Part 16 - Putus
"Rambut," Mutia mengecek rambut Putri yang diikat satu dengan rapi.
"Oke," katanya.
"Seragam," kali ini mata Mutia menelusuri kemeja dan rok yang dikenakan Putri.
"Rapi," nilainya.
"Wajah," Mutia meneliti wajah Putri. "Masih cantikan gue," kekeh Mutia tanpa rasa bersalah.
Putri membuang napas jengah. Akan sampai kapan mereka berdiri di depan pintu masuk kantin? Sudah lima menit lebih waktu terbuang sia-sia hanya untuk memeriksa penampilan Putri. Mutia memang sangat aneh dan berlebihan sebagai seorang manusia, Putri yang akan ketemuan namun justru ia yang heboh.
"Bisa gue masuk ke kantin sekarang?" tanya Putri penuh penekanan.
"Ya, cepat lo masuk," Mutia mendorong tubuh Putri untuk berjalan. "Eh, tunggu dulu."
Baru dua langkah Putri bergerak suara Mutia menginterupsi. Mau, tidak mau Putri berhenti dan menoleh pada Mutia. "Apa lagi, Mut?"
"Rambut lo digerai aja. Cowok lebih senang sama cewek yang rambutnya digerai. Kelihatan lebih cantik apalagi pas melambai-lambai ditiup angin. Cepat lepas ikatan rambut lo!" perintah Mutia dengan nada menggurui, bertingkah seperti seorang profesional.
Putri membuang napas kesal, namun tetap menurut. Dengan gerakan malas-malasan Putri melepaskan ikatan rambutnya. "Gimana? Gue udah cantik paripurna?"
"Kok jadi mirip mbak kunti, ya?" komentar Mutia polos.
"Kampret lo," kesal Putri dan mendapat respons tawa puas oleh Mutia. Sumpah, rasanya Putri ingin menyumpal mulut Ana dengan dalaman milik Superman. Eh jangan, nanti penggemar Superman mengamuk karena Putri mengambil dalaman idola mereka. Tidak lucu kalau Putri berakhir naas di tangan penggemar Superman. Well, lupakan karena ini tidak penting sama sekali
"Udah, cepat masuk sana!" pintah Mutia. Ia kembali mendorong Putri untuk segera memasuki area kantin yang memang cukup padat. "Tunggu dulu," cekalnya, lagi.
Putri mengerang tertahan, "sekali lagi lo suruh gue pergi trus lo tahan, lo bakal gue mutilasi. Gue cincang daging lo jadi bagian kecil, gue masak jadi pergedel trus gue bagiin ke satu sekolah."
"Sadis bener," gumam Mutia cemberut, ngeri sendiri membayangkan tubuhnya dicincang kecil-kecil kemudian dijadikan pergedel.
"Benar-benar deh, Mut. Gue nggak bakal jadi ketemu sama Ari kalo lo terus bertingkah kayak gini. Jam istirahat bisa-bisa habis duluan," keluh Putri dengan nada frustasi. Ia memasang ekspresi yang tidak enak untuk dilihat.
"Ingat kata-kata gue ini, kalau menurut buku sejarah cewek harus tetap jaim dan stay cool dipertemuan pertama sama cowok. Walaupun hati dag-dig-dug, jantung mau copot, hidung mau mimisan pokoknya harus tetap stay cool."
"Mutia?" panggil Putri pelan.
"Hmm?"
"Ini jam berapa?"
Mutia melihat jam tangan yang melingkar di pergelangan kirinya, "hampir jam dua belas."
"Pantaaas. Udah jam dua belas siang rupanya."
"Pantas apa?" tanya Mutia tidak paham dengan perkataan Putri.
"Pantas lo gila. Hei, mana ada buku sejarah ngebahas masalah jaim-jaiman mau ketemu sama cowok. Yang ada buku sejarah itu bahas sodara-sodara lo," tukas Putri.
"Sodara-sodara gue? Siapa?"
"Manusia purba!"
"Waduh."
~o0o~
Setelah perdebatan yang tidak memiliki manfaat sama sekali Putri akhirnya kini duduk manis di kantin dan saling berhadap-hadapan dengan Ari, cowok yang dicarikan Mutia khusus untuk Putri. Baiklah, untuk urusan wajah Mutia tidak salah pilih. Ketampanan Ari selevel dengan aktor FTV. Namun, untuk sifat dan tingkah laku Putri belum memiliki jawaban.
Apakah lebih baik dari Adam?
Putri melirik Ari yang sedari tadi hanya diam. Cowok ini bisu atau bagaimana? Kenapa percakapan di antara mereka belum dimulai juga? Tidak mungkin Putri lebih dulu yang memulai pembicaraan, dia tidak seagresif itu.
"Ehem," Putri berdehem pelan. Semoga Ari peka arti dehemannya, Putri berharap cowok itu segera buka mulut dan mengajaknya berkomunikasi.
"Ehem," kali ini suara deheman Putri naik satu oktaf. "Ehem, ehem," ulangnya.
"Kakak lagi sakit tenggorokan, ya?"
Ya ampun, gue tua banget dipanggil kakak, Putri mendengkus dalam hati.
"Nggak kok. Oh iya, jangan panggil gue kakak. Tua banget kedengarannya." Putri coba mengulas senyuman tercantik miliknya. Dulu senyuman ini sangat mampan untuk membuat Adam jatuh hati. Oh baiklah, lupakan soal Adam.
"Jadi panggilnya apa?"
"Panggil Putri aja."
"Kalau panggil sayang, boleh?" gurau Ari ditemani gummy smile khasnya. Ini langkah yang bagus untuk mengurai kecanggungan.
"Boleh banget," Putri balas bergurau.
Tawa ringan terdengar dari bibir Ari. Entah kenapa Ari merasa lucu sendiri akan gurauan mereka yang tingkat kelucuannya tidak seberapa.
"Kamu mau pesan apa?" tanya Ari mengalihkan topik diantara mereka.
"Gue ma--" ucapan Putri terputus saat matanya tidak sengaja menangkap sosok Adam, diikuti Bian yang berjalan memasuki area kantin. Jantung Putri berdetak pelan, Adam terlihat seperti hantu di siang bolong bagi Putri.
Adam dan Bian kini duduk tepat di samping meja yang Putri dan Ari tempati. Hanya jarak satu meteran yang memisahkan meja keduanya.
"Kak, maksud aku Putri, kamu mau pesan apa?"
Suara Ari menarik perhatian Putri dari Adam dan Bian . Ia menoleh pada cowok itu dan coba menampilkan senyuman santai. "Terserah lo aja."
"Oke, deh. Bentar ya biar aku pesankan," ujar Ari dan beranjak dari duduknya untuk memesan sesuatu yang bisa dimakan.
Selepas kepergian Ari, Putri berdiam diri dengan kegugupan. Melirik sekilas pada meja sebelah. Sekolah seluas ini, mengapa harus selalu bersinggungan dengan Adam?
"Dam, lo mau pesan apa?" tanya Bian.
"Nanti aja, gue cuma mau nongkrong di sini doang," jawab Adam tanpa beban.
Bilang aja mau mantau mantan. Bian membuang napas kasar.
Tak berapa lama Ari kembali membawa nampan berisi nasi goreng dan es cincau, masing-masing dua porsi. Dengan ramah dia mempersilakan Putri memakan menu pilihannya. Putri meringis, ternyata memulai sesuatu yang baru itu memang tidak mudah. Jika itu Adam yang memesan, Adam tidak akan mungkin memberikan es cincau pada Putri. Karena Putri memang tidak suka cincau. Dan Adam tahu itu.
Ah, Adam lagi.
Demi proses move on Putri akan merubah kesukaan mulai saat ini. Jika dulu dia tidak suka es cincau, maka hari ini suka. Jika dulu ia suka Adam, maka hari tidak suka. Dan masalah selesai.
"Sorry, Kak Putri di bibir kamu ada nasi." Ari membersihkan sudut bibir Putri dengan ibu jarinya.
Melihat adegan tidak senonoh tersebut hati Adam mendadak cenat-cenut. Picisan sekali pasangan ini, begitu pikir Adam.
"Put, kamu suka bunga, nggak?" Ari bertanya.
"Lumayan. Kalau ada yang ngasih gue ambil, nggak dikasih juga nggak masalah. Hmm, kalau lo lebih suka bunga mawar atau anggrek?" Putri coba membangun percakapan seru dengan Ari.
"Anggrek," jawab Ari mantap dan tanpa berpikir
"Hahahaha," tawa dari meja sebelah pecah, itu suara tawa Adam. "Jelas-jelas cewek di depannya suka bunga mawar." Adam tersenyum penuh kemenangan sambil menggeleng-gelengkan kepala.
Putri mendengkus dongkol. Apa Adam menertawakan dirinya?
"Lo lebih suka abu-abu atau putih?" Putri kembali mencoba peruntungan mengenai kesukaan. Semoga jawaban Ari kali ini mampu membungkam Adam.
"Putih." Oh, tidak!
"Hahahaha," suara tawa setan milik Adam kembali mengudara. "Sayang banget cewek di depannya padahal suka warna abu-abu. Kasihan sekali ya, Bian, mereka nggak serasi."
Putri tidak tahu sebelumnya kalau Adam semenyebalkan ini.
"Sumpah, lo kayak orang gila," bisik Bian pada Adam. Untuk pertama kalinya dia malu mengakui Adam sebagai temannya.
TBC
Cerita ini aku ikut sertakan dalam challenge 30 hari menulis selama ramadhan bersama glorious publisher 😊😊Minta dukungannya teman-teman dengan vote dan komen yang buanyaaak 😁
Wish me luck gaess 😉
Ceritanya bakal aku up tiap hari, hayuk di vote dan komen makanya.
Spam next di sini 👉
❤ Awas ada typo ❤
#Challenge30GP
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top