9 ; Permainan Dimulai

❤️ Happy Reading ❤️

Panik dan takut.

Dua kata yang mampu menerjemahkan wajah pucat serta keringat dingin remaja berjaket merah itu. Jika saja dia tak mengenal malu, mungkin bocah itu sudah berteriak kesetanan begitu kabar buruk soal Tia mampir ke indera pendengarannya. Beruntung Arsen masih cukup waras untuk bisa mengendalikan emosinya. Kini sosoknya tengah memacu
langkah menuju ruang yang telah Elan beritahu melalui pesan.

Dengan napas tersengal, pemuda itu akhirnya sampai ke depan sebuah ruangan. Dengan nomor dan nama penghuni tertera jelas di daun pintu, tak diragukan lagi jika ruangan ini adalah tempat Tia berada. Dia sudah berdiri di situ selama satu menit, tetapi detak jantungnya tak kunjung normal. Arsen terlampau panik.

Pintu terbuka tepat ketika ia hendak mendorong gagangnya. "Kamu kenapa cuma berdiri di situ? Masuk sana."

Sosok yang membuka pintu adalah Elan. Tampaknya pria itu menyadari jika Arsen berdiri di luar sejak beberapa saat lalu. Yang berada di luar ruangan nyaris terjungkal karena terkejut, beruntung Elan dengan sigap menangkap lengannya.

"Hati-hati!" sentak pria itu karena terkejut.

"M–maaf ...." Arsen kehilangan sebagian fokusnya, dia mengabaikan keberadaan Elan dan langsung menghampiri sang ibu.

Di sebuah ranjang khas rumah sakit, terbaring sosok yang amat Arsen cintai. Dengan sebuah lilitan melingkar kain kasa di dahi sang wanita cantik itu. Sepertinya tidak ada luka serius karena Tia kini tengah terjaga, akan tetapi goresan kecil di tubuh sang ibu tetap melukai hati Arsen.

"Mama." Terlalu lirih sampai-sampai panggilan itu hanya menguap di udara. Jika saja Tia tak memandang ke arah pintu, dirinya tidak akan tahu jika sang putra mendatanginya.

Belum sempat wanita itu membuka suara, si buah hati sudah menghambur ke pelukannya. Mendekap tubuh Tia dengan erat seakan takut jika sosok yang dipeluknya akan menghilang. Ketakutan serta panik yang dialami Arsen ini mengingatkan Tia pada masa silam, apakah gerangan yang bisa membuat putranya menjadi seperti ini?

"Hei, hei. Tenang, Mama nggak apa-apa. Ini cuma luka kecil, jangan khawatir, ya?" Tia mencoba menenangkan sang putra. Dengan berpelukan seperti ini, detak jantung pemuda itu dapat secara jelas ia rasakan.

Sosok dalam pelukan hangat wanita itu tak kunjung menjawab, hanya membisu dan memeluk erat tubuh Tia. Elan yang sedari awal hanya sebagai pengamat kini mulai jengah. Ia kesal ketika sang istri melontarkan kata-kata penenang namun yang diajak bicara justru membisu layaknya batu. Dan lagi, ukuran tubuh bocah itu jauh lebih besar dibanding dengan Tia, bila ia terus memeluk wanita itu seperti ini, bisa-bisa Tia sesak napas. Baru saja pria itu hendak bergerak maju untuk melepaskan Arsen dari Tia, namun bocah itu tiba-tiba membuka mulutnya.

"Maafin aku, Ma. Maafin aku ... aku nggak bisa jaga Mama." Bocah itu menatap wajah sang bidadari dengan air mata menggenang.

Netra kecoklatan itu bergetar tak fokus, benar-benar membuat hati Tia tidak tenang. Ini seperti bukan Arsen yang manja, melainkan sosok yang hancur empat tahun silam. Ketakutan dan rasa sakit tercetak jelas di wajah yang kini terlihat lebih pucat daripada Tia. Bak tersayat sembilu, hati wanita cantik itu sangat sakit ketika putra kesayangannya menjadi seperti ini.

"Nak, lihat Mama." Tia menangkup pipi Arsen dengan kedua tangannya. "Mama nggak kenapa-kenapa, ini hanya luka gores yang dikasih obat merah langsung sembuh. Jangan cemas, Mama nggak apa-apa. Ayo, atur napas pelan-pelan, jangan panik begini. Kalau kamu panik, Mama sama Papa ikut panik."

Kalimat yang terlontar dari bibir wanita tiga puluh tujuh tahun itu sedikit menyadarkan Arsen, ia balas menggenggam tangan Tia dan perlahan mengatur napas. Setelah tenang, secara perlahan ia duduk di kursi dekat ranjang. Namun, dengan satu tangan masih erat menggenggam jemari lentik sang ibu.

Tia sampai harus duduk karena sang putra tak mau melepas genggamannya. Elan yang tak tega melihat istrinya duduk lantas mengambil remote control tempat tidur dan mengatur sedemikian rupa, hingga Tia bisa bersandar nyaman dengan sebelah tangan mengusap rambut Arsen.

"Sekarang coba cerita ke Mama, kenapa kamu bisa jadi seperti ini? Ini ... ini terjadi untuk pertama kalinya setelah tiga tahun pasca penyembuhan kamu, Nak. Hal buruk apa lagi yang kamu alami?" tanya Tia tak mampu menyembunyikan rasa herannya.

Tia masih perlu istirahat dan Arsen terlihat kacau. Elan tak bisa melihat pemandangan ini, mereka berdua sama-sama butuh istirahat, yang satu fisik dan satunya mental. Jika perbincangan diteruskan maka suasana akan semakin keruh, Tia tidak akan bisa beristirahat dengan tenang setelah melihat putranya seperti ini.

"Sayang, sebaiknya kamu istirahat, hal ini bisa kita bahas setelah kamu pulih. Biar Arsen pulang sama saya, dia juga harus istirahat." Kali ini Elan mencoba untuk menyingkirkan rasa tidak senangnya pada bocah pucat itu. Entah kenapa melihat kondisinya saat ini, sudut hati Elan sedikit sakit.

Sebagai orang yang masih bisa berpikir jernih, Tia membenarkan ucapan sang suami. Keadaan putranya perlu dibicarakan serius, sedangkan dirinya sendiri masih butuh perawatan. Untuk saat ini sebaiknya Arsen beristirahat, dan ketika Tia sudah keluar dari rumah sakit, mereka bisa menyelesaikan ini.

"Benar, kamu pulang sama Papa, ya? Nanti kita bicarakan di rumah. Kamu jangan ke mana-mana, istirahat aja di rumah," tukas Tia pada akhirnya.

Meski berat jika berjauhan dengan anaknya, tetapi jika Arsen tetap di sini, itu sama sekali tidak membuat keadaan bocah itu membaik.

Sebagian besar dari kesadaran Arsen sudah kembali, anak itu sudah tak sepanik tadi dan mulai mampu mencerna kata-kata yang ibunya ucapkan. Menyedihkan, dia sampai lupa mengendalikan diri karena kabar ibunya terluka. Jika Cleon berada di sini, pemuda itu pasti akan tertawa terbahak-bahak melihat ini.

"Motorku gimana?" Pertanyaan polos itu membuat Tia melepaskan tawanya. Setelah histeris seperti tadi, kini hendak pulang justru menanyakan motor.

"Biarkan saja, nanti anak bengkel yang ambil. Kamu pulang sama Papa." Adalah Elan yang tampak tak sabar untuk segera menyeret bocah itu pulang.

Terlalu cemas sampai-sampai Arsen lupa, di dalam ruangan itu tidak hanya ada dirinya dan sang ibu, tetapi Elan juga ada. Pria itu pasti menganggapnya tak waras karena tiba-tiba datang dan merancau tak jelas.

Elan Liu hanya orang yang datang ketika keadaan sudah kembali tenang. Di mata pria itu, Arsen hanya bocah nakal yang setiap hari membuat tensi darahnya naik. Jika saja ayah tirinya tahu hal apa saja yang telah bocah itu lalui selama ini. Apakah pria ini akan merubah sikap terhadapnya? Menjadi lebih baik atau justru mengasihani?

🌺🌺🌺

Mentari cukup bersemangat ketika menumpahkan panasnya ke bumi. Ini belum genap tengah hari namun sengatan sang surya membuat remaja berjaket itu berkeringat, bahkan Air Conditioner di dalam mobil pun tak bisa mengurai rasa gerah bocah itu. Ia bergerak tak nyaman di kursi penumpang, membuat pria di sampingnya sedikit kesal.

"Kamu bisa duduk anteng nggak, sih? Dari tadi ribut terus, saya jadi nggak fokus nyetir!" tegurnya ketika mobil berhenti di depan lampu merah.

"Maaf," sahut Arsen, tetapi masih tak bisa duduk diam.

Kali ini Elan tidak marah, hanya saja risih karena melihat Arsen yang terus bergerak seperti cacing kepanasan. Perjalanan dari rumah sakit menuju kediaman menempuh jarak sekitar enam kilometer, itu bisa ditempuh dalam waktu dua puluh menit jika tidak macet. Namun, kali ini mereka mungkin akan sampai rumah sekitar empat puluh sampai lima puluh menit karena kondisi jalanan yang padat. Dengan bocah hiperaktif di sampingnya, kesabaran Elan benar-benar diuji.

"Kalau panas, kamu lepas jaketmu. AC mobil memang sedikit bermasalah ditambah cuaca terik begini makin nggak terasa dinginnya. Besok akan saya bawa ke bengkel. Saya nggak mau membuka kaca, banyak polusi," tukas Elan dengan mata fokus ke jalan di depannya.

'Sialan, pantesan panas banget, Ya Tuhan. Percuma punya bengkel banyak tapi mobil sendiri nggak diurus.' Arsen hanya bisa menggerutu dalam hati menanggapi ucapan Elan.

Terjebak dalam satu mobil dengan pria menyebalkan, di tambah dengan panasnya suhu benar-benar merupakan kesialan beruntun. Semenjak pernikahan mamanya dengan Elan, sepertinya baru kali ini Arsen berada dalam satu mobil dengan pria mata sipit itu. Tak ada alasan untuk Arsen satu mobil dengannya karena bocah itu memiliki kendaraan sendiri. Namun, hari ini tercipta sejarah baru dalam hidupnya, yaitu terjebak dalam satu kendaraan bersama pria es. Ups, tidak sopan.

"Kamu sudah makan?"

"Hah?" Pertanyaan itu membuat Arsen jadi mendadak tuli. Apakah tadi Elan bertanya tentang dia sudah makan atau belum?

"Nggak bisa dengar pertanyaan saya, itu artinya kamu lapar. Oke, kita cari rumah makan dulu sebelum pulang. Karena saya tidak bisa masak hari ini, mamamu butuh ditemani."

Pada akhirnya mobil yang Elan kendarai berhenti di salah satu rumah makan sederhana di tepi jalan. Tempat yang tidak terlalu besar, tapi cukup ramai pengunjung. Meski berada tak jauh dari jalan raya, rumah makan ini tak terlihat kumuh. Justru sangat bersih, sepertinya si pemilik tempat adalah orang yang begitu peduli tentang kehigienisan makanan.

Arsen mengedarkan pandangan, sebagian besar pengunjung adalah karyawan kantor maupun pabrik yang menghabiskan waktu istirahatnya untuk mengisi perut dan melepas penat. Beberapa orang tampak berasal dari perusahaan yang berbeda, namun mereka berbincang tanpa ada rasa sungkan.

"Kaget? Nggak pernah makan di warung makan begini?" celetuk Elan dengan nada mengejek. Remaja jaman sekarang lebih suka menghabiskan uangnya ke tempat yang menyediakan makanan cepat saji, benar-benar tidak sehat.

Pemuda itu buru-buru menghilangkan ekspresi kagumnya menjadi sengit. "Ih, gini-gini aku juga pernah makan di warung pecel lele. Jangan menghina," balasnya tak terima.

Ya, Arsen bersama gengnya pernah makan di salah satu warung makan sederhana. Namun, sepertinya pemilik warung makan yang itu tidak terlalu memperhatikan kebersihan. Alhasil, dia dan ketiga kawannya terserang gangguan pencernaan. Karena itu adalah ide Arsen, maka ketika Daniel tak bisa masuk sekolah karena diarea, Arsen adalah orang pertama yang nyaris menjadi samsak Mattew. Beruntung ada Daniel yang menjadi malaikat pelindungnya, jika tidak, mungkin rahang Arsen sudah bergeser dari tempatnya. Maka setelah peristiwa sial itu terjadi, mereka tak pernah mau makan di tempat semacam itu.

"Kamu mau makan apa? Biar saya pesankan, anak kota pasti nggak tahu cara pesan di warung." Elan masih tak berhenti mengolok-olok.

"Terserah Om aja, deh," sahut Arsen bersungut-sungut. Kenapa pria ini jadi semakin menyebalkan?

Bocah itu melenggang pergi ke salah satu bangku kosong dan mulai memainkan ponselnya. Mengabaikan Elan yang tengah memesan beberapa menu makanan untuk mereka santap. Pertama, ia harus memberi kabar dan meminta maaf pada sang kekasih karena menghentikan kencan secara mendadak. Kedua, ia harus berbicara dengan Cleon tentang kelakuannya yang membahayakan Tia.

Ah, mengingat soal ibunya, itu benar-benar membuat Arsen hilang kendali. Entah sampai kapan ia bisa bertahan dari gangguan Cleon hingga dia benar-benar menjadi gila. Belum lagi jika kisah lama itu sampai ke telinga teman-temannya, akankah mereka masih memandang dirinya sama?

Elan datang dan duduk di hadapannya, tak berselang lama kemudian makanan yang dipesan pun tiba. Tak ada percakapan yang tercipta, keduanya menyantap hidangan dalam diam. Hingga di suapan terakhir, Elan melihat remaja di depannya bahkan belum menghabiskan separuh dari isi piringnya.

Meski terlihat tak acuh, sebenarnya Elan terus memperhatikan gerak-gerik anak tirinya itu. Bocah itu makan sembari melamun, tubuhnya berada di sini sedangkan pikirannya berkelana entah ke mana.

"Cepat selesaikan makannya atau saya tinggal. Jangan melamun kalau lagi makan," tegur Elan ketika putranya tak kunjung menyelesaikan kegiatannya.

Seperti dugaan Elan, Arsen memang melamun. Terbukti ketika ditegur, bocah itu sedikit tersentak. Mengingat percakapannya dengan Tia, diam-diam Elan sedikit menaruh simpati pada bocah ini.

Perlahan Arsen meletakkan sendok yang ia pegang dan menaruhnya secara terbalik di atas piring. "Aku udah selesai," tukasnya kemudian bangkit. Seperti tadi, Arsen berjalan mendahului Elan tanpa peduli jika pria itu meneriakinya tidak sopan.

Hari Minggu yang seharusnya menyenangkan berubah menjadi bencana. Cleon tidak main-main, kali ini ia menargetkan ibunya. Tidak menutup kemungkinan bahwa di hari yang akan datang, pemuda itu akan melukai teman-teman kesayangan Arsen. Itu artinya, Arsen adalah penyebab utama dari semua masalah ini. Jika karma itu ada, apakah saat ini Arsen sedang menerima karmanya?

Selamat membaca dan buat yang nggak sabar nunggu update seminggu sekali, silakan mampir ke KaryaKarsa, ya. Link ada di bio Wattpad ku IM_Vha

Dan terakhir, jangan lupa follow IM_Vha untuk dapat notifikasi cerita-ceritaku 😗😗

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top