Pernikahan Putri
Pernikahan pun digelar. Pernikahan besar-besaran yang kharismatik antara dua keluarga yang sama-sama kaya raya dan bergengsi.
Talita yang masih belum mengerti juga makna pernikahan hanya bisa menurut saja. Baginya pesta itu layaknya pesta penyambutan seperti yang pernah ia alami dulu. Hanya digelar lebih meriah. Di sampingnya duduk manusia dengan jenis kelamin berbeda darinya. Memiliki aura ketampanan yang kuat. Saat Talita menatap pemuda yang sudah sah menjadi suami yang kini duduk di sampingnya itu, ia hanya terheran. Wajah dengan warna aura biru. Ia tak mengerti. Banyak hal yang terlalu sulit dijelaskan. Entah kenapa, Talita merasa nyaman di dekat orang baru lain seperti Adara atau Fawaz. Tidak ada keanehan. Tidak ada aura atau warna-warna aneh di wajah mereka.
Talita juga merasakan tamu undangan yang hadir beberapa memiliki warna-warni aura yang menurutnya berbeda. Walaupun menurut mata telanjangnya itu wajar saja, tapi hati terdalamnya mengingkari sesuatu yang lain.
"Aku tak menyukai keadaan ini," ungkap Talita.
Lelaki di samping Talita yang tak lain suami sah Talita menoleh. Alunan pelan irama musik di pesta itu menyelamatkan telinganya untuk mendengar ucapan sang istri. Ia mendengar sekejap saja.
"Apa yang tak kau sukai, Putri Talita?"
Manik mata hazel kecoklatan milik Talita itu memandang lekat sang suami cukup lama. "Dirimu, dan kemeriahan ini," ujar Talita kemudian.
Talita mengangkat rok panjangnya yang besar dan berat itu untuk bangkit dan berlalu. Namun tangan sang suami menahan pergerakan tubuhnya hanya dengan menyentuh bahunya saja. Seakan tersetrum sesuatu, Talita langsung duduk dan terdiam. Perasaan Talita langsung menciut begitu saja.
Selama ini Talita selalu melakukan apapun menurut kehendaknya, tapi sekarang saat ada seseorang yang ingin mengganggu kehidupannya, menghalangi keinginannya, ia jelas marah. Tapi sayangnya, raga mungil miliknya seolah patuh pada tangan kekar dan dingin itu. Ia semakin menolak berada di sisi laki-laki itu.
Dari kejauhan tatapannya terpatri pada sang sahabat yang malah melempar senyum padanya. Siapa lagi kalau bukan Adara. Dan di sampingnya, sang sahabat bergelayut manja pada sang kakak. Entah kenapa bahasa tubuh pemuda itu lebih ia rasa menentramkan ragawinya yang sekarang sedang panas karena dibakar api amarah.
Sekilas, Fawaz melihat pada Talita dan hanya melempar mimik wajah datar. Ada perasaan tersendiri bagi Talita. Ia ingin menemui keduanya. Pergi bersama mereka dari pesta yang sama sekali tak ia mengerti untuk apa. Pemuda yang perlahan ia mengerti sebagai suami pun, sudah mulai membuatnya muak.
Talita melirik pada Ayah Beta dan Bunda Salsa di bawah altar sana yang menemui para tamu undangan seolah tak menggubris tatapan melasnya. Ia bingung, mengapa semua orang seolah tak peduli pada dirinya. Bukankah pesta itu juga untuk dirinya, bukan?
Tibalah acara temu tamu. Talita harus menjabat banyak tangan yang membuatnya malah semakin merasa terpuruk. Bukannya menyenangkan malah melelahkan. Satu harapannya, Adara dan Fawaz segera yang menyalaminya. Harapannya tak terabaikan. Fawaz menangkupkan tangan padanya yang ia balas dengan senyum penuh bahasa. Bahasa harapan akan pertolongan. Dan entah tiupan angin dari mana, Fawaz seolah mengerti. Di antara banyak kerumunan tamu, ia sempat membisiki sesuatu pada Talita. Adara bersalaman kemudian lalu memeluk sang sahabat penuh haru. Talita yang tak bisa berkutik, hanya bisa tersenyum tipis.
🍀🍀🍀
"Aku tak menyangka, Talita sudah menikah. Dia sahabat baru, tapi aku sudah kehilangannya," ungkap Adara di mobil.
Fawaz menoleh sekejap dan kemudian menggosok ujung kepala sang adik penuh sayang.
"Nantinya kamu juga akan menyusul Talita. Menikah lalu mengabaikan kakakmu ini."
"Kakak juga."
Fawaz tertawa ringan, "Semua akan punya kehidupan masing-masing, Adik."
"Tapi sepertinya, Talita kurang menikmati pernikahannya itu. Susah rasanya melihatnya tertawa. Tersenyum memang, tapi senyum tipis, senyum pelit. Apa Talita tidak menyukai suaminya itu?" tebak Adara.
Fawaz tertawa, "Jelas sekali di wajahnya kawanmu itu menyesal. Apalagi setelah membandingkan kakakmu ini dengan suaminya."
"Apa?"
"Jelas lebih tampan kakakmu ini-lah."
Adara menarik sebelah ujung bibirnya, "Pede tingkat tower." Fawaz kembali terbahak.
Ingatan Fawaz kembali melayang pada Talita. Ia bisa merasakan getaran tak menyenangkan saat di dekat suami Talita. Tatapannya kembali fokus menyetir.
Aku hanya tak mau berburuk sangka. Semoga semuanya baik-baik saja.
Sengaja Fawaz melihat tatapan Talita padanya. Ada bahasa kegelisahan di mata gadis itu. Fawaz menarik napas berat. Kenapa ia harus ikut campur soal hidup gadis dari sahabat adiknya itu. Sementara dengan para gadis yang pernah ia temui saja hanya sekedar mengenal sifat dan perilaku saja.
Fawaz akui Talita berbeda. Bukan hanya soal cantik dan berbudibahasa, tapi gadis itu tulus dan apa adanya. Sebenarnya Fawaz menginginkan pendamping hidup yang seperti itu. Baginya, memilih pasangan hidup itu bukan soal fisik atau materi, tapi juga ketulusan. Orang yang tulus akan selalu melakukan semuanya dengan rapi karena semua yang dilakukannya dari hati. Susah baginya mencari gadis seperti itu. Baginya tak penting lagi gadis dengan banyak ilmu atau harta, karena yang terpenting adalah ketulusan. Karena sebuah nasihat akan diterima baik oleh hati yang baik.
"Semoga Talita bahagia. Dia gadis yang baik, Kak," harap Adara.
Fawaz menganggukkan kepalanya pelan, "Sayangnya kamu salah menyebut dia gadis yang baik."
"Maksud Kakak apa?"
"Karena sebentar lagi dia tidak gadis lagi."
Adara mendesis. Hal seperti itu saja masih penting kakaknya sebut. Tangannya gatal lalu menjungkil lengan sang kakak yang membuat Fawaz kembali terbahak.
🍀🍀🍀
Selepas sholat maghrib berjamaah. Keluarga itu duduk melingkar di kursi yang mengitari meja makan dengan beberapa hidangan yang sudah terhampar di atasnya. Malam dengan udara yang cukup sejuk karena gerimis masih melanda dari senja tadi belum juga usai.
Pintu diketuk dari luar oleh seseorang. Umi Yasmin bergegas membuka pintu dan terperanjat melihat siapa yang datang. Tamu itu bajunya basah oleh air hujan. Umi Yasmin celingukan keluar menyapu pandangan ke sekitar halaman rumahnya.
"Nak Talita tidak membawa mobil?"
Perempuan itu menggeleng dengan tubuh menggigil. Umi Yasmin segera menuntun gadis itu masuk. Hatinya merasa iba saja.
"Adara, ajak Nak Talita ke kamarmu dan berikan dia bajumu."
Adara yang masih setengah terkejut melihat Talita yang kini di depannya seketika tergugu dan lantas menuruti perintah sang umi.
Adara menyerahkan satu stel pakaian lengkapnya pada Talita dan menyuruh sahabatnya itu segera membersihkan diri. Ia sengaja tak banyak bicara melihat tubuh sang sahabat tak kuat menahan dingin. Wajah Talita terlihat sangat pucat.
"Jangan lupa mandi air hangat," ucap Adara yang langsung dibalas anggukan oleh Talita dan segera masuk ke kamar mandi.
Tanpa banyak bertanya pula, keluarga itu mengajak Talita makan malam bersama.
Setelah membaca basmalah, keluarga itu menikmati hidangan makan malam yang kemudian ditutup dengan hamdalah. Lalu lanjut melaksanakan salat isya berjamaah.
Talita melihat mereka dengan banyak pertanyaan dalam otaknya. Namun ia tak banyak bertanya. Pikirannya melayang saat kejadian di rumahnya tadi selepas pesta berakhir.
Semua tamu undangan menyalaminya. Lalu pergi begitu saja. Sementara bahunya yang sempat tersetrum kemudian kaku akibat ulah pegangan suaminya kembali melunak setelah ia menyebut untaian kata yang dibisiki Fawaz tadi. Ia mencoba dan ternyata perlahan kekuatan itu memudar dan menguap menghilang. Talita memperoleh kekuatannya lagi. Namun jiwanya seakan terpukul. Ia yang biasa dimanja dan dicukupkan semuanya, hanya bisa meringkih dengan nestapa yang ia rasakan sendiri. Pernikahan yang malah mendatangkan derita batin baru baginya. Dan ia tak sanggup bercerita pada siapapun. Tak seperti biasanya.
Bahkan tak sanggup bercerita pada Bunda Salsa, tubuhnya sudah diboyong sang suami masuk ke dalam kamar. Talita ketakutan. Ia menyebut kata itu lagi sembari memejamkan mata. Ia takut dan bingung karena laki-laki yang ia sebut suami itu mulai tak sopan padanya. Saat ia mencoba menolak dan mengelak, bukannya sebuah rayuan yang ia dapat, melainkan kekuatan aneh yang yang membuat tubuhnya kembali melemas. Baru sekarang ia merasa putus asa, tapi bisikan Fawaz tadi kembali terngiang dalam ingatannya. Memberikan angin segar.
Sebutlah nama ALLAH sebanyak mungkin.
Allah, Adara juga sering menyebut kata itu di kala mereka bermain bersama. Demi Allah, Insya Allah, Masya Allah. Adara sering menyebut kata-kata itu. Talita yang tidak begitu mengerti, mendengarkan saja. Baginya keselamatan diri adalah hal mutlak. Dari kecil ia tumbuh besar di hutan. Baginya pula dirinya harus tetap bangkit dan bertahan.
Allah, Allah, Allah, siapapun Kamu, tolonglah aku.
Tak langsung bereaksi memang, tapi secara perlahan, kekuatan dari suaminya itu seolah luntur meluruh. Talita pura-pura merasakan efeknya. Saat sang suami lengah, ia keluar kamar meloncati jendela menghindari kerumunan.
Berkali-kali Talita memanggil Anina. Namun angin semilir itu tak jua datang. Dalam tebakannya, ia pikir pasti rumahnya kini dipasang pagar gaib yang sangat dahsyat hingga tidak ada kemampuan yang bisa menembus. Demi keselamatan diri, nama ALLAH tetap ia rapalkan. Ia masih percaya ada kekuatan yang Maha Dahsyat dari semua kekuatan yang melingkupi sekitarnya kini.
"Allah, Allah, lindungi aku," rapal Talita.
Membuka gerbang saat satpam lengah sedang mengobrol bersama kawannya. Talita menyelinap keluar. Gerimis dan dingin menjadi suasana menjelang gelap yang cukup menyelamatkan dirinya karena banyak pikiran yang tak lagi fokus. Mulai melangkah agak jauh dari rumah, ia bersyukur ada taksi yang lewat. Ia tahu kendaraan itu yang bisa membawa orang keseluruhan. Tak pernah memegang namanya uang, ia menyerahkan perhiasan yang ada di jari. Cincin pernikahannya yang tak ia mengerti maknanya apa. Tujuannya kini satu, menemui Adara dan keluarganya. Sopir taksi berbinar mata saat menerima ongkos taksi berupa cincin mewah itu.
Seseorang menepuk bahunya pelan. "Talita, kau baik-baik saja?" Adara di depannya kini dengan wajah manis dan sepaket senyum tulus.
Talita menyadari kini ia sudah berada di antara keluarga yang menenangkan kalbunya. Ia mengangguk perlahan. Adara merasa iba. Biasanya sahabatnya itu akan bercerita banyak dengan tawa lebar, tapi yang dilihatnya kini adalah Talita yang banyak terdiam dan seolah ketakutan.
Bersyukurlah Adara mengerti. Ia menyuruh Talita beristirahat di kamar tamu. Talita menolak, ia tak mau Adara meninggalkannya sendirian. Talita meminta tidur di kamar Adara, di sebelah kawannya itu. Adara mengiyakan saja.
"Sekarang beristirahatlah. Insya Allah, di sini kau aman."
Sebelum Adara keluar kamar, ia sempat menyemprotkan wewangian ke sekeliling kamar. Berputar berlawanan arah jarum jam. Dari arah kanan ke kiri dengan mengebikkan bibirnya. Entah rapalan apa yang sedang Adara ucapkan. Talita merasakan sesuatu yang mengusik, tapi setelah itu, ketenangan kembali menyela ke dalam jiwanya. Adara menoleh pada Talita.
"Apa yang kau lakukan, Adara?" tanya Talita.
"Ini hanya air bidara yang kucampur dengan minyak zaitun dan minyak habatussauda. Kucampur dengan sedikit aroma terapi yang menenangkan. Lalu yang kubaca barusan ayat kursy namanya. Tujuannya adalah memohon perlindungan kepada Allah melalui media ini. Sudahlah, jangan banyak berpikir. Ini tidak semenyeramkan isi pikiranmu." Adara cekikikan. "Aku akan segera kembali. Beristiratlah dengan tenang."
Dengan sedikit kaku, Talita mengangguk perlahan. "Terima kasih banyak, Adara."
Adara tersenyum sembari mengangguk dan berlalu.
Adara melangkah menuju ke ruang tamu tempat abah umi dan kakaknya berkumpul.
"Bagaimana keadaan Talita, Adara? Apa yang sedang terjadi padanya?" Umi Yasmin menjejali Adara dengan pertanyaan.
"Mi, sepertinya Talita tertekan. Adara belum berani bertanya. Tunggulah besok saja."
"Apa tidak beresiko membawa temanmu itu ke sini? Apalagi dia pengantin baru," tanya Fawaz.
Adara tak menjawab. Ia meluruskan pandang pada sang abi berharap adanya jawaban. Yang lain mengikuti arah pandang Adara melihat pada Abi Nabhan.
Abi Nabhan tampak tenang. Ia terkekeh pelan dan mengelap tepian kaca matanya.
"Abi terserah kalian. Kalau menurut abi ya tidak ada masalah. Toh, teman Adara kan datang sendiri ke sini bukan kita yang menyuruh," terang Abi Nabhan.
"Kalau ada yang menyalahkan kita akhirnya, bagaimana, Bi?" Umi Yasmin mulai cemas.
"Loh, ya kita jawab saja tidak tahu. Masak ada tamu langsung kita usir. Apalagi sedang sakit begitu. Kita sebut saja atas nama kemanusiaan. Kalau malah tambah parah di jalan, bagaimana hayo? Yaa, bilang saja niat kita hanya menolong. Selesai urusan. Kalau kita tidak salah terhadap suatu urusan, jangan takut. Ada Allah, katanya beriman, kok malah takut." Abi Nabhan kembali terkekeh.
"Fitnahnya itu, Bi. Tamu kita itu sudah punya suami. Ada yang harus dia hormati," sela Fawaz sembari mengambil bantal kursi di punggungnya yang kemudian ia letakkan di pelukannya.
"Kita jelaskan nanti pada keluarganya. Kalau tamu kita itu dalam keadaan sehat, barulah kita suruh pulang. Tapi sekarang, Abi lihat dia masih sangat lemah. Biarlah dia beristirahat sejenak di sini. Lagi pula ada Adara. Besok, kita bisa memintanya pulang dengan sopan," tukas Abi Nabhan kemudian.
"Bi, sepertinya yang aku lihat Talita bukan kurang sehat, tapi lebih dari itu. Secara fisik, dia sudah lebih baik, tapi psikisnya, ia seperti orang yang butuh terapi," jelas Adara.
Umi Yasmin mengusap pelan bahu Adara, "Kita tetap harus menyuruhnya pulang besok, Nak. Dia punya keluarga sendiri. Biarlah keluarganya yang mengurus."
Adara ingin menjelaskan. Namun Fawaz keburu berdeham. Adara paham maksud Fawaz. Jadinya Adara mengangguk saja.
🥁🥁🥁🥁🥁
Bersambung.
Situbondo, 17 Agustus 2020
______________________________________
Dirgahayu proklamasi Indonesia! HUT ke 75 RI!
Salam merdeka!
Salam sejahtera!
--------------
Kasi vote and komen terbaik yang banyak yaa,
Insya Allah, aku fokus sama cerita ini dulu.
Jangan lupa follow ig sama wp @mawarmalka yapp😘😘😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top