1
Indonesia, Tahun 2025.
Aku menyambar selembar koran usang yang terbang tertiup angin, menghalangi pandangan. Membolak-baliknya sesaat, mencari keterangan tanggal yang dapat kutemukan. Aku sama seperti orang-orang lainnya di saat seperti ini, melupakan hari, tanggal, bulan, bahkan tahun. Akan tetapi, kami mengingat jelas bahwa tahun ini adalah puncak kepedihan hidup. Aku, sama seperti orang-orang lainnya, mengenali hari hanya melalui pergantian siang dan malam. Siang adalah waktunya mencari sesuap nasi. Sementara malam adalah waktunya untuk bersembunyi, mempertahankan nyawa hingga pagi kembali.
Koran itu masih baru, terbitan dua hari lalu. Meski kertasnya sudah kumal dan dipenuhi tanah. Bola mataku menyisir kolom iklan yang berisi lowongan pekerjaan, segera setelah aku berjongkok pada emperan toko yang tak berpenghuni. Menekuri huruf-huruf kecil yang tercetak di sana sembari mengernyit dalam.
Bagai mencari jarum di dalam tumpukan jerami, hasilnya nihil. Tak ada pekerjaan apa pun yang dapat kutemukan sesuai dengan keterampilan yang kumiliki. Pun tak ada kantor yang mencari pekerja pada saat-saat seperti ini. Barangkali, kantor-kantor yang ada bahkan melakukan pemangkasan tenaga kerja secara besar-besaran. Lagi pula, sebagian besar kolom iklan itu berisi berita kehilangan.
Aku mengesah, setelah beberapa detik tak menemukan apa yang kucari. Aku meremas kertas koran kumal itu putus asa, kemudian melemparkannya ke sembarang arah. Gumpalan kertas koran itu terpental masuk ke selokan kering di depan emperan toko.
Dasar hantu-hantu sialan!
Jika kau mengira bahwa pandemi covid19 adalah kemalangan terbesar bangsa ini pada tahun 2020 silam, maka barangkali kau tak pernah menjejakkan usia pada tahun-tahun berikutnya. Tepatnya pada tahun 2022, sebuah bencana besar melanda Indonesia dalam serangan yang lebih masif, memporak-porandakan tatanan kehidupan dan perekonomian bangsa dalam sekejab. Menghancurleburkan segala cita dan asa. Tak ada lagi bayangan kehidupan idaman di masa mendatang. Alih-alih mengupayakan masa depan, bencana itu justru membuat semua orang hidup dalam ketakutan dan bayang-bayang kegelapan.
Indonesia sedang diserang wabah hantu. Ya, hantu secara harfiah. Ini sama sekali tak ada hubungannya dengan hantu dalam konsep agama manapun yang mengatakan bahwa tak semua orang dapat melihat makhluk astral itu. Akan tetapi menurutku, hantu-hantu itu serupa monster yang sangat nyata dan bisa menyerangmu secara fisik dengan kekuatan astral mereka masing-masing.
Dalam hitungan bulan pusat-pusat keramaian dan sentra perdagangan tutup dalam keadaan rusak dan tak terurus. Orang-orang dipaksa menarik diri, bersembunyi di balik pintu dan jendela mereka yang terkunci. Tak ada lagi silaturahmi. Tak ada lagi yang bekerja ataupun sekolah. Kehidupan menjadi begitu sulit, bahkan sekadar untuk mencari sesuap nasi. Kondisi pemerintahan juga tak jauh berbeda, tertatih dan kewalahan menghadapi wabah hantu yang merajalela.
Selang beberapa bulan setelah hantu-hantu yang entah berasal dari mana itu meneror, menyerang orang-orang secara fisik, dan merusak keramaian di jalanan terutama pada malam hari, kehidupan yang aku alami tak lagi sama. Ayah dan ibuku turut menjadi korban 'wabah hantu' ini, meninggal karena diserang sekawanan genderuwo saat kembali dari luar kota. Hari itulah wabah dan kengerian ini bermula. Dalam berita di koran-koran yang tak lagi terbit setiap hari itu, kedua orang tuaku dikenang sebagai korban pertama.
Aku menyeka cairan bening yang seketika terbit di pelupuk mata kala mengingat kejadian nahas itu. Menyedot hidungku yang berair, kemudian beranjak dari emperan toko yang sepi. Seorang gadis kecil kumal yang setengah berlari sembari membincing kantung kresek, menyenggol tubuhku dengan keras. Aku menoleh padanya dengan tatapan tak senang dan mulut yang nyaris menghardik. Akan tetapi, gadis kecil itu hanya menghadiahiku dengan cengiran, sebelum berlari cepat ke penghujung deretan ruko.
Aku mengembus napas panjang sebelum kembali melangkah pulang. Tanda-tanda senja mulai terlihat pada langit jingga yang perlahan menua dalam konstelasi hari. Aku mempercepat langkah, tak ingin terjebak di jalanan sebelum matahari terbenam. Namun, baru saja kakiku hendak berbelok pada sebuah persimpangan, suara jeritan seorang gadis kecil terdengar di belakangku.
Aku sontak menghentikan langkah, menoleh pada deretan ruko yang baru saja kulewati. Tak ada siapa pun di sana. Akan tetapi, pikiranku langsung melayang pada gadis kecil dengan kantong kresek hitam yang menabrak tubuhku beberapa saat lalu. Dalam beberapa detik yang rasanya berlangsung sangat lama, aku bergulat di antara pemikiran untuk mengacuhkan atau menolong gadis malang yang mungkin saja sedang diganggu hantu itu.
Bukan tanpa alasan jika keraguan ini menyelimuti benakku. Aku menoleh pada sisi lain ruko yang menguarkan aura berbeda. Aura yang membuat sesak seketika menghimpit dada. Keraguan itu semakin nyata memaku sepasang tungkaiku pada tanah berdebu. Jauh di dalam lubuk hati, aku sama sekali tak ingin terlibat. Terlebih, setelah mengetahui siapa yang mungkin berurusan dengan gadis kecil itu dari pancaran aura di penghujung deretan toko.
Pada detik berikutnya, ketika aku telah memutuskan untuk mengabaikan suara itu, sebuah jeritan melengking mengoyak sepi senja kala. Membuat belenggu yang memaku kakiku seketika terlepas. Aku berlari kesetanan, menyusuri lorong ruko yang sepi. Tekanan aura yang besar terasa menghimpit tubuhku. Semakin kentara saat posisiku semakin mendekati penghujung ruko.
Jeritan terhenti, berganti tangis lirih yang tersendat-sendat, saat aku menghentikan lari hanya beberapa langkah dari aura gelap sudut itu. Mataku membelalak. Telapak tanganku refleks menutup mulut yang menganga. Kini aku tahu aku akan berurusan dengan siapa.
👻👻👻
Aku selalu memilih menghindari tempat-tempat sepi, tempat-tempat angker dan bepergian di malam hari. Meskipun pada masa seperti ini, istilah-istilah semacam itu hanya isapan jempol belaka. Mereka ada di mana-mana. Setiap tempat dan sepanjang hari sama mengerikannya dengan tempat-tempat angker dan malam hari.
Dulu, tidak semua orang dapat melihat makhluk-makhluk supranatural. Namun, sejak hantu mewabah, semua orang bisa melihat mereka, tanpa terkecuali. Hantu-hantu itu bahkan dapat melukai, menghancurkan dan meneror terus-menerus hingga menjatuhkan korban. Ribuan nyawa telah melayang akibat wabah mengerikan ini dan sepertinya mereka belum mau berhenti.
Jika dalam kondisi normal saja aku dapat melihat hantu-hantu itu, apalagi sekarang, aku bahkan dapat melihat aura kegelapan itu dari jarak yang cukup jauh. Merasakan tekanan energi yang menguar dari tubuh mereka. Dalam kengerian yang mewabah seperti ini, aku sama sekali tak dapat lagi menghindari makhluk-makhluk itu. Mereka ada di mana-mana dan sekarang tepat berada di hadapanku dalam jarak yang sangat dekat.
Aku membelalak. Kakiku yang gemetar terpaku di penghujung ruko beraura gelap. Tempat dimana jeritan gadis kecil itu berasal.
Sesosok makhkuk serupa laki-laki, bertubuh atletis dengan kulit hijau berkilat tengah membopong gadis kecil di bawah salah satu lengan besarnya. Makhluk itu menyeringai padaku. Netra merahnya menyala. Sepasang taring kecil mengintip di antara bibir tipis sang genderuwo.
"Kakak, tolong!" Gadis kecil yang kepayahan itu berteriak lirih. Salah satu tangan kecilnya melambai, meminta pertolongan.
Sesuatu di dalam dadaku bergemuruh. Rasa takut yang semula kurasakan benar-benar tidak ada apa-apanya jika dibandingkan dengan amarah yang menggelegak melihat perlakuan genderuwo pada gadis kecil itu.
Dengan gerakan cepat yang gemetaran, aku meraih sebilah papan yang tergeletak di bawah kakiku. Mengacungkannya pada makhluk mengerikan yang sedang menggeram serupa monster kelaparan. Ujung paku berkarat yang menancap pada ujung papan, menjadi satu-satunya pengharapanku. Benda itu memang tak akan berpengaruh besar pada si genderuwo. Konon katanya makhluk astral hanya dapat dilukai dengan senjata perak yang dibaluri rendaman daun lontar. Namun, aku tak peduli. Satu-satunya rencana yang kumiliki adalah mengambil alih gadis kecil itu dan membawanya lari sejauh mungkin.
"Lepaskan dia?!" hardikku dengan suara bergetar.
"Apa kau bersedia menggantikannya jika aku melepas gadis kecil ini?" Makhluk itu balik bertanya. Mata merahnya menyala penuh minat, menyorotku dari ujung kepala hingga ujung kaki. Aku meremang bukan kepalang. Ada sesuatu dalam tatapan mata itu yang membuatku kembali gemetar.
"Aku akan mempertimbangkannya kalau kau mau melepaskan gadis kecil itu," sahutku dengan suara tercekik. Satu hal yang harus aku lakukan setiap kali berhadapan dengan makhluk astral, berpura-puralah untuk tidak takut, meskipun rasanya tidak mungkin. Sekali saja mereka mengendus ketakutan manusia, maka kita sudah dipastikan akan kalah.
Genderuwo itu menyeringai. Menampakkan gigi-gigi runcingnya. Dengan tanpa beban, makhluk berkulit hijau itu lantas melepaskan rengkuhannya dari si gadis kecil. Tubuh mungil itu terhempas keras pada lantai semen yang retak-retak di bawahnya. Erang kesakitan gadis itu membuat dadaku terasa sesak.
Dengan emosi tertahan, aku mengayunkan papan dalam genggaman ke arah genderuwo yang tengah mewujud. Papan itu menghantam tubuh makhluk itu hingga menimbulkan suara patahan keras. Ujung paku berkarat yang mencuat itu luput mengenainya. Kini aku telah kehilangan satu-satunya senjata yang kumiliki, sementara jarakku dan makhluk itu tak lebih dari satu meter.
Suara raungan genderuwo membuat konsentrasiku pecah. Aku lengah dan di saat bersamaan makhluk hijau itu membalas dengan mendorong tubuhku ke arah tumpukan sampah di sebelah gadis kecil yang sedang berusaha bangkit. Sebelah lenganku tergores ujung tumpukan atap seng yang ambruk. Perih. Darah segar menetes jatuh ke tanah. Menguarkan bau amis samar.
Luka itu sungguh bukan apa-apa. Aku segera meraih lengan gadis kecil itu untuk mengajaknya menjauhi tempat itu. Senja meredup. Sebentar lagi malam akan datang dan makhluk-makhluk sejenis genderuwo akan berkeliaran bebas. Aku harus membawa gadis itu pulang ke rumahnya.
Namun, di luar dugaanku, Makhluk hijau bertubuh kekar itu menggeram. Matanya menyala semakin merah. Aku bahkan dapat merasakan perubahan aura makhluk itu, bahkan sebelum ia berbalik untuk mengamatiku.
Dalam pandanganku, warna merah gelap menguar dari tubuh makhluk itu. Membuat suasana di sekitarnya semakin muram. Tubuh makhluk itu bergetar, menggeram tertahan, seolah sedang melawan sesuatu yang sedang mengusiknya. Hidung besarnya mengendus udara penuh minat, hingga tiba-tiba sorot mata itu mengunciku. Tepatnya pada luka kecil yang tergores pada lengan.
"Ayo, pergi dari sini." Aku berbisik pada gadis kecil di sebelahku. Gadis kecil itu mengangguk lemah. Barangkali merasa kesakitan dan keberatan dengan ajakannya. Akan tetapi, kami memang tidak punya pilihan lain.
Dengan susah payah, aku menyeret gadis kecil itu berlari bersama. Langkah kami terseok di dalam senja yang semakin pekat. Suara raungan marah sang makhluk astral menjadi pemompa semangat untuk menggerakkan tungkai-tungkai kami lebih cepat.
Namun, pengharapanku untuk keluar dari situasi ini dengan mudah agaknya hanya akan menjadi angan belaka. Tiba-tiba aku merasakan beban yang sangat berat menghantam punggungku hingga tubuhku ambruk menghantam tanah berbatu. Makhluk bertubuh hijau itu menindih punggungku dalam sebuah gerakan cepat.
Sebelum ambruk, cepat kulepaskan genggaman tangan gadis kecil itu. Menyuruhnya pergi menjauh dengan gerakan mulut tanpa suara. Meski ragu, gadis kecil yang ketakutan itu segera saja meninggalkanku dalam cengkeraman genderuwo. Setidaknya ia selamat.
Tulang-tulang punggungku gemeretak dan terasa remuk. Tubuhku sama sekali tak bisa digerakkan. Sementara sang genderuwo tertawa dengan nada sumbang atas kemenangannya. Aku merasa bahwa aku akan mati saat itu juga. Pada detik yang terasa sangat lama dan menyakitkan, makhluk itu mendadak membenamkan gigi-geliginya pada luka gores di lenganku. Aku menjerit dalam raungan tangis akibat rasa sakit yang tak tertahan.
Pandanganku memburam. Kepalaku pening dan terasa berat. Air mata membanjiri pipiku, sementara raunganku semakin melemah.
Dalam sepersekian detik yang terlambat kusadari, beban yang bertengger di tubuhku mendadak hilang. Aku menoleh susah payah untuk melihat apa yang sebenarnya terjadi.
Sepasang pemuda berpakaian hitam dengan sebuah senjata berbilah panjang dan bulu burung terikat pada gagangnya, menyerang makhluk astral itu. Sebilah pedang yang digenggam oleh pemuda berambut panjang dengan cepat menyabet tubuh sang genderuwo yang telah terseret beberapa meter dari tempatku berada. Makhluk nahas itu meregang nyawanya detik itu juga.
Aku belum sepenuhnya menyadari apa yang terjadi hingga seorang pemuda mendekatiku, berjongkok dan menurunkan wajahnya mengamatiku. "Kau tidak apa-apa?" tanyanya. Aku tak dapat mengenali wajahnya yang ditutupi sejenis masker.
Aku menggeleng sembari meringis. "Aku tak bisa bergerak," ucapku dengan suara serak.
"Tinggalkan saja dia. Kita sudah menunaikan tugas dengan menyelamatkannya." Seseorang lainnya yang berdiri beberapa langkah di belakang pemuda baik hati itu berucap ketus.
"Tidak bisa. Dia terluka dan malam telah tiba. Kita harus mengantarnya pulang."
Pemuda itu meraih tubuhku. Susah payah membawaku berdiri, sementara aku menjerit merasakan sekujur tubuhku yang kesakitan.
"Terserah kau saja!"
Namun, belum lagi kami beranjak dari tempat itu, sebuah embusan angin yang sangat kencang bertiup. Menerbangkan rambut, baju dan jubah kami. Suara tawa perempuan yang melengking bergema. Dalam sepersekian detik, lima sosok perempuan berpakaian putih dengan rambut hitam panjang menjuntai mengelilingi kami dengan seringai mengerikan.
Para kuntilanak itu mengikik serentak. "Pestanya belum dimulai 'kan? Tolong, hidangannya jangan dibawa pergi hihihi!"
Bulu kudukku meremang. Kakiku terpaku di tanah. Jadi aku adalah hidangan bagi mereka?
TBC
Selesai ditulis di Pontianak, 03 Agustus 2020 pukul 10.10 WIB.
Dipublikasikan pada 03 Agustus 2020, pukul 10.11 WIB.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top