3 | Api Hitam
Kegelapan tanpa batas telah memberikan kenyamanan tersendiri bagi Pangeran Aryanaga. Dia sudah terbiasa di dalam kegelapan. Sesaat ia mengira dirinya sudah mati, namun ia terjaga lagi ketika ada langkah berat yang mendekatinya. Dia langsung mengenali langkah berat itu. Raja Salamander datang sambil membawa dua wadah yang terbuat dari bebatuan yang cekung. Aryanaga masih tak bisa bergerak karena rantai yang membelenggunya.
"Aku kira aku sudah mati," gumam Aryanaga.
"Aku cuma kesal kepadamu. Nyawamu tak ada harganya untukku," ujar Raja Salamander.
Raja Salamander meletakkan dua wadah tadi di dekat Aryanaga. Setelah itu ia berdiri lagi menuju ke akar-akar pohon yang muncul di antara celah-celah batu. Dia cabuti akar itu lalu ia bawa ke tatakan batu yang ada di dekat Aryanaga. Dikumpulkan akar-akar itu lalu ia menjentikkan jarinya. Seketika itu akar-akar tersebut terbakar api. Dua wadah yang dia bawa tadi kemudian di letakkan di atas tatakan batu. Aryanaga tak bisa melihat apa yang ada di dalam wadah tersebut.
"Paduka memasak sesuatu?" tanya Aryanaga.
Raja Salamander mengangguk. "Tentu saja. Kita ini makhluk hidup, kita perlu makan."
"Apa yang paduka masak?"
"Sup cacing," jawab Raja Salamander sambil mengambil seekor cacing dari wadah tersebut. Cacingnya sangat besar.
Aryanaga menelan ludah. Ia jadi ingat saat ia menjadi kadal dulu. Ia makan serangga dan cacing untuk bertahan hidup.
"Kita tak bisa memilih makanan di tempat ini. Sup cacing ini cukup bergizi. Kau juga bisa membuat minuman dari sari pati akar-akar yang menjuntai di antara celah-celah bebatuan. Ini benar-benar penjara, jangan kira ini tempat untuk rekreasi," ujar Raja Salamander.
Aryanaga menghela napas. Tubuhnya terbaring terlilit rantai besi. Dia sendiri bingung, meskipun dengan kekuatannya ia mencoba melepaskan diri rantai itu tetap tak bisa dilepas. Seolah-olah semakin ia meronta, maka rantai itu semakin kuat melilitnya.
"Kau pasti kebingungan kenapa rantai itu tak bisa dilepaskan dari tubuhmu," kata Raja Salamander tepat sasaran.
Aryanaga mengangguk.
"Kau tak akan bisa melepaskannya dengan kekuatanmu. Seberapa kuat apapun dirimu, kau tak akan bisa melepaskan dengan emosi. Aku bisa memahaminya. Pasti Antabogo sangat kesal sekali denganmu. Kau sudah menghancurkan istananya, melumpuhkan anaknya, lalu kau juga yang telah membunuh ayahmu. Dia benar-benar kesal kepadamu. Makanya kau dililit oleh rantai itu. Sama seperti rantai yang mengikatku dulu saat ayahmu memasukkan aku ke tempat ini," jelas Raja Salamander.
"Lalu, bagaimana caranya paduka bisa lepas?"
"Kau harus meredam kemarahanmu. Rantai itu disebut sebagai Rantai Kesabaran. Dia tidak akan mengikat orang-orang yang sabar. Semakin kau emosi, maka kau akan tersiksa olehnya. Aku harus menyadari hal ini selama satu bulan lamanya, hingga rantai itu lepas sendiri. Cobalah, kalau kau memang bisa bersabar dengan apa yang sudah kau alami."
Aryanaga mengernyit. Dia baru mendengar nama itu. Rantai ini punya kekuatan khusus untuk menaklukkan seseorang. Selama ini memang dia sedang marah. Ia sangat emosi kepada Pangeran Bagar saat membunuh Asri. Setiap kali mengingat peristiwa itu amarahnya meledak-ledak, juga saat ayahnya diracun dan dengan terpaksa ia membunuh ayahnya. Emosinya benar-benar tak bisa dibendung. Ia sangat marah dan ingin sekali memakan dunia ini.
Raja Salamander memperhatikan Aryanaga yang sepertinya putus asa. Dia tersenyum sinis, lalu mengambil seekor cacing yang sudah matang dari wadahnya. Ia lalu memakannya dengan lahap.
Aryanaga menoleh ke arah Raja Salamander. Tak ada rasa jijik, hanya rasa lapar. Harus diakui ia lapar sekarang.
"Buka mulutmu!" perintah Raja Salamander.
Aryanaga membuka mulutnya. Setelah itu, Raja Salamander memberinya cacing dengan menyuapinya. Aryanaga mengunyah cacing itu. Ia harus hidup, jadi ia akan makan apapun untuk hidup. Rasanya juga tak begitu buruk.
"Apa tak ada cara lain agar aku bisa bebas dari rantai ini?" tanya Aryanaga.
"Tak ada," jawab Raja Salamander tegas.
Aryanaga mendengus. Bagaimana ia bisa bersabar saat orang-orang yang dia cintai pergi meninggalkannya? Aryanaga sadar akan sesuatu, bagaimana Raja Salamander tahu tentang apa yang sedang terjadi?
"Sebentar, bagaimana kau bisa tahu apa yang terjadi? Aku belum pernah bercerita sebelumnya," ucap Aryanaga.
Raja Salamander menunjuk ke arah di luar teralis besi. Di luar sana ada sesosok raksasa sedang duduk bersila. Seluruh tubuh raksasa itu dibalut oleh perban seperti mumi. Hanya matanya saja yang tampak di kepalanya dan hanya satu mata tepat ada di dahinya. Aryanaga terbelalak.
"Makhluk apa itu?" tanya Aryanaga.
"Dia salah satu penjaga tempat ini. Namanya Morth. Dia tahu banyak hal yang terjadi di Dunia Bawah. Matanya bisa menembus semua tempat, kecuali Dunia Atas."
"Seberapa tahu dia?"
"Dia sangat tahu segala hal, bahkan saat ini pun apa yang sedang terjadi di Dunia Bawah ia tahu semua. Ia juga bercerita tentang calon ratumu yang dibunuh oleh Pangeran Bagar. Aku bertanya kepadanya alasan sesungguhnya kau bisa masuk ke tempat ini. Dan, memang menyebalkan saat para Dewan Kehormatan Naga yang korup itu harus mempermainkanmu."
"Kalau begitu, apakah aku bisa tahu kabar Putri Aprilia?" tanya Aryanaga.
Raja Salamander menoleh ke Morth. Mumi Raksasa itu terkekeh-kekeh saat mendengar pertanyaan Aryanaga. Suara tawanya menggema di seluruh tempat yang ada di penjara itu.
"Tak ada yang tidak aku ketahui, Pangeran Aryanaga," ujar Morth. Baru terdengar suara makhluk ini. Melengking, serak-serak basah dan terdengar seperti rintihan.
"Bagaimana kabar Putri Aprilia? Juga Bandi?"
"Mereka baik-baik saja. Keduanya sekarang berada di Kerajaan Naga Laut Timur, bertemu dengan Raja Belzagum dan Ratu Danaharing Lintang Wungu."
Aryanaga menghela napas. Dia merasa lega mendengar keduanya baik-baik saja. Sempat terlintas di pikiran Aryanaga kalau keduanya bakalan diburu oleh pasukan Kerajaan Naga Laut Selatan. Aryanaga menoleh ke Raja Salamander. Dia memperhatikan bagaimana Sang Raja yang dikenal sangat gagah itu sekarang memakan cacing-cacing. Sangat berbeda dengan keadaannya dulu. Dari titik teratas kemudian turun ke titik terendah.
"Bagaimana paduka Raja bisa berada di sini? Apa yang sebenarnya terjadi antara paduka dan ayahku?" tanya Aryanaga.
Raja Salamander menghentikan makannya. Raja Salamander mengambil tempat untuk menyandarkan punggungnya. "Aku bukan lagi raja. Kora—anakku—sudah menggantikanku. Sekarang aku juga sudah tak ada niat lagi untuk keluar dari tempat ini. Kalau toh aku keluar, aku sendiri tak tahu harus kemana lagi. Rakyatku juga sudah melupakanku, mereka sudah menganggapku mati."
"Kenapa paduka beranggapan seperti itu?" tanya Aryanaga.
"Aku sudah terlalu lama berada di sini. Itu wajar bukan?"
Aryanaga menggeleng. "Setiap raja yang baik, pasti akan membekas di hati rakyatnya. Meskipun, sang raja sudah tidak lagi memimpin, tetapi rakyatnya tahu siapa yang memimpin. Mereka mengenali raja mereka seperti mereka mengenali jiwa-jiwa mereka. Hubungan rakyat dan raja itu seperti jiwa dan raga."
Raja Salamander terkekeh. "Siapa yang mengajarimu itu? Primadigda?"
"Yah, begitulah. Tidak secara langsung. Ayahku mengajarkannya kepada Bandi, Bandi lalu mengajarkannya kepadaku."
"Primadigda selalu lebih unggul satu tingkat di atasku. Dia memang raja yang baik, tetapi dia juga menjadi sebab aku membencinya. Sekarang saat ia sudah tidak ada lagi, aku tak tahu bagaimana aku membalaskan dendamku lagi. Aku benar-benar marah dan dendam telah menelan jiwaku sehingga, rasanya hidupku tidak ada lagi yang ingin aku raih selain membalaskan dendam."
"Bukankah ayahku sudah tiada, apakah perasaan balas dendam itu masih ada?" tanya Aryanaga.
"Memang. Saat aku tahu Primadigda sudah tiada, seharusnya aku sudah tidak punya dendam lagi, namun perasaan tak bisa memaafkanku masih ada. Dan setiap kali aku mengingatnya, dendamku ada lagi. Begitu seterusnya."
Aryanaga mulai paham kenapa dia sampai ada di penjara ini. Penjara tujuh pintu yang mengurung orang-orang seperti Raja Salamander dan dirinya. Mereka tahu selama ada amarah di dalam dirinya, maka dia tidak akan bisa keluar tempat ini. Penjara ini bukan saja mengurung para pendosa, tetapi juga mereka yang memiliki sifat pendendam seperti Raja Salamander. Mereka tak akan bisa keluar selamanya selama memiliki sifat itu.
"Itu artinya, kita tak akan bisa keluar dari tempat ini," gumam Aryanaga.
"Sekarang kau baru menyadarinya?"
"Tempat ini mengurung orang-orang seperti kita. Yang memiliki dendam. Iya, aku memiliki dendam, kau juga demikian. Selama kita tak bisa memaafkan orang-orang yang telah menyakiti kita, maka kita tak akan keluar dari tempat ini."
Aryanaga mengepalkan tangannya. Dia paham sekarang kenapa Antabogo mengurungnya di tempat ini. Pamannya merebut tahta Raja Primadigda dengan cara memanfaatkan dendam Pangeran Bagar, setelah itu menjebloskannya ke penjara yang gelap ini. Antabogo tahu, Aryanaga tak akan bisa keluar dari tempat ini, sebagaimana Raja Salamander pun tak akan bisa keluar dari tempat ini.
"Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi di masa lalu, kenapa Pangeran Bagar sangat dendam kepadaku. Mereka bilang kalau aku adalah seorang pembunuh. Aku membunuh kakaknya, putri Vivian. Aku sendiri tak tahu apa yang terjadi sampai Asri terbunuh. Seandainya aku tahu apa yang terjadi."
Raja Salamander memperhatikan Aryanaga dengan seksama. Matanya bercahaya seolah-olah sedang meneliti setiap lekuk jiwa Aryanaga. Dia lalu menyadari ada sesuatu yang berbeda dari Aryanaga.
"Kau pernah terbakar oleh api Putri Vivian. Itulah sebabnya kau tidak ingat sama sekali tentang apa yang terjadi di masa lalu," ucap Raja Salamander.
"Paduka bisa tahu hal itu?" tanya Aryanaga. "Jangan bilang Morth yang menceritakannya."
Raja Salamander menggeleng. "Tidak, aku bisa mengetahui bagaimana keadaan jasad seseorang. Apakah jasadnya rusak ataukah tidak. Selama jasad dan jiwa mereka sinkron, maka tubuh mereka dalam keadaan baik. Namun, jika jasad dan jiwa mereka tidak sinkron, maka ada yang salah dari diri mereka. Dari ceritamu, aku bisa mengetahui tubuhmu pernah terbakar oleh Api Ungu Putri Vivian. Itu api beracun yang akan membakar ingatan seseorang. Yah, tentu saja. Putri Vivian adalah anak dari Ratu Naga Eidela. Ratu Naga ini ditaklukkan oleh Antabogo, setelah itu Antabogo mengangkat Vivian sebagai anaknya. Ratu Naga Eidela adalah naga penguasa Lembah Racun. Lembah ini ada di perbatasan Hutan Peri dan Kerajaan Naga Laut Utara. Terjadi perang di sana saat aku dan Primadigda masih bersama. Dan di sana pula awal semuanya terjadi."
* * *
30 tahun yang lalu di celah, Area Lembah Racun
Dunia Bawah merupakan dunia yang sangat berbeda dari Dunia Atas. Dunia yang penuh dengan peperangan dan darah. Setiap ras memiliki kewajiban untuk mempertahankan wilayah mereka. Setiap saat gempuran dari Kerajaan Naga Laut Utara terus-menerus terjadi. Mereka juga tiap hari makin kuat. Sudah menjadi cerita sejak lama kalau Raja Azrael adalah sekutu Iblis yang hendak menaklukkan seluruh daratan dan lautan. Selama seluruh ras bersatu, maka tidak ada yang bisa dilakukan oleh Raja Azrael. Ras naga merupakan ras terdepan yang akan menghadapi Raja Azrael, kalau ras ini gagal untuk menghadang Raja Azrael, sudah akan menjadi ancaman terhadap ras-ras lain.
Ras naga memang spesial, mereka diberikan kekuatan khusus yang sepadan dengan Raja Azrael. Juga ras terkuat yang ada di Dunia Bawah. Maka dari itulah sudah sepantasnya ras naga akan menjadi ras yang bisa menghadapi Raja Azrael dan bala tentaranya. Persoalannya adalah tidak setiap ras memiliki tujuan yang sama. Ada para pengkhianat, juga orang-orang tamak yang ingin menguasai Dunia Bawah dengan cara-cara yang culas dan licik. Dunia politik menjadi dunia yang mengerikan bagi mereka yang tidak siap untuk terjun ke dalamnya. Hanya mereka yang memiliki kewibawaan dan berjiwa ksatria saja yang mampu selamat dari kemelut ini.
Pasukan-pasukan reptil tampak sedang meringsek masuk dari celah-celah tebing. Suara mereka seperti bisikan-bisikan pilu yang membuat hati nyeri. Suara desis-desis ular yang terdengar dari gerakan lidah-lidah terdengar seperti bisikan-bisikan kematian. Reptil-reptil ini memiliki cakar-cakar tajam yang tentu saja bisa melukai para naga, sebab mereka pada dasarnya masih ada satu garis keturunan dari naga. Raja Azrael ingin membuat pasukan-pasukan khusus yang terbuat dari bagian dari dirinya, namun gagal. Akhirnya terciptalah manusia-manusia reptil yang memiliki kemampuan tepur yang cukup mengerikan.
Sementara itu dari ujung celah tampak ratusan orang sedang berkumpul. Mereka sepertinya sudah tahu kalau ada ancaman terbesar di depan mereka. Ribuan reptil melawan ratusan pasukan yang bersiaga dengan tameng dan pedang maupun tombak terhunus. Di barisan belakang ada puluhan laras senapan yang siap membidik sasaran.
"Siaga!" terdengar seruan seseorang yang berada di tengah formasi. Dia adalah Raja Salamander. Sang Raja lengkap dengan baju besinya bersiaga di dalam barisan.
Para reptil pun muncul dari celah dan langsung menyerang mereka. Reptil-reptil yang sangat banyak itu menyerang seperti hujan. Tameng menjadi pertahanan pertama pasukan Raja Salamander. Mereka dihantam dengan cakaran bertubi-tubi, bahkan perisai pun rasanya tak memberikan perlindungan yang berarti.
Ribuan reptil terus mendesak, sedangkan pasukan lawan berkali-kali menghujamkan tombak mereka. Tidak sedikit reptil-reptil itu meregang nyawa saat tombak menancap, senapan-senapan meletus memuntahkan peluru dan pedang-pedang menebas tubuh dan kepala mereka. Potongan-potongan tubuh itu berserakan dimana-mana.
"Belum! Tetap bertahan!" seru Raja Salamander.
Pasukannya sangat patuh. Mereka tetap tak bergerak dari posisi mereka. Raja Salamander sepertinya memang menginginkan keadaan ini. Celah ini makin lama makin penuh dengan pasukan reptil. Mereka benar-benar tak akan memberikan jalan keluar kepada Pasukan Raja Salamander.
"Taktikmu memang gila, Salamander!" terdengar suara di dalam benak Raja Salamander. Suara itu tak lain adalah Raja Primadigda yang sedang menggunakan tehnik Mata Dewa.
"Kau tak usah banyak bacot. Aku bertarung dengan caraku sendiri," ucap Salamander. "Kau lihat saja apakah mereka sudah masuk ke dalam celah ini semua ataukah tidak?"
"Belum, tinggal sedikit lagi. Kau mau aku bantu? Aku bisa memusnahkan separuh dari mereka kalau kau mau," tawar Raja Primadigda.
"Kau kira aku tak bisa? Aku bisa memusnahkan semuanya!"
"Baiklah, lima puluh persen untukku, lima puluh persen untukmu. Fair, bukan?"
Raja Salamander tak menjawab. Dia merasa seluruh pasukan reptil sudah masuk ke dalam celah semua. "Pasukan. BUKA PERTAHANAN!" teriak Raja Salamander.
Para pasukan pun tiba-tiba menunduk dan mengatur tamengnya ke atas. Raja Salamander lalu melompat ke udara. Dalam sekejap ia menjadi naga raksasa dengan wujud hitam legam bermata merah menyala. Wujudnya yang mengerikan membuat para reptil terperangah. Sang naga tak berhenti di situ saja, ia lalu menghirup napas dalam-dalam, mengumpulkan seluruh energi ke dalam paru-parunya. Setelah itu hembusan api hitam membakar semua pasukan reptil. Mereka yang mengetahui serangan itu sudah tak ada kesempatan lagi untuk kabur, semuanya terbakar oleh api hitam.
Api kegelapan itu adalah api spesial. Api khusus yang tidak dimiliki oleh sembarangan ras naga. Setiap ras naga memang bisa mengeluarkan api dari tubuh mereka, tetapi api spesial hanya dimiliki oleh naga-naga tertentu. Api yang dimiliki oleh Raja Salamander adalah api pembakar jiwa. Siapapun yang terkena api ini, maka jiwanya akan musnah, meskipun tubuh mereka masih utuh.
Lembah pun serasa sunyi setelah itu. Celah itu tidak meninggalkan apapun selain keheningan dan suara jeritan yang tertahan. Tak ada suara reptil, tak ada suara langkah kaki. Semuanya senyap seperti keheningan yang hakiki. Para prajurit yang berlindung dari balik tameng mereka lalu berdiri. Mereka menyaksikan pemandangan yang sepertinya sudah biasa mereka lihat, tetapi masih saja mereka takjub melihatnya. Tumpukan mayat yang mana tubuh mereka utuh, tak ada bekas terbakar. Jiwa-jiwa dari mayat-mayat tersebut telah musnah, tubuh mereka sekarang hanya seperti seseorang yang baru saja meninggal karena penyakit jantung. Tak ada darah, tak ada luka, hanya bau kematian yang sangat menyengat.
"Bagaimana hasil karyaku, Raja Primadigda?" tanya Raja Salamander sambil terkekeh.
"Sok pamer. Keluarlah dari sana! Lihatlah aku ada sesuatu untukmu," ucap Raja Primadigda dari kejauhan.
Raja Salamander kembali menjadi wujud manusianya. Ia dan bala tentaranya keluar dari celah. Mereka melompati bangkai-bangkai pasukan reptil. Sesampainya di luar celah, mereka terkejut dengan banyaknya lagi pasukan reptil di hadapan mereka. Seseorang tampak berdiri di atas tumpukan mayat tersebut. Seseorang berambut panjang berwarna abu-abu dengan baju besi berdiri sambil melambaikan tangannya.
"Kau benar-benar kurang ajar, Primadigda. Kau bilang sudah hampir masuk semua," gerutu Raja Salamander.
"Ayolah, aku tak mau kau bersenang-senang sendiri. Setidaknya, kita saling berbagi," kekeh Raja Primadigda yang baru saja membantai separuh pasukan reptil seorang diri.
Raja Salamander memutar bola matanya. "Dasar, kau juga pamer."
"Aku tidak pamer. Kau yang pamer."
"Kau yang pamer, Primadigda. Bagaimana kau membunuh mereka? Tak ada bekas luka di tubuh mereka, kau bakar pun tidak."
"Sama bukan? Kau juga melakukannya. Aku yakin semua reptil itu tidak punya bekas luka, sama seperti ini."
"Itu karena api yang aku miliki. Tapi kau berbeda. Apa yang sebenarnya kau miliki sampai aku tak tahu cara kau melakukan semuanya."
"Wahahaha, rahasia. Aku tak akan memberitahukannya," ujar Primadigda sambil melangkah pergi.
"Tunggu! Jangan pergi. Kita harus atur siasat lagi! Kau tak mungkin ingin sendirian bersenang-senang."
Tiba-tiba, dari jauh terdengar raungan yang menggetarkan. Raja Primadigda dan Raja Salamander terkejut, karena sumber suara itu berada di salah satu tempat yang cukup mengerikan yang tidak jauh dari tempat mereka berada.
"Siapa itu? Jangan bilang itu adalah....," Raja Primadigda menunjuk ke arah asal suara.
"Tak salah lagi. Itu suara Ratu Naga Eidela," sambung Raja Salamander.
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top