Aku baik-baik saja

Maafkan Jumat kemaren lupa up,, sila dibaca.

🙏🙏🙏

Sebuah angin besar datang mengibas seluruh perabotan yang ada di ruangan luas untuk pesta itu. Gorden mewah yang berada di setiap sisi ruangan yang berkaca lebar seolah akan terbang saja. Jelasnya  undangan yang hadir berteriak ketakutan mengira ada bencana alam yang akan menimpa. sebagian merintih pilu dan saling mendekap. Dan hanya bisa pasrah.

Di sudut lain, Putri Talita menutup mata dan telinganya bersamaan. Ia tahu apa yang sedang terjadi. Bunda Salsa segera mendekap dan mengajak putrinya itu beranjak. Namun karena tak kuasa menghadapi sebuah beban di depannya, tubuh gadis itu terjatuh lunglai tak berdaya. Terang saja Bunda Salsa memekik ketakutan. Syukurlah Ayah Beta segera membopong tubuh sang buah hati ke tempat aman.

Acara pesta itu segera dibubarkan dan para tamu undangan pulang dengan wajah tak bisa dibahasakan lagi. Keluarga Beta yang diwakili seorang pembawa acara meminta maaf atas kegaduhan yang sudah terjadi itu.

🌿🌿🌿

"Mana janjimu, Guru Endru!? Lihat! Putriku begini lagi! Tersiksa lagi! Percuma belasan tahun aku menyembunyikannya demi keselamatan hidupnya, tapi apa? Sia-sia. Gara-gara pesta tak bermanfaat itu!"

Guru Endru meminta maaf berkali-kali, tapi Salsa sudah tak mengindahkan ucapannya karena emosi yang terlanjur melingkupi jiwa. Guru Talita itu memejamkan mata sejenak.

"Kujamin itu bukan kerjaan Omakyah," tebak Endru.

Semua yang hadir bergeming. Bibi Huni mengusap kening Talita yang tak sadarkan diri di atas kasur sembari merapalkan sebuah mantera berkali-kali agar anak majikannya itu segera membuka mata, tapi sepertinya tak mempan. Talita masih setia dengan matanya yang terpejam rapat. Bunda Salsa masih histeris memanggil nama sang putri. Sementara Paman Odu dan Ayah Beta keluar kamar dan berbincang empat mata. Terlihat sekali perbincangan tersembunyi itu serius.

"Apakah yang ada di pikiranmu, Odu?"

Paman Odu mengusap ujung dagunya dan menoleh ke arah Beta.

"Benar kata Endru, Beta. Ini bukan kerjaan Omakyah. Aku tahu bagaimana cara ilmu dia bekerja."

Selama pesta tadi, ada sebuah kabut mirip tinta berbau busuk menyebar. Dan saat itulah Talita pingsan. Sekejap saja tidak sampai lima menit. Namun pesta itu terpaksa dibubarkan karena tamu undangan yang hadir mulai merasa mual karena bau busuk dan sebagian tamu sampai muntah dan batuk-batuk.

"Cara kerja ilmu ini mirip seperti cumi-cumi. Mengeluarkan tinta hitam untuk menghalau musuh," tutur Odu.

Ayah Beta mengiyakan. Ia mulai berpikir keras lagi. Adakah seseorang yang ia rasa musuh yang pernah belajar ilmu hitam model gurita laut.

"Ini tidak lucu, Odu. Anakku hampir diculik jika tak segera kuamankan. Untunglah kejadian seperti ini sudah kusiapkan dari awal," jelas Beta.

Paman Odu yang sudah menganggap Talita seperti anaknya sendiri, bisa menangkap mimik wajah Ayah Beta yang terlihat menyesal dan sangat sedih. Ia mengusap kuat pangkal lengan Ayah Beta.

"Talita juga sudah menjadi bagian dari hidupku. Aku menyayanginya seperti anak sendiri. Aku mengerti keresahanmu."

Ayah Beta menghela panjang napas beratnya yang terasa sangat sesak. Sampai kapan ia harus menjaga sang buah hati?

Paman Odu mengajaknya masuk ke dalam rumah dan melihat Talita. Baru saja berbalik badan, Bunda Salsa sudah menampilkan wajah girangnya.

"Talita sadar, Beta!" pekik Salsa.

Ayah Beta berlari saking senangnya menuju kamar Talita. Ia mendapati sang putri duduk dengan wajah ceria di atas tempat tidur.

"Talita anakku!"

Sang ayah memeluk tubuh sang putri segera. Ayah Beta menangis sampai sesenggukan. Putrinya yang malang sudah kembali ke pelukannya lagi.

"Hei, Ayah! Kenapa menangis? Aku baik-baik saja," ujar Talita dengan merentangkan kedua tangannya. "Lihatlah! Tak satupun nyamuk berani menyentuhku."

"Jangan nakal, Talita. Kau membuatku hampir mati saja."

"Sudahlah, Ayah. Aku janji bisa menjaga diri."

Ayah Beta tak menyahut, tapi langsung mendekap sang putri yang masih terduduk di atas pembaringan. Tak bisa dibohongi bagaimana perasaan resah berlebihan itu muncul. Itu terlihat sekali dari percikan air di sudut mata Beta. Anak semata wayang yang baru kembali dan bahaya yang mulai akan mengancam lagi.

Setelah melepaskan dekapan dari sang anak, Beta menyimpulkan, "Tidak akan ada lagi pesta ataupun sesuatu yang ramai di rumahku ini. Keselamatan putriku adalah skala prioritas!" tegasnya.

"Ayaaahhh, ayolah. Jangan berlebihan. Lihat! Aku baik-baik saja," ungkap Talita.

Beta tak menyahut dan memilih beranjak keluar kamar. Ia menghapus sudut matanya yang mulai berair itu. Endru yang membuntuti di belakangnya menepuk pundaknya.

"Ini tidak mudah, Endru."

"Bersabarlah. Aku yakin suatu hari, kekhawatiran seperti ini akan sirna."

Ayah Beta mengangguk-anggukkan kepalanya. Berharap bahwa ucapan guru dari anaknya itu menjadi kenyataan walaupun kemungkinannya kecil sekali.

🌿🌿🌿

Talita bertopang dagu. Ia bukannya tidak tahu menahu kegalauan yang tengah dirasakan ayah bundanya. Mengkhawatirkan selalu dirinya yang terancam karena musuh yang terus mengintai.

Omakyah menjadi tersangka utama dan yang paling bertanggungjawab atas semua kejadian itu. Tetapi tanpa semua orang tahu, Talita pernah bertemu dengan orang yang mengaku bernama Omakyah. Bukan dengan acara bermusuhan justru sebaliknya, Omakyah tampil malah sebagai pahlawan. Talita abaikan semua cerita. Baik Omakyah atau pun kisah lalu yang berhubungan dengan orang itu baginya buram.

"Om Omakyah baik, tapi sekalipun Om jahat, aku tidak peduli. Yang penting aku dan ayah bunda baik-baik saja."

"Siapa yang kau maksud dengan Om Omakyah, Talita?"

Rupanya monolog Talita tadi didengar sang ayah. Talita tak menoleh dan memilih bungkam.

"Talita, aku bertanya sekali lagi padamu. Siapa yang kau maksud Om Omakyah itu?" tanya ulang Ayah Beta.

"Ayah sudah tahu Omakyah siapa. Dalam kehidupan kita, hanya ada satu nama Omakyah."

"Dari beberapa belas tahun yang lalu, aku menyembunyikan nama itu pada siapapun termasuk padamu, Putriku. Hanya keluarga inti dan para penjagamu yang tahu. Lalu kamu, Sayang, tahu dari mana nama itu?"

Sebenernya Talita enggan menceritakan kejadian malam itu pada siapapun termasuk pada ayahnya.

Malam di mana pesta itu dimulai. Saat ia masih bersiap dan merias diri, ia melihat kejadian aneh. Kepiting sawah berwarna coklat sedikit kebiruan mengitari pepohonan akasia di depan rumahnya. Tanpa rasa takut sedikitpun, Talita mencoba mengintip dari balik kaca kamarnya. Dan yang lebih aneh lagi, kepiting itu bukannya berjalan di tanah, malah terbang dan menjerit seperti orang tengah kegirangan. Jeritan yang masih membekas di telinganya. Di saat itulah Talita mulai waspada akan ilmu hitam yang pernah ia dengar akan mengancam jiwanya.

"Aku mulai waspada, Ayah."

"Lalu?"

"Aku tahu pertanyaan Ayah pasti apa hubungannya dengan Om Omakyah, 'kan?"

Dengan melipat jari jemari di depan mulutnya, Ayah Beta mengangguk. Perasaan was-was itu muncul kembali setelah beberapa dekade  ketenangan itu sempat ia rasakan.

"Aku sempat menemui tamu saat pesta berlangsung karena di atas kepalanya kurasakan ia memiliki aura berbeda dari yang lain. Aku hanya penasaran, ia seolah memiliki medan magnet dalam tubuhnya."

Tapi Talita malah tersenyum lebar saat menceritakan Omakyah membuat kekhawatiran Ayah Beta sedikit berkurang.

"Dia memperkenalkan dirinya sebagai Omakyah, musuh lama Ayah dan bunda. Seolah menakutiku, tapi aku merasakan sesuatu yang lain dari sikapnya. Ia sepertinya orang baik dan ...."

"Tidak, Talita. Itu hanya kamuflase Omakyah saja."

"Ayaaahh, aku belum selesai bicara. Kumohon jangan memotong ceritaku jika Ayah masih ingin mendengarnya."

Beta bungkam seketika. Benar saja, dia masih ingin mendengar cerita sang putri sampai selesai, tapi rasa kekhawatirannya membuat naluri sebagai ayah membuatnya lupa pada tujuan awalnya. Mendengarkan cerita Omakyah dari si putri langsung.

"Maaf," lirih Beta kemudian.

Talita mengangguk sesaat. Dan melanjutkan ceritanya kembali.

"Om Omakyah cerita jika itu hanya masa lalunya. Musuh di masa lalu. Ia sudah 'kembali' dan mencoba menuntaskan semuanya."

"Maaf, Anakku. Maksudnya dia 'kembali' apanya?" Ayah Beta menebak banyak hal dari ucapan Omakyah pada anaknya itu. "Dia 'kembali' bermaksud balas dendam mungkin," gumamnya seraya menebak.

Gadis di samping Ayah Beta itupun hanya mengangkat bahu. Tak tahu menahu dalam menyimpulkan sesuatu. Baginya semua masih kelabu. Namun entah mengapa, hati kecil Talita mengatakan bila Omakyah tak seperti kisah masa lalunya yang seolah penuh kegelapan. Justru sebaliknya, Omakyah dalam pandangannya sama halnya dengan manusia baik lain. Yang hangat dan bersahabat. Entahlah.

"Kamu berhati-hati saja dengannya, Putriku. Bisa saja itu hanya akal-akalan Omakyah. Kau tahu, sebelum jatuh cinta pada Bunda Salsa, Omakyah terkenal memiliki banyak kekasih. Apalagi ilmu dia bukan ilmu recehan. Mudah baginya membuat para bidadari bertekuk lutut. Hanya bundamu saja yang tidak tertarik sama sekali padanya. Karena itu, ia merasa penasaran dengan Salsa. Apalagi mendengar bundamu menikah denganku, seorang laki-laki biasa ini, Omakyah merasa harga dirinya jatuh dan berniat menghabisimu. Sampai kau harus terpisah begitu lama dengan kami. Tak terbayangkan bagaimana kehampaan kami ketika itu." Kelopak bening Ayah Beta berkaca-kaca. Ada marah dan sedih jika mengenang itu semua. "Semua ini karena Omakyah. Alasan kita terpisah jauh, Nak."

Talita menoleh dan mengambil lembaran kain di bajunya. Dengan kain itu, ia mengelap air mata sang ayah.

"Sudahlah, Ayah. Aku akan baik-baik saja."

Ayah Beta mendekap sang putri. "Jangan pergi lagi, Nak. Kau berlian kami satu-satunya." Dan Talita tersenyum haru dibuatnya.

📽📽📽
Bersambung
Situbondo, 6 Maret 2020

----------------------------

Jangan lupa komen n likenya yahh.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top