9 | Pamit

Aprilia berdiri di depan cermin. Ia memakai baju ksatria. Di bahunya ada pelindung, di pundak sebelah kanan ada tempat jubah yang akan ia kenakan nanti di sepanjang perjalanan. Ia merapikan pelindung lengan, lalu dia ikat tali sepatu botnya. Terakhir ia mengikat rambutnya. Terlihat sekarang Aprilia yang sangat berbeda. Diusap-usapnya pundak yang dekat dengan tanda calon ratu di punggungnya. Ia tadi melihat tanda itu masih ada di sana. Artinya, Pangeran Aryanaga masih hidup. Entah kenapa ia merindukan pemuda itu sekarang.

"Pangeran, kuharap kau baik-baik saja. Ya Tuhan, apa yang aku pikirkan. Kenapa aku jadi merindukannya sekarang ini? Ah, sudahlah," gumam Aprilia. Ia buru-buru menepis bayangan Aryanaga dari benaknya. Nyaris saja berhasil, tetapi wajah Aryanaga kembali menggelayut di dalam angannya.

Aprilia teringat bagaimana ia berlatih dengan Aryanaga, juga saat-saat Aryanaga berusaha menciumnya lalu tangannya menghalangi bibir sang pangeran. Hatinya benar-benar berdebar kala itu, apalagi memori itu kini menghampiri, perasaan berdebarnya kembali lagi menghampiri. Ia nyaris galau saaat itu dan sekarang ia galau sekali lagi. Aprilia menutupi wajahnya. Dia ingin menepis bayangan itu. Namun, tiba-tiba ada tangan halus yang menyentuh pundaknya. Ia terkejut saat mendapati Ratu Danaharing Lintang Wungu sudah ada di belakangnya.

"I-ibu?" sapa Aprilia.

Sang Ratu tersenyum. "Kau kenapa?"

Aprilia langsung memeluknya. Dia menggeleng-gelengkan kepalanya. "Aku tak apa-apa, kok. Semuanya baik-baik saja."

"Kau tak bisa membohongi ibu. Pasti kau teringat sesuatu tentang dia," tebak Sang Ratu.

Aprilia mendesah. Ia benci kalau tebakan Sang Ratu benar. Aprilia mengangguk masih dalam pelukan. Ia lalu melepaskan pelukannya.

Ratu Danaharing Lintang Wungu menggenggam tangan Aprilia. "Kau tahu, terkadang cinta itu tak bisa ditebak kapan ia datang, kapan ia akan pergi. Namun, cinta akan mengenali siapa pemilik sejatinya. Dan saat itu tiba, kau jangan menolaknya. Dia akan menghidupkan apa yang telah mati, akan menggerakkan apa yang diam, akan menumbuhkan yang layu, akan menguatkan yang lemah."

"Aku tak tahu ibu, apakah ini cinta atau bukan. Aku... selama ini tak pernah menganggapnya demikian," kata Aprilia. "Aku tak tahu apa yang harus aku lakukan dengan perasaanku ini."

"Kau tak yakin dengan perasaanmu?"

Aprilia mengangguk.

"Di dunia ini, ada yang namanya cinta yang membuat orang terobsesi, ada yang namanya cinta tanpa alasan. Cinta yang membuat orang terobsesi adalah perasaan cinta yang sebenarnya bukan. Dia terobsesi atas subjek orang yang dia cintai, ingin memiliki seutuhnya. Dia tak peduli dengan cara apapun akan mendapatkannya, kalau dia tidak bisa mendapatkannya, maka orang lain juga tak bisa mendapatkannya. Akhirnya ia merusak semuanya yang berusaha menghalangi dirinya. Sedangkan, cinta tanpa alasan adalah cinta dimana sang pecinta tak tahu kalau dia sedang jatuh cinta. Perasaan yang sangat rumit, yang sukar dicerna. Ia tak pernah berusaha untuk memiliki, tetapi sangat ingin bersamanya. Ingin selalu menyertainya, tetapi juga ingin menjaga jarak. Dekat merasa tak nyaman, jauh lebih tidak nyaman. Terkadang orang yang mencintai tanpa alasan ia tak tahu bagaimana bisa ia jatuh cinta karena sebenarnya perasaan cinta itu memang rumit dan tidak bisa dicerna. Dia hanya mengenal bahwa cinta yang dia miliki itu tidak nyata, tapi ada."

Aprilia menelan ludah. Kata-kata itu menusuk ke jantungnya. Dia pernah mengalami cinta obsesi. Terobsesi kepada seseorang hingga membuatnya melakukan cara-cara kotor agar bisa mendapatkannya. Ia juga teringat bagaimana ia terus terobsesi dengan seorang Geostreamer. Dia pun menundukkan wajahnya, menyadari kesalahannya selama ini.

"Cinta itu tidak nyata, tetapi ada?" tanya Aprilia.

"Ya, kau sekarang merasakannya, bukan?" tanya Sang Ratu balik.

"Tapi... tapi...," Aprilia ingin protes, tetapi tangan Sang Ratu menyentuh pipinya.

"Jujurlah dengan hatimu. Apa yang kau rasakan sekarang ini?"

Aprilia terisak. Air matanya meleleh. "Ibu, apa aku bisa mencintainya?"

"Siapa yang akan melarangmu?" tanya Sang Ratu.

"Aku... aku... aku apa pantas untuknya?"

"Siapa yang akan menilaimu?"

"Aku hanya orang bodoh yang terobsesi dengan seseorang dan... dan... apa aku pantas menjadi ratu suatu saat nanti? Aku hanya orang lemah. Aku...," Aprilia tak meneruskan kata-katanya. Dia menangis.

"Katakan kepadaku, perasaanmu. Kau merasakannya atau tidak?"

Aprilia menggeleng. "Aku tak tahu. Aku tak merasa apa-apa, tapi... dia ada di sini." Aprilia memukul-mukul dadanya. "Dan rasanya sakit sekali. Aku ingin memeluk Aryanaga sekarang ini. Aku ingin berkata tentang perasaanku."

Ratu Danaharing Lintang Wungu kemudian memeluk Aprilia. Aprilia menangis dalam pelukan ibu tirinya. Sang ibu menenangkannya dengan bersenandung. Suara merdunya membuat tentram perasaan Aprilia. Kini Aprilia sadar, bahwa cintanya memang tidak nyata, tetapi ada. Selama ini berdiam diri di dalam dadanya selama bertahun-tahun. Buat apa ia susah-susah harus berlatih, mengorbankan dirinya dan berkata "siap menjadi ratu" ketika menjenguk Aryanaga untuk terakhir kali?

Tidak. Cintanya tidak nyata. Dia hanya ingin menyayangi Aryanaga sebagai seorang kakak kepada adiknya. Namun, semuanya berubah saat ia mengetahui Aryanaga sudah dewasa dan mengenal cinta. Ia pendam perasaan cemburunya selama ini. Ia berusaha kabur dari perasaan itu, dengan mengatakan "hanya melaksanakan tugas". Itu semua bohong. Dada Aprilia sangat sakit. Sakit sekali dan hanya Aryanaga yang bisa menyembuhkannya.

***

Pati Walaka tampak sedang berada di depan rumahnya. Ia mendapati Aprilia dengan baju ksatrianya menghampirinya. Mereka memang berencana untuk bertemu sebelum Aprilia berangkat.

"Y-Yang Mulia Putri Aprilia!?" sapa Pati Walaka.

Aprilia tersenyum. "Bagaimana, sudah jadi?"

"Oh itu, iya. M-mari masuk kalau Tuan Putri tak keberatan!" ajak Pati Walaka.

Aprilia kemudian mengikuti Pati Walaka masuk ke rumahnya. Rumahnya sebenarnya sangat sederhana, sangat berbeda dengan statusnya sebagai seorang panglima. Dia berada di rumah yang kecil dengan halaman yang cukup luas. Banyak tanaman sayuran di mana-mana, juga pohon-pohon yang rindang. Ada satu bangunan di sana yang cukup berbeda dari yang lain. Bangunan itu terdapat cerobong asap dan terbuat dari bebatuan keras.

Pati Walaka langsung mengajak Aprilia ke bangunan itu. Di sana sudah ada seorang perempuan berambut pirang, panjang dan bertelinga runcing. Melihat kehadiran Aprilia segera perempuan itu menyambutnya. Mata perempuan itu berwarna hijau, membuatnya sangat cantik.

"Enelia, i-ini Putri Aprilia," ucap Pati Walaka memperkenalkan istrinya.

"Salam Tuan Putri, hamba tak menyambut dengan baik," ucap Enelia.

"Tak apa-apa, tidak usah formal. Aku tak mengira kau sangat cantik," puji Aprilia.

Enelia tertawa, "Tuan Putri terlalu memuji. Bukankah Tuan Putri pernah bertemu dengan salah satu dari kami dulu?"

Aprilia mengernyit. "Kapan? Seingatku aku tak pernah bertemu dengan bangsa peri sebelumnya."

Enelia tersenyum. "Suatu saat Tuan Putri akan tahu. Tapi, kita tidak membicarakan itu hari ini bukan?"

"Ah, iya. Aku kemari bukan untuk hal ini," ucap Aprilia.

Enelia berdecak mengambil sesuatu. Dia kemudian membawa sebilah pedang berwarna kebiruan, lalu menyerahkannya dengan kedua tangannya kepada Aprilia. Aprilia lalu menerimanya.

"Wah, luar biasa. A-aku tak percaya kau bisa membuat ini," puji Aprilia.

"Aku dulu pernah bekerja sebagai pandai besi di Kerajaan Peri. Suatu pekerjaan yang sangat sakral. Di dalamnya aku tak boleh berbuat kesalahan sedikit pun, bahkan tubuhku harus steril dari segala kotoran. Setiap senjata yang dibuat di dunia peri memiliki mantra yang akan terus melekat pada logamnya. Namun, satu kelemahan senjata peri adalah tak ada perasaan cinta di dalamnya. Meskipun mantra mereka kuat, namun senjata-senjata mereka sebenarnya kosong dan tidak berisi. Saat aku bisa membuat senjata dengan perasaan cinta, pedang yang aku buat menyala. Memendarkan cahaya yang akan mengusir segala kegelapan. Sayangnya aku terusir dari sana dan tak bisa kembali lagi," jelas Enelia.

Aprilia mengayun-ayunkan pedang tersebut. Sangat berbeda. Ringan, bahkan seolah-olah pedang itu menyatu dengan tangannya. Yang lebih unik lagi saat dipegang olehnya, pedang itu menyala berwarna merah.

"Aku akan pergi ke Kerajaan Peri. Aku sangat berterima kasih kau bersedia membuatkanku senjata ini," ucap Aprilia.

Enelia tersenyum. "Sama-sama Yang Mulia. Namun, bolehkah hamba meminta satu permohonan?"

"Katakan! Kalau bisa aku akan mengabulkannya," ucap Aprilia.

"Sampaikan kepada Ratu Elyana, kalau aku tidak pernah mengkhianati beliau. Tunjukkan pedang buatanku kepada Sang Ratu. Beliau akan paham apa yang terjadi," pinta Enelia.

Aprilia mengangguk. "Aku mengerti. Aku akan melakukannya. Sekali lagi, terima kasih."

***

Raja Belzagum termenung di pelabuhan. Pelabuhan ini adalah tempat ia akan melepas putrinya yang dia tugaskan untuk menuju ke Kerajaan Peri. Ini memang hal yang sulit, melepas kepergian putrinya sekali lagi, namun ia sangat percaya kalau putrinya bisa mengatasi semuanya. Dia telah melatih putrinya dengan baik, pastinya calon ratu masa depan itu tak akan mengecewakannya. Satu hal lagi, Raja Belzagum sangat bangga kepada Aprilia.

Dari kejauhan tampak Aprilia berjalan dengan langkah tegap. Di punggungnya ada pedang yang dibuat oleh Enelia. Sejak pertama kali melihat pedang itu Aprilia memang sudah jatuh cinta, rasanya pedang itu memiliki daya tarik yang luar biasa, sehingga ia ingin memilikinya.

"Pedang yang bagus," puji Bandi saat keduanya bertemu.

"Yah, Enelia membuatnya. Dia salah satu pandai besi di negeri para peri. Aku tak percaya kalau pedang buatannya sangat luar biasa," ucap Aprilia.

"Aku setuju," kata Bandi.

Aprilia menatap Raja Belzagum dari kejauhan. Bandi mengambil jalan lain untuk menuju ke Bayungan miliknya. Aprilia berlari-lari kecil menghampiri Raja Belzagum, kemudian ia berlutut kepada ayahnya. Setelah itu ia bangkit untuk memeluknya.

"Aprilia akan pergi, Ayah," ucap Aprilia.

"Kau akan baik-baik saja. Kami akan mendoakanmu agar semesta menyertaimu. Tugas ini sangat berat dan waktu kita tidak banyak. Kuharap kau segera sampai di Kerajaan Peri," ujar Raja Belzagum.

"Terima kasih ayah," kata Aprilia. Dia kemudian beranjak meninggalkan ayahnya.

Bandi sudah beringsut menuju ke sebuah Bayungan. Bersamaan dengan itu Aprilia juga menuju ke Bayungan yang lain. Mereka saling melambai.

"Sepertinya kita akan berpisah, Tuan Putri," ucap Bandi.

"Sepertinya begitu. Sampai ketemu lagi nanti. Jangan mati!" ucap Aprilia.

"Tuan Putri juga. Jangan mati! Rakyat masih membutuhkanmu," kata Bandi untuk yang terakhir kali sebelum mereka berpisah.

Akhirnya dimulailah perjalanan keduanya. Bayungan milik Aprilia mulai memutar baling-baling penggerak. Disambung kemudian dengan layar yang terkembang. Kapal terbang itu pun mulai beroperasi. Tubuh kapal mulai melayang di udara, membawa beberapa kru dan Aprilia di dalamnya. Perempuan itu melihat istana Kerajaan Naga Laut Timur untuk terakhir kali. Perjalanan kali ini akan memakan waktu dan tenaga. Dia juga tak akan bisa berlama-lama, sebab ancaman dari seluruh lautan sudah di depan mata. Nasib rakyatnya hanya dalam hitungan hari.

"Ghea, lihatlah sekarang putrimu sudah besar. Dia benar-benar mirip dengan dirimu. Aku harap kau juga melihatnya sekarang di sana," ucap Raja Belzagum. Dia teringat dengan kekasihnya, Ghea Emerald Greis—Ibu dari Aprilia. Sebenarnya kalau dikatakan Ratu, Ghea belum sempat menjadi ratu. Kisah mereka bermula, ketika Raja Belzagum masih muda dan untuk pertama kalinya melihat dunia atas.

Raja Belzagum masih ingat bagaimana suasana saat itu. Ketika keadaan Dunia Bawah masih tenang, karena tidak terlalu intensnya serangan dari Kerajaan Naga Laut Utara. Peperangan belum sebesar sekarang ini dan semua orang menyadari kalau masa-masa damai adalah masa-masa terbaik. Di Dunia Atas suasana sangat berbeda. Indonesia sedang dalam masa-masa retro dimana musik-musik tahun 60-70-an populer dan orang-orang sedang menikmati masa-masa perdamaian setelah terjadi konflik politik berkepanjangan.

Primadigda masih belum menjadi raja, ia juga masih suka berpetualang bersama Elyana. Selain dua orang ini ada beberapa orang lagi yang selalu ikut berpetualang bersama. Mereka adalah Antabogo dan Belzagum. Mereka masih remaja dan belum mengerti dengan dunia politik yang rumit.

"Kau yakin mau pergi ke Dunia Atas, katanya di sana alamnya tak cocok dengan kita," celetuk Antabogo khawatir.

"Kau takut?" tanya Primadigda.

"Kau meledekku?"

"Sudah, sudah! Jadi nggak nih?" tanya Elyana.

"Tapi, kau harus menyembunyikan telingamu, El! Telingamu terlihat aneh bagi manusia di sana," ucap Primadigda.

Elyana menutupi daun telinganya. "Sudahlah, aku bisa mengurus ini. Nah, lihat!" Perempuan itu kemudian memperlihatkan bagaimana daun telinganya sudah tidak runcing lagi.

Belzagum mengeluarkan kantong yang sedari tadi ada di pinggangnya. Ia menyerahkan kantong itu kepada Primadigda. Primadigda pun menerimanya.

"Telurnya hanya ada dua, kita berangkat bersama-sama dan pulang bersama-sama. Kalau kita kehilangan salah satu harus menunggu. Kalau tidak, maka kita tidak akan bisa pulang ke Dunia Bawah selamanya," ucap Primadigda sambil mengambil satu Telur Ajaib.

"Iya, kau tak perlu mengajariku dua kali," gerutu Belzagum.

"Ayo, ayo! Cepat! Aku sudah tak sabar ingin melihat Dunia Atas," ucap Elyana.

"Iya, iya." Primadigda mengusap-usap telur ajaib itu kemudian kantong berisi telur tadi ia sematkan di pinggangnya. Setelah itu ia memecahkan Telur Ajaib. Setelah Telur itu pecah ada cahaya yang menyelimuti mereka seperti telur. Kemudian kempat orang ini dibawa terbang ke atas.

Keempat remaja tanggung ini menjerit saat mereka dibawa ke atas. Telur-telur itu membawa mereka menuju ke langit dengan kecepatan tinggi lalu menembusnya. Ternyata langit tersebut bisa berlubang seperti membentuk lorong yang mengantarkan mereka labirin-labirin misterius. Labirin-labirin itu dipenuhi dengan pijaran-pijaran listrik dan cahaya berwarna kebiruan. Perjalanan itu sangat cepat sampai-sampai mereka tak yakin sudah berapa lama mereka berada di dalam lorong tersebut hingga tiba-tiba keempat remaja ini dimuntahkan dari sebuah lorong. Mereka mendarat dengan tenang di atas permukaan tanah, kemudian kulit telur yang menyelimuti mereka pun terkelupas.

"Whoaaaaa, kereeen! Aku harap bisa mencobanya lagi nanti. Ini perjalanan yang sangat menyenangkan," ucap Primadigda.

"Aku mau lagi! Aku mau lagi!" seru Elyana.

"Kalian berisik!" gerutu Antabogo.

"Dasar, aku biasa saja," ucap Belzagum dengan sok cool.

Primadigda dan yang lainnya mengamati tempat mereka mendarat. Ternyata tak jauh dari tempat mereka berdiri ada magma yang meletup-letup. Mereka berada di kawah gunung. Primadigda keheranan bagaimana mereka bisa keluar dari kawah gunung tersebut. Apakah Dunia Atas dan Dunia Bawah dihubungkan dengan kawah gunung? Namun, pertanyaan itu tak buru-buru mereka cari jawabannya, mereka kemudian berjalan meninggalkan tempat itu untuk melihat lebih lagi.

Mereka sampai di Dunia Atas saat hari masih gelap. Fajar baru saja menyingsing sehingga tak berapa lama kemudian ada pemadangan yang sangat indah dari cakrawala, yaitu terbitnya mentari.

"Whoaaa, indahnya! Inikah matahari di Dunia Atas?" ucap Elyana dengan takjub. Daun telinganya tampak bergerak-gerak setiap kali merasa senang.

"Kau kira itu apa memangnya?" tanya Antabogo.

Belzagum menggerak-gerakkan tubuhnya. Ia berjalan menuruni gunung. Yang lain kemudian mengikuti.

"Kau mau kemana Belzagum?" tanya Primadigda.

Belzagum tak menjawab. Dia terus menuruni gunung dan kini dengan melompat. Ia tak begitu terpengaruh dengan landainya tanah. Teman-temannya yang mengikutinya penasaran dengan Belzagum, hingga mereka pun menyadari kenapa Belzagum melakukan hal itu.

Dari kejauhan tampak seorang perempuan sedang ketakutan. Bisa dimaklumi kenapa ia sangat ketakutan karena di hadapannya kini ada dua ekor harimau kelaparan sedang ingin menerkamnya. Mendengar suara empat orang yang datang ke tempat itu dua ekor harimau tersebut terkejut. Mungkin tahu kalau keempat orang yang datang itu bukan orang biasa, kedua harimau itu segera lari terbirit-birit.

Belzagum menghampiri perempuan yang sedang ketakutan itu. Tampaklah di hadapannya seorang perempuan yang sangat cantik. Rambutnya berwarna merah dan kulitnya pucat, bukan tipikal orang Indonesia pada umumnya.

"Kau tak apa-apa?" tanya Belzagum. "Aku mendengar suara minta tolongmu dari jauh, jadi aku langsung ke sini."

"Thank you, kau sudah menolongku," jawab perempuan itu.

Mungkin bisa dianggap seperti jatuh cinta pada pandangan pertama, Belzagum merasa ada perasaan di dalam dadanya yang menyapa saat ia menatap perempuan itu.

"A-aku Belzagum. Kau siapa?" tanya Belzagum sambil mengulurkan tangannya.

Perempuan itu tersenyum. "Namamu unik, kau orang india? Namaku Ghea Emerald Greis."

* **

A/N

Flashback lagi, tapi nggak panjang kok. ;)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top