Jatuh Cinta.
"Adara, kau pernah jatuh cinta tidak?"
Pertanyaan Talita membuat es krim di tangan Adara terjatuh saat Adara sibuk melahapnya.
Adara nampak gugup dan hanya mengangkat bahu. Ia bangkit dan melangkah menuju stand penjualan memesan es degan campur jeruk nipis.
Mereka kini berada di sebuah kafe dekat kampus keduanya. Cuaca siang masih terasa panas. Talita melihat Adara duduk kembali.
"Jawab, Adara," paksa Talita.
Adara mengangguk ragu, "Pernah. Tapi jatuh cinta yang model cinta monyet."
"Memang apa hubungannya sama monyet, Adara?"
Adara tak segera menjawab, ia sibuk dengan tisu mengelap baju yang terkena es krim tadi. Sebenarnya juga ia masih bingung dengan pertanyaan Talita soalan jatuh cinta.
"Yaa, jatuh cintanya tidak serius. Hanya main-main. Jatuh cinta anak menginjak remaja."
"Oh, kukira apa monyet dibawa-bawa. Aku tak menyukai hewan itu." Talita sibuk menyantap pancake di depannya. Begitu polosnya ia membuat Adara tertawa kecil.
"Jelaskan, bagaimana jatuh cinta versimu, Adara?"
"Poin pertama itu, rindu. Yaitu ingin selalu melihat dia yang dicinta. Tapi juga malu saat bertemu." Adara sempat bergeming membayangkan dirinya yang juga pernah menyukai seseorang di masa lalu. "Talita, jangan bahas itu lagi."
"Oh iya, maaf, Adara."
Sedotan di jari Adara ia mainkan berputar, memutar es susu coklatnya sambil sesekali menyesapnya.
"Aku pernah jatuh cinta pada kakak dari gadis yang pernah disukai Kak Fawaz," ucap Adara.
"Kak Fawaz pernah serius suka sama seorang gadis?" tanya Talita.
Adara mengangguk. "Bahkan melebihi nyawanya sendiri."
Talita membuka mulut saking terpananya akan ucapan Adara. "Jika kau mau, bisakah kau ceritakan kisah Kak Fawaz padaku?"
"Kau ingin tahu dengan kisah masa lalu Kak Fawaz?" Adara balik bertanya.
"Tentu saja, Adara. Kakakmu itu sangat menarik. Dia baik hati sekali, sayangnya dia tidak menyukaiku." Talita tertawa setelah mengatakan itu. Adara melemparinya dengan tatapan menyelidik.
"Kau menyukai kakakku?" tebak Adara.
"Aku sudah menyukai Kak Bing. Dia sama baiknya dengan Kak Fawaz. Hanya memang, Kak Bing lebih kaku."
"Aku juga berpikir demikian. Kak Bing Bongmu yang kaku dan Kak Fawaz yang humoris, tapi kadang aku suka jengkel kalau bercandanya sudah kelewatan."
"Kak Fawaz orangnya asik. Menanggapi banyak hal dengan tawa, tapi aku tahu cara berpikir dia yang dewasa."
"Yaah, manusia punya sisi positif dan negatif dalam dirinya," simpul Adara.
"Kau benar, Adara. Namun kadang aku sedih akan sikap tamparamen Kak Bing."
"Berarti kita harus mulai belajar mengenal karakter banyak orang, Talita."
"Yah."
Keduanya kembali sibuk dengan hidangan di depannya sekaligus sibuk dengan pikiran masing-masing.
"Lalu bagaimana kisahmu dan Kak Fawaz soal orang yang kalian sukai itu?"
Tak lantas menjawab, Adara kembali mengangkat bahu, "Dia dan saudara perempuannya itu ikut orangtuanya keluar negeri. Aku sih menerima saja. Perasaan sukaku hanya diam-diam. Aku hanya menceritakan ini pada Kak Fawaz dan sekarang, padamu. Sementara berbanding terbalik dengan Kak Fawaz. Perasaannya itu ia ungkapkan setelah pulang dari Turki. Dan ternyata berbalas. Kak Fawaz takut dosa. Jalan ta'aruf, ia pilih. Langsung melamar dan akan menikah. Sayangnya, orangtua gadis itu menolak dan karena masalah pekerjaan yang mendadak, mereka segera pindah entah ke bagian bumi mana. Kami tak punya banyak waktu untuk bicara mengenai pernikahan Kak Fawaz."
"Pasti Kak Fawaz terpukul banget ya?"
"Kak Fawaz seperti kerbau yang sudah dicocok hidungnya lalu dilepas begitu saja. Memang Kak Fawaz biasa saja setelah gadis itu pergi seperti angin, tapi setelah kejadian itu, Kak Fawaz banyak terdiam. AlhamduliLlah dukungan dari abah umi yang selalu memberinya motivasi. Atas nama Allah dan izin-Nya, ia kembali bangkit."
"Sekarang Kak Fawaz bertekad akan menikah. Dia banyak menebar chat pada beberapa gadis demi mencari pengganti gadis itu, sayangnya belum kesampaian. Entahlah, ia tak banyak cerita soal para gadis itu."
Talita menopang dagu mendengar cerita Adara, "Dramatis kisahnya."
"Biasa saja, Talita. Oh ya memangnya kau tahu dari mana kalau Kak Fawaz tak menyukaimu?" Seingat Adara, Fawaz memang pernah cerita kalau Fawaz tak tertarik dengan kecantikan sang putri.
"Kau tahu, Adara. Aku punya sahabat yang tak bisa kau lihat. Dia menceritakan banyak hal padaku."
"Hmm, ini kerjaan Anina?"
"Siapa lagi?"
Adara tersenyum tipis mendengar nama Anina. "Dasar jin cerewet." Tak lama kemudian, hijabnya terkibas oleh angin semilir. Talita tertawa kecil. "Pergilah, Anina. Berhenti menceritakan banyak hal. Karena jin itu suka sekali berbohong," omel Adara.
Talita semakin melebarkan tawanya. "Tadi itu hanya angin biasa, Adara. Anina tak akan ke sini bila tak kupanggil." Merasa tawar, Adara terdiam seketika karena malu.
🍀🍀🍀
"Kak Bing, apa Kakak pernah menyukai seseorang? Jatuh cinta maksudnya," tanya Talita.
"Yah. Dan sudah lama sekali."
"Kenapa semua orang pernah jatuh cinta?" Talita melempar pandangannya pada laut lepas. Entah apa yang ada di pikirannya kali ini. "Dan itu di masa lalu mereka. Kejadian yang mungkin terjadi beberapa tahun lalu, ya kan?"
Bing mengernyitkan kening, lalu menanggapi ucapan Talita dengan anggukan. Ia juga melempar pandangan pada lautan lepas.
Pagar besi yang membatasi Bing dan Talita dengan lautan lepas di dermaga itu. Lampu mercusuar yang terus berputar menerangi sekeliling dermaga sebagai tanda bagi para nelayan yang akan berlabuh nantinya.
Malam itu Talita sengaja keluar atas permintaan Bing. Bunda Salsa pasrah saja saat si putri meminta keluar malam dengan syarat diawasi pengawal dari kejauhan.
Bing berdaham dan mengatakan, "Memangnya kau tak pernah jatuh cinta?" Jawabannya adalah gelengan Talita.
"Pertama, aku tak tahu bagaimana namanya jatuh cinta itu. Lalu kedua, aku tak pernah jatuh cinta di masa lalu."
"Memangnya kau tinggal di gua?" canda Bing.
"Aku di hutan."
Bing mencubit pipi Talita begitu keras sampai Talita mengaduh. "Kak Bing!"
"Aku serius, Talita. Malah bercanda. Bagaimana bisa tidak pernah jatuh cinta?"
Talita segera menyadari bahwa ia tadi mengatakan tinggal di hutan. Ia sudah berjanji pada Adara takkan menceritakan hidupnya di masa lalu yaitu ketika tinggal di hutan. Talita sempat gelagapan. Demi menyembunyikan wajah seriusnya, ia mencubit lengan Bing. Bing pun mengaduh kesakitan.
"Habis situ juga bilang hidup di gua. Maaf, Akang, Talita tinggal di rumah saja. Cuma memang, tak pernah ke mana-mana."
"Lalu pendidikanmu, Ta?"
"Di rumah saja."
"Home schooling?"
"Semacam itu."
Bohong bukanlah kebiasaan Talita. Ia merasa tidak berbohong, hanya tidak menjelaskan setting rumahnya yang berada di tengah hutan belantara.
"Baiklah. Aku percaya." Bing mengangkat alisnya. "Aku sendiri yang akan mengajarkanmu bagaimana rasanya jatuh cinta," ucapnya pelan dengan menatap lekat manik mata Talita.
Dia yang sangat cantik laksana bidadari, bisik hati Bing Bong.
"Apa yang bisa Kak Bing ajarkan soal cinta?" tanya Talita.
"Aku mencintaimu," tukas Bing.
Gadis itu masih mengedipkan matanya dan bergeming. Mulutnya terbuka separuh. Masih mematung. Bing meliriknya dengan senyuman.
"Ada pertanyaan?" tanya Bing.
Talita menggeleng dengan menutup mulutnya. Tanpa Bing sadari, tubuhnya telah dipeluk erat oleh sang gadis. "Aku juga mencintaimu, Kak!"
Fantastis! Ganti Bing yang terkejut dengan respon si gadis bidadari.
"Berjanjilah, kau selalu mencintaiku karena aku mencintaimu," bisik Talita.
Bing tersenyum puas. Ia melepaskan pelukan Talita dan memandang haru Talita yang meneteskan air di sudut mata. "Aku berjanji, Kekasihku."
🍀🍀🍀
"Kak Bing!"
Semua terperanjat saat mendengar teriakan Talita. Bunda Salsa yang sedari tadi menangis mulai sedikit lega.
"Talita, kau sudah sadar."
Selimut tersibak begitu saja. Tungkai jenjang Talita turun dari ranjang dan mendapati wajah semua orang menegang. Kelopak bening Bunda Salsa bengkak dengan ujung hidung memerah. Tanda terlalu banyak air mata yang tumpah. Di sisi lain Talita melihat Adara menatapnya khawatir dan Fawaz di sampingnya yang menatapnya lesu.
Talita tak mengerti mengapa banyak orang di sekelilingnya.
"Bunda, ada apa?" tanya Talita dengan wajah penuh pertanyaan.
Ayah Beta maju dan menuntun sang putri duduk di kursi. Ia memijit pundak sebelah sang putri lalu kemudian menepuknya pelan.
Aneh. Sikap perhatian sang ayah terasa aneh. Kenapa tepukan itu seolah ingin menguatkan dirinya. Apa hal sedang terjadi? Lalu pertanyaan terbesar yang ada di kepala Talita sekarang adalah bagaimana bisa di rumah sekarang? Seingatnya tadi fia bersama Bing.
"Bing ..., Kak Bing." Talita menoleh ke semua orang. Lalu berjalan tertatih menemui Bunda Salsa. "Bun, tadi, tadi Talita bersama Kak Bing." Ia kebingungan setengah mati. "Bun, Kak Bing." Kembali menatap sekeliling. "Mana Kak Bing?"
Perasaan yang rasanya campur aduk. Antara rasa letih, bingung dan cemas berlebihan. Ada apa ini sebenarnya?
"Kenapa tidak ada yang menjawab?" tanyanya memohon. "Jawab aku! Kak Bing mana?!! Dia, dia, Kak Bing bersamaku tadi. Dan aku bersamanya!" Sekelebat ingatan melayang di kepalanya. Warna ungu yang menyebar saat dirinya bersama Bing. Setelahnya semua gelap. "Kumohon jawab!" Walaupun dengan intonasi keras, tetap saja nadanya melemah. Tak lama kemudian Talita menangis dengan bersimpuh.
"Kak Bing!" Talita berlari keluar rumah. Namun beberapa orang mencegah langkahnya. "Lepaskan! Aku harus menolong Kak Bing! Bunda! Bunda! Tadi Bing bilang cinta sama aku! Aku sempat menjawabnya. Katakan lagi, aku juga mencintainya." Talita terjatuh ke lantai dan bersimpuh.
🍀🍀🍀
Saat terakhir yang Talita dengar adalah Bing menjerit memanggil namanya. Namun asap ungu itu menghilangkan kesadarannya. Gelap. Segelap hatinya sekarang.
Nisan itu terus saja ia pandangi tanpa henti. Batu putih bertuliskan Reza Hardian.
"Kakak! Maafin Talita. Talita tak bisa menyelamatkan Kak Bing. Kak Bing tahu, selama ini Talita juga cinta sama kakak. Kak Bing sudah pergi."
Tetesan air mata yang tak bisa dibendung menyiratkan betapa terlukanya hati sang putri.
Semu sekali mencintai bila akan kehilangan. Menyesal pernah mencoba mencinta dan mengenal cinta.
🦋🦋🦋
Bersambung.
Situbondo, 24 November 2020.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top