7. Terlihat Seperti Pasangan

"Kamu lagi ngerjain saya, kan?" suara Kaira bergetar.

"Apa saya kelihatannya kayak lagi iseng?" Ganendra melepas sabuk pengaman Kaira dan miliknya. "Mohon maaf kalau kamu kecewa, tapi saya bukan UTuber yang suka nge-prank orang terus pakai judul clickbait supaya banyak yang nonton. Ayo turun, kita sudah sampai. Jangan khawatirkan soal lama pernikahan dulu, pikirkan syarat-syarat lain yang harus saya penuhi supaya kamu mau menikah sama saya."

Matahari mulai meninggi ketika mereka telah membeli tiket dan berada di dalam arena. Ganendra kembali menjadi dirinya yang misterius dengan kacamata hitam, Kaira memakai topi lebar yang tadi dibelinya pada pedagang asongan di sekitar pintu masuk, mengeluarkan ponsel, buku dan pena.

"Nggak bisa gitu dong, Pak. Saya nggak mungkin harus bertahan hidup sama bapak seumur hidup saya, kan?" Kaira menjajari langkah Ganendra. "Tanpa ada jalan keluar? Bagaimana kalau nanti terjadi sesuatu yang nggak saya inginkan?"

Ganendra berhenti melangkah, "Belum menikah kamu sudah memikirkan perceraian?"

"Mengapa tidak? Segala sesuatu mungkin terjadi, kan? Seperti orang tua saya, misalnya..."

Ganendra menggenggam tangan Kaira erat, "Dengar, Kaira. Hanya karena pernikahan orangtuamu tidak berjalan dengan baik, bukan berarti kehidupan pernikahanmu akan berakhir seperti itu juga. Kamu tidak hidup untuk menanggung karma orang tuamu. Kamu hidup sebagai Kaira dan mempertanggungjawabkan semua keputusan dalam hidupmu sebagai seorang Kaira, dari sini kamu paham?"

Kaira tertegun mendengar ucapan Ganendra tersebut. Benar juga. Psikolognya, Mbak Amal juga pernah mengatakan hal yang hampir serupa ketika dia memberanikan diri untuk melakukan terapi pertama kali. Kunjungan tersebut ia lakukan ketika masih menjadi mahasiswa tahun ketiga, jauh sebelum keluarga besarnya mengira Kaira mengalami gangguan kejiwaan karena riwayat pencarian perambannya yang cukup mengkhawatirkan.

Beberapa orang yang berjalan melewati mereka tampak berbisik seraya diam-diam melempar pandangan ke arahnya. Kaira tidak suka menjadi pusat perhatian, dan sudah dua hari ini ia harus bertahan dari banyak pasang mata yang penasaran, hanya karena dia bersama seorang pangeran dari Magelang. Mungkin karena orang tampan pasti otomatis menarik perhatian, atau karena aura bangsawan dari diri Ganendra membuatnya memiliki wibawa tersendiri, sehingga dia selalu terlihat mencolok di manapun dia berada.

Kaira menarik tangannya perlahan-lahan dari genggaman Ganendra. "Tolong jangan sentuh-sentuh saya sesuka hatimu. Izin dulu kalau mau pegang, saya nggak berkenan kalau disentuh tanpa sepengetahuan saya. Oh ya, kalau kamu bisa lepas kacamata hitam itu, akan lebih baik lagi. Kamu mungkin ingin menutupi identitas, tapi itu malah bikin kamu makin menonjol, tahu. Harusnya kamu coba pakai topeng kayak King of Masked Singer gitu biar makin nggak bisa dikenali kalau kamu pangeran."

Ganendra cemberut, "Apa ini cara kamu buat bilang saya kelihatan ganteng?"

Kaira menunjuk beberapa kelompok orang di sekitar mereka dengan dagunya, "Jangan kepedean, saya nggak bilang apa-apa soal itu. Kalau kamu mau tahu, mereka dari tadi curi-curi pandang terus ke arah sini. Udah deh, jangan berdiri di tengah jalan begini kayak lagi syuting video musik. Saya sudah siap, pak. Ayo kita keliling sebelum difoto dan dilaporin akun Lambe."

Ganendra membimbing Kaira memasuki area Candi, mereka berjalan beriringan. Sepanjang perjalanan, Ganendra menceritakan sejarah pembangunan Candi Prambanan, alasan perpindahan kerajaan ke wilayah Jawa Timur, letusan besar gunung Merapi, hingga proses penemuan kembali dan pemugarannya. Gani mengarahkan Kaira ke Candi Siwa, bangunan terbesar di tengah lokasi candi. Mereka berkeliling di bagian luar.

"Kamu lihat pohon ini? Ini namanya pohon Kalpataru," Gani tunjuk sebuah relief di salah satu sisi dinding.

"Terlihat seperti pohon beringin," gumam Kaira sambil menuliskan di bukunya.

"Tahu dari mana ini pohon beringin?"

"Memangnya benar ini beringin?" Kaira sedikit terkejut mengetahui prediksinya benar. "Bentuknya mirip beringin dengan akar-akar gantung. Saya melihat banyak pohon beringin di alun-alun Keraton Yogyakarta dan jalan-jalan di sekitarnya. Saya juga tahu jika dalam tradisi Hindu di Bali pun pohon beringin disakralkan, jadi saya pikir pohon ini memang salah satu tanaman khas."

Ganendra mendecakkan lidahnya mendengar analisa Kaira. "Memang ya, kamu ini benar-benar di luar dugaan."

"Itu cara bangsawan buat ngatain orang, ya?" Kaira mendengkus.

"Itu pujian atas kecerdasanmu dalam menganalisa segala hal." Ganendra menggelengkan kepalanya dengan gemas. "Orang-orang Hindu menganggap pohon kalpataru adalah sumber kehidupan." Ganendra menunjuk relief di bagian bawah pohon. "Lihat ini, tempat berteduh, tempat membuat sarang bagi hewan-hewan, tempat mencari makan."

"Tapi percuma kalau nggak bisa dipakai untuk menyembunyikan mayat." meski tertutup kacamata hitam, Kaira bisa merasakan Ganenda sedang melotot padanya.

"Apa kamu benar-benar begitu putus asa untuk mencari tempat membuang mayat?"

Kaira mengangkat bahu, "Mau bagaimana lagi, itu pekerjaan saya. Inti utama dari setiap petualangan Nero adalah mengungkapkan kejahatan. Untuk memahami pola pikir mereka, saya harus menempatkan diri saya sebagai tokoh antagonisnya. Tetapi, entah itu dibakar, dikubur, dihanyutkan, atau dimutilasi, pada akhirnya setiap kejahatan pasti akan ketahuan, benar kan?" Kaira sudah selesai mencatat dan menutup bukunya dengan sentakan dramatis. " Oke, lanjut Pak. Kita ke dalam?"

Pada teras candi, Ganendra mengajak Kaira berjalan mengelilingi searah jarum jam. "Ini adalah cerita Ramayana," ujarnya seraya menyentuh relief di dinding dengan ujung jari.

Kaira mengamati relief-relief itu lebih dekat, "Nggak terlihat seperti gambar yang bercerita." Ganendra memutar bola matanya, Kaira tahu Ganendra sekarang pasti sedang memutar matanya, karena mendengar hal sebodoh itu.

"Kai, ini relief, bukan komik Webtoon kesukaanmu yang gambar dan balon ceritanya bisa dibaca dengan jelas. Berwarna pula."

Kaira mencibir, "Kamu nyindir?" Kemarin malam sambil menunggu mie instan mereka selesai dibuat, Kaira menyempatkan diri untuk membaca lanjutan Lookism. Mungkin pada saat itu Ganendra sedang mengintip layar ponselnya.

Ganendra menyentuh salah satu relief, "Kamu tahu, kenapa relief ini punya payudara menonjol—bahkan putingnya pun diukir, sementara yang ini tidak?"

Kaira mengamati dua figur yang ditunjuk tersebut dengan amat serius, "Untuk membedakan laki-laki dan perempuan?"

"Tepat sekali. Karena di sini, figur laki-laki dan perempuan digambarkan sama-sama pakai perhiasan di kepala dan berambut panjang, untuk membedakan jenis kelaminnya, organ tubuh perempuan paling spesifik ditonjolkan."

"Seksis banget nggak, sih?" gerutunya meski sambil terus mencatat.

"Dari perspektif kamu mungkin saja. Tapi saya rasa dalam konteks candi dan bangunan-bangunan kuno lain, sebaiknya kita melihat ini sebagai sebuah karya seni. Dan di dalam seni, setiap orang punya kebebasan berekspresi." Ganendra menjentikkan jarinya. "Saya jadi ingat, dulu saya pernah belajar gambar anatomi dengan obyek telanjang. Menurut saya, tubuh manusia itu indah, mereka memiliki sudut dan lekuk tersendiri untuk membentuk satu objek keindahan."

Mata Kaira membulat mendengarnya, "Kalau untuk hal ini, saya setuju. Lagipula, pada masa itu belum banyak kesadaran atau pengetahuan tentang pentingnya kesetaraan gender, jadi saya semestinya cukup paham tentang itu. Tumben, Bapak bisa bijak juga."

Ganendra tergelak mendengar ledekan Kaira. Mereka begitu asyik mengobrol hingga tidak menyadari jika di belakang mereka tiga orang turis asing tampak ikut menyimak pembicaraan antara Ganendra dan Kaira dengan antusias. Ketika kepala Ganendra terdorong ke belakang, pandangan mereka bertemu. Turis tersebut melempar senyum ke arah mereka, lalu memberanikan diri menyapa.

"Halo! Apakah kalian bisa berbicara bahasa Spanyol?" tanya mereka.

"Um ..." Ganendra berdeham. "Maaf ..."

"Saya bisa berbicara bahasa Spanyol sedikit-sedikit, tapi mungkin pelafalan saya terdengar agak aneh karena jarang dipakai," jawab Kaira dengan terpatah-patah.

"Tidak, yang benar saja. Bahasa Spanyol Anda sangat baik," Rombongan tersebut terdiri dari tiga orang, satu wanita paruh baya dan sepasang pemuda pemudi. Dilihat dari keakraban dan kemiripan wajah, sepertinya mereka saudara. Mungkin ibu dan dua anak?

"Sepertinya kalian sedang berdiskusi dengan seru, jadi kami tertarik." ucap satu-satunya laki-laki di kelompok kecil tersebut.

"Apakah kalian butuh panduan untuk memahami candi ini? Kami mungkin bisa membantu, tapi mohon dimaklumi kalau pemilihan kosakata saya agak membingungkan," tawar Kaira ramah. Rombongan ini menyetujui ajakannya dengan senang hati.

Kaira meminta Ganendra untuk mengulang penjelasan yang tadi ia berikan padanya, lalu ia menerjemahkan dalam bahasa Spanyol sebisanya. Sesekali mereka tertawa karena pelafalan Kaira yang asing di telinga, atau saat melihat Ganendra dan Kaira berdiskusi cukup serius untuk memilih padanan kata yang tepat untuk disampaikan. Keberadaan tiga orang wisatawan asing ini membuat suasana menjadi jauh lebih seru dan penuh tawa—yang terakhir lebih banyak disebabkan karena kendala bahasa.

Tanpa terasa, mereka mengelilingi tiga candi utama di area tengah kompleks. Ketika tiba di ambang bilik selatan Candi Siwa, Ganendra menarik tangan Kaira, mengajaknya menyingkir sementara tiga teman baru mereka asyik berfoto-foto di ruangan dalam Candi.

"Tunggu Kaira, kamu lagi datang bulan?" tanyanya.

"Kenapa ini jadi urusanmu?" balas Kaira sewot. Ia ingin sekali bisa menyentuh arca Dewi Durga untuk pertama kali, dan mungkin bisa menginspirasi untuk novel barunya.

Ganendra tampak menghela napas panjang, "Kaira, kamu percaya hal-hal yang tidak bisa dilihat secara kasatmata?"

Bulu kuduk Kaira meremang mendengar pertanyaan tersebut. Seketika dalam pikirannya berkelebat hal-hal yang sebelumnya tidak terpikirkan. Sebagai seorang pangeran tanah jawa yang masih menjunjung tinggi adat dan kebudayaan lokal, tentu saja interaksi dengan makhluk dari dunia lain sudah menjadi bagian dari ritual dan tradisi setempat.

Kaira bukan seorang penakut, meski hampir tidak pernah berinteraksi dengan makhluk halus. Ia juga sering mendengar cerita-cerita horor baik dari pengalaman KKN teman kuliahnya, utas memetwit yang sering ia re-tweet karena terlihat seru, atau gosip hantu kompleks yang bersumber dari petugas keamanan dan disebarkan lewat mulut ibu-ibu. Namun, belum pernah Kaira mendengar langsung dari tangan pertama seperti ini. Ditambah kernyitan di dahi Ganendra dan sesekali ia melirik ke arah punggung Kaira, membuatnya merinding.

"Percaya ..." Kaira menelan ludah, lidahnya kelu. "Emangnya kenapa?"

"Yang ada di dalam sana," Ganendra mendekatkan bibirnya ke telinga Kaira. "nggak suka dengan aroma darah perempuan haid."

Beberapa orang yang berlalu lalang di sekitar mereka mendorong Kaira dan Ganendra, hingga mau tidak mau, mereka berdiri amat dekat. Ganendra sampai meletakkan sebelah tangannya untuk berpegangan pada batuan dingin candi di sisi kepala Kaira untuk memberi jarak antara tubuh mereka, sementara punggung Kaira sudah melekat pada dinding. Dari kejauhan, orang-orang yang melihat ini mungkin akan mengira mereka berpelukan—atau berciuman, jika dilihat dari angle berbeda.

"Tapi... " Kaira mendongakkan kepala, menatap Ganendra lekat. Dalam jarak sedekat ini, wajahnya dan bahu Ganendra hanya selisih beberapa senti saja. "Dari sekian orang di sini, nggak mungkin cuma saya doang yang lagi datang bulan. Dan Bapak juga nggak mungkin memperingatkan perempuan lain di sini yang lagi da—"

"Kai, kamu mungkin lupa kamu ke sini sama siapa."

"Kamu... pangeran Jawa, kan?" Kaira menyipitkan matanya. "Bukannya kalian sama-sama Jawa? Emangnya kalian yang di Magelang musuhan sama mereka yang di Prambanan. atau gimana? Tolong kalau bicara jangan setengah-setengah seperti ini, kan saya jadi bingung."Kaira mengepalkan telapak tangannya yang mulai berkeringat.

"Kurang lebih begitu. Kalau kamu mau dengar cerita keseluruhannya, kamu harus jadi istri saya dulu." Ganendra mengangkat sebelah alisnya dengan jenaka. "Saya mengatakan ini demi kebaikanmu sendiri. Kalau nggak percaya, silakan buktikan. Tapi jangan salahkan saya kalau ada apa-apa."

"Ah," Kaira mengalihkan wajahnya dari pandangan intens Ganendra. "Ya, saya paham. Jadi saya nggak boleh masuk?"

Ganendra mengangguk, "Kita tunggu mereka di sini saja."

Kali ini Kaira tidak lagi berusaha membantah Ganendra. Ia penulis misteri, bukan penulis horor. Kaira tahu apa saja yang harus dia lakukan saat menulis adegan pembunuhan dan otopsi, tetapi kisah mistis dan legenda urban bukanlah bidang yang dikuasainya. Ganendra mengakhiri tur mereka ketika tiga turis yang tadi bersama mereka selesai berfoto di dalam ruangan candi, dan mereka mengucapkan terima kasih karena telah menjadi pemandu yang baik.

"Kalian berdua serasi banget, deh," kata perempuan paruh baya seraya menepuk-nepuk bahu Kaira dan Ganendra dengan kedua tangannya secara bersamaan, seolah sedang memberi restu.

"Ah, tidak-tidak, kami tidak seperti yang kalian bayangkan." jawab Kaira dengan tergagap. Ia sungguh tidak menyangka akan dianggap sebagai pasangan Ganendra oleh orang lain. "Ini salah paham."

Satu-satunya laki-laki di antara rombongan itu memberikan selembar foto polaroid yang sedari tadi ia kibas-kibaskan. Kaira menerima benda tersebut, ada fotonya dan Ganendra saat menempel dinding candi di sana. Sepertinya mereka tadi mengamati apa yang Ganendra dan ia lakukan di luar.

"Kelihatannya nggak begitu, tuh?" ledeknya.

Anak perempuan ibu tersebut menarik Kaira mendekat sambil berbisik. "Dia kelihatannya suka banget sama kamu. Dari tadi ngelihatin kamu terus sejak kita tur dan barusan dia peluk kamu biar nggak terdesak sama pengunjung lain." Dia tersenyum sangat manis sebelum menggenggam jemari Kaira erat.

"Ah, tapi..."

"Sudah, sudah, jangan ganggu gadis ini," kata sang ibu. "Kita harusnya berterima kasih pada pemandu kita yang baik dan jangan mengganggu waktu mereka bersama kita lebih banyak lagi."

"Ah, benar juga, mamá. Kalau begitu, kami permisi dulu. Selamat menghabiskan waktu kalian bersama-sama, ya." Dua wanita tersebut bergantian memeluk Kaira hangat, sementara sang laki-laki mencium punggung tangannya.

"Adiós." Rombongan tersebut melambaikan tangan sebelum berbalik badan dan berjalan ke arah pintu keluar.

"Adiós."

Setelah teman baru mereka berlalu, Ganendra merebut foto polaroid dari tangan Kaira dan mengamatinya. "Mereka tadi ngomong apa sama kamu? Kita kelihatan mesra banget di foto ini, kayak orang pacaran. Apa mereka mengira kita pacaran?"

Kaira membuang muka, "Enggak, mereka cuma nanya, di dalam tadi bagus banget, kenapa aku nggak masuk?"

"Bohong, kan?" tanya Ganendra.

"Enggak, tuh."

"Kenapa wajahmu merah, kalau gitu?"

"Ini karena panas, tahu."Kaira mengibas-ngibaskan telapak tangan di hadapan wajahnya. "Ayo traktir saya minuman dingin, Pak. Jadi penerjemah capek juga ternyata."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top