Cerita putri

"Aku hanya heran padamu, Omakyah. Apa yang kamu kejar dariku?"

Salsa duduk ditemani sang suami dan berhadapan langsung dengan laki-laki bertubuh kekar di depannya.

"Dan aku heran padamu, Salsa. Apa bagusnya seorang Beta? Dia hanya menang kaya raya. Anak pengusaha. Apa bagusnya dia? Bukannya aku juga seorang yang kaya raya?"

Memang bila dibandingkan dengan Beta, Omakyah lebih segalanya. Laki-laki kaya raya, fisik yang tinggi, tegap dan kekar. Dan tambahannya, Omakyah adalah seorang laki-laki yang memiliki ilmu kebatinan tinggi. Semua wanita bisa ia taklukkan dengan sekali kedipan mata. Namun saat ia benar-benar jatuh hati pada seorang gadis cantik dan ingin menikahinya, gadis itu menolaknya begitu saja. Gadis desa yang lembut dan baik hati bernama Salsa dan ilmu kebatinannya seolah terbuang sia-sia. Sudah berapa kali Omakyah mencoba mencuri hati sang gadis desa dengan ilmunya, tetap saja tak tertembus. Ia bahkan rela bekerja sama dengan orang-orang yang memiliki ilmu kebatinan tinggi seperti dirinya, tetap saja tak tertembus.

Hanya saja ketampanan Beta mengalahkan Omakyah. Beta adalah anak pengusaha kaya raya, hatinya yang bersih terpancar dari wajah dan Salsa menerima keinginan Beta untuk melamarnya. Omakyah tak terima dan berusaha memisahkan keduanya. Bersyukurlah, ayah Salsa adalah orang yang memiliki benteng khusus yang bisa menjaga keutuhan rumah tangga anak menantunya itu. Omakyah tak bisa berbuat banyak lagi setelah itu.

Kebencian Omakyah pada kebahagian pasangan Beta dan Salsa tak berhenti. Apalagi setelah ayah Salsa tiada, ia merasa bebas melakukan apapun agar Beta dan Salsa hancur. Kebencian Omakyah semakin bertambah saat tahu Salsa sudah melahirkan seorang putri yang cantiknya hampir menyerupai kecantikan Salsa. Sekuat tenaga Omakyah ingin memiliki putri itu, jika tidak, ia akan berusaha menghabisi bayi tak berdosa Salsa.

Talita Putri Salsa. Nama bayi perempuan itu merengek di tengah kegelapan malam. Salsa sudah memberinya ASI sesering mungkin. Tetap saja Bayi Talita menangis sesekali menjerit seolah ketakutan. Beta yang menemani Salsa dan Talita hanya bisa kebingungan. Apa yang terjadi dengan putri mereka itu.

Keesokannya Beta mencari orang pintar dan menanyakan keadaan sang putri. Tanpa mereka sangka sebelumnya, putri mereka mengalami syok berat karena sebuah tekanan melandanya. Paranormal itu sudah memberinya ramuan yang dibubuhi mantera. Namun tetap saja sang putri mengalami hal yang sama hampir setiap malam. Sudah beberapa paranormal yang mereka datangi. Hasilnya tetap sama. Seorang alim mengatakan, sang putri harus dijauhkan dari kedua orangtuanya tanpa ada yang mengetahui. Salsa dan Beta juga harus mengumumkan bahwa putri mereka sudah meninggal.

Berat nian melaksanakan itu. Wajah mungil nan cantik itu harus berjauhan dari mereka dengan batas waktu yang tak bisa ditentukan. Kesedihan yang mendalam sampai Salsa bersumpah tak akan memiliki anak lagi sebelum Omakyah mati.

Kabar kematian Talita pun merebak sesuai skenario. Drama pemakaman pun dilaksanakan sebagaimana mestinya dengan dihadiri keluarga dan teman sejawat baik Salsa atau pun Beta. Salsa dan Beta mengabarkan kalau anaknya sakit aneh selama beberapa malam sebelum akhirnya mengembuskan napas terakhir. Kali ini di tengah acara pemakaman mereka berdua memang menangis. Menangis pilu bukan lagi dengan sandiwara. Menangisi kepergian sang buah hati tercinta nun jauh di sana.

Tak ada satu pun yang tahu dibawa kemana sang putri. Beta menitipkan Talita pada orang kepercayaannya, Bibi Huni dan suaminya, Paman Odu. Di tengah kemelut fajar mereka pergi menggendong Talita dengan dibungkus tubuh sang bayi dengan selimut tebal sebelum acara pemakaman berlangsung. Wajar bila kala itu tangis Salsa dan Beta pecah tanpa sandiwara.

Di balik dunia yang lain, Omakyah tersenyum puas. Walaupun sedikit tanya masih merasuki jiwanya. Sepertinya ada sesuatu yang tak beres dan mereka sembunyikan. Namun ia tak mengerti apa itu.

"Belum seminggu aku menuntaskan rapalan manteraku. Kenapa bayi mereka sudah mati? Padahal seharusnya seminggu itu harus kulihat dulu hasilnya. Bayi Talita ada di tanganku atau dia mati perlahan. Apa aku salah mantera?" Omakyah memandang mata satu persatu sekutunya.

Mereka hanya mengangkat bahu. Salah satu dari mereka berdiri sambil memegangi tongkat berkepala ular.

"Ada sesuatu yang mereka sembunyikan."

"Apa kira-kira, Ped?" tanya Omakyah.

Yang dipanggil Ped alias Pedras tak lantas menjawab. Sembari berpikir, ia melangkah pelan menuju jendela dan melihat pemandangan luar.

"Perkiraanku bayi itu masih hidup. Tapi entah mereka menyembunyikannya di mana." Setelah mengatakan itu, Pedras memejamkan mata mencari jawaban dari kebatinannya. "Tapi jawabannya hanyalah kabut. Ada kabut yang menyembunyikannya."

"Apa kabut itu menandakan kalau putri mereka masih hidup?"

Pedras terdiam sejenak. Lalu menggelengkan kepala seraya menatap kosong pada Omakyah dan menatap yang lain bergiliran seolah mencari jawaban.

"Kabut itu meragukanku. Apakah bayi itu masih hidup atau benar-benar sudah meninggal. Kali ini mata batinku gagal menembusnya," ujar Pedras.

Salah seorang dari mereka pun berdiri dan mendekati Omakyah. Ia menyentuh bahu Omakyah.

"Bolehkah aku memberimu saran?"

Omakyah mengangkat dagunya sebagai pertanda setuju.

"Aku tahu kamu tidak terima akan kebahagiaan Salsa dan suaminya, apalagi mereka sudah dikaruniai seorang anak. Cobalah untuk melupakan mereka dan carilah kehidupanmu bersama gadis lain. Lupakan kepedihanmu itu, Saudaraku."

Wajah Omakyah berubah menjadi warna merah padam menahan amarah. Tangannya terbuka dan mengeluarkan paku yang dilempar pada kawan yang memberinya saran itu. Pedras memukulkan tongkatnya pada tangan Omakyah membuat paku itu terjatuh.

"Tahan emosimu!" Pedras nampak marah. "Kau tadi mengangguk saat Madma meminta izin memberimu saran," lanjutnya.

Omakyah tak menjawab dan hanya mendengus kesal. Ia beranjak dari kursi, "Kalian boleh pulang sekarang." Langkahnya lurus masuk ke dalam peristirahatan. Sepertinya ia masih marah.

🌿🌿🌿

Salsa masih saja tersedu sedan di atas tanah basah bertabur bunga. Yang ada dalam bayangannya kini adalah wajah sang putri, Talita. Saat Bibi Huni membawanya pergi, Talita tersenyum menatapnya. Namun seolah mengerti bahasa seorang ibu, dari balik senyum itu, Salsa melihat air mata bayinya berderai mengalir membasahi pelipis wajahnya yang masih kecil. Belum genap sebulan usia Talita, bayi kesayangannya itu harus ia relakan terpisah jauh. Membayangkan itu tangis Salsa pecah memenuhi ruang jagad di atasnya saat pemakaman sudah mulai sepi.

Dari balik pohon akasia yang menjulang tinggi, Omakyah berdiri melihat pemandangan pilu di depannya. Sebenarnya hatinya ikut pilu mendengar tangis menyayat hati dari wanita yang pernah diidamkannya itu. Karena tak tega, ia segera beranjak pergi.

"Rasanya putri itu memang sudah benar-benar tiada." Sekali lagi ia menoleh ke belakang dari kejauhan menatap Salsa yang direngkuh dan dibawa pulang paksa oleh Beta. "Maafkan aku, Salsa. Aku berjanji setelah ini aku tidak akan menganggu kehidupan kalian lagi. Benar kata Madma, aku harus pergi mencari kebahagiaanku yang lain. Dan menerima ini semua," gumamnya kemudian dengan berlanjut melangkah pergi.

🌿🌿🌿

"Apa Nona akan menyetujui usul Nyonya Salsa?" tanya Bibi Huni.

Bibi Huni sudah seperti ibu kandung bagi Talita. Tempat berkeluh kesah dan orang yang paling menjaga Talita layaknya anak sendiri. Lihatlah sekarang, bagaimana Bibi Huni memijat kaki Talita penuh kasih sayang saat Talita berkeluh kalau badannya sakit semua setelah dari hutan tadi.

"Entahlah, Bibi. Aku menyukai tempat ini. Tapi aku juga sadar, tidak mungkin selamanya aku berada di sini. Aku juga butuh pendidikan yang lebih tinggi dan formal. Begitu 'kan kata bunda? Aku menyadari itu."

"Dan suatu hari nanti, Nona juga akan bertemu takdir Nona Talita," ucap Bibi Huni. Talita menoleh dengan pertanyaan yang tersimpan dalam mimik wajahnya. "Pasangan hidup," lanjut Bibi Huni.

Badan Talita bangkit duduk yang awalnya berbaring di atas tempat tidurnya. Ia memandang Bibi Huni.

"Pasangan hidup? Apa itu?"

"Paman Odu contohnya. Adalah pasangan hidupku, Nona."

Sekilas berpikir, Talita mulai bisa menggambarkan tentang lawan jenis. Ada ketertarikan di sana. Dia pernah melihat seorang manusia tepatnya pemuda yang sedang berburu saat Talita mencoba keluar agak jauh dari hutan. Namun aksinya keburu ketahuan para penjaga yang meminta Talita kembali lagi ke hutan. Talita yang memahami keadaan dirinya hanya bisa pasrah. Ia menerima setiap keadaan dan tak ingin orang-orang di sekelilingnya celaka karena ulah dirinya.

"Aku akan mempertimbangkannya, Bibi." Talita membalikkan badannya lagi bertelungkup dengan dagu yang ditempelkan pada bantal. Matanya terpejam.

Ketertarikan pada lawan jenis. Pemuda yang berburu. Alisnya panjang melengkung dengan rahang yang tegas. Bagaimana mata tajam pemuda itu berhasil membidik sebuah elang dengan tepat di sayapnya. Jantung Talita sempat berdegup ketika itu. Namun ia tak mengerti mengapa keadaan tubuhnya berubah begitu. Ada sesuatu pada pemuda itu yang membuatnya ingin mendekat. Hanya saja Talita tak tahu apa itu namanya. Perasaan yang mengalir begitu syahdu dan membahagiakan bersama sebuah harapan. Harapan yang bahkan ìa tak mengerti apa.

"Aku masih belum mengerti banyak hal, Bibi," gumam Talita kemudian.


🦋🦋🦋
Bersambung.
Sìtubondo, 8 Oktober 2019.

____________________

Semoga bertambah syukaa dengan cerita ini, kawan.

Next?? kasi like n komennya yapp,,

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top