Coba Bertahan
Manusia adalah makhluk Tuhan yang mencintai dan dicintai. Aku belajar menerima perasaan ini. Dan akhirnya menyesal setelah ditinggalkan.
Namun seiring waktu, aku memahami bahwa dengan perasaan ini, aku menjadi manusia seutuhnya. Yang mengakui kelemahanku hanya dari pukulan rasa yang sederhana. Namun tumbuh perkasa di relung jiwa.
(Talita)
"Kak Fawaz nggak bisa gini, Talita nggak boleh balik ke hutan. Itu bahaya!" pekik Adara.
Masih hening. Tak ada jawaban Fawaz. Membayangkan mimik wajah sedih Talita mana mungkin ia bisa menghiburnya? Perasaan itu berada dalam hati Talita. Kesimpulannya, hanya sang pemilik hati dan yang mencurinya saja yang menjadi obatnya.
"Kak, jawab!"
Helaan berat napas sang kakak terdengar menderu, "Sungguh, ini bukan urusanku, Dek. Talita sudah memutuskannya."
"Kakak pikir Adara nggak tahu. Kak Fawaz suka, 'kan sama Talita?"
"Sok tahu kamu! Aku terlihat peduli karena cuma dia kawan yang terlihat baik sama adiknya kakak," dalih Fawaz.
Fawaz melangkahkan kakinya santai menuju kamarnya. Adara berusaha mengejar dan menyamakan langkahnya dengan sang kakak.
"Jangan kira adikmu ini bodoh, Kak!"
Fawaz menoleh dengan senyum tipis, "Kamu aja nggak pernah jatuh cinta," cibirnya.
Adara pun bersungut mempercepat langkah menuju sang kakak. "Perasaan itu di hati. Nggak ada yang tahu. Tapi perasaan Kakak, terlihat jelas. Terpampang kayak tembok Cina di muka Kakak." Telapak tangan Adara melebar dan dipampangkan ke wajahnya sendiri.
Pemuda itu tak menimpali lagi. Dan memilih bersahabat dengan langkahnya kembali, menuju peraduan kesayangannya.
"Sejak Kakak patah hati dulu, Kakak nggak pernah mau ngobrol sama cewek. Cenderung cuek, jutek, introvert sama cewek. Tapi sama Talita, nggak cuma ngobrol, sering banget Kakak ngajak dia bercanda. Kalo nggak cinta atau suka, apa coba namanya? Hah?"
"Adara, kakak cuma kasihan sama dia. Dia gadis kesepian."
"Banyak cewek kesepian di sekeliling kita. Dan Kakak kenal. Yakin cuma itu alasannya?" Adara memicingkan matanya.
Kali ini Adara ingin menginterogasi kakaknya lebih rinci lagi. Perasaan tidak puas itu rasanya semakin mengurat syaraf di kepalanya.
Agak ragu menjawab, "Dia dikuasai makhluk lain di tubuhnya. Talita nggak sadar, tapi aku bisa merasakannya. Aku hanya ingin membantu kawanmu itu. Sekali dia merasa terbebani atau bahkan hilang kontrol, makhluk itu dengan mudah menguasai Talita."
"Apa?" Sedikit mimik wajah sangsi di wajah Adara. Tapi ia mencoba menyadarkan diri untuk tetap mempercayai Kakak Fawasnya itu.
"Ya, Adara. Cuma dengan satu cara aku bisa bantu dia." Tatapan Fawaz pada sang adik cukup meyakinkan.
"Aku masih nggak percaya." Dan kisut muka sang adik menampilkan rasa tak percaya walaupun sebenarnya di hati sang adik sendiri tak menampik adanya gangguan yang dialami sang sahabat Talita.
"Terserah."
"Dengan cara apa?" Talita mencoba memancing sang kakak supaya lebih terbuka.
"Dia mengikuti keyakinan kita."
Adara rasanya menyerah. Ia tak sanggup bila berbicara soal keyakinan. Ia akhirnya menerima alasan Fawaz kenapa mau mengacuhkan Talita. Bukan karena rasa suka, melainkan hanya kasihan. Miris.
"Dan satu lagi penyempurnanya," lanjut Fawaz.
Adara mengangkat wajah, "Apa?"
"Aku harus menikahinya."
Lepas mengatakan itu, Fawaz dengan santainya masuk kamar. Pintu kamar Fawaz yang terdobrak tutup tak lagi diacuhkan Adara. Masalahnya kini ia bingung harus komentar apa soalan sang kakak dan Talita.
Tak berselang lama Adara berlari mendekati kamar sang kakak dan menggedor pintu kamar Fawaz.
"Itu namanya Kakak suka sama dia, woyy! Alasan makhluk lain, nggak taunya pengin nikahin sahabat Adara!" kesal Adara.
✔✔✔
Baru pulang dari Turki, Adara langsung menuju kediaman Talita. Saking rindunya, ia memeluk Talita begitu erat.
"Aku sangat merindukanmu selama di sana, Talita," ungkap Adara.
"Aku pun merasa kesepian tanpa kamu, Adara. Karena itu aku memutuskan suatu hal setelah kepergian Bing."
"Maksudnya?"
"Aku berencana akan kembali ke habitatku setelah dilahirkan. Menjadi orang hutan lagi. Dan harus." Talita tertunduk membayangkan Bing. Ia merasakan ngilu di bagian dada. Baginya Bing adalah cinta pertama. Manusia dingin, tapi begitu menyayanginya.
"Kenapa harus, Talita?"
"Bing ...." Tak mampu melanjutkan kata-katanya, Talita memeluk Adara sambil menangis sampai terisak. Adara membalas pelukan sang sahabat dan mengusap punggungnya.
Adara melepaskan pelukan dan menghapus air mata di wajah Talita. "Dia bukan jodohmu, Talita. Kak Bing bukan jodohmu. Ada jodoh lain yang sedang menunggumu di sana."
Adara memejamkan mata seraya merapal sebuah doa, sebuah harapan kebahagiaan bagi dua orang yang ia sayangi.
Tuhan, seandainya hal itu bisa, aku membayangkannya. Kebahagiaan itu buat mereka. Sudahkan saja penderitaan ini. Firasatku keduanya sama merasakan sakit dan bisa menjadi obat untuk sama lain. Kumohon wujudkanlah pengandaianku ini.
Kembali gadis itu menyeka air mata yang mengalir otomatis ke pipinya.
⚘⚘⚘
Ucapan Adara masih terngiang di telinga Talita.
"Kak Bing, apa kau memang bukan jodohku?" gumam Talita.
Menatap dedaunan hijau dan dingin di luar sana dari jendela tinggi dari dalam rumahnya.
Benar, kini Talita kembali ke istananya yang berada di hutan. Sedikit terobati akan masa lalu yang ia lalui di sana. Tanpa perlu menjadi manusia utuh sebagai pecinta.
Kembali pada kebiasaannya semula, di punggungnya sudah terikat beberapa anak busur dan di genggaman tangan kanannya busur itu sendiri. Sementara kaki jenjangnya memainkan air beriak di depannya. Selokan kecil yang berair jernih. Rambut ikalnya yang sedikit berwarna cokelat nampak bercahaya terempas cahaya mentari yang menyelinap di antara rimbun pepohonan. sepersekian menit, rambut indahnya itu terkibas angin kecil.
"Puteri, apa ingin memanah lagi?" tanya seorang pelayan.
Talita mengangguk langsung dengan sebaris senyum. "Baiklah." Ia lantas berdiri dengan sigapnya. Merogoh anak busur di punggung dan menyayatnya pada sang busur.
Kembali sebuah kepakan gagak jatuh di kejauhan sana. Angin semilir menempa rambut coklatnya kembali. Talita bisa menebak siapa kali ini yang datang. Anina.
"Puteri? Puteri Talita?"
Seperti kebiasaannya dari dulu, Anina mengitari atas rambut Talita. Kesal cukup di bibir mungilnya yang melekuk. Kenyataan sebenarnya, Talita tersenyum dalam hati. Anina adalah kawan setia yang menemani nya selama di hutan. Kembali hadir menemani kesunyiannya.
"Kebiasaanmu tak pernah berubah, Anina. Selalu saja mengganggu ketenangan orang berburu."
Gadis itu kembali mengarahkan busurnya pada gagak sasaran selanjutnya. Anina kembali sibuk mengitari Talita.
"Kedatanganmu kembali ke sini buat banyak jatuh korban terutama gagak-gagak itu, Puteri."
Talita menurunkan busur panahnya. "Gagak itu bersuara jelek. Dan lagi, aku sangat membencinya." Gadis itu bergeming, mengenang dalam. "Mereka selalu muncul di mimpi dan menggangguku."
Tak lama kemudian Talita beranjak dari tempatnya.
"Aku mau pulang."
⚘⚘⚘
Kaki lentiknya terjulur indah memericik dalam air bening. Anina tercenung juga melihat pemandangan di depannya.
Talita yang sekarang lebih banyak diam dibanding dulu, pikir Anina.
"Kenapa kau melihatku seperti itu, Anina?"
"Kupikir Puteri tak mempedulikanku."
Manik cokelat hazel berbentuk bulat milik Talita berputar, "Kau pikir aku gila."
"Dari dulu aku selalu berpikir kau gila, Puteri. Tapi setelah dari kota, kau justru lebih gila," sarkas Anina.
Talita yang semakin jelas melihat bayangan Anina, menoleh, "Dan sekarang kau mulai berani padaku, Anina."
Semilir angin itu berdesir di anakan rambut Talita. Terdengar ia tertawa lebar. Sungguh, ada yang berubah dari kawan manusianya itu.
"Sekarang kau mulai suka berpikir keras. Itu bukan kau, Puteri. Kau bisa ceritakan padaku."
"Bukannya kau senang cari informasi sendiri?"
"Tak sempat, sekarang aku sibuk. Puteri. Orangtuaku menjadi pemimpin di kubu bangsaku. Dan aku harus menghadapi serentetan masalah di bangsaku juga."
Talita sekilas melirik Anina, "Kau seperti aku saja."
"Karena bangsaku dan bangsamu punya kehidupan yang sama, Puteri. Hanya beda derajat."
Talita tak ambil pusing. Ucapan Anina memang benar adanya. Dulu ia tak seserius itu. Tak seemosional ini dalam menghadapi suatu perkara.
Aku memikirkan seseorang ....
Senyumnya,
tawanya renyahnya,
dan candaan garingnya.
Sekilas dari kejauhan, terlihat kabut tebal tengah mendekati Anina dan Talita. Anina terbelalak tak menyangka akan hadirnya kabut itu.
"Puteri! Panggil pelayanmu. Sesuatu yang jahat akan menyerangmu."
Talita tak kalah panik. Apalagi Anina tak menjawab. Ia gemetar ketakutan seolah badannya mulai seringan kapas.
"Anina! Apa itu?"
Bukannya menjawab, Anina malah terbang menjauh. "Pergilah, Puteri! Kumohon larilah!" teriak Anina yang sudah mulai menjauh. Setelah itu suara si angin semilir lenyap dari kejauhan.
Gadis yang kini sendirian itu beranjak dari tempatnya. Ia mulai panik dan ketakutan. Sekelilingnya berselimut kabut. Bahkan panggilannya pada para pengawal seolah hilang begitu saja.
"Siapapun ..., kumohon, tolong aku," ucap Talita melemah.
Bayangan Talita, kabut itu semakin menebal dan akan menyedot energinya. Ia mengingat sahabatnya Adara pernah memberinya rapalan mantera bila ia suatu hari terkena gangguan. Berkali-kali Adara membisikinya sampai ia hafal di luar kepala dengan sendiri. Dalam kabut tebal dan terhimpit sendirian, ia mencoba merapal mantera yang ia tak mengerti artinya itu.
A'udzubillahi minas syaitonirrajim, bismillah.
Pandangannya mengabur. Talita merasakan tubuhnya bagai seringan kapas. Kabut itu pergi, tapi dirinya tergeletak lemah tak berdaya. Yang ia rasakan cuma panggilan pelayannya yang segera merengkuh tubuh lemahnya dengan suara-suara pelayannya yang terdengar riuh dan panik.
🌺🌺🌺
Bersambung
Situbondo, 10 Agustus 2023
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top