01 : Pagi Yang Kelabu
TAP
Dengan terburu-buru, aku melompat dari sebuah bus yang baru saja berhenti tepat di depan salah-satu ritel modern di Jakarta.
Syukurlah Bapak kondektur tadi sempat mengingatkan agar aku turun dengan kaki kiri terlebih dahulu. Karena jika tidak, mungkin sekarang aku sudah tersungkur di selokan.
Kuangkat lengan kiriku untuk melirik jam yang biasa melingkar di pergelangan tangan. Oh sial, ternyata hari ini aku lupa memakainya.
Kubuka tas ranselku untuk mengeluarkan hp dan melihat jam digital di layarnya. Dan ternyata hp-ku lowbate karena aku lupa mengisinya.
Sepertinya hari ini keberuntungan tidak berada di pihakku.
Dimulai dengan terlambat bangun tidur, lalu mengerjakan aktivitas di pagi hari dengan tergesa-gesa. Ditambah lagi motor matik yang biasa kukendarai tidak bisa di-starter.
Aku sudah mengengkolnya berkali-kali sampai betisku kram, tapi tetap saja tidak bisa menyala karena ternyata akinya soak, dan akhirnya aku terpaksa menaiki bus yang penuh sesak.
Semua ini memang salahku.
Semalam, salah satu Pro Gamer sekaligus Atlet eSport favoritku baru saja mengunggah video challenge tentang sebuah game yang baru dirilis.
Sebagai seorang pencinta game yang mempunyai keterbatasan waktu, aku hanya bisa menonton video itu saat tengah malam dan suasana hening membuatku lebih berkonsentrasi.
Saking serunya menonton channel gaming tersebut, aku sampai lupa waktu dan baru menyadarinya saat laptopku terasa panas. Aku langsung mematikannya sebelum laptop itu meledak dan baru tertidur pukul tiga dini hari.
Dan sekarang inilah akibat yang harus kutanggung. Bangun tidur kesiangan padahal aku harus bekerja dengan shift pagi.
Aku terus berjalan cepat dan berpapasan dengan seorang pria yang memakai jam tangan, maka aku pun menghentikannya untuk bertanya, "Maaf, Mas, sekarang jam berapa ya?"
Pria itu berhenti, lalu melihat jam di tangannya. "Jam delapan kurang sepuluh menit, Mbak."
"Oh terima kasih, Mas."
Pria itu tersenyum dan mengangguk, lalu melanjutkan perjalanan ke arah yang berlawanan.
Informasi yang baru kudapat tadi membuatku bernapas lega. Masih ada waktu sepuluh menit untuk membeli sarapan.
Aku pun mendatangi beberapa pedagang yang biasa mangkal tidak jauh dari situ. Ada bubur ayam, lontong sayur, nasi uduk, dan lain-lain. Tapi sayang sekali semua sarapan yang menggiurkan itu sudah ramai oleh pembeli yang antre.
Maka tidak ada waktu lagi bagiku selain menjatuhkan pilihan kepada cemilan sejuta umat, yaitu gorengan.
"Mas, beli gorengan dong. Campur."
Penjual gorengan itu meringis seketika. "Maaf, Mbak, yang matang baru bakwan doang. Saya bangun kesiangan."
"Ish... gimana sih. Jualan kok bangun kesiangan!" gerutuku seolah aku adalah orang yang paling benar sedunia.
"Maklum, Mbak, semalam ada Liga Inggris."
"Ya sudah. Saya beli lima ribu aja."
Akhirnya dengan pasrah aku menerima sebungkus gorengan dalam kantong plastik bening beralaskan kertas yang isinya bakwan semua.
Aku meneruskan langkah menuju sebuah pintu karyawan yang terletak di bagian belakang. Di ritel modern berlantai empat itulah aku bekerja sebagai kasir.
Saat hendak memasuki pintu karyawan, tiba-tiba seorang pria paruh baya menghalangi jalanku.
"Hei, mau ngapain kamu?!"
Aku mengenali pria itu sebagai petugas keamanan yang biasa memeriksa keluar-masuk karyawan, maka aku pun menjawabnya dengan santai.
"Ya mau kerja lah, Pak. Masa saya mau nonton konser."
Petugas itu menggelengkan kepala sambil bersedekap.
"Kamu sudah terlambat masih pura-pura lugu ya!"
Aku mencoba mencerna kata-katanya dan langsung menepuk keningku sendiri. Ya ampun aku lupa kalau jam di sini dimajukan sepuluh menit.
Aku memang sudah bekerja hampir empat tahun, namun kebijakan sistem rolling mengharuskan rotasi karyawan secara berkala. Dan baru satu bulan aku ditempatkan di ritel cabang ini.
Aku pun mencoba memelas dengan memasang puppy eyes.
"Tolonglah, Pak. Saya kan hanya terlambat beberapa menit. Biarkanlah saya masuk."
"Tidak bisa! Peraturan tetap peraturan!"
Pantang menyerah, aku pun tetap memasang puppy eyes, kali ini sambil mengedip-ngedipkan mata.
Petugas itu tetap tidak peduli karena mungkin wajahku bukannya mirip kucing unyu di film Puss In Boots, malah lebih mirip kucing yang kelilipan pasir.
Dan sepertinya petugas itu justru lebih tertarik pada bungkusan yang aku bawa.
Ahh... aku tebak petugas itu juga mengalami pagi yang buruk dan belum sempat sarapan. Aku harus memanfaatkan kesempatan ini dengan baik.
Aku mengangkat bungkusan itu sambil mengoyangkannya, hingga aroma toge dan wortel menguar ke udara membuat hidung petugas itu kembang-kempis.
Jika cinta bisa membuat gula jawa terasa cokelat, maka lapar bisa membuat bakwan terasa donat.
"Kalau saya diizinkan masuk, maka bakwan yang kriuk ini akan menjadi milik Bapak. Bagaimana? Hmm..."
"Kamu mau mencoba menyuap saya, ya!" ketus petugas itu dengan ekspresi kaku, walaupun aku sempat melihat jakunnya bergerak menelan air liur.
"Maaf, Pak. Bukan begitu. Emm... maksud saya---"
"Ada cabe rawitnya enggak?"
Hah... aku langsung speechless dan hanya bisa mengangguk.
Petugas itu pun langsung menyambar bungkusan di tanganku dan menyuruhku segera masuk dengan mengancam jika besok aku terlambat lagi, maka tamatlah riwayatku.
Secepat kilat aku langsung meluncur masuk sebelum petugas itu berubah pikiran.
Aku menaiki lift karyawan menuju lantai tiga, tempat aku bertugas. Lalu setelahnya aku mengambil kartu absensi dan memasukkannya ke dalam mesin.
KLIK
Suara mesin berbunyi saat angka tercetak. Aku memeriksanya dan hanya bisa mengembuskan napas lelah saat melihat angka berwarna merah.
Jika dalam satu bulan aku mendapatkan tiga angka merah, itu artinya aku akan menerima Surat Peringatan, dan pekerjaanku akan menjadi taruhannya.
Dan demi semua uang tabungan yang ada di rekeningku berapapun jumlahnya, aku tidak akan membiarkan hal itu terjadi.
Tidak akan...
Bersambung...
23 Okt 2018
Terima kasih telah membaca cerita ini dan memberikan voment-nya ⭐
Mohon maaf jika ada kata-kata yang salah dan semoga kalian terhibur 😊
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top