Lamaran yang Datang Tiba-Tiba

Taksi yang ditumpangi Kaira berbelok kiri di ujung jalan, menuju gerbang perumahan tempat Kaira tinggal. Kaira bahkan tidak lagi fokus pada jalanan di depannya, karena ia sibuk melamun. Untung saja tadi ia sudah memberikan petunjuk jalan ke arah rumahnya dengan jelas pada pak supir hingga beliau tidak perlu bertanya lagi. Posisi duduk Kaira masih seperti dua puluh menit lalu, termangu menatap luar dari balik jendela dengan bertopang dagu.

"Sudah sampai Mbak," teguran bapak supir taksi mengejutkan Kaira. Ia lekas membuka pintu penumpang, mengeluarkan barang bawaannya yang tidak terlalu banyak-sebuah koper berisi pakaian, tas ransel tempat Kaira menyimpan peralatan bantu menulisnya dan satu kardus makanan oleh-oleh khas Yogya.

Kaira membuka pintu pagar rumah, disambut oleh eongan dua ekor kucing kampung sekitar sini yang biasa numpang istirahat di teras rumah Kaira karena lebih teduh dari rumah lain di kompleks ini. Ditambah lagi, mereka berdua bisa dapat bonus makanan basah kalau bertemu Kaira. Kaira meletakkan bawaannya di depan pintu, berjongkok untuk mengusap keduanya yang langsung berebut melompat ke pangkuan Kaira.

"Kamu kangen Kakak, ya?" tanyanya pada kucing abu-abu belang yang mengusap-usapkan kepalanya pada lengan Kaira. "Sini lihat, lukamu sudah sembuh atau belum?"

Beberapa hari sebelum rencana liburan Kaira, si abu-abu belang diserang kucing kampung gang sebelah karena berebut betina. Lehernya terdapat luka menganga bekas tusukan gigi taring dan beberapa bekas cakaran di tubuh. Kaira memeriksa lehernya, hanya untuk mendapati luka tersebut kini bernanah karena digaruk. Kaira menahan wajah si abu-abu, memaksanya melihat mata Kaira.

"Anak bandel! Besok pagi kita ke dokter hewan, ya."

Si abu-abu menjawab dengan eongan lemah dan juluran lidah untuk menjilat hidungnya sendiri. Kaira meletakkan abu-abu, ganti memeriksa kucing yang oranye. Mereka berdua kucing jantan yang terlahir dari ibu yang sama dengan bapak berbeda. Si abu-abu abangnya, dan si jingga baru sekitar enam bulanan usianya. Meongannya lebih nyaring dan gerakannya lincah. Kaira memeriksa kupingnya yang sempat kena earmites, lalu mencari tanda-tanda kutu di tengkuknya.

"Dateng-dateng bukannya masuk rumah dulu, malah ngurusin kucing," Kaira mendongak, mendapati ibunya berdiri di depan pintu sambil berkacak pinggang. Kaira nyengir, meletakkan kedua kucing dalam pangkuannya di lantai, lalu berdiri mencium tangan ibu.

"Cuci tangan dulu, habis pegang kucing," gertak ibu ketika Kaira bahkan baru menginjakkan kaki di ruang tamu. Kaira sendiri sudah lelah mengingatkan kalau kucing itu tidak kotor, dan lain sebagainya, tapi ia sedang malas berdebat hari ini. Tidak di saat ada satu hal penting yang ingin Kaira umumkan pada Ibu, meski ia masih belum tahu caranya.

Kaira menghabiskan waktu di kamar, membongkar isi koper dan ransel, lalu membaca ulang catatannya selama di Yogya, berharap bisa segera menemukan materi yang bagus untuk ditulis. Namun, ia justru membuka ponsel dan berakhir di laman Instantgram Ganendra, memandangi foto-fotonya. Ganendra yang akhirnya bisa bertemu Menteri Pendidikan dari Malaysia siang ini, dia dan secangkir espresso di tangan pada panel berikutnya serta sepotong langit senja dari puncak Borobudur pada panel terakhir dalam satu baris.

Jemari Kaira berhenti pada postingan Ganendra tiga hari lalu, memotret sesosok perempuan dari kejauhan, hanya terlihat ranselnya dan kamera mirrorless di tangan. Kaira tidak perlu mencari tahu wajah orang tersebut-karena hanya terlihat bagian punggung saja, tetapi kaus abu-abu adalah baju yang dipakainya saat bertandang ke Borobudur. Ransel merah, rambut, serta kamera itu terlalu mirip dengan barang-barangnya.

Pantas saja berita mereka masuk di akun gosip Minceu. Mereka mungkin sudah menghidu ada yang tidak beres dengan kehidupan percintaan Ganendra sejak dia mengunggah foto ini. Mengingat pengikut akun Minceu yang jutaan orang, tentu menemukan satu dua orang di Yogya yang bisa mengambil bukti foto kebersamaan mereka tidaklah sukar. Kaira berpindah posisi dari telungkup menjadi duduk menyandar tembok, mengamati postingan tersebut lebih jauh.

Alangkah menyenangkannya jika dalam satu hari saja, aku bisa hidup untuk diriku sendiri, begitu yang Ganendra tulis dalam takarirnya. Kaira mendengkus, Ganendra terlalu puitis dalam membuat takarir. Kaira cemberut membandingkan Ganendra di akun media sosial dengan Ganendra yang ia kenal pada kehidupan nyata. Sebuah pesan diterima di kotak masuk WhatsUp Kaira, ia menutup aplikasi Instantgram setelah menghapus jejak pencarian-bahkan ia dengan sengaja belum mengikuti akun Ganendra.

GRM Ganendra Paramayoga
Dua minggu lagi keluarga besarku akan ke Surabaya.

GRM sedang mengetik ...
Kamu siap-siap packing.

GRM sedang mengetik ...
Kamu mungkin akan dibawa ke Magelang untuk dipingit dan belajar tata krama kerajaan.

Kaira menelan ludah membaca pesan tersebut. Pingitan? Yang benar saja. Namun secepat Kaira menyangkal, saat itu juga ia semakin sadar kondisi dan posisi calon suaminya itu. Ia baru mengetik dua huruf ketika ibunya memanggil.

Ng ...

"Kai, turun! Ayo makan."

Kaira meninggalkan ponselnya di ranjang, bergegas turun ke dapur untuk makan malam. Meninggalkan pesan untuk Ganendra yang masih menggantung dengan keterangan sedang mengetik.

Kaira membawa serta beberapa oleh-oleh khas Jawa Tengah yang diminta sang ibu ketika dia turun dari kamarnya. Ibu tampaknya tidak terlalu tertarik dengan makanan khas daerah yang masih berada dalam kardusnya seperti saat Kaira tinggalkan di dapur beberapa saat lalu. Ini tidak seperti biasanya dan Kaira penasaran kira-kira kesalahan apa yang telah dia perbuat kali ini.

"Ibu udah ngecek oleh-olehnya sudah sesuai pesanan Ibu atau belum?" tanya Kaira berbasa-basi. "Aku siapkan juga buat tetangga, tapi nggak bisa banyak karena aku pergi sendirian. Ini aku bawakan kain batik tulis yang Ibu minta, buat Ibu, Bude dan Pakde. Nanti kalau mau aku bisa antarkan ibu ke tempat Bu Wening buat jahit—"

"Kamu nggak bawa gudeg?" tanya ibu.

Kaira mengerjap. "Memangnya kita bisa bawa gudeg ke sini? Aku takutnya basi kalau kelamaan di perjalan-"

"Kan kemarin ibu minta gudeg. Udah ibu WU juga tapi nggak kamu bawakan."

Kaira bukannya lupa, tapi dia tidak yakin apakah dia bisa membawa gudeg selama berjam-jam, jadi dia putuskan untuk tidak membeli. Pemandu wisatanya alias Ganendra pun tidak banyak membantu ketika Kaira minta pendapat.

"Aku nggak pernah bawa oleh-oleh gudeg ke luar kota," begitu katanya. Dengan nada sedikit provokatif, dia juga menambahkan, "Beli aja di Surabaya, terus kamu bilang kalau itu beli dari Yogya, kan gampang."

Bagian itu yang Kaira lupakan karena ia terlalu sibuk memikirkan hal lain yang lebih penting dari gudeg dan menyangkut masa depannya. Ibu Kaira meliriknya tajam sebelum mengambil seporsi makan malam dan mengabaikan Kaira sepenuhnya.

Kaira mengembuskan napas berat, pasrah menerima kesalahannya kali ini. Dia mengambil dua centong nasi, tetapi mengurungkan niatnya dengan mengembalikan satu centong ke bakul. Melihat makanan tiba-tiba saja mengingatkan Kaira akan fitting kebaya, dan kekhawatiran kalau kebayanya tidak muat, sungguh sangat efektif untuk menghilangkan nafsu makan. Kaira hanya mengambil tahu dan tempe, melewatkan tongseng daging dan lodeh labu siam. Semua itu tentu saja tidak luput dari pengamatan ibu.

"Tumben makan sedikit? Kalau jam segini nggak apa-apa makan banyak, jangan nanti tengah malam kamu pesan delivery 24 jam," sindir Ibu.

Kaira menggeleng, "Lagi nggak lapar Bu, penginnya tidur."

Ibu meraih remote televisi lalu mengganti saluran ke acara lawak slapstick yang mengusung tema wayang modern. Kaira makan dalam diam sambil terpaksa menonton orang-orang dipukul dengan stirofoam, yang anehnya hal itu justru bisa membuat Ibu tertawa. Dalam hati Kaira sedikit bersyukur, setidaknya ibu tidak menonton sinetron balap motor anak SMA. Kaira pikir jika ia ingin memberitahu ibu sesuatu, mungkin sekarang lah saat yang tepat. Di saat suasana hati ibu sedang agak membaik.

"Bu."

"Hmm?"

"Ibu masih ingat 'kan, kriteria calon mantu yang Ibu mau dari saya?" Kalimat sepanjang itu meluncur begitu saja dari mulut Kaira tanpa bisa dibendung. Ibu sampai berhenti makan, minum segelas air sebelum menatap Kaira dengan sorot asing.

"Kenapa kok kamu tiba-tiba ngomongin soal mantu? Kamu sudah ada calon?" ibu mencibir, "Paling juga kamu ngaku-ngakuin cowok-cowok pesolek yutub yang nari-nari itu, kan? Kamu nggak pernah keluar rumah gini mau dapat jodoh dari mana?" Maksud ibu dengan cowok pesolek yutub adalah grup vokal dari Korea Selatan yang Kaira gemari. Meski tidak sampai tahap menempel poster mereka hingga memenuhi dinding, tetapi Kaira selalu membeli CD album mereka, CD konser, atau CD photobook dan merchandise resmi grup itu.

Kaira meletakkan sendoknya, melebarkan kelima jari sambil melipat satu persatu sesuai kriteria, "Seagama, orang Jawa, mapan, ganteng, orang terpandang. Saya masih ingat lima kriteria itu yang Ibu kasih ke saya, dan sepertinya saya sudah ketemu sosok laki-laki seperti yang Ibu mau."

Ibu menatap Kaira seolah-olah dia sudah gila, "Ibu pikir-pikir lagi, kriteria kayak gitu, sepertinya ketinggian buat kamu. Ibu baru sadar harusnya Ibu nggak nuntut terlalu tinggi, sampai kamu nggak nikah-nikah padahal umur sudah dua tujuh begini. Memangnya kamu sudah yakin orangnya mau sama kamu? Kamu dijadikan istri ke-berapa sama dia?"

Kaira menggigit sendoknya, berusaha keras tidak memutar bola matanya di depan Ibu, "Ya mau lah, Bu. Orang dia yang minta saya duluan. Dua minggu lagi dia akan ke rumah bareng keluarganya, kok. Berarti dia sudah yakin mau meminang saya, 'kan?" Kaira mengembuskan napas panjang. "Dan enggak, saya nggak merebut suami orang atau jadi simpanan bos besar atau siapa pun. Dia orang Jawa sini juga," Kaira berdeham. "Jawa Tengah sih, tepatnya. Kalau ada laki-laki yang mau melamar saya kayak gini, Ibu bakal izinkan saya menikah sama dia, nggak?"

"Jadi kamu ke Jogja kemarin buat ketemu dia?" tuduhan itu tidak sepenuhnya salah, tetapi Kaira mengangguk saja agar tidak menambah panjang hal-hal yang harus ia jelaskan pada ibunya. "Memangnya siapa dulu laki-lakinya?" ibu mengubah posisi duduknya menghadap Kaira, sepenuhnya abai pada layar televisi. "Kamu ini mbok ya, minta kawin kok mendadak gini kayak minta dibelikan mainan. Dulu-dulu aja ditanya kapan calonnya mau dibawa, kamu bilang belum ada. Jadi yang dulu itu bohong atau memang baru ketemu? Yang bener aja, emangnya hatimu sudah mantep sama dia? Kamu sudah kenal berapa lama?"

Kaira mengarahkan pandangannya ke dinding di belakang televisi, berharap bisa membenturkan kepalanya di sana hingga rasa pusing ini reda. Ia tidak mengerti mengapa mengobrol dengan ibu selalu sesulit ini. Bukan hanya soal pernikahan; dalam hal-hal kecil seperti menyiram tanaman dan penggunaan lampu, ibu selalu punya cara untuk membuat Kaira tertekan dan merasa dirinya tidak becus dalam segala hal. Suatu waktu, ibu memaksa Kaira untuk memenuhi keinginan beliau tanpa bertanya terlebih dahulu apakah dia berkenan atau tidak. Tapi di sisi lain, Ibu membuat Kaira merasa bersalah saat dia menuruti perintah tersebut karena tidak sesuai keinginannya.

"Baru kenal, tapi orangnya baik dan kelihatannya sayang sama saya." Yah, setidaknya Kaira menjamin dalam perjanjian prenuptialnya nanti bahwa ia akan baik-baik saja dalam pernikahan ini dan itu sudah lebih dari cukup. "Kata Ibu kan kalau memang sudah cocok nggak usah lama-lama penjajakan, soalnya umur saya juga sudah banyak."

"Iya, tapi sama siapa dulu?" Ibu sepertinya sudah tidak sabaran dengan Kaira yang mengulur-ulur waktu untuk menjatuhkan bomnya. "Kasih tahu namanya siapa, kerja di mana, orangnya kayak apa, biar jelas. Kamu ini kebiasaan suka setengah-setengah kalau ngomong. Pernikahan itu nggak main-main, lho."

Kaira menunduk, menghitung sampai tiga dalam hati sambil menyiapkan mental. "Namanya Gusti Raden Mas Ganendra, Pangeran Mahkota Karesidenan Magelang. Orang itu yang mau melamar saya." Kaira menggigit bibirnya yang gemetar, bahkan saat ia mengucapkannya sendiri, pernyataan tersebut masih sulit untuk dipercaya. "Dia bilang saya perempuan yang dicarinya selama ini, jadi dia mau cepat-cepat menikah saja, nggak perlu nunggu lama."

Piring dalam genggaman ibu jatuh, pecah berkeping-keping, hingga salah satu belingnya menggores kaki ibu, tetapi perempuan paruh baya tersebut tampak tidak terlalu peduli saat ini.

"Pangeran?" ulang ibu. "Pangeran mahkota sungguhan? Hari gini masih ada pangeran di tanah Jawa?"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top