tahan akhirnya jatuh. Perlahan mulai terdengar isakan pelan dari bibir Putri. Sesak pada dada Putri semakin memuncah saat bertatapan dengan kedua bola mata Adam.
Adam tidak suka melihat air mata Putri. Bukan ini yang Adam harapkan setelah mereka putus, Adam ingin Putri bahagia setelah lepas dari hubungan yang penuh tekanan dengannya. Adam ingin melihat senyuman tanpa beban Putri, bukan tangis kesedihan.
Atau mungkin Adam salah mengambil keputusan? Apa seharusnya waktu itu Adam tidak mengiyakan permintaan putus dari Putri?
"Aku--" kalimat yang akan Adam ucapkan menggantung. "Aku masih sayang sama kamu, Put," tandasnya.
Putri membeku, kerja otaknya seketika melambat.
"Aku tahu lagu favorit kamu, Put. Aku juga tahu warna kesukaan kamu. Bahkan aku tahu kapan kamu datang tamu bulanan. Dua tahun bukan waktu yang sebentar. Kita pernah sedekat itu, tapi lihat apa yang terjadi setelah kita putus? Menyapa saja enggak. Kita seperti dua orang yang nggak saling kenal. Aku nggak mau kita seasing itu, Putri," Adam mengungkapkan apa yang hatinya rasakan.
"Apa mau lo?" cicit Putri, nyaris berbisik.
"Aku mau kita balikan."
"Gue nggak mau."
TBC
Cerita ini aku ikut sertakan dalam challenge 30 hari menulis selama ramadhan bersama glorious publisher 😊😊Minta dukungannya teman-teman dengan vote dan komen yang buanyaaak 😁
Wish me luck gaess 😉
Ceritanya bakal aku up tiap hari, hayuk di vote dan komen makanya.
Spam next di sini 👉
❤ Awas ada typo ❤
#Challenge30GP
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top