🍬 Prolog

بسم الله الرحمن الرحيم

One Squell of Khitbah Kedua and the others
-- happy reading --

🍬🍬

TERLAHIR sebagai dua orang anak kembar. Mungkin menyenangkan tetapi kadang juga menyebalkan. Apalagi dengan kemiripan yang sangat luar biasa identik.

Almira Hanifa dan Ayyana Hafizha. Dua gadis yang kini menginjak usia dewasa itu membuat kedua orang tuanya merasa begitu sangat khawatir. Ditambah lagi dengan usia Ibnu yang bisa dikatakan tidak muda lagi. Meskipun kharismanya tidak pernah lekang dimakan usia tapi tetap saja, usia tidak bisa menipu mata.

Kondisi fisik Ibnu yang sepertinya dijadikan alasan untuk keduanya memilih melanjutkan kuliah di Indonesia. Sayangnya dua anak kembar Ibnu ini memilih dua jalur yang berbeda sehingga mereka tidak berada di satu kampus yang sama. Almira memilih untuk mengikuti jejak abang tampannya, sedangkan Ayyana lebih memilih mengikuti langkah mas gantengnya.

"Apa pun itu, Daddy akan tetap bangga kepada kalian," kata Ibnu saat kedua putrinya menyampaikan bahwa mereka diterima di dua universitas dan dua fakultas yang berbeda.

Ayya diterima sebagai calon dokter di sebuah Universitas negeri di Yogyakarta. Sedangkan Almira diterima di Universitas negeri di Malang. Menjadi salah seorang akuntan publik atau ingin memperdalam ilmu tentang itung-itungan tuyul.

Mungkin benar pepatah yang mengatakan bahwa ayah adalah cinta pertama untuk putrinya. Dan Ibnu benar-benar menjadi cinta pertama untuk kedua putri kembarnya.

"Tidak ada laki-laki sebaik Daddy, Ayya akan selalu menjadi putri tercantik Daddy dan mungkin nanti juga tidak bisa sering-sering pulang, Dad. Karena Daddy juga tahu bukan bagaimana kuliah Ayya nantinya," kata Ayya saat Ibnu memberikan nasihat kepadanya di suatu malam.

Melepaskan putri sedikit jauh membuat hati Ibnu terasa sedikit ngilu. Tapi jika mengingat mereka juga harus memperjuangkan masa depan mereka membuat Ibnu harus merelakan keduanya. Berbahagialah karena mereka memilih untuk tetap sekolah di dalam negeri dengan alasan rasa cinta mereka kepadanya.

"Jadi kalian nggak sayang sama Bunda, kok dari kemarin Daddy terus alasannya," kata Qiyya saat kedua putrinya sedang bermanja dengan sang suami di sofa ruang keluarga.

"Siapa yang bilang Bunda, kita juga sayang Bunda. Tapi kita tahu, karena kita putri Daddy yang paling cantik, pasti membuat Daddy tidak akan tega melepaskan kita berdua jauh di negeri orang," kata Ayya.

"Lagian ya Bunda, anak perempuan itu pasti lebih manja ke Daddy ketimbang ke Bunda," tambah Almira.

"Iya begitu?" tanya Qiyya.

"Kata orang, tidak ada punggung dan tangan yang nyaman kecuali milik ayah untuk putrinya, yang akan selalu ada untuk bersandar juga menggenggam. Ya nggak sih, Dad?" tanya Ayya.

"Iyalah tentu. Daddy kan cinta pertama kalian," jawab Ibnu dengan bangganya.

"Kaka Al sama Mbak Ayya sebenarnya mau minta apa sih sama Daddy kok kelihatan gitu merajuknya?" tanya Qiyya sambil tersenyum. Kelihatan sekali mungkin Ayya dan Almira menginginkan sesuatu dari sang daddy.

"Nah itu, ucapan Bunda yang satu ini pasti banyak benarnya. Kalian mau minta apa sama Daddy?" Kini ganti Ibnu yang menggelitiki kedua putri kembarnya. Rasanya meski usia mereka sudah 18 tahun tapi bagi Ibnu tetap sama putri kecilnya nan imut.

Quality time seperti itulah yang selalu dirindukan oleh anak-anaknya. Setiap orang yang bekerja sebagai paramedis pasti tahu bagaimana terkadang jam kerja tidak manusiawi mereka. Apalagi jika sudah berkenaan dengan sebuah piket emergency. Nyatanya, Almira dan Ayya seringkali memberikan protesnya kepada Ibnu.

Sebagai dokter senior yang masih sangat dibutuhkan tenaganya. Ditambah lagi memang rasa tanggung jawab dan totalitas dari sebuah etos kerja yang selalu di pegang Ibnu terkadang memang lebih banyak memangkas waktunya bermanja bersama keluarga.

"Mbak Ayya kan sedari awal tahu, nanti kalau jadi dokter waktunya banyak dihabiskan di rumah sakit. Mengapa justru mengambil jalan yang sama. Kamu perempuan loh?" tanya Qiyya.

"Aunty Aira juga perempuan Bunda, Aunty Devi juga. Rasanya bahagia bisa membantu sesama," jawab Ayya.

"Bukan, Dad, lebih tepatnya pengen punya suami dokter juga," sambung Almira. Ibnu hanya mengangkat sebelah alisnya mendengar ucapan salah satu dari mereka. Mencoba untuk mengkonfirmasi kebenaran ucapan salah seorang dari mereka.

"Itu nggak bener, Dad," jawab Ayya.

"Ya kalau kamu pengen nikah, Daddy nikahkan saja. Kuliah dokter itu berat, kalau kamu kuliah cuma buat main-main percuma nanti Daddy bayar kuliahnya. Niatnya diluruskan dari awal. Lagi pula dalam Islam tidak ada istilah pacaran. Mbak Ayya, boleh menikah minimal ketika sudah koas. Kalau memang mau ambil studi kedokteran," pesan Ibnu, dia tahu benar bagaimana dukanya menjadi seorang mahasiswa kedokteran. Waktunya akan banyak dihabiskan di lab, perpustakaan dan buku ribuan lembar yang harus dibaca dan dimengerti. Belum lagi untuk tugas koasnya yang hampir setiap hari harus menyelesaikan banyak tugas, baik secara individu ataupun kelompoknya.

"Emang susah banget ya Dad sekolah dokter itu?" tanya Almira.

"Bukan susah, Sayang, tapi harus fokus dan bersungguh-sungguh. Bukan Daddy mendeskreditkan perempuan hanya saja kalau masih kuliah kedokteran lantas menikah dan hamil, kemudian memiliki bayi, butuh perjuangan lebih lagi. Tenaga, pikiran dan waktu pasti akan banyak terkuras. Itu yang Daddy tidak inginkan," jelas Ibnu.

"Mas Hanif tapi bisa loh. Hebat berarti ya, Dad?"

"Mas Hanif berbeda dengan kalian. Laki-laki memiliki waktu yang jauh lebih fleksibel. Tapi jangan di lupakan tanggung jawab kami untuk menafkahi keluarga itu juga sama besarnya dengan tugas seorang ibu yang merawat putra-putrinya di rumah," jawab Ibnu lagi.

"Lagian usia Mas Hanif juga sudah layak untuk menyandang status sebagai seorang suami dan ayah," kata Qiyya.

Percakapan ringan antara keempatnya harus berakhir saat Ibnu tiba-tiba harus kembali ke rumah sakit karena menerima telepon emergency.

"Operasi ya, Dad?"

"Iya, cito lagi. Nah nanti kamu juga akan merasakan seperti ini Mbak Ayya," kata Ibnu.

"Terdebest pokoknya daddyku ini. I love you, Dad," kata Ayya yang langsung merangkul manja kepada daddynya.

"Ishhh, nanti Bunda kalian cemburu kalau Daddy diginiin."

"Akutuh nggak bisa diginiin, aduhh," kata Qiyya dengan gaya total anak muda yang langsung disambut kekehan semuanya.

Usia boleh menua, tapi psikolog satu ini tetap bisa berada di jalur anak-anaknya.

Ibnu segera bergegas untuk mengganti pakaiannya. Tidak harus memakai pakaian formal tapi juga bukan berarti memakai polo shirt seperti yang dia kenakan sekarang. Qiyya yang menyiapkan semuanya dan membantu Ibnu bersiap seperti biasa.

"Dad, beneran loh pasti nggak ada yang ngira kalau Daddy usianya sudah kepala 5," kata Almira memulai gombalan recehnya ketika Ibnu dan Qiyya keluar dari kamar mereka. Pakaian Ibnu telah berganti dengan smart casual dengan celana bahan sebagai bawahannya.

Perutnya yang masih rata membuat Ibnu benar-benar masih terlihat seperti pria yang memasuki usia matang. Meski tidak bisa ditutupi bahwa kerutan di wajahnya menandakan berapa usia bapak 5 anak ini. Qiyya yang kini memilih bergabung dengan kedua putrinya mencoba ikut memperhatikan penampilan suaminya. Sambil tersenyum dia berkata sedikit pelan meminta suaminya untuk mengikuti perintahnya.

"Dad, munduran dikit deh," kata Qiyya saat Ibnu tersenyum hendak melangkahkan kakinya.

Mendengar suara Qiyya, Ibnu yang baru melangkahkan satu langkah ke depan mendadak berhenti dengan kening berkerut seolah bertanya namun otaknya langsung merespon dengan melangkahkan kembali kakinya ke belakang dua langkah.

"Gantengnya kelewatan, Dad." Kompak suara yang keluar dari mulut Almira dan Ayyana membuat rona merah di pipi Ibnu.

Malam ini dia merasa benar-benar direcehi kedua putri dan bidadarinya. Namun, itu hanya sesaat. Rasa percaya diri Ibnu lebih besar daripada itu saat bersama keluarganya.

"Kalau Daddy tidak setampan ini pasti Bunda kalian tidak akan pernah melirik dong," jawab Ibnu yang kemudian mencium Qiyya dan juga kedua putri kembarnya.

"Duh, padahal yang minta untuk menikah kamu, Mas," kata Qiyya.

"Nah kamu juga mau, kalau masmu nggak ganteng mana mungkin?" tanya Ibnu.

"Ya tapi juga nggak langsung juga, semua datang dengan seiring berjalannya waktu," jawab Qiyya.

"Intinya kan mengakui kalau masmu ini ganteng?" tanya Ibnu lagi dengan sekali lagi mencium kening Qiyya.

"Sudah-sudah, yang jelas kami tahu kalau kalian saling cinta sekarang. Jangan bermesraan di depan anak di bawah umur seperti kami!" lerai Almira.

Melihat sang daddy dan bunda mereka bertengkar absurd itu ujungnya pasti ada live show kemesraan mereka berdua yang membuat anak-anak mereka merasa iri. Sudah selewat itu usia mereka masih juga bisa menjaga sweet moment yang kadang terlupakan karena alasan aktivitas dan usia.

Senyum simpul keduanya menanggapi ucapan putrinya dan akhirnya Qiyya yang mengiring keberangkatan Ibnu sampai di teras rumah mereka.

Lahir, tumbuh dan dewasa menjadi putri seorang dokter membuat keduanya mengerti bagaimana cara kedua orang tuanya saling melengkapi untuk memperhatikan kebutuhan mereka.

Hingga keduanya bertumbuh sampai sekarang kedua orang tuanya tidak pernah berubah. Tatapan penuh cinta, ungkapan perasaan dan jutaan cinta yang begitu kentara membalut suasana sehingga atmosfer yang tercipta selalu penuh dengan kehangatan. Hidup, tertawa bahkan ketika harus menangis pun semuanya bisa membagi dengan penuh sayang.

Pemberkasan dan tetek bengek daftar ulang telah dilakukan keduanya. Hingga kini tibalah saat mereka harus benar-benar masuk, duduk manis dan bertambah gelar menjadi siswa dewasa dengan sebutan mahasiswa.

Untuk Almira, Ibnu dan Qiyya tidak terlalu khawatir karena ada Hafizh yang juga sedang menyelesaikan pascasarjana dan istrinya yang bisa mengawasi Almira, setidaknya Ibnu tidak sekhawatir melepaskan Ayya.

"Dad, I know that I'm the most beautiful daughter in the world. But trust it, inshaallah I can take care of my self," kata Ayyana ketika berada di stasiun saat dia memilih untuk tidak perlu diantarkan ke Yogyakarta.

"Daddy will be missing you always, Dear," ucap Ibnu sambil memeluk putrinya saat Ayyana harus melakukan check in karena lima belas menit lagi kereta Malioboro yang akan mengantarkannya ke Kota Gudeg itu akan segera tiba.

"Bunda__" kini Ayya berganti memeluk Qiyya. Rasa haru menyeruak dari dalam dadanya. Wanita ini yang selalu menyiapkan segala keperluannya setiap harinya. Mulai sekarang dan seterusnya sepertinya Ayya harus bisa seperti sang bunda.

Tersenyum dan selalu ada untuk putra-putrinya. Memberikan kehangatan dan menghujaninya dengan cinta yang tiada berujung. Melihat Qiyya seolah Ayya melihat masa depannya, dari sorot mata itu banyak hal yang bisa dipelajari Ayya. Bahwa setiap orang pasti akan menuju tua, meski tidak ada jaminan bahwa Allah memberikan dan menuntaskan umur setiap makhluknya dengan kata tua. Tapi setidaknya setiap detik bergulir dan hari berlari manusia hanya akan berjalan menuju hari tuanya.

Ya, menjadi tua itu adalah ketetapan pasti namun kata dewasa tetaplah menjadi pilihan orang yang beranjak tua. Karena tidak selamanya tua itu bersama dengan kedewasaannya.

Dan itu yang bisa dilihat Ayya dari sorot mata Qiyya, menjadi tua dengan penuh kedewasaan. Menjadi orang tua dengan bijaksana seperti layaknya orang dewasa dalam mengambil sikap atas berbagai hal.

"Bunda, Ayya pasti bisa seperti Bunda kelak. Menjadi ibu dengan penuh cinta. Menjadi istri yang selalu berdiri di samping suami apa pun yang terjadi. Ayya ingin seperti Bunda." Lirih suara Ayyana berbisik di telinga Qiyya.

"Pasti. Bunda selalu mendoakan itu untukmu Mbak Ayya. Jangan lupa, sholat di awal waktu, jaga hafalan qur'annya. Dan selalu berdoa minta Allah untuk memberikan penjagaan untukmu. Selama Daddy dan Bunda bisa menjengukmu nanti kami pasti akan ke sana. Pilih teman yang benar, kabari kami secepatnya setelah kamu sampai," pesan Qiyya.

Sepuluh menit dari Ayyana masuk ke ruang tunggu, kereta api yang akan ditumpanginya datang dan dengan lambaian tangannya kepada Ibnu dan Qiyya yang masih terlihat di balik pintu kaca Ayyana melangkahkan kaki dengan sebuah travel bag yang ditariknya.

Bersama Malioboro ini Ayya mulai mengukir mimpinya. Bermimpi untuk bisa menjadi seorang yang berguna seperti halnya sang daddy dan juga mas gantengnya yang kini juga menyelesaikan sekolah spesialisnya di Negeri Paman Sam.

Rasanya ingin cepat-cepat bertemu dengan mas ganteng dan keluarga kecilnya. Berbagi cerita dan banyak belajar darinya.

Sementara sepeninggal Ayya yang telah berlalu dengan kereta api yang membawanya kini bapak lima anak itu memilih untuk menelepon putri satunya. Memastikan Almira tidak kekurangan apa pun dan telah bersama sang kakak.

"Alhamdulillah, Dad. Abang juga sudah pulang kok sama kakak ipar. Ishhhh, jangan diganggu dulu." Kekeh Almira yang memang diminta Ibnu untuk tinggal bersama Hafizh di rumah mereka.

Qiyya membiarkan suaminya bertelepon manja dengan putrinya. Sangat mengerti bagaimana perasaan suaminya. Tiba-tiba sepi tanpa jerit ceria mereka. Keempatnya kini menjauh untuk meraih masa depan. Meski Hafizh masih sering bolak balik ke rumah. Namun, tentu tidak lagi bisa seperti dulu ketika dia masih kecil. Hanif yang berada di benua yang sangat jauh tentu saja tidak bisa dengan mudah untuk memutuskan pulang sebelum spesialisnya selesai. Sementara kini si kembar juga harus berangkat juga untuk melanjutkan sekolah mereka.

"Sayang, Adik sudah selesai kan ngurus pensi di sekolahnya?" tanya Ibnu saat dia telah menyelesaikan teleponnya dengan Almira.

"Sudah. Kenapa, Mas?"

"Berarti nanti nggak pulang malam lagi, kan?"

"Tadi juga sudah di rumah. Hanya nggak mau anterin Mbak Ayya, masih capek. Mau nyusul saja nanti ke Yogyakarta, katanya," jawab Qiyya.

"Bilang sama dia. Nanti malam tidur dengan kita," kata Ibnu.

Qiyya tersenyum mendengar permintaan suaminya. Benar-benar bapak ini tidak bisa berjauhan dengan anak-anaknya tapi harus berusaha menekan egonya untuk masa depan mereka.

"Loh Mas, kok nangis? Kenapa?"

Seperti ingin tertawa namun seolah dipaksakan namun ujungnya justru Qiyya mengetahui air matanya kini semakin deras mengalir.

"Mereka belum juga sehari pergi. Tapi masmu sudah kangen, bagaimana nanti itu mereka di sana. Anak perempuan Mas___"

Tidak perlu menjawab, Qiyya cukup memberikan pelukannya. Laki-laki yang kini ada di pelukannya ini bisa dingin, bisa tidak peduli dengan orang lain yang tidak berurusan dengannya. Tapi tentang anak, hatinya bisa melembut melebihi kapas.

"Jangan bilang aku menangis kepada mereka."

✔✔

-- lanjutkan? --
Boleh alasannya 🧐🧐

Boleh sharing kok bagaimana suami kalau berada di posisi Ibnu 🤭🤭 punya anak perempuan dewasa yang harus pergi meninggalkannya karena berbagai hal yang menjadi alasannya. Ada yang bersikap melebihi sikap Ibnu????
(Uhhhhh, ini sih sebenarnya bocoran dari mama saat aku minta izin melanjutkan kuliah dan tidak sekota dengan mereka lagi. "Ayahmu nangis beneran loh Mbak" -- jangan tertawa yang sudah tahu bagaimana garangnya wajah Den Bei trus menangis gegara putri kecilnya harus berpisah dengannya 🤫🤫 -- )

Yah ini cerita si kembar... release,
Ada yang nunggu????

Bagaimana mereka berdua dan dengan siapa nantinya

😉😉

Yang jelas cerita ini akan dilanjutkan setelah Bang Hafizh terbit dan Matahari Jiwaku selesai karena keduanya memang harus dikerjakan terlebih dulu..(timeline nya sudah harus segera kelar...too long)

Sabarrrr ya semua yang menantikan kisah ini 😘😘

Surabaya, 28 September 2019

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top