Putri
"Jadi, Bapak dari Bunda Salsa itu bukan orang sembarangan, Nek?" tanya Adara lebih lanjut.
Ibu Arum yang dipanggil oleh Adara itu pun mengangguk. Ia mengenang bagaimana kakek dari Talita adalah seorang yang alim dan paham betul soal agama. Ayah Beta datang dengan kesederhanaannya. Juga kaya dan bermartabat. Sayangnya dalam segi agama, dia tidak tahu apa-apa. Menghadapi serangan demi serangan Omakyah, Ayah Beta bertahan dengan meminta bantuan orang-orang yang menurut suami Bunda Salsa itu sebagai orang sakti. Ibu Arum sudah pernah memperingatkan Bunda Salsa soal ilmu hitam, tapi namanya pasangan hidup. Pasti lebih diikuti oleh Bunda Salsa.
"Lalu kakek Talita ke mana saat manusia bernama Omakyah itu menyerang Talita dan orangtuanya, Nek?"
"Meninggal."
"Lalu ibu dari Bunda Salsa?"
"Salsa ditinggal ibundanya ketika masih kecil. Karena itu bapaknya sering menitipkannya padaku. Aku tak tahu ibunya ke mana. Apakah sekedar pergi atau meninggal. Saat aku bertanya, kakek Talita tak menjawab. Tak kulanjutkan pertanyaan itu demi menjaga perasaan kakek Talita."
Adara menghela napas panjang. Tak disangka, hidup Talita dari orangtua ibunya saja sudah serumit itu. Ia merasa tambah empati pada sang sahabat. Kasihan dan menyayanginya.
"Siapa nama kakek Talita, Nek. Jika aku boleh tahu?"
"Yang aku ingat nama panggilannya Darsan, Ahmad Darsan. Aku mengenalnya sejak kecil. Ia mengaji pada orangtuaku. Dulu kami sempat dijodohkan, tapi aku tidak mau karena aku punya calon sendiri. Aku menikah, dia pun menikah. Setelah itu tak ada kabar karena dia ikut istrinya pindah desa. Putrinya lahir bernama Salsa. Sangat cantik seperti keturunan belanda. Rambutnya agak pirang. Lihatlah Talita, bukankah wajahnya tak seperti orang Indo kebanyakan?" Ibu Arum menatap wajah Adara yang kecantikannya khas pribumi.
"Mungkin Kakek Darsan menikah dengan anaknya orang belanda, Nek," tebak Adara.
"Mungkin saja."
Ibu Arum dan Adara terdiam dengan pikiran masing-masing, mungkin masih seputar kehidupan Talita dan orangtuanya. Terdengar tawa dua manusia berbeda jenis kelamin. Saat Adara dan Ibu Arum menoleh, ternyata Fawaz dan Talita sudah di dekat mereka.
Adara menautkan kedua alisnya, "Bagaimana kalian bisa berdua?" tanyanya.
"Panggilan jodoh," jawab Fawaz sekenanya.
"Oh, tadinya aku ingin menemuimu, Adara. Dan aku melihat Kak Fawaz yang juga ingin menemuimu. Jadilah kami ke sini bersama."
"Kalian selalu terlihat bersama. Jangan-jangan ...." tebak Adara.
"Benar, tadi kami hanya tidak sengaja bertemu."
"Mungkin kode kami berjodoh. Sudahlah, Adikku sayang. Kau seolah bukan orang beriman saja. Allah menciptakan makhluk-Nya berpasangan. Dan mungkin saja ini sinyal perjodohan kami," canda Fawaz.
Setelahnya Fawaz tertawa lebar. Talita ingin memukul lengan Fawaz, tapi Fawaz menghindar. Tangan Talita hanya bisa melayang di udara. Adara tahu sang kakak hanya bercanda, tapi dalam hati Adara mengamini.
"Talita piawai sekali memukul nyamuk di udara."
Bibir mungil Talita saling merapat karena gemas akan tingkah kakak sahabatnya itu. Adara tertawa melihat sikap Talita.
"Baru tahu 'kan, Talita. Bagaimana menggemaskannya kakak satu-satuku ini?" tanya Adara.
"Yah, sedikit menyebalkan."
"Dan kalian para gadis, kenapa nampak lucu sekali bila marah? Sepertinya kalian akan gagal menjadi wanita keibuan."
Tak lama setelahnya ranting di bawah kaki Adara dan Talita menjadi alat penyiksaan bagi lengan Fawaz.
"Ampun, Hei gadis!" Fawaz menutup wajahnya dan menghindari pukulan Adara dan Talita.
"Garing!" cemooh Adara.
"Sudah jangan bercanda lagi. Kalian bertiga seperti anak kecil," ujar Ibu Arum diiringi tawa kecilnya. Ia yang selalu kesepian sebentar terhibur.
"Nenek Arum tahu tidak, Kak Fawaz ini harus diberi pelajaran. Sebagai perwakilan para gadis di luar sana yang sering ia rayu," celoteh Adara.
"Fitnah, Ibu. Oh iya, kenalkan, nama saya Fawaz, Ibu. Kakaknya Adara, Adara sahabat Talita."
Ibu Arum tersenyum dan memegangi rambut samping Fawaz. Fawaz agak merunduk karena tingginya tak sepadan dengan postur tubuh Ibu Arum.
"Ibu? Panggil aku Nenek Arum, Nak."
"Nenek? Oh, tidak. Ibu Arum masih sangat belia. Aku yakin, usia Ibu belum setengah abad. Ya, 'kan?"
Ibu Arum tahu pemuda di depannya hanya mengeluarkan lelucon recehnya. Ia jadi tertawa kecil. Wanita berusia senja itu kembali menepuk pipi Fawaz seolah ikut gemas. "Kau sangat bandel sekali," ujarnya.
🍀🍀🍀
Kini mahoni jadi saksi bisu antara keduanya. Talita dan Bing yang sama-sama bergeming.
"Aku tak butuh penjelasan. Lagi pula aku bukan apa-apamu," tukas Bing.
"Kak Fawaz itu seperti kakakku sendiri, Kak Bing," jelas Talita.
"Tak apa."
Bing bangkit dari kursi kayu panjang yang ada di depan camp mapala. Lalu pergi begitu saja. Talita menoleh dan berdiri di belakang Bing.
"Baiklah, aku mundur, Kak."
Bing berhenti dan membalikkan badan. Menatap nanar pada Talita, "Apa maksudmu?"
Talita menelan salivanya, "Kakak mengerti maksudku. Aku mundur."
Gadis itu merasa lelah dengan perasaannya yang bertepuk sebelah tangan. Segala perhatian ia berikan. Namun seolah percuma. Merasa tali ikatan hatinya itu tak normal. Sudah merasa cukup. Bing Bong seolah acuh tak acuh padanya. Seringkali datang dan pergi sekenanya.
Talita berbalik dan mengambil tas selempangnya yang ada di meja. Saat berbalik lagi hendak pergi, tubuhnya menubruk dada bidang seseorang yang langsung memeluknya.
"Jangan pergi. Aku paling takut kehilangan," bisiknya ke telinga Talita membuat Gadis itu terisak pelan karena haru bercampur lega. Ternyata perasaan yang sama tak terucap itu terbalas akhirnya.
"Kakak serius, 'kan?"
Bing melepaskan pelukannya dan menatap lekat Talita. Ia mengusap puncak kepala si putri.
"Jangan banyak tanya lagi ya?"
Talita tersenyum manis dan mengangguk. Ia menyandarkan kepalang ke dada Bing. "Jangan tak mengacuhkanku lagi, Kak. Jika Kak Bing abai dengan ucapanku saat ini, aku akan mundur perlahan dari Kakak. Karena aku bukanlah seorang pejuang. Aku cuma gadis penurut. Menuruti apa maunya keadaan. Ingat ucapanku, ya, Kak?"
Mendengar ucapan Talita yang begitu ringkas dan padat, Bing jadi berpikir sejenak lalu tersenyum tipis. "Kau mengancam?"
Dengan jujurnya Talita menggeleng pelan, "Tidak, aku hanya menjelaskan. Aku akan pergi tanpa memaksa." Ia terdiam sejenak dan membalas tatapan pemuda di depannya. "Aku terbiasa menerima setiap keadaan. Walaupun kadang aku tak menyukainya," imbuhnya.
"Dan aku terbiasa belajar dari setiap keadaan. Demi gadis di depanku, aku akan belajar untuk acuh padanya. Karena aku tak mau dia mundur walau selangkah. Aku akan mencegahnya."
Senyum mulai terbingkai dari Talita teruntuk Bing. Kekasih yang tak disebut. Cinta dan rasa yang tak diikrarkan. Bagi Bing dan Talita, biar begitu saja. Mereka hanya akan menjalani. Belajar menjalani dan mengenal perasaan masing-masing.
🍀🍀🍀
Sisir berbahan dasar emas itu tersapu pada rambut kecoklatan Talita. Sembari menyisir rambut milik sang putri, Bunda Salsa juga mengusap anakan rambut yang menghalangi wajah sang putri. Ia melihat jelas bagaimana sang putri tak berhenti tersenyum semringah sedari tadi. Talita tidur di pangkuan Bunda Salsa di atas sofa ruang keluarga.
"Dia menyatakan perasaannya padamu. Katakan bagaimana sikapnya waktu itu? Bunda ingin tahu," tanya Bunda Salsa.
"Dia hanya mencegahku pergi, Bun. Kak Bing mengatakan bahwa dia takut sekali namanya kehilangan."
Anggukan pelan Bunda Salsa cukup membuat Talita paham bahwa sang bunda mengerti maksudnya.
🍀🍀🍀
Di atas rerumputan hijau dan hanya diterangi cahaya purnama, Talita menikmati kebersamaannya bersama Bing Bong. Bing memangku kepala belakangnya dengan tangan. Tubuhnya berselonjor santai pada seutas tali ayunan yang terikat antara kedua pohon palem besar. Keduanya kini berada di Taman Nirwana. Taman beberapa hektar yang di kelilingi pohon tinggi menjulang yang memang dikhususkan untuk pengunjung supermarket yang ada di depan. Di sampingnya, tersaji kolam membentuk selokan besar dengan beribu ikan koi. Menariknya, pengunjung bebas memberi para ikan itu makanan. Talita duduk di bawah dengan sesekali menyuapi Bing buah anggur.
"Begini saja sudah berasa di surga. Ada bidadari yang sedang menyuapi buah," goda Bing sembari melirik Talita.
Talita tersenyum renyah dengan sedikit malu dengan wajah agak tertunduk. Bisa dipastikan pipinya yang putih mulus mulai berubah warna menjadi merah jambu muda.
"Pantas bila taman ini dinamakan Taman Nirwana yang artinya taman surga," celetuk seorang laki-laki di dekat mereka.
Merasa suara itu terdengar tak asing, Talita tersentak dan mengangkat wajah. Melihat siapa yang datang, ia lantas bangkit dan hendak berlari pergi bila tangannya tak segera digenggam oleh Bing.
🦋🦋🦋
Bersambung.
Situbondo, 5 Oktober 2020.
__________________
FYI, aku jadi bertanya sendiri, karya ini gak menarik hati yaa?? Tapi tak masalah sih, karena aku ngarangnya asal aja😄
Aku gak baca lagi setelah ngarang ini. So bila ada typo or bahasa planet di bab ini. Kasitau n maafkan dakuhh yaa,, kenapa pelit komen siiihhh
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top