PURSUER

Nadine Jacqueline tidak terlalu menyukai pesta. Terlebih pesta yang hanya dihadiri oleh keluarganya. Keluarga Tryniski. Dia bersandar di kursi, rambut kehijauannya menjuntai kebawah, bibirnya mengatup, apple pie di meja hampir tak tersentuh. Kata mereka, "Tuhan. Jangan sekali-kali makan buatan Aunt Melanie." Dan seluruh kue tergeletak begitu saja.

Beberapa anggota menyetel lagu dari piringan hitam dengan label Revolver, dengan judul Si No Hubiera Que Correr dan San Pedro yang menjadi andalan di pesta. Selalu lagu itu. Berulang-ulang seakan lagu di era dua puluh ini tidak ada apa-apanya dan tidak cocok untuk pesta manapun.

Nadine mengeluh. Keluarga ini benar-benar tidak pernah tau apa itu pesta.

Gadis itu kembali ke sebuah kota kecil setelah dua puluh tahun bersemanyam di London. Kota dimana dia sekarang adalah kota tak terjamah manusia manapun, di daerah pegunungan Kamchatka, Rusia. Mata hijaunya berubah menjadi merah, alunan lagu piringan hitam karya Revolver terhenti, ada badai salju diluar dan gemuruhnya semakin jelas.

Kota itu tak terjamah manusia manapun.

Karena yang menghuni kota itu bukanlah manusia.

Sama sekali.

Termasuk Nadine Jacqueline dan semua keluarga turunan Tryniski.

Cursed Alicorn, Annicorn, adalah Alicorn yang dikutuk menjadi manusia, itulah mereka. Dosa terbesar nenek moyang mereka adalah jatuh cinta dengan manusia dan berharap mereka adalah manusia, karena pada dasarnya Alicorn adalah unicorn bersayapyang melambangkan kesucian, feminism sekaligus maskulinitas, dan puncak tertinggi kesucian batin—memiliki nafsu menjijikan seperti itu.

Keabadian bukanlah suatu anugerah.

Itu yang selalu dipikirkan Nadine. Dia melihat kepedihan juga dalam keluarganya. Di dalam keabadian, memang mereka memiliki segalanya—kebijakan, kepintaran, kedudukan, harta—mereka memilikinya sampai benar-benar muak. Di dalam keabadian juga, mereka memiliki kepedihan yang mendalam, melihat kolega kesayangan mereka mati karena tua sedangkan mereka tidak pernah tua tak ayal memberikan kesedihan tersendiri—bagaimanapun, Annicorn memiliki sebagian sifat manusia. Mungkin hal yang mereka inginkan sebenarnya adalah mati—satu-satunya hal yang belum pernah mereka alami.

Ada satu cara. Jatuh cinta.

Berawal dari cinta, berakhir dengan cinta.

Nadine Jacqueline adalah seperempat Annicorn, dia lahir dari ibunya yang setengah Annicorn dan ayahnya yang merupakan pria terhormat di London. Dia melihat sendiri Ayahnya menua dan mati kala itu, semua penyakit bisa disembuhkan oleh Annicorn, namun tidak untuk penyakit tua. Nadine tidak pernah bertemu dengan Ibunya, dia hanya mendengar dari Ayahnya bahwa Ibunya menjadi serpihan debu berkilauan dan menghilang setelah melahirkan. Itulah bagaimana seorang Annicorn mati—bahkan untuk Annicorn pria, dia menghilang setelah berhubungan tubuh dengan manusia murni.

Namun tak banyak yang seperti Ayahnya, atau bahkan hampir tidak ada. Seorang manusia tidak mau menikah dengan seseorang hanya untuk melihat kematian orang terkasihnya setelah melahirkan anak pertama—atau berhubungan badan untuk pertama kali. Beberapa akan menyalahkan anak itu seumur hidup, atau memanfaatkannya di pasar gelap, atau menggunakan Annicorn sebagai pemuas nafsu belaka.

Cinta itu mengerikan. Dan itu membunuh Annicorn.

Nadine adalah satu dari seribu kasus. Karena normalnya, bayi dari pernikahan setengah Annicorn dan manusia adalah manusia, bayi seperempat Annicorn hanya dilahirkan oleh pasangan setengah Annicorn. Itulah terkadang dia tidak terlalu menyukai ide untuk berkumpul bersama seluruh keluarga ini—walaupun ini untuk keselarasan kaumnya dan demi kebaikannya sendiri—tapi, demi Tuhan, dia lebih memilih untuk menyendiri di gua atau manapun jika ibunya tidak berpesan untuk menghadiri pertemuan ini tiap delapan windu. Karena terkadang dia merasa asing dan seluruh keluarga membicarkannya hanya karena dia hasil pernikahan manusia murni yang tidak menua. "Dia kutukan, bahkan Mendiang Nenek Moyang kita mati karena menikah dengan manusia."

Itulah mengapa dia menggunakan nama Jacqueline—nama ibunya—dan bukan Tryniski sebagai nama belakang.

Felix William mendapati mimpi aneh akhir-akhir ini—tidak, ini bahkan tidak seperti mimpi tapi lebih mendekati kenyataan yang sebenarnya. Dia yakin menjadi korban pembunuhan, luka di ulu hatinya jelas terasa menyakitkan saat pisau itu mengenainya, dan tangannya dengan jelas berlumuran darahnya. Tidak—bukan mimpi. Dia benar-benar ambruk di lantai apartemennya.

Namun sehari setelahnya, seakan tidak terjadi apa apa. Tapi apartemennya benar-benar berantakan. Semuanya nyata hanya saja tubuhnya utuh dan dia hidup.

Dia yakin dia ambruk walau samar dia melihat cahaya biru menyilaukan dan dia melihat seseorang menempelkan dahinya dan mata hijau yang berkilat.

Itulah mimpi yang selalu menghantuinya. Rasa penasaran ini bisa saja membunuhnya dua kali karena dia benar-benar yakin dia sudah mati sebelumnya.

Nadine telah melanggar sumpahnya, pikirannya kalut dan dia hanya terduduk termenung di sofa motif bunga sambil melihat saudaranya—yang melihatnya dengan tatapan aneh, menggunjingnya, menari dan tak menghiraukan kehadirannya. Selalu seperti itu. Sepuluh dekade terakhir ini.

Nadine telah melanggar sumpahnya untuk tidak menunjukan kekuatan penyembuhan mereka di dunia manusia—sungguh, dia pikir itu tidak apa-apa. Toh, tidak ada yang menaruh peduli padanya. Toh, dia menghadiri acara ini bukan karena kemauannya tapi semata-mata wasiat mendiang ibunya. Toh, bila suatu saat pelanggaran ini diketahui saudaranya, sungguh dia tidak apa-apa hidup menderita sendirian.

Suatu pagi, Felix tak sengaja menemukan sebuah bandul di depan pintunya, yang tidak dia ketahui milik siapa dan tidak bisa dibukanya. Bentuknya belah ketupat dengan ukiran timbul motif stilasi emas.

Kamchatka, 7 Juli 1892.

125 tahun yang lalu.

Gadis berambut hijau itu terbangun dengan wajah kebingungan, lagu dari piringan hitam Revolver masih terputar. Gadis itu terlalu banyak meminum alkohol hingga dia tidak sadarkan diri, dia meraba lehernya.

Tidak ada.

Sial, kalungku tidak ada.

Matanya berubah merah saking paniknya—mata seorang Annicorn yang marah.

Belum satu hari berdiam di kediaman Keluarga Tryniski, gadis itu memutuskan untuk pergi. Dia harus menyusuri jalannya lagi, bahkan bila harus kembali ke London dan dikira bangkit dari kubur. Karena kalung itu satu-satunya yang tersisa dari dirinya, sesuatu yang membuatnya berharga.

Dimana Kamchatka?

Itu nama pegunungan di Rusia. Sangat jauh dengan London, pikir pemuda itu. Tapi entah mengapa dia harus pergi, dia hanya percaya dengan instuisinya yang berkata bahwa rasa penasarannya akan terbayarkan.

Dia memesan satu tiket, menyiapkan mantel tebalnya—yang dia tahu Rusia sangatlah dingin, dan beberapa uang saku serta perlengkapan imigran lain. Dia tidak berpikir akan bagaimana bila dia sudah tiba disana, dia hanya perlu terus berjalan untuk membayar rasa penasarannya.

Tidak banyak orang di Bandara Elyzovo—satu satunya bandara di Kamchatka dan walau butuh delapan jam untuk sampai di Moscow, biasanya penerbangan akan dihentikan bila ada badai salju seperti saat ini. Dan artinya masih butuh beberapa hari untuk sampai ke London. Tuhan, andai saja sayap Alicorn menurun kepadanya.

Hal terburuk yang pernah terbayangkan olehnya adalah kalung itu tertinggal di apartemen pemuda yang ditolongnya sebelum pulang ke Kamchatka. Gadis itu tak kuasa ketika dia lewat di lorong apartemennya, dia melihat sebuah pintu apartemen terbuka, dia memberanikan diri melihat kedalam dan hal yang ditemukannya adalah seorang pemuda menggelepar bersimbah darah.

Insting manusianya membuatnya berlari kearah pemuda. Masih ada denyut nadinya, pikirnya waktu itu. Dan tanpa berpikir panjang dia menautkan jemarinya dengan pemuda itu dan menempelkan dahinya. Tubuhnya sontak bersinar biru kehijauan. Dia tidak akan sadar dengan kehadiranku, kan?

Tubuh pemuda itu yang awalnya dingin perlahan menghangat. Oh, Tuhan, syukurlah.

Nadine baru saja melanggar sumpahnya. Dia hanya mengikuti instuisinya untuk menolong pemuda ini. Tidak tahu kenapa.

Untuk sampai ke Kamchatka, dia butuh transit ke Moscow lalu ke bandara Düsseldorf sampai akhirnya tiba di bandara satu-satunya di Kamchatka—Elyzovo. Butuh beberapa hari, mungkin. Ada yang menyarankan untuk tidak ke Kamchatka, itu bukan daerah yang ramah, terutama di bagian pegunungan—bahkan banyak yang belum terjamah manusia dan beberapa daerah digunakan untuk tujuan militer. Tidak ada apa-apa, hanya salju.

Tapi apapun itu sekarang, itu tidak membuatnya mundur.

Sampai di Moscow, dia merasa dia makin dekat dengan tujuannya.

Penerbangan di Moscow dihentikan karena badai salju di bulan Januari sangat parah kala itu, pesawat terakhir mendarat dari Elyzovo sekitar jam dua dini hari. Dan penerbangan baru ada tiga hari kedepan.

Setelah negosiasi dengan pegawai pesawat tak berhasil, Felix menarik kopernya malas. Dia akan menginap di bandara sampai jam enam pagi dan akan mencari penginapan.

Seseorang mengaduh, badan tegap Felix baru saja menabrak seorang gadis sampai dia terduduk. "So—Sorry," sebentar, apa bahasa Rusia dari maaf?

"It's okay," gadis itu mencoba berdiri saat Felix mencoba menjajarkan dirinya dengan gadis itu. Ada kilatan terkejut di mata Felix, dia kira dia satu-satunya orang inggris disini.

Mata almondnya bertabrakan dengan mata emerald sang gadis. Familiar. Di benak Felix, dia pernah melihatnya tapi tidak tahu kapan. Gadis itu berambut panjang kehijauan, seperti warna kelereng dan matanya hijau seperti campuran zambrud dan emerald.

Untuk pertama kali, Nadine ingin merasa jatuh cinta. Karena itu satu-satunya dia bisa mengakhiri hidupnya, karena dia merasa dia tidak bisa menemukan kalungnya bahkan bila harus menelusuri sampai ke London. Dia merasa putus asa.

Dan disisi yang lain, pemuda yang hampir hampir sampai ke pintu luar bandara berbalik arah. Langkahnya lebar, hampir berlari. Dia akan menurut instuisinya kembali. Dia pikir dia sudah menemukan apa yang dia cari.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top