9. Serangan Balasan

"Akhirnya ada juga yang bilang begini!"

"Nah, setuju! Aku juga merasa kalau si protagonis wanita terlalu banyak dapat kemudahan, sementara si antagonis dari awal sampai akhir kayaknya sial terus!"

"Hahaha! Iya, nih! Author-nya kebanyakan menulis cerita petualangan kali, ya! Kalau di petualangan, wajar protagonis dibuat terlalu kuat. Tapi, ini kan dia mau angkat kisah cinta segitiga yang jadi konfliknya, ya? Tokoh wanita saingannya gak seimbang! Ini, sih, bisa buat pembaca malah benci sama si protagonis wanita!"

"Benar, author-nya yang enggak becus! Hahaha!"

Tangan Dean meremas tetikus di atas meja erat-erat saking emosinya. Untung saja ia ingat kalau laptopnya itu dibeli dengan keringat hasil kerja keras. Kalau tidak, benda tersebut pasti sudah melayang ke tembok dan pecah berhamburan karena dibanting.

Para komentator negatif itu sedang mengkritik karya terbaru Dean yang berjudul Pangeran Yang Terbuang. Memang benar, ini pertama kalinya Dean mengambil tema percintaan, meski bukan menjadi genre utama. Selama ini, Dean fokus menulis cerita petualangan fantasi yang melibatkan tokoh utama laki-laki. Dean sudah ahli di bidang tersebut. Ia pun ingin menjajal sesuatu yang baru, sekaligus menggaet pangsa pasar pembaca terbanyak di platform Beetale, yakni perempuan.

Selama menulis cerita petualangan, mayoritas pembaca Dean adalah laki-laki. Sedangkan menurut statistik, platform Beetale dipenuhi oleh pembaca perempuan, begitu kata editornya. Bila ingin mendapatkan untung lebih banyak lagi, Dean harus bisa mendapatkan hati mereka. Satu hal yang Dean tahu, pembaca wanita menyukai cerita cinta.

Masalahnya, Dean belum pernah merasakan jatuh cinta sebelumnya.

Dirinya terlalu sibuk belajar dan bekerja agar harga dirinya tidak diinjak-injak oleh orang-orang sekitarnya, hingga ia lupa merasakan yang namanya jatuh bangun dengan hati yang diaduk-aduk karena perasaan cinta. Dean tidak pernah, bahkan tidak tertarik pada urusan yang satu itu.

Mana ia tahu sekarang, kalau pengalaman cinta justru dibutuhkan dalam riset naskahnya kali ini. Namun, Dean bersikeras bisa menulis kisah cinta tanpa mengalaminya sendiri. Ia mendalami ilmu barunya tersebut dengan menonton dan membaca cerita cinta populer.

Rupanya, itu semua belum cukup. Setelah kritikan itu datang, Dean pun sebenarnya sudah menyadari kalau dia memang payah membuat tokoh dalam kisah cinta. Akan tetapi, lelaki itu terlalu gengsi untuk mengakuinya.

Kini, Dean malah membuka grup chat berisi para pembaca eksklusif. Yang tergabung dalam grup ini setidaknya pernah satu kali membayar koin untuk membaca karyanya. Dean mengambil gambar tangkapan layar si kritikus anonim dan para komentator lainnya, lalu melampirkannya di grup.

Tanpa Dean mengetik sepatah kata pun, seorang penggemar beratnya yang bernama Rika muncul dan mengetik tanggapan.

"Kurang ajar mereka! Ayo, Kak Dean! Kita harus balas!"

"Aku setuju. Memang yang kayak begini kalau enggak kita bungkam dari awal, bakal kurang ajar sampai nanti-nanti juga!"

"Setuju sama Rika! Ayo guys, semuanya kumpul! Kita bikin serangan balasan!"

Sebagian besar yang ada di dalam grup mendukung keputusan Rika untuk membuat serangan balasan. Grup pembaca tersebut memang tempat para penggemar Dean berkumpul, dan mayoritas adalah laki-laki.

Rika adalah salah satu pembaca perempuan yang setia menikmati karya Dean, apa pun itu. Ia pun mudah berbaur dengan para pembaca laki-laki lainnya, dan yang lain pun menyenangi keberadaan Rika dalam grup tersebut. Dean pun mengangkat Rika sebagai ketua dan moderator dari mereka semua.

Dipimpin oleh Rika, mereka berbondong-bondong mendatangi komentar di mana kritikan anonim itu berada, lalu mulai mengetik pembelaan dan cacian balik.

"Baca gratis saja mau menuntut ini-itu! Tahu diri, dong!" ketik Rika. Komentar gadis itu langsung disambut oleh tanggapan berupa tombol suka dari penggemar-penggemar lainnya.

"Benar! Kalau merasa bisa menulis novel lebih baik, tulis saja novelmu sendiri!"

"Namanya juga novel fiksi, ya suka-suka Kak Dean, mau menulis seperti apa!"

"Pembaca gratisan tidak tahu diri!"

Lagi-lagi, Dean tidak perlu bersusah payah untuk melakukan apa pun. Citra dirinya tetap terjaga baik di hadapan orang lain, meski saat ini ia sedang tertawa keras sembari menyumpah, "Rasakan!!"

Bagi Dean, kritikan tidak boleh datang dari orang yang tidak pernah melakukan hal yang sama, terlebih lagi bila orang tersebut tidak mendapat pencapaian lebih besar dibanding dirinya.

Sepertinya, serangan balik dari para pembaca eksklusif cukup ampuh untuk membantai para komentator negatif itu. Selama beberapa jam, kritikus anonim dan pembaca setia saling melempar kalimat pedas dalam kolom komentar. Dean hanya perlu duduk tenang melihat mereka semua bertengkar untuknya.

Tak berapa lama, para komentator negatif tidak dapat berkutik lagi. Tidak ada lagi balasan negatif dari mereka, kecuali satu kalimat.

"Percuma guys, mau kita bilang kayak gimana juga. Selama penulisnya sendiri tidak mau belajar untuk lebih baik, bahkan membiarkan pembaca garis kerasnya membela mati-matian seperti ini. Enggak ada yang bisa kita perbuat. Biarkan saja!"

"Ya sudah, sana pergi! Jangan kotor-kotorin kolom komentar karya Kak Dean dengan pikiran negatif kalian!" balas Rika untuk terakhir kali.

Selanjutnya, tak ada lagi balasan yang muncul dari pihak kritikus. Kemenangan dilaporkan oleh Rika dalam grup. "Kita menang! Habis sudah semua komentar negatif itu!"

"Terima kasih, ya! Kalian semua memang yang terbaik!" ketik Dean, lalu menutup aplikasi grup chat di laptopnya

Dean melihat ke arah jam dinding. Waktu menunjukkan pukul dua siang. Rupanya perang komentar tadi memakan waktu berjam-jam hingga ia lupa makan.

"Sudah jam segini, pantas rasanya lapar banget!" Dean meraih ponsel pintarnya, lalu mulai mencari aplikasi pesan makanan daring, dan mulai menggulir nama-nama restoran yang terdaftar di sana. "Makan apa ya?"

Dean melirik piring sisa sate ayam di atas meja. Sepuluh tusuk kosong berlumuran saus kacang masih di sana. Sejak kecil, segala makanan yang berbentuk sate memang menjadi makanan favorit Dean. Ia dan mendiang ayahnya sering membakar sate sendiri saat dulu masih tinggal di desa.

"Apa sate lagi, ya?" gumam Dean. Ia pun mengetikkan kata 'Sate' pada kotak pencarian. Kemudian, secara otomatis aplikasi tersebut menyortir, memperlihatkan segala menu sate dari berbagai restoran.

Namun, baru saja Dean hendak memilih salah satu restoran langganannya memesan sate, tiba-tiba ia merasakan pusing yang begitu hebat.

"Kenapa ... tiba-tiba jadi pusing begini, ya? Biasanya aku juga sering telat makan, tapi tidak pernah sampai begini ... ." Dean memijat dahi, tetapi rasa sakit di kepalanya tak kunjung hilang.

Dean ingin mengambil aspirin dari lemari di sudut kamar, guna meredakan rasa sakit yang ia derita. Akan tetapi, baru saja beranjak dari kursi, lelaki itu merasa seluruh benda di kamar berputar-putar. Dean masih berusaha untuk tetap sadarkan diri. Namun, rasa pusing makin menyerang.

Hingga akhirnya, lelaki itu tidak dapat bertahan lagi. Tubuhnya jatuh tergeletak. Kedua matanya terpejam tak sadarkan diri di lantai kamar kontrakannya itu.

***

"Ini ... di mana?"

Sambil terduduk di atas tanah cokelat kehitaman, Dean menatap sekelilingnya dengan kening mengerut bingung. Ia benar-benar tidak ingat bagaimana ia bisa berada di tempat ini. Padahal, sebelumnya ia masih berada di kamar kontrakan.

"Aku sedang mimpi ya?" tanya Dean seraya mengucek mata.

Namun, lingkungan sekitarnya masih belum berubah, berkali-kali ia mengamati. Ia pun menyadari bahwa pusing hebat yang tadi menusuk-nusuk kepalanya, telah hilang begitu saja seolah tak pernah terjadi.

Sesaat kemudian, Dean bangkit dari posisi duduk. Ia termangu mengamati sekelilingnya yang dipenuhi pohon-pohon tinggi berbatang tebal dan kokoh, serta berdaun lebat. Jarak antar pepohonan pun cukup rapat satu sama lain. Sesaat, gelenyar rasa takut mulai merambati tulang belakangnya. Namun, kicauan burung yang saling bersahutan seketika meredam rasa takutnya itu.

Dean menengadah, memandangi dedaunan rimbun yang membuat cahaya matahari hanya mampu menerobos sedikit, tapi setidaknya cahaya tersebut mampu memberikan penerangan baginya untuk melihat.

Tiba-tiba, semilir angin dingin berembus, membangunkan bulu-bulu halus di tengkuknya. Dean mengusap tengkuk sambil terus mengamati sekeliling, berharap bisa menemukan sesuatu yang familier.

"Bagaimana aku bisa sampai di sini?" Dean mengernyit heran.

Sebagai anak yang tumbuh dan besar di kampung, Dean sering sekali bermain di hutan bersama teman-temannya sehingga ia hafal sekali dengan tempat itu. Ia kira, ia berada di dalam hutan yang sama.

Namun, kemungkinan itu ditepisnya setelah melihat buah pisang berwarna merah tergantung di dahan pohon berkambium yang berada beberapa langkah dari tempatnya berdiri.

"Buah apa ini?" Dean mendekati pohon tersebut dan mengamati buah yang tergantung dekat di atas kepala. Ia tergiur untuk mencicipi, tetapi kemudian ragu apakah buah tersebut aman untuk dimakan. Bukan hanya pisang berwarna merah, Dean juga melihat ada buah apel berwarna ungu.

Heran dengan keberadaan buah-buah tersebut, kecemasan pun seketika menyerang Dean. Dengan jantung yang berdebar lebih cepat dari sebelumnya, kepanikan semakin menyelimuti dirinya. Firasat Dean pun seolah mengatakan bahwa ada yang tidak beres dengan hutan ini.

Keberadaannya yang seorang diri malah menimbulkan bayangan-bayangan menyeramkan dalam benaknya. Ia tidak tahu bahaya apa yang mengintainya di dalam hutan belantara seperti ini.

"Ini gila! Apa yang sedang terjadi! Di mana aku sebenarnya??"

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top