Kekuatan Putri
Suara kokok ayam masih saja terus bersahutan. Talita membuka mata dan melihat langit-langit kamar. Ia baru tersadar itu bukan kamarnya. Saat mencoba mengingat lagi, semalam ia kabur dari kamarnya sendiri dan menginap di rumah sahabatnya, Adara. Kepalanya menoleh ke samping. Terlihat selimut tebal Adara sudah tersibak. Ia menghidupkan lampu di atas nakas di samping tempat tidur dan melihat jam di dinding, hari masih gelap, jam dinding menunjuk angka empat lewat beberapa menit.
Setelah menyibak selimut tebalnya, ia beranjak keluar kamar dan mencari keberadaan Adara. Lampu di luar kamar semuanya terang. Ia berjalan tanpa alas kaki mencari orang di rumah itu. Langkahnya terhenti pada sebuah ruangan yang tak begitu luas. Yang Talita lihat, Adara dan keluarganya sedang melakukan ritual bersama. Ia tahu itu yang dinamakan salat. Salat berjamaah. Ia melihat Abi Nabhan yang memimpin ritual itu. Terlihat dari gerakan yang ditiru oleh keluarga di belakangnya. Talita bergeming saja memperhatikan mereka. Lagi-lagi nama Allah yang disebut dalam setiap gerakan. Talita tersenyum tipis. Dalam hati ia bertanya, mengapa keluarganya tak pernah melakukan itu? Bukankah yang jelas terlihat, keluarga Adara lebih damai tanpa ilmu-ilmu aneh yang seperti keluarganya sendiri sibukkan selama ini?
Setelah salam, Adara dan keluarganya terperanjat kaget melihat Talita berdiri di belakang mereka tanpa suara dan malah berdiri mematung.
Abi Nabhan memberi kode pada Adara agar mengajak Talita masuk ke kamar. Ia khawatir melihat wajah sahabat anaknya itu masih sedikit pucat.
Adara melepas mukena dan mengajak Talita masuk. Namun Talita menolak.
"Aku senang melihat kalian. Izinkan aku bersama kalian," ujar Talita.
Abi Nabhan tersenyum, "Duduklah, Nak, bersama kami. Mari kita berdoa bersama kepada Allah," ucap tenangnya.
Adara mengajak Talita duduk di sampingnya dan juga meminta Talita menengadahkan tangan. Walaupun Talita tak mengerti maksudnya apa, ia menurut saja.
"Kau cukup bilang, Aamiin, Ya Allah," bisik Adara ke dekat Talita. Talita mengangguk senang.
Matahari yang mulai naik ke atas singgasana langit. Bertambah terang dan panas. Adara mengajak Talita membersihkan rumah. Keluarga Nabhan bukan golongan ekonomi kelas menengah ke bawah, tapi mereka punya prinsip jika mampu, mereka akan lakukan sebisa mungkin tanpa terlalu banyak mengandalkan para asisten rumah tangga.
Setelah semua pekerjaan dirasa selesai, keluarga itu menikmati sarapan pagi yang hanya berupa tujuh butir kurma dan segelas susu yang dicampur sedikit madu.
Talita sedikit merasa aneh. Dia bertanya soal roti. Umi Yasmin hanya tersenyum dengan menggelengkan kepala.
"Maafkan kami, Nak," kata Umi Yasmin.
"Tidak apa-apa. Aku sudah banyak merepotkan keluarga ini."
"Lain kali kalau mau ke sini bawa roti saja. Di sini kita tidak stok roti," sela Fawaz.
Adara langsung melirik tajam pada sang kakak. Fawaz menanggapinya dengan kekehan ringan.
Talita mengambil kurma di piringnya. Sebelum memasukkan ke dalam mulut, ia memandangi kurma di tangan cukup lama. Perlahan ia memasukkan ke mulut dan mengunyahnya perlahan pula. Merasa lebih enakan, ia kembali memasukkan kurma satu per satu sampai tujuh kurma di piringnya habis.
"Oh iya, aku baru ingat. Aku mempunyai roti gandum," ucap Fawaz.
"Kakak! Kenapa ingatnya baru sekarang? Alasan! Bilang saja pelit. Ingat ya, Kak. Orang bakhil dibenci Allah," tegur Adara.
"Sebentar ya, Talita. Aku ambilkan dulu," ujar Fawaz.
Saat Fawaz hendak bangkit mengambil roti gandum, Talita melarangnya. Ia beralasan sudah kenyang.
"Masuk akal alasannya. Tujuh butir kurma, belum kenyang masa?"
Adara memicingkan mata. Kejam benar sang kakak meledek sahabatnya sendiri.
Keluarga Nabhan minum segelas susu setelah menghabiskan tujuh butir kurma dan berucap hamdalah sebagai bentuk syukur kepada Sang Pencipta.
"Talita, sehabis ini biar Adara mengajakmu pulang. Kasihan suamimu di rumah pasti sedang menunggumu," ujar Fawaz.
"Kakak apaan sih. Talita masih suka di sini."
"Aku hanya tidak ingin ada fitnah. Apalagi di rumah ini ada aku dan abi, laki-laki yang bukan mahramnya. Talita belum memiliki suami saja itu tidak baik, apalagi dia sudah bersuami," jelas Fawaz.
Abi Nabhan mengangguk-anggukkan kepalanya. Dari kecil ia mendidik anak-anaknya tegas dan bijak mengambil sikap. Pedoman agama menjadi pondasi sekaligus penyangga kuat bagi pendidikan keluarganya. Ia bersyukur, Fawaz sebagai anak sulung masih memegang prinsip teguh itu.
Sebelum mempersiapkan semuanya untuk mengantar Talita pulang, Adara menyeret sang kakak, Fawaz. Dan memintanya untuk meminta maaf pada Talita.
"Apa salahku?" tanya Fawaz.
"Pertama, Kakak sudah lancang mengusir Talita padahal abi belum mengucapkan apapun. Pakai Jawaban sok bijak buat cari muka di depan abi, ya kan? Kedua, Kakak pelit. Cuma roti gandum, Kak. Apa roti gandum semahal harga berlian? Lihat Talita! Kasihan harus makan buah kurma yang tak biasa ia makan. Dan yang ketiga, Kakak malah meledeknya. Bukannya apa, Kak, hati dia masih runtuh. Sepertinya dia memiliki masalah berat. Dasar tidak sopan. Pokoknya Kakak harus meminta maaf!"
Fawaz tak menanggapi ucapan Adara dan bersiul ringan menuju ke kamar. Adara semakin dibuat jengkel dengan tingkah sang kakak.
🍀🍀🍀
Bunda Salsa memeluk Ayah Beta dan terus saja menangis. Ia tak menyangka akan kehilangan putrinya di saat malam pengantin sang putri.
Pagi yang cerah itu teracuni dengan hilangnya sang putri kesayangan. Ayah Beta sudah meminta pakar terawang untuk mencari keberadaan Talita. Hasilnya nihil. Ia menyuruh beberapa pengawalnya mencari ke semua sudut kota, hasilnya tetap nihil.
Talita gadis yang masih terbilang baru yang takkan mungkin pergi jauh. Ia tak tahu banyak soal kota yang ia tinggali itu. Rumor tentang sang putri diculik mulai tersebar se antero rumah besar itu. Jangan-jangan Omakyah mulai mengancam lagi. Hati mana yang tak khawatir jika hal itu benar adanya.
Ayah Beta, Guru Endru, Paman Odu, Bibi Huni dan Adrain, pemuda gagah, tampan dan kaya raya yang kini sudah berstatus sebagai suami Talita hanya bisa terdiam tanpa banyak bicara. Terutama Adrain, heran dalam hati, Talita sudah ia kunci dengan rapalan mantera pengasih dan penurut ditambah kekuatan istrinya yang sudah ia tahan sedemikian rupa, kenapa tak membuahkan hasil? Padahal bagi wanita lain, hal itu tidaklah sulit. Apakah karena Talita itu gadis suci? Bulsyit! Baginya semua gadis sama saja. Sama-sama manusia yang manja dan ingin dilindungi menurutnya.
"Bagaimana kau jadi suami, Adrain? Menjaga satu gadis saja kau tidak becus! Padahal kau terkenal berilmu tinggi dan wawasanmu luas. Mana buktinya? Mana?" omel Bunda Salsa sembari menunjuk suami Talita dan masih setia dengan tangisnya.
"Aku sudah berusaha, Bunda. Namun kekuatan itu terlalu dahsyat. Dia pasti kekuatan di luar nalar."
Bunda Salsa yang biasanya nampak kalem dan anteng, kini mulai geram. Ia memukul meja yang ada di depannya.
"Kekuatan di luar nalar apa!?"
"Sepertinya Talita memiliki kekuatan sendiri yang Maha Dahsyat," nilai Adrain.
Bunda Salsa menampilkan senyum sarkastis saking geram pada menantunya itu. "Kami di sini tidak pernah mengajarkan ilmu apapun padanya, kecuali ilmu pengetahuan dunia dan seisinya. Bukan seperti ilmu ghaib yang kalian miliki. Kami pun terpaksa melakukan banyak ritual aneh karena ancaman Omakyah. Aku pribadi sebenarnya sudah muak dengan ini semua. Aku ingin hidup normal layaknya manusia umumnya. Aku muak dengan semua ini!" pekik Bunda Salsa.
Ayah Beta berdiri dan menyentuh bahu sang istri untuk tetap tenang. Namun Bunda Salsa malah mengempaskan tangannya begitu saja.
"Salsa ...."
"Diam kamu, Beta! Karena kau percaya pada ilmu-ilmu aneh ini dan menerima lamaran pemuda yang kau sebut berilmu tinggi itu semua ini malah kacau! Ternyata dia cuma pemuda aneh."
"Bunda, saya tidak suka diremehkan," sela Adrain.
Bunda Salsa memandang sekilas pada Adrain dengan senyum sarkasnya. "Segera urus perceraianmu dengan putriku," tukas Bunda Salsa.
Mendengar keputusan sepihak dari Bunda Salsa, semua orang yang ada di ruangan itu seketika riuh. Mereka tak menyangka Bunda Salsa akan semarah itu. Sementara bagi Bunda Salsa sendiri, ia merasa kehilangan putrinya untuk kesekian kali dan hal itu sudah cukup menghancurkan jiwanya. Ia sudah bertahan sekian puluh tahun jauh dari sang putri. Gadis cantik yang sabar dan kuat sekaligus putri yang malang. Hati ibu mana yang tidak menjerit melihat sang putri menahan semua pedih sendirian dan sang bunda tak bisa berkutik sama sekali melihat semua itu. Bahkan jika perlu, seorang ibu rela menukar kepahitan hidup sang anak demi kebahagiaannya.
Bunda Salsa berlari keluar rumah dan mengabaikan panggilan Ayah Beta. Ia meminta sopir pribadinya mengantarkannya ke suatu tempat. Tanpa banyak yang tahu, Bunda Salsa pernah memiliki ibu pengasuh yang ia hormati. Sayangnya sejak menikah, Bunda Salsa tak pernah mengunjunginya lagi.
Sampai akhirnya mobil yang Bunda Salsa tumpangi berhenti di tepi jalan di depan sebuah rumah sederhana. Turun dari mobil, ia berlari memasuki pelataran rumah yang halamannya cukup rindang itu. Tanpa banyak kata ia menyalami seorang wanita tua yang sedang menyirami bunga matahari di depan rumahnya.
"Ibu Arum, masih ingatkah denganku?" ucap Bunda Salsa.
Wanita tua itu meletakkan selang airnya ke tanah dan mencuci tangan. Ia memandang wanita di depannya. Tangannya menyentuh wajah Bunda Salsa dengan mengerutkan kening.
"Kau Salsa?"
Bunda Salsa mengangguk sembari menahan tangis. Tangisnya pecah kemudian saat memeluk Ibu Arum.
"Ada apa, Anakku. Kenapa kau menangis sampai seperti itu?"
Ibu Arum mengajak Bunda Salsa duduk di teras rumah. Ia membiarkan anak asuhnya itu menceritakan hal ikhwalnya sedari awal sampai kehilangan anak dalam pelukannya untuk kesekian kali. Bunda Salsa sampai tersedu sedan saat bercerita. Saat itulah Ibu Arum memjamkan mata dan memanjatkan doa pada Sang Kuasa berharap petunjuk.
"Aku tak bisa menebak apa-apa, Salsa. Karena aku bukan ahli nujum. Tapi yang ada dalam pandanganku adalah putrimu itu sedang berada di rumah keluarga alim. Sepertinya dia merasa aman di sana."
"Se-siapa, Ibu? Setahuku Talita tak punya saudara." Bunda Salsa nampak berpikir keras. Kemudian, sebuah kelebat ingatan terngiang dalam memorinya.
Bunda, Adara adalah saudaraku sekarang. Dia dan keluarganya sangat baik. Aku menyukai mereka.
Yah, Talita pernah mengatakan itu padanya yang waktu itu tak begitu ia peduli karena sedang ada pekerjaan yang ia sibukkan ketika itu.
Keluarga.
Talita menyebut keluarga, yang artinya, gadisnya itu sudah pernah mengenal atau mengunjungi keluarga Adara.
Mengingat itu semua, Bunda Salsa luruh menangis ke pangkuan sang ibu asuh. "Aku mengabaikan ceritanya ketika itu, Ibu. Dan aku juga mengabaikan Ibu yang pernah mengasuhku. Maafkan aku, kumohon."
Ibu Arum mengusap rambut Bunda Salsa, "Berangkatlah sekarang. Temui anakmu dan keluarga yang menjaganya semalam itu dan ucapkanlah terima kasihmu karena mereka sudah menjaga putrimu, Nak. Jangan abaikan lagi sedikit saja sebuah kebaikan, karena bukan mereka yang merasakan sukanya, tapi semua akan kembali pada diri kita sendiri."
Berbuat baiklah sebanyak mungkin. Kita akan memetik hasil dari perbuatan kita. Karena semua akan kembali ke muaranya masing-masing. Peganglah kata-kataku ini.
Ucapan sakti Ibu Arum yang pernah ia dengar dulu, kini benar ia rasakan. Walau sedikit, pengaruhnya sangat terasa sekali bagi Bunda Salsa.
"Terima kasih, Ibu. Aku pamit dulu."
Tanpa banyak ucap lagi, Bunda Salsa berlari menuju ke mobilnya yang terparkir di depan rumah Ibu Arum sedari tadi.
"Pak, apa Talita pernah mengajak Bapak ke rumah sahabatnya yang bernama Adara?" tanya Bunda Salsa pada sopirnya saat sudah di dalam mobil.
Sang sopir berpikir sejenak. "Adara? Sepertinya saya tahu, Nyonya."
"Kita ke rumah Adara sekarang, Pak."
"Baik, Nyonya."
Mobil kembali melaju dengan kecepatan tinggi. Ada secercah harapan bagi Bunda Salsa. Ia tak ingin kehilangan lagi. Menunggu suaminya bergerak dan mengandalkan ilmu-ilmu yang kini mulai ia rasa tak jelas itu sama saja membuatnya semakin tersiksa.
Waktu beranjak berlalu begitu cepat. Matahari sudah lurus ubun-ubun. Panas mulai menyengat. Bunda Salsa tiba juga di sebuah rumah dengan halaman luas dan ditumbuhi berbagai bunga cantik berwarna-warni. Kupu-kupu mengitari bebungaan. Saat menginjak halaman rumah itu, ia merasakan kesejukan. Rimbun dengan tanah yang masih basah. Sepertinya para penghuninya menyukai keindahan.
Sampai di depan pintu rumah itu, Bunda Salsa akan mengetuknya. Namun pintu rumah itu malah terbuka duluan. Ia terkejut menatap seseorang yang berada di hadapannya kini. Seorang gadis dengan tudung kepala berwarna hijau pupus yang dililit dan dibiarkan menjulur sedikit ke bahunya. Pakaian tertutup dengan warna senada tudung dengan warna yang lebih terang. Bedanya, baju itu bermotif brokat dan motif kupu dan bunga. Sejenak ia tak mengenali siapa gadis di depannya jika Talita tak memanggilnya duluan.
"Bunda."
Bunda Salsa menggelengkan kepalanya pelan karena terkecoh dengan tampilan Talita yang nampak lebih anggun dari biasanya.
"Oh, putriku."
Bunda Salsa langsung memeluk putri di depannya seketika. Rasa haru, pilu dan bahagia berbaur menyatu. Tangis keduanya akhirnya pecah jua. Tangis dengan banyak siratan makna.
"Mengapa, Anakku? Mengapa pergi dari bunda?" tanya Bunda Salsa.
Umi Yasmin dan Adara yang ada di samping kanan dan kiri Adara hanya tertunduk. Talita tetap saja menangis. Ia tak tahu harus memulai cerita dari mana lagi. Rasanya ia tak ingin pulang mengingat rumahnya kini menjadi hal yang tak disukainya. Dan kini ia sulit mengungkapkan ketidaksukaannya seperti biasa. Umi Yasmin maju dan mengajak Bunda Salsa agak menjauh dari Talita.
"Nyonya, sebaiknya Nyonya bicarakan ini berdua dengan Nak Talita di rumah. Nak Talita semalam datang ke sini sendirian dengan badan menggigil karena kehujanan. Kami tidak tega untuk memintanya pulang. Maafkan kami, Nyonya. Sepertinya dia syok dan tertekan. Kami pun tak tahu masalah putri Nyonya apa. Bicarakan semuanya pelan-pelan. Psikisnya tolong diperhatikan ya, Nyonya. Sekali lagi maafkan kami, Nyonya," ucap Umi Yasmin merendah.
Bunda Salsa memeluk Umi Yasmin dan menangis mengucapkan terima kasih banyak. Ia terharu karena keluarga itu terasa begitu teduh dan menjaga putrinya dengan baik. Setelah melepas pelukannya dari Umi Yasmin, ia berucap, "Talita tidak salah pergi dari rumah dan memilih rumah ini sebagai perlindungan. Mengapa harus meminta maaf? Justru saya berterimakasih banyak, Nyonya."
"Nama saya Yasmin. Anak-anak memanggil Umi Yasmin."
Bunda Salsa senang sekali melihat keramahan Umi Yasmin dan ia pun berbalas, "Nama saya Salsa. Keluarga memanggil saya Bunda Salsa." Dan akhirnya, kedua ibu itu sama-sama tertawa renyah dan kembali menghampiri Adara dan Talita.
Adara dan Umi Yasmin melambaikan tangan yang dibalas dari dalam mobil oleh Talita dan Bunda Salsa yang tak kalah tersenyum semringah. Bunda Salsa tak melepas senyumnya dan memeluk sang putri berkali-kali.
Umi Yasmin dan Adara kembali masuk ke dalam rumah. Abi Nabhan sudah berangkat kerja sedari tadi. Sementara Fawaz masih asyik membaca kitab bertuliskan huruf arab tanpa harakat.
"Percuma ilmu segunung, memahami aqidah, tapi akhlak non sense," sindir Adara. "Masih kalah sama Iblis penghuni surga dengan banyak ilmu segudang, tapi akhirnya masuk neraka juga. Karena apa? Karena kesombongan secuil tidak mau sujud pada ciptaan Allah yang hanya terbuat dari tanah. Cuma karena sombong, ambyarr semua amalannya," lanjut gadis itu.
"Adaraaa," tegur Umi Yasmin. "Jangan mulai lagi. Nak Talita sudah pulang."
Kesal juga disindir Adara karena menyamakan dirinya dengan Iblis, Fawaz mendekati Adara. Adara tahu kepalanya pasti jadi korban jitakan tangan usil kakaknya kali ini. Seperti dua anak kucing yang bertengkar, keduanya saling berlarian mengitari ruang tamu.
"Umiii! Kak Fawaz nakal!"
Umi Yasmin sekedar angkat bahu dan menggeleng pelan melihat tingkah keduanya. Ia berlalu begitu saja menuju dapur untuk mempersiapkan makan siang keluarganya. Abi Nahban selepas salat zuhur biasanya akan pulang dan melahap masakannya setelah mengurus perusahaan jasa travelnya.
Karena Fawaz lebih tinggi dan besar dan langkah kaki Adara yang kecil, sangat mudah untuk menangkap adiknya itu. Ujung hijab Adara yang belakang ditarik oleh Fawaz.
"Kena kau!"
Adara mengaduh dan pasrah saat Fawaz menenteng telinganya untuk duduk di sofa.
"Satu, aku sudah jelaskan alasan, kenapa Talita harus segera pulang. Takut ada fitnah. Karena setan selalu mencari celah kesalahan kita dan menggunakannya sebagai senjata mengelabui manusia. Dua, bukan soal roti gandum, tapi soal tujuh butir kurma. Kau tahu manfaat makan tujuh butir kurma di awal hari? Dia akan terlindungi dari penyakit dan sihir seharian itu. Dan itu bermanfaat sekali buat Talita yang sedang terpengaruh ilmu hitam. Tiga, bukan maksud meledek. Talita tidak boleh rapuh saat seperti ini. Aku hanya ingin memberinya sedikit vitamin batin supaya dia bisa bertahan dan tidak manja. Apalagi sepertinya dia mudah drop. Seharusnya jiwa ini semakin kuat saat menghadapi musibah dan mampu melawan. Supaya para setan itu tidak semakin senang. Karena cuma orang kafir yang mudah putus asa. Ingat itu, gadis kesayangan kakak," terang Fawaz.
S
ebagai tambahan, Fawaz mencubit kedua pipi Adara saking gemas.
"Kakaaaak!"
Fawaz merasa puas dan tertawa lebar. Ia berlalu mencari sang umi ke dapur. Mencuil makanan yang mulai dimasak Umi Yasmin. Umi Yasmin menatapnya dengan tersenyum manis.
"Masakan Umi selalu yang terbaik." Fawaz mengangkat jempol dan mengedipkan sebelah mata pada sang umi. "Doakan aku, Umi. Aku bisa memiliki istri pintar masak dan pintar mengurus keluarga seperti Umi."
"Aamiin."
🆎️🆎️🆎️
Bersambung.
Situbondo, 21 Agustus 2020.
______________________________________
Kyaaaa! Finish chapter ini.
Santuy ngarangnya, semoga suka yaapp.
Oiya, undang gih temen sama kerabat kalian bila syukahh.
Jangan lupa komen n vote, buat dukungan semangat penulis. Dan jangan lupa follow IG dan WP @mawarmalka yapp. Tengkiyuu😍
Love me😘
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top