Rotasi Hidup Putri

"Bubuk biru?"

Adara mengangguk cepat karena Fawaz terkejut dengan cerita Adara soal Talita. Fawaz mengangkat bahu dengan menekan bibir bawahnya ke atas. Tatapan pemuda itu lebih fokus pada gawai di tangan. Adara mengintip sejenak dan lalu menghela napas ringan.

"Allahu Rabb, kakak tersayang hamba masih suka chat dengan para gadis, Tuhanku. Pencari jodoh yang hebat," urai Adara dengan nada satire.

Fawaz tertawa, "Hanya mencoba ta'aruf, Adek."

"Setelah tak cocok, lalu abai?"

"Bukan abai, Adara, tapi good bye. Sebelum akad sah, kita harus mengenal dulu calon pendamping hidup kita seperti apa. Daripada putus setelah menikah, lebih baik baik audisi dulu."

"Dikira perempuan itu ajang pencari bakat apa?"

"Ajang pencari jodoh."

Setelahnya Adara mengomel tak tentu arah. "Bagaimana jika adikmu ini dijadikan ajang pencari jodoh juga sama laki-laki lain, apa Kakak mau? Menang terus ya, Kakak."

"Makanya jangan baper kalau dita'arufin. Ikhlas sama Allah."

"Lelah ya debat sama Kakak."

Ingin rasa dalam hati Adara meninju muka sang kakak karena saking kesalnya. Namun hanya bisa menggenggam tangan kecilnya erat dan mengibasnya ke angin. Adara akan berlalu, tapi kemudian Fawaz berbicara dengan suara agak tinggi.

"Bilang pada Talita, mau bubuk warna biru, oranye, merah dan warna pelangi sekalipun, itu tak penting. Isinya tetap sama." Fawaz mendekati Adara dan berbicara pelan. "Itu hanya talbis setan, hanya tipu daya setan. Mereka mudah merasuk ke jiwa yang tak pernah menyebut nama-Nya." Fawaz lalu melambaikan tangan masuk ke dalam mobil dan berlalu entah akan ke mana.

🍀🍀🍀

Omakyah terkejut saat melihat Bunda Salsa merangkul lengan Ayah Beta dari kejauhan. Seperti tak ada masalah; tak sesuai ekpektasinya, perpisahan mereka. Rahang laki-laki bertubuh kekar itu berbunyi gemerutuk saking kesalnya. Ia menghantam mobilnya sampai penyok bagian samping. Tak berhenti di situ, ia melihat Talita melompat kegirangan menemui kedua orangtuanya itu. Semakin murkalah dirinya melihat pemandangan nyata dan bukan dari bolam bercahaya lagi.

"Apa yang sebenarnya terjadi, Adrain?"

Adrain mengangkat bahu, "Kau terkejut? Dan meragukan kekuatanku? Padahal kau yang memberikan bubuk biru itu. Kau melihat sendiri bagaimana sempurnanya aku menabur bubuk biru itu dan kau yang merapal manteranya. Sekarang lihat! lihat dengan mata kepalamu sendiri! Apa kekuatan dari bubuk biru yang kau banggakan padaku dan pada orangtuaku itu manjur membuat keluarga itu kacau? Tidak sama sekali!" Adrain tertawa mengejek. "Kau bangga dengan kekuatan recehmu itu." Adrain bertepuk tangan di depan wajah Omakyah. "Selamat! Kemampuanmu mulai te-ra-gu-kan sekarang." Ia bermaksud membalas ejekan Omakyah kemaren. Saat dirinya gagal membuat Talita lemah dan jatuh hati padanya.

Omakyah memandang tajam lurus pada kebahagiaan di depannya. Kebahagiaan Keluarga Beta. "Aku tahu sekarang apa yang bisa membuat keluarga itu hancur."

"Kekuatan apa lagi, Omakyah?"

"Hati. Buat gadis itu jatuh hati pada seorang pemuda. Maka ia akan lemah."

"Aku sudah mencobanya kemaren dan itu gagal total."

"Karena kau bodoh! Gunakan sebuah hati kali ini. Ketulusan yang nampak di mata. Ia harus jatuh hati, jatuh cinta."

Adrain mulai tertarik dengan ide Omakyah. "Lalu siapa pemuda itu?"

"Kau tahu siapa yang pantas mencuri hati gadis itu. Yang jelas bukan kau! Kau tak mengenal ketulusan. Tapi aku juga tahu, kau tak sebodoh itu untuk menebak siapa yang pantas membuat putri Salsa itu jatuh cinta dan kemudian hancur. Gila atau yang lebih dahsyat lagi, bunuh diri. Lalu selesai kebahagiaan mereka."

Keduanya tertawa terbahak-bahak.

Talita memeluk erat sang bunda dan bermanja di bahu Bunda Salsa. Dengan penuh sayang, Bunda Salsa mengusap rambut ikal sang putri.

"Bunda, aku menyukai kampus itu. Kampus itu dekat dengan kampus Adara. Aku bisa selalu mengunjungi Adara."

"Syukur kalau begitu."

🍀🍀🍀

Pagi itu Talita sudah tampil dengan rok di bawah lutut. Baju lengan pendek dengan motif renda berwarna krem terang. Rambut ikal kecoklatannya yang dibiarkan terjuntai. Hanya rambut di dekat pelipis ia sematkan penjepit tipis tiga baris dengan warna senada baju. Tas selempang berwarna coklat gelap. Ia berdiri di dekat sang bunda dan ayah yang sedang asyik menyantap sarapan paginya.

"Bun."

Bunda Salsa menoleh dan tercekat melihat penampilan baru Talita yang biasanya memakai baju ala putri dongeng dengan jubah panjang.

"Kaukah itu, Putriku?"

Bunda Salsa berdiri dan mengitari tubuh sang putri.

"Kau terlihat sangat cantik, Talita," puji Bunda Salsa. "Tapi darimana kau mendapatkan gaya seperti ini? Adara? Oh, tidak. Sahabatmu itu memakai baju tertutup."

Talita merogoh tasnya dan memperlihatkan sebuah gawai baru yang dibelikan sang ayah kemaren.

"Ayah membelikanku ini saat di mall kemaren. Aku menyukainya. Ayah juga mengajariku bagaimana cara memakainya. Benar kan, Yah?" Ayah Beta mengangguk pelan. "Aku membuka galeri butik dan menemukan kostum ini. Aku menyukainya lalu memesan dan lihatlah, bukankah ini sangat cocok untukku, Ayah? Bunda?"

"Asalnya kau memang cantik, Putriku." Ayah Beta ikut berdiri lalu mendekap sang putri. "Memakai apapun kau pasti terlihat menarik, Sayang," puji sang ayah.

"Ayah terlalu memujiku, tapi aku menyukainya." Talita menilai penampilannya sendiri dari bawah ke atas. Hanya cukup memakai flat shoes saja, Talita sudah terlihat mempesona dan elegan. Ditambah dengan postur tubuhnya yang memang tinggi.

🍀🍀🍀

Talita yang diantar sang bunda memasuki lorong kampus agak gugup. Baru pertama kali ia melihat banyak manusia seusianya. Sempat terbesit ragu dalam hati Bunda Salsa akan keputusannya. Akankah Talita mampu menghadapi pergaulan di luar rumah seperti ini. Tapi ia sudah bertekad dan merancang rencana sedemikian rupa bagi sang putri. Diam-diam tanpa sepengetahuan Talita, Ayah Beta atau siapapun, ia mengirim penjaga pribadi bagi putri semata wayangnya itu.

Setelah mengantarkan Talita mengurusi administrasi dan segala macamnya, Bunda Salsa pamit pada sang putri.

"Bunda ingin kau jaga diri, Nak. Jangan mudah terpengaruh pada siapapun. Bunda percaya. Pak Iwan, sopirmu berjaga di parkir kampus sampai kau pulang. Lepas mata kuliah langsung pulang," terang Bunda Salsa.

"Mungkin nanti aku akan menemui Adara dulu, Bun," izin Talita.

"Bunda hanya percaya pada Adara. Seandainya kalian satu jurusan, Bunda ingin kalian satu kampus dan satu kelas. Sayangnya dia sudah semester di atasmu dan jurusannya menuruti budaya keluarganya," ucap Bunda Salsa.

Terang saja, Adara mengambil kampus Islam dengan Jurusan Tafsir Hadits, sementara Talita di sebuah kampus swasta Jurusan Ilmu Komunikasi.

Talita mengangguk singkat dan melihat ke sekeliling tanpa rasa aneh lagi. "Aku menyukai tempat ini. Kampus yang sejuk dengan pohon-pohon tinggi. Persis seperti di hutan dulu."

Bunda Salsa mengacungkan jari telunjuknya di depan wajah Talita sembari menggeleng kepala pelan. "Tidak. Di sini kau tidak boleh menyebut hutan. Bunda ingin kau melupakan soal hutan. Kau hidup dan tumbuh besar di rumah." Bunda Salsa mengingatkan.

"Tenang saja, Bun. Sesuai kesepakatan kita."

"Baiklah, Bunda pulang dan tolong hubungi Pak Iwan jika kau butuh sesuatu."

"Siap, Bunda."

Bunda Salsa mencium kening sang putri dan kemudian berlalu. Ia merogoh telinganya. Earphone yang mulai tadi terpasang mulai ia tekan ujungnya.

"Sekarang tugasmu dimulai. Awasi dia. Ingat! Kau juga diawasi."

Setelah mematikan sambungan seluler, ia mencabut earphone dan meletakkan di tas. Di parkiran mobil kampus, ia mengacungkan jempol tangan kirinya ke atas tanpa menoleh ke arah mobil di kejauhan sana. Ia memasuki mobilnya sendiri dan kemudian berlalu.

Talita berjalan cepat menelusuri lorong kampus. Denah di belakang kantor akademik lumayan membantunya mengetahui areal kampus yang luas. Kegiatan ospek atau semacam pengenalan kampus dan lain sebagainya tak sempat ia ikuti karena memang Talita bukan terdaftar sebagai mahasiswa baru melainkan mahasiswa transfer dari kegiatan homeschooling untuk seusia mahasiswa. Memang tak ada, hanya karangan Bunda Salsa saja. Tentunya membayar dengan budget tak sedikit pada pihak kampus. Semua demi Talita supaya mengejar cepat pendidikannya. Dan Bunda Salsa tak mau putrinya diributkan dengan kegiatan yang menurutnya membuang waktu itu.

"Mari Nona Talita, saya tunjukkan kelas Nona," tunjuk seseorang di belakang Talita.

Seorang perempuan cantik. Sepertinya ia dosen muda di kampus itu. Talita senang sekali dan merasa tak kebingungan lagi. Putri jelita itu mengikut saja apa yang ditunjukkan sang dosen.

"Ini ruangan BEM, Badan Ekslusif Mahasiswa. Kalau di sekolah menengah namanya OSIS."

Talita mengiyakan saja. Ia bahkan tak tahu apa itu OSIS. Selanjutnya dosen bernama Bu Sinta itu menunjukkan banyak hal padanya.

"Di sebelah sana adalah bagian kelas jurusan komunikasi. Kelas-kelas yang akan ditempati Nona Talita. Dan mari kita lanjutkan. Di belakang itu adalah lapaknya para organisatoris kampus, kegiatan organisasi intra kampus. Namanya Unit Kegiatan Mahasiswa. Ada mahasiswa pecinta alam, persatuan pers mahasiswa, unit kegiatan belajar mahasiswa, pramuka dan masih banyak lagi. Mungkin Nona tertarik aktif di kegiatan mahasiswa, bisa langsung mendaftar ke kantor basecamp masing-masing organisasi itu."

Talita sempat berpikir sejenak. "Seperti cukup seru. Ehmm, Bu Sinta. Apa mereka tidak kuliah sampai harus melakukan banyak kegiatan itu?"

Bu Sinta tersenyum. Kebetulan ia adalah salah satu dosen yang pernah aktif di organisasi pers mahasiswa dulu.

"Sewaktu menjadi mahasiswa dulu, saya sempat aktif di organisasi pers, bagian jurnalistik, seperti hunting news, kegiatan diklat pers se Indonesia, diklat lapang, dan banyak lagi kegiatannya, tapi itu dilakukan ketika sabtu minggu, atau ketika sedang waktu lowong jam kuliah. Selebihnya untuk kuliah, Nona. Karena kita ke sini prioritas utama adalah kuliah dan belajar. Organisasi hanya sampingan, supaya tidak monoton. Membangun link sesama mahasiswa, bisa sambil berbisnis juga, buat menambah pengalaman dan kreatifitas juga. Seperti teman kami kemaren. Dia seorang mapala, mahasiswa pecinta alam. Melakukan banyak pendakian ke hutan-hutan. Dan setelah lulus kuliah, dia menjadi seorang desain grafis yang handal karena menggabungkan antara tema modern dan alam terutama seluk beluk hutan yang penuh misteri. Karyanya sangat bagus, saya akui. Itu yang dimaksud kreatifitas tanpa batas. Ada nilai tambah dalam karyanya."

Walau sebenarnya tak begitu paham dengan penjelasan Bu Sinta, Talita sempat melonjak kegirangan. Apalagi kalau bukan karena menyebut hutan.

"Aku menyukai hutan, Bu Sinta. Sepertinya aku harus ikut kegiatan mapala itu."

"Bila berminat, nanti saya antar, Nona," ujar Bu Sinta.

"Terima kasih."

🍀🍀🍀

Waktu yang semakin berlalu. Kegiatan kuliah dan tugas kampus Talita yang semakin menumpuk membuatnya melupakan jati dirinya yang pernah terasing. Bunda Salsa ikut senang karena kini sang putri mulai terbiasa dengan tetek bengek kehidupan kelam masa lalu. Talita tidak melupakan, tapi menjadikan masa lalu sebagai pengalaman dan pelajaran. Jiwa cerdasnya mengajarkan itu.

Aktif kuliah dan mulai paham bersosialisasi. Kuliah di ilmu komunikasi dan aktif di organisasi seperti keinginannya di mapala juga mendukung kepribadiannya kini. Talita mulai bermetamorfosis dari kepolosan menjadi lincah dan bibit cerdasnya semakin berkembang. Satu hal yang patut diacungi jempol, sang putri tetaplah putri yang ramah dan baik hati pada siapapun. Selain cantik, cerdas, kaya dan baik, tak sedikit mahasiswa atau mahasiswi yang dengan tangan terbuka menjadi kawannya. Berbaik hati dan ikut menjaganya. Hujan pujian tak meninggikan hatinya. Ulat cantik yang kini berubah menjadi kupu-kupu itu tetaplah cantik.

Sebuah kibasan angin menyapa ujung rambutnya saat Talita bersandar di tali ayunan samping rumahnya dengan buku di tangan. Ia hanya melirik dengan tawa kecil.

"Kau menyebalkan, Putri Talita. Kau melupakanku sejak berteman dengan banyak bangsamu," oceh Anina.

Talita menutup buku dan meletakkannya di pangkuan. "Aku hanya fokus dengan kuliahku. Aku sekarang manusia seutuhnya. Jadi tolong jangan panggil aku putri atau nona lagi, nama panggilanku Talita, bukan Putri. Aku menyukai dipanggil Talita saja, oke?"

Anina berdecih kesal, "Gayamu sekarang seperti manusia kebanyakan. Terlalu banyak pola kata yang membuatku banyak berpikir, Putri," omel Anina. "Kau sekarang juga sudah tak pernah memanggilku lagi," imbuhnya.

"Ayolah, Anina. Waktuku banyak tersita di kampus. Tidak mungkin aku memanggilmu dengan banyak orang. Disangka aku gila tanpa gawai di tangan dan berbicara sendiri."

"Kau bisa memegang gawai saat berbicara denganku. Anggap saja kau sedang menghubungi bangsamu yang ada di luar sana."

"Tidak, itu membuang waktuku."

Tanpa ucap lagi, semilir angin itu berlalu begitu saja. Anina sepertinya sedang marah pada sang sahabat. Talita menanggapinya dengan mengangkat bahu dan kembali membuka buku bacaannya.

🍀🍀🍀

Dosen mata kuliah public speaking menyudahi materinya dan langsung keluar kelas. Pun Talita langsung menata buku diktat dan buku catatannya. Sebagian masuk ke dalam tas dan sebagian buku ia dekap begitu saja. Langkahnya kini menuju basecamp mapala. Masih terbilang anggota baru, ia masuk ke dalam agak ragu karena tak ada orang.

"Cari siapa?"

Seorang pemuda sedang duduk di pojok kantor dengan terus mengawasi Talita. Merasa takut di awal, tapi kemudian Talita mencoba biasa. Demi sebuah pendakian dan rasa rindunya menemui hutan. Aneh memang, tapi cerita hutan belum bisa membuatnya move on.

"Aku anggota mapala juga. Masih baru," jelas Talita.

Laki-laki itu berdiri seketika dan menjulurkan tangannya pada Talita.

"Namaku Reza Raihan. Anak mapala menyebutku Bing Bong. Panggil saja aku Bing."

Talita menerima uluran tangan Reza atau yang disapa Bing. Bing memiliki postur tubuh tinggi jauh di atas Talita.  Tubuh jangkung dengan penampilan tak rapi sama sekali. Rambut warna matahari sebahu tanpa minyak rambut atau sekedar pomade sebagai perapinya. Talita sendiri bisa menilai seharusnya penampilan mahasiswa tidak seperti itu. Untung saja aroma tubuh pemuda itu tidak terlalu buruk. Masih ada sepercik aroma parfum yang tercekat. Jika tidak, seorang Talita pasti akan mudah mengatakan 'aku tidak menyukai dirimu (penampilan)'.

"Namaku Talita."

"Di mapala tidak punya nama bagus. Semua anggota punya nama plesetan. Entah nanti teman-teman akan memanggilmu apa," ujar Bing.

"Tidak apa. Tapi aku menyukai nama Talita. Aku berharap, namaku tidak diganti di sini," ujar Talita.

"Terserah."

Bing berlalu begitu saja melewati Talita yang masih berdiri mematung. Sedari tadi ia menahan diri untuk tidak memaki. Sepertinya pemuda itu sangat angkuh dan tak melihat ke arahnya sama sekali. Tidak ada kata ramah dan bersahabat. Padahal setahunya kemaren, Talita di kantor mapala disambut hangat oleh anggota mapala yang lain.

🍀🍀🍀

"Lalu kapan kau akan melakukan pendakian, Talita? Aku pasti akan merindukanmu," ujar Adara.

Seperti biasa, Talita dan Adara bertemu di depan double W kampus. Perbatasan antara kampus Adara dan Talita. Mereka biasanya akan mengobrol di taman tepi jalan di bawah gazebo atau sekedar nongkrong cantik di kafe sekitar tempat itu.

Talita tertawa kecil melihat ekspresi wajah sang sahabat. "Kabarnya liburan setelah semester ini. Aku pasti akan menyukainya."

"Dan aku akan mendukung apapun aktifitasmu asal kau bahagia, Saudariku. Tapi pesanku, berhati-hatilah karena hutan itu gelap dan menakutkan," pesan Adara.

"Jangan berlebihan, Adara. Kau lupa kalau aku ini orang hutan?"

"Maksudku bukan lagi sebagai orang hutan. Tapi pergaulanmu dengan lawan jenis pula. Aku tak mau mereka mencederaimu. Pesanku, hati-hati dengan lawan jenis bernama laki-laki. Dari sebagian mereka, kita tidak tahu bagaimana isi hati dan isi otaknya. Jadi aku hanya bisa mendoakanmu semoga kau baik-baik saja. Jangan terlalu dekat dengan laki-laki, itu pesanku!"

"Kenapa sekarang kau seperti bunda, Adara?"

"Karena aku dan Bunda Salsa sama-sama menyayangimu," jelas Adara.

"Baiklah, aku ingat pesanmu untuk tak terlalu dekat dengan mereka, bangsa laki-laki."

"Sip. Kau harus mengingatnya selalu."

"Oke."

🦋🦋🦋
Bersambung.
Situbondo, 2 September 2020.
______________________________________

Cerita ini Insya Allah bakal panjang.
Udah siap baca cerbung cerpan??😅

Vomennya dunds,, ramaikan yupp, ajak temen dan keluargamu.

Jangan lupa dukung semangatku dengan follow akun wp dan ig mawarmalka,,

Maafkan typo bertebaran karena emang belum sempet baca2 lagi😅 kesusu publish.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top