Hati Putri.

Titik terlemah anak manusia adalah saat jatuh cinta dan belum mendekap cinta itu.

🌹🌹🌹

Perjalanan mengesankan akan segera dimulai. Lepas ujian semester Talita yang melelahkan akan segera dengan ikut dalam kegiatan pendakian gunung. Kerinduannya akan suasana gelap nan misterius itu segera dimulai.

Pagi itu Bunda Salsa menyiapkan roti untuk sarapan Talita dengan mengolesi selai kacang kesukaan sang putri. Talita melahapnya segera saat Bunda Salsa memberi roti selai kacang. Bunda Salsa memandang sang putri dengan tatapan yang sulit diartikan. Beberapa hari ke depan, ia tak akan melihat wajah Talita karena alasan kegiatan mapalanya itu.

"Hmm, bunda berat mengizinkan kau ikut. Gunung yang akan kau daki ternyata cukup curam, Talita. Bunda sudah mencari informasi soal itu," ujar Bunda Salsa.

"Jangan khawatir, Bunda. Talita akan baik-baik saja."

"Kenapa harus melakukan pendakian, Putriku? Cukuplah kamu belajar di kampus dan di rumah. Hanya itu yang bunda inginkan."

Bunda Salsa melirik Ayah Beta yang tak banyak berkomentar soal kegiatan kampus Talita karena menganggap urusan kuliah Talita kini adalah urusan Bunda Salsa sepenuhnya.

"Ayah bagaimana?"

Ayah yang sibuk menyesap teh hijau tak langsung menjawab. Setelah meletakkan cangkir pada tatakannya, barulah ia membuka suara.

"Ayah sudah menyiapkan pengawal buat Talita. Mereka akan mengawasi putri ayah dan akan melaporkan padaku setiap saat. Bila ada sedikit saja kesulitan, jangan sampai abai, Talita. Pendakian itu tak seperti tempatmu dulu. Istana yang ayah siapkan padamu dulu di hutan bukan hutan liar. Ayah dan bunda mempersiapkan banyak hal ketika itu. Dan pendakian kali ini adalah pendakian pertama dan terakhirmu. Ayah tidak mengizinkan kau melakukannya lagi," tukas Ayah Beta.

"Baiklah, Ayah."

Talita kemudian bangkit dan mencium pipi Ayah Beta dan Bunda Salsa. Ia beranjak menuju kamar. Hari ini adalah hari liburan semester sebelum keberangkatan esok melakukan pendakian sembari menunggu hasil nilai mata kuliahnya keluar.

Rak di nakas, Talita buka untuk mengambil bubuk hijau pemberian Adara. Tidak lupa Kurma Ajwa pemberian Fawaz juga ia masukkan ke dalam tas ransel untuk pendakian. Sebagian ia makan tujuh butir di pagi itu.

🍀🍀🍀

Bunda Salsa menangis mengantar Talita ke dalam mobil yang akan mengantarkannya ke kampus tempat berkumpulnya anggota mapala yang akan melakukan pendakian.

Selang beberapa menit kemudian, mobil anggota pendakian berangkat menuju camp sesuai prosedural pendakian.

"Tata, kau bisa istirahat bila lelah," ujar Ferdy, salah seorang senior mengingatkan Talita. Di mapala, Talita mulai biasa dipanggil Tata.

Talita menggeleng, "Aku menyukai pendakian ini," jawabnya ringan.

"Setelah ini kita akan tiba di tanah lapang dan mendirikan tenda. Hari sudah mulai gelap, sebaiknya percepat langkah!" teriak ketua pendakian mapala menggunakan toa.

Talita melirik Ferdy, "Kau dengar? Kita tak bisa beristirahat."

"Kau benar, Ta. Aku di belakangmu. Kau aman."

"Terima kasih, Kak."

Sebelum matahari benar-benar tenggelam, Tenda semua anggota sudah berdiri dan terpancung kuat di tanah lapang sesuai skema yang direncanakan oleh panitia pendakian. Api unggun yang berada di tengah tenda sudah dinyalakan sebagai penerangan. Sepertinya para senior mapala yang menjadi panitia sudah menyiapkan banyak hal terutama kayu untuk api unggun dan segala keperluannya. Para anggota tinggal melaksanakan kemah tanpa perlu mempersiapkan bahan-bahannya lagi.

"Sekali lagi saya ingatkan! Ini bukan persami seperti anak sekolah. Ini pendakian! Besok selepas subuh, kita akan bergerak menuju puncak dan siangnya setelah istirahat, kita akan turun gunung. Bila tidak cukup waktu, kita akan mendirikan tenda-tenda lagi. Panitia hanya bisa mereka-reka titik lapang, untuk kemudian, waktu kita terbatas. Jangan sampai bercerai. Yang tertinggal, bisa kita tinggal," terang senior pendakian si pemegang toa.

Malam yang semakin larut dengan purnama yang terang benderang bersama semilir angin malam dihabiskan untuk bernyanyi dan bersenang ria oleh anggota pendakian mapala. Seperti layaknya perkemahan, ada yang bermain gitar dan membuat permainan receh. Talita yang memang merindukan suasana hutan, sangat menikmati udara malam itu. Jangan lupakan pengawal pribadi untuk Talita yang berada di kejauhan. Gadis itu paham dan mengabaikan kehadiran mereka. Busur kesayangannya tak lupa ia bawa. Apalagi yang menjadi musuhnya selain burung gagak yang menurutnya memiliki suara buruk dan suka mengganggu tidurnya. Kali ini ia berjalan pelan ke belakang tenda dan melihat gagak sedang meloncat di antara reranting pohon. Sinar purnama membantu Talita bisa melihat dengan mata tajamnya setiap kepakan sayap sang burung hitam legam itu. Dengan sekali tarik, anak panah sudah menancap sempurna di dada burung. Sang putri tersenyum puas. Sebuah tepukan tangan di belakangnya mengganggu konsentrasi Talita.

"Gadis hebat! Ternyata kau pemanah yang ulung," puji seorang pemuda di belakang Talita.

"Dan sekarang, Kak Bing sudah mengganggu aktifitasku," ucap Talita.

"Owh, apa kau lupa pesan ketua tadi?"

"Aku ingat. Sekarang pergilah."

Merasa terusir, Bing mengangkat tangan lalu pergi tanpa menoleh lagi. Talita menghela napas lega, setidaknya hobi lamanya bisa ia lanjutkan. Tapi sesuatu yang aneh ia dengar tengah menangis di kejauhan. Talita menajamkan pendengarannya. Semakin lama semakin terdengar nyaring dan memekakkan telinga. Hatinya sempat berdegup kencang karena takut. Ia ingat membawa bubuk hijau yang ia sebarkan ke sekelilingnya. Namun suara tangis itu semakin mendayu membuat tungkainya semakin melemah gemetar karena takut. Ia sempat mencari pengawal yang dikatakan sang ayah. Dimana? Sepertinya ia memang sendirian di hutan itu. Malam mungkin memang semakin larut dan purnama mulai tertutup awan. Suara anggota mapala semakin jauh menghilang sementara tangis jeritan itu semakin terdengar. Bubuk hijau di sakunya sudah habis. Talita melepas busur kesayangannya dari genggaman dan berdiri gemetaran sendiri. Ia benar-benar mulai ketakutan. Jerit tangis itu semakin ramai saja. Tubuhnya mulai terasa lemah dan hendak jatuh.

"Talita."

Suara seseorang dari belakang memanggil namanya. Tak berlangsung lama, tubuhnya ambruk karena tak kuasa menahan ketakutan.

"Talita, bangunlah."

Setengah tersadar bahwa itu suara manusia dan mencium bau minyak kayu putih, Talita memberanikan diri untuk membuka mata. Yang pertama dilihatnya adalah wajah kusam milik Bing Bong.

"Kak Bing?" tanya Talita lemah.

"Iya, ini aku, bangunlah."

Merasa kalau itu memang Bing, Talita segera mendekap tubuh pemuda itu dan menangis sejadinya. Bing yang awalnya kikuk hanya bisa pasrah.

"Aku takut. Tadi aku mendengar ramai suara orang menangis."

"Sudah. Kau jauh tersesat dari tenda karena mengejar burung buruanmu. Anak-anak mencarimu saat mereka sadar kau tak ada di tenda. Ini sudah hampir dini hari. Habis subuh kita lanjutkan pendakian. Sebaiknya kita segera ke perkemahan."

Talita mengangguk. Karena tubuhnya sangat lemah dan berjalan tertatih, akhirnya Bing membopong tubuhnya. Selain alasan fisik, alasan efisiensi waktu juga Bing pertimbangkan.

Tiba di perkemahan, Talita disambut ramai oleh semua anggota pendakian. Tak lupa sang ketua dan para panitia yang mulai mencerca dan menceramahinya.

"Makanya jangan sok hebat karena bisa memanah," omel seorang panitia wanita.

"Otaknya dipakai semua, bisa tidak? Dipakai cuma seperempat ya begini. Sudah dini hari. Yang lain capek. Bisa telat jadwal kita sampai di puncak."

"Ganggu saja!"

"Sok cantik! Anak manja jangan ikut mapala!"

Dan beragam cercaan yang diterima Talita membuat gadis itu semakin terpuruk.

"Sudah ngomongnya?"

Seseorang yang melipat tangan di dada sedari tadi mulai buka suara dan membuat semua panitia terdiam. Bing, ternyata pemuda itu cukup disegani di mapala.

"Ayo, keluar. Biarkan Talita istirahat."

Seperti titah raja, panitia bahkan ketua pendakian keluar tenda tanpa protes lagi. Bing memberikan sesuatu pada Talita.

"Ini busur emasmu. Lain kali jangan sembarang menggunakan itu. Suara yang kau dengar tadi bisa jadi penunggu hutan ini yang tidak menyukai perbuatanmu," terang Bing.

Talita mengangguk malu. Ia tadinya memang angkuh karena merasa sudah paham kondisi hutan. Ia jadi berpikir, seandainya ada Adara, seandainya ada Bunda Salsa, ia tak akan merasa terasing seperti ini. Oh ia mengingat Anina.

"Anina, bisakah kau ke sini?" ucap Talita pelan.

Semilir angin menyibak rambut Talita, "Putri, kenapa kau ke sini?"

"Aku merindukan suasana hutan. Seperti biasa aku berburu, tapi lupa waktu dan semakin tersesat, Anina. Aku mendengar banyak suara menakutkan. Aku takut. Aku ingin pulang." Talita mendekap tubuhnya sendiri sembari menangis.

"Inilah hukuman kau yang sering melupakanku. Seharusnya kau bertanya dulu padaku sebelum ke sini. Ini Hutan Bernoda, hutan sesepuhnya para roh jahat. Tempat para pemuja setan berkumpul dan melakukan ritual jahatnya. Kau harus hati-hati. Maafkan aku, Talita. Aku harus segera pergi. Mereka mulai mengawasiku."

Anina seakan berlalu begitu saja. Talita masih dihantui ketakutan. Keadaan mulai senyap. Sepertinya anggota mapala yang lain sudah tertidur pulas. Suara jerit tangis itu seolah mengejarnya. Ia memeriksa tasnya untuk mencari bubuk hijau pemberian Adara, tapi sudah habis. Dan suara itu semakin terdengar. Ia menangis sendirian.

Dalam ratap tangis sendirian, ia mengingat pesan Fawaz padanya yang dititipkan melalui Adara.

"Mau bubuk warna apapun, itu hanya talbis setan, tipu daya setan. Mereka mudah merasuk ke jiwa yang tak pernah menyebut nama-Nya. Allah, sebut nama-Nya."

Dan Talita yang bertanya, "Lalu bagaimana dengan bubuk hijau pemberianmu? Bukankah para makhluk itu takut pada bubuk dari daun itu?"

"Talita, Saudariku. Kekuatannya bukan di bubuk itu, tapi pada Allah. Jadikan Allah sebaik-baik tempat kita bersandar."

Talita menghela napas dalam dan mengabaikan suara jerit ramai itu dan mulai fokus pada rapalannya, "Aku tak tahu Engkau siapa. Aku mengenal-Mu dari sahabatku, Adara dan keluarganya. Duhai Allah, bantu aku. Duhai Allah, lindungi aku yang lemah ini. Hatiku selalu yakin Kau bisa menolongku dalam waktu tersempitku sekalipun," pasrahnya.

"Allah, Allah, Allah," lirih Talita.

Suara-suara itu masih terdengar. Dalam lirih, Talita memejamkan mata dan mendekap tubuhnya sendiri dengan tetap fokus menyebut nama Allah dalam yakin dan pasrahnya. Semakin lama suara-suara jerit pilu itu semakin mengecil dan menghilang. Lalu menghilang sama sekali. Talita membuka mata dengan tetap menyebut nama-Nya. Ia memberanikan diri mengintip pada celah di luar tenda dengan degupan jantung yang masih berdetak cepat. Berkali-kali Talita menelan pekat salivanya dengan bibir gemetaran. Suara-suara itu sudah menghilang sama sekali, tapi jiwanya masih dijamahi ketakutan yang mengusik. Hati-hati ia melihat seseorang duduk di depan api perapian sembari menambah kayu bakar agar perkemahan tetap terang dan menjaga api supaya tidak mati.

"Kak Bing," gumam Talita.

Talita memegang dadanya sendiri dan bernapas lega. Ia membuka resleting tenda dan berlari cepat ke arah Bing. Tanpa aba-aba tubuhnya langsung mendekap tubuh Bing Bong.

"Kak Bing."

Bing tercekat. Dan kembali pasrah saat tubuh gadis itu menubruk tubuhnya meminta perlindungan.

"Talita? Kamu tidak tidur?"

"Aku takut sekali. Tadinya suara-suara itu masih menggangguku."

"Tidurlah di tubuhku."

Talita melihat raut wajah Bing yang tulus tanpa niat jahat atau mencari kesempatan.

"Terima kasih, Kak."

Di tubuh Bing yang hangat dan harum itulah Talita merasa aman dan nyaman. Kantuk menyerang dan tak lama kemudian ia ternyenyak. Sempat muncul wajah Adara mengingatkannya agar jaga jarak pada makhluk bernama laki-laki, tapi Talita mengabaikan nasihat sang sahabat.

Adara, aku melakukan ini karena takut dan kantuk. Aku percaya pada Kak Bing. Maafkan aku mengabaikan pesanmu, Duhai sahabatku, bisik hati sang putri.

🍀🍀🍀

"Aku trauma, Adara."

"Jangan ke hutan lagi, Talita. Lagipula buat apa? tak ada gunanya. kalau kamu ingin cari hiburan, sebaiknya ke masjid atau belajar."

"Masjid?"

"Eh, maaf, kita beda keyakinan. Maksudku ke tempat ibadahmu saja."

"Tapi ayah dan bunda tidak pernah mengajakku ke sana. Bunda bilang, kami tidak punya keyakinan, tapi kami punya kepercayaan."

"Atheis?"

"Entah apa namanya."

"Baiklah jangan bahas hal sensitif masalah keyakinan. Maafkan aku, Talita. Mengajarkanmu soal keyakinanku."

"Keyakinan yang mana?"

"Menyebut Allah."

"Tidak, Adara. Justru karena menyebut Allah, aku bisa terselamatkan."

"AlhamduliLlah."

"Aku ingin belajar banyak hal soal Allah dan keyakinanmu itu. Aku melihat kehidupanmu lebih tenteram daripada kehidupanku."

"Setiap orang punya masalahnya masing-masing, Talita. Jangan mengeluhkan itu. Seperti bukan kau saja."

🍀🍀🍀

"Sudahlah, Ayah. Semua sudah terjadi. Lihatlah aku baik-baik saja sekarang," jelas Talita.

Ayah Beta memukul meja cukup keras. "Nyawamu hampir melayang. Para roh jahat itu mengusikmu. Hutan Bernoda. Yah, itu tempat Omakyah dan sekutunya dulu melakukan tirakat jahat menambah kekuatan ilmu hitamnya. Hutan itu terkenal angker. Kenapa harus hutan itu yang teman-temanmu pilih untuk pendakian?" keluh Ayah Beta. "Pengawal yang aku kirim juga tak berguna. Mereka hanya berbekal pistol dan tak punya kekuatan magis. Saat sesuatu yang tak kasat mata menyerang, mereka memilih kabur dan menghilang." Ayah Beta mengeratkan genggamannya karena kesal luar biasa.

Talita bergeming. Bila Bing tak menolongnya, entah akan ada di dunia mana dirinya sekarang. Nasihat Adara dan Fawaz yang paling mendominasi kekuatannya.

"Oh iya, para ahli tarot yang memberi tahuku kalau ketika itu kau merapal mantera yang membuat roh jahat itu pergi. Ayah tak pernah mengajarkanmu apa-apa, Nak. Dari mana kau tahu mantera pengusir kekuatan jahat?" tanya Ayah Beta.

Talita memutar otak mencari alasan yang masuk akal. "Aku hanya menyuruh mereka pergi dengan segenap kekuatanku," ujar Talita. "Mungkin aku memang ditakuti oleh mereka," dalih Talita.

"Mereka sudah mengganggumu."

"Aku bisa mengatasinya, Ayah. Jangan terlalu mengkhawatirkanku. Lihatlah aku baik-baik saja," hibur Talita.

Ayah Beta memeluk tubuh sang putri. Ia menangis dalam diamnya. Kagum akan kepribadian Talita. Ia pernah mendengar hutan angker itu hanya tak tahu ada di mana. Sulit menembus jalan keluar jika sudah terkena kutukannya. Tapi lihatlah Talita yang lepas tanpa beban. Penasaran juga dengan kekuatan apa yang sudah dirapal sang putri. Para pengawal sempat mengabarkan keadaan Talita yang pingsan selepas memburu burung gagak malam itu. Namun mereka terhalang kabut yang datang seketika saat akan menolong.

🍀🍀🍀

"Kak Bing!"

Laki-laki yang berjalan tegap itu menoleh. Talita mendekatinya dengan berlari kecil.

"Terima kasih atas bantuanmu di hutan."

Bing hanya mengangguk dan melanjutkan langkahnya.

"Kak Bing! Aku punya sesuatu untukmu."

Talita merogoh tasnya dan memberikan sekotak besar coklat mede kesukaannya.

"Coklat dipercaya menghilangkan stres. Dimakan ya, Kak."

Tanpa sebuah kata yang meluncur, Bing menerimanya dan mengacak rambut Talita.

"Terima kasih untuk coklatnya. Aku makan nanti saja." Bing memasukkan coklat ke dalam saku celana gombrongnya. Ia melanjutkan langkah.

Talita melihat Bing dari belakang dengan senyum manis. Pemuda itu apa adanya. Cara bersikap dan berpakaiannya. Bila dilihat sekilas, Bing nampak seperti pemuda yang tak terurus. Rambut yang acak dengan pakaian tak rapi sama sekali. Tapi sebenarnya, ia pemuda bersih. Talita melihat sendiri bagaimana rambut Bing bahkan tanpa ketombe dan harum seperti aroma tubuh pemuda itu. Kuku yang tak panjang apalagi sampai hitam. Tidak, itu bukan Bing. Kukunya selalu nampak bersih dan terpotong rapi. Talita diam-diam mulai menyukai pemuda itu.

"Aku menyukai Kak Bing," ucapnya bermonolog. "Sayangnya Kak Bing tak acuh pada siapapun," gerutunya kemudian.

🦋🦋🦋

Bersambung.
Situbondo, 4 September 2020.
______________________________________

Update lagi!

Ramaikan okey.

Dengan Vote n komen kalian😘

Makasihh nabilah06_sholihah atas boom komennya

_______________________________________


Cerita ini mungkin akan panjang, makanya alurnya agak cepat dengan jumlah kata 2000_an lebih ya, Kawanss. Semoga tak bosan😘😘

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top