8. Say Yes
Kaira bertepuk tangan dengan meriah ketika anak panah kedua Ganendra menancap tepat di bagian tengah sasaran menyusul anak panah pertama yang telah berada di sana lebih dulu. Tanpa sadar, ia sampai menjatuhkan botol air mineral yang dipegangnya, benda tersebut menggelinding hingga membentur ujung sepatu Ganendra. Ganendra mengambil botol minum Kaira dan menenggaknya hingga habis. Sebagai pertunjukan tambahan terakhir, dia meremas botol tersebut dan melempar masuk ke bak tempat sampah terdekat dengan tepat sasaran. Hal tersebut membuat beberapa orang lain yang sama-sama bermain panahan jadi menghentikan kegiatan mereka dan menatap mereka berdua dengan sorot menghakimi.
Kaira menyadari bahwa mereka berdua terlalu mencolok untuk berada di arena aktivitas yang didominasi oleh anak-anak dan remaja ini. maka ia buru-buru ia menggamit lengan Ganendra dan menjauh menuju bangku-bangku panjang teduh di sepanjang area taman terbuka. Di dekat mereka ada satu keluarga kecil ibu ayah dan anak balita yang masih baru belajar berjalan. Kaira bisa merasakan tatapan kebapakan dari Ganendra terhadap bocah laki-laki yang bahkan giginya belum tumbuh semua tersebut. Kaira memutuskan untuk tidak meledek pria di sebelahnya ini dan mengeluarkan tablet serta kantong berisi produk perawatan kulit dari dalam ranselnya. Kaira mengocok kaleng aerosol face mist-nya dengan penuh tenaga, tetapi Ganendra menahan pergelangan tangannya.
"Hati-hati, nanti kamu bisa cedera," ucapnya. "Kamu kan penulis, harusnya tahu cara memperlakukan aset pentingmu. Kalau nggak ada tangan, seorang penulis nggak bis—"
"Google speech to text."
"Apa?"
Kaira menyipitkan matanya seolah mengejek Ganendra. "Saya pernah kena CTS selama beberapa bulan, tapi masih bisa nulis tuh, pakai bantuan voice to text. Tinggal gimana memanfaatkan teknologi aja sih, pak. Ah, tapi gen X seperti bapak mungkin cuma pakai grup Whatsup sama temen-temen bapak terus saling berbagi humor garing." Kaira menyemprot wajah Ganendra dengan face mist-nya hingga membuat pria tersebut kelabakan dan melepaskan genggaman tangannya, lalu menyemprotkan ke diri sendiri.
"Kai, itu mahal lho, jangan boros-boros pakainya." Ganendra kembali menangkap pergelangan tangan Kaira untuk mengamati produk perawatan kulitnya dengan lebih jelas. "Berapa kamu beli?"
"Kalau ukuran kecil gini sih murah, nggak sampai dua ratus ribu." Kaira mengernyitkan cuping hidungnya. "Kamu punya mobil SUV dari Eropa seri terbaru, pakai parfum yang harganya kayak beli sepeda motor tunai, pakai arloji yang mungkin seharga dengan rumah rakyat tipe kecil, tapi bilang face mist saya mahal? Keterlaluan banget. Saya bisa beli semua keperluan saya pakai duit sendiri, nggak usah khawatir, saya nggak akan minta duit bapak buat semua keperluan saya."
Ganendra cengar-cengir mendengar ucapan tersebut. Kaira mungkin masih belum sadar jika ucapannya mengisyaratkan bahwa secara tidak langsung dia menyetujui tawaran Ganendra untuk menikahinya. "Saya bilang mahal karena saya nggak pakai, jadi misal saya beli pun juga barang ini bakal dibiarkan di meja rias sampai kedaluwarsa. Tapi kalau buat kamu, saya akan kasih kamu tunjangan setiap bulannya, dan semua barang yang ingin kamu beli selama kamu berada di bawah naungan saya, akan saya tanggung semua."
Kaira mendecakkan lidahnya dengan gemas, "Saya bukan perempuan matre, pak. Bukannya bapak mendekati saya karena kata bapak saya kelihatannya kayak perempuan yang nggak bakal menyusahkan bapak? Nggak kayak gini juga kalau mau mengambil hati saya, makasih banyak. Saya punya uang sendiri buat memenuhi semua kebutuhan saya."
Kaira mengalihkan perhatian untuk membuka kunci layar tabletnya, membaca beberapa notifikasi baru yang masuk. Kebanyakan dari akun media sosialnya dan sebagian kecil pesan penting dari editor atau beberapa orang sahabat dekat. Ganendra tampak menghela napas beberapa kali seolah hendak mengatakan sesuatu, tetapi mengurungkannya saat menyadari jika Kaira sedang fokus pada gawainya.
Kaira sedang menunggu lampiran gambar meme terunggah sebagai balasan dari mention pembacanya di Tweeter, ketika dia merasakan sentuhan kecil pada kakinya. Untung saja dia tidak reflek menendang atau lompat, karena disadarinya anak kecil yang sedang belajar jalan tadi hampir jatuh dan berpegangan pada kakinya agar tidak tersungkur ke depan. Kaira lekas menyingkirkan tas dan tabletnya ke sisi bangku yang kosong antara dia dan Ganendra, lalu mengulurkan tangan untuk membantu manusia kecil tersebut menyeimbangkan tubuh, karena dilihatnya ia seperti hendak menangis karena jatuh. Respon yang didapatnya sungguh di luar dugaan, bocah tersebut malah tertawa riang sambil menggenggam telunjuknya erat. Ia berlari kembali ke arah orang tuanya dengan riang saat namanya dipanggil. Kaira hampir tidak percaya dengan apa yang dilihatnya, ini pertama kalinya ia berinteraksi dengan bayi tanpa membuat mereka menangis. Ia lirik pria yang duduk di sebelahnya dari ekor mata. Ganendra tampak terharu melihat kejadian barusan, seolah Kaira baru melakukan sesuatu yang hebat.
"Saya pikir kamu nggak mau punya anak karena kamu nggak suka dengan anak-anak," ucap Ganendra lirih. Kaira mendecakkan lidah mendengarnya. Ia tahu pembicaraan mereka tentang ini belum tuntas, tetapi ia sedang tidak ingin membicarakan tentang salah satu traumanya. Tidak saat ini, tidak pada seseorang yang baru dikenalnya, tidak meski laki-laki ini baru saja melamarnya.
"Saya nggak bilang kalau saya nggak suka anak kecil." Kaira mendengkus. "Saya bilang saya nggak mau punya anak. Nggak semua orang yang nggak mau punya anak berarti nggak suka anak kecil."
Ganendra menggeser duduknya hingga menghadap Kaira. "Lalu?"
Kaira masih enggan menatap Ganendra. Meme-nya telah terunggah dengan sempurna dan ia menekan tombol kirim. Ia membalas beberapa pesan lagi sebelum menyimpan kembali tabletnya dalam ransel.
"Saya nggak tahu apa kamu siap untuk mendengar ini," Kaira tertawa sinis. "Bahkan mungkin kalau kamu tahu, kamu akan melihat sisi paling kelam dari diri saya, dan kamu akan segera sadar kalau saya bukan seseorang yang layak untuk jadi pendamping pangeran mahkota seperti kamu."
"Seburuk apa?" Ganendra mengutarakan keingintahuannya dengan hati-hati. "Saya punya semua waktu untuk mendengarkan, Kai. Coba saja," bujuk Ganendra. Namun, Kaira malah meninggalkan kursinya dan berjalan ke arah pintu keluar. Ganendra mengikutinya dari belakang dengan sabar, memberi jarak 1-2 meter di antara mereka agar Kaira bisa menyiapkan dirinya. Tentu saja, setiap orang pasti memiliki kurang dan lebihnya masing-masing, dan apa yang terlihat di antara mereka kini hanya sebagian kecil area saja di permukaan gunung es.
Ganendra mencibir, Kaira mungkin langsung akan meminta cerai jika dia mengetahui permasalahan keluarga besar bangsawan yang pelik dan sarat akan perebutan kekuasaan. Mungkin sebaiknya dulu ia menyetujui saja tawaran pamannya untuk menjodohkan dia dengan putri bangsawan dari kerajaan lain, meski pernikahan mereka hanya akan sebatas status di mata rakyat saja. Para anggota keluarga kerajaan tidak bisa memilih untuk hidup dengan orang yang mereka cintai dan tetap mempertahankan posisi mereka dalam keraton. Jika Ganendra harus hidup bersama dengan seseorang yang tidak ia cintai, setidaknya ia ingin kebebasan untuk memilih tinggal dengan seseorang yang bisa menghargai masing-masing. Dan Kaira sepertinya kandidat yang paling tepat untuk saat ini.
"Orang tua saya berpisah saat adik bungsu saya masih bayi," Kaira membuka obrolan. Ganendra menjajari langkahnya agar bisa mendengar lebih jelas. "Ibu saya mungkin mengira jika anak-anak tidak mengetahui permasalahan orang dewasa, jadi beliau selalu mengatakan pada anak-anaknya atau orang-orang di sekitar kami bahwa ayah saya bekerja di luar pulau, makanya tidak pernah terlihat di rumah. Tetapi, kami anak-anak beliau tahu betul bahwa ayah saya menikah lagi. Saya pernah melihat foto pernikahan di dompet ayah, tetapi perempuan yang jadi mempelai wanitanya bukanlah ibu kami."
Mereka tiba di pintu keluar, alih-alih berjalan menuju tempat kendaraan Ganendra diparkir, Kaira berjalan menyusuri area penjual oleh-oleh dan melihat-lihat barang yang dijajakan di sana. Dompetnya tergenggam di tangan, siap digunakan untuk membayar. Ganendra berhenti mencoba menawarkan uangnya pada Kaira jika tidak ingin membuatnya tersinggung. Ia juga tidak memaksa Kaira untuk lekas-lekas menyelesaikan ceritanya di saat dia sedang tawar-menawar harga dengan penjual. Ketika Kaira selesai berbelanja beberapa cendera mata, Ganendra menggiringnya ke area yang lebih sepi, di bawah rindang pepohonan.
"Jadi, kamu takut kalau apa yang dialami ibu kamu saat melahirkan adik bungsu kamu bakal terjadi sama kamu, gitu?" tanya Ganendra lamat-lamat. Kaira hanya bergeming mendengar analisa Ganendra. Tapi ketiadaan jawaban sudah cukup untuk menjadi jawaban.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top