41 ; Last

❤️ Happy Reading ❤️
.
.

September, 20xx.

Empat bulan berlalu, dan hari ini menjadi kali pertama Arsen memijakkan kaki di sekolah. Karena terlalu semangat, begitu mobil sang ayah memasuki area parkir, suasana masih lengang. Tentu saja, sebab ini masih begitu pagi, dan baru segelintir orang yang tiba.

"Eh, eh, eh. Mau ngapain?" sergah Elan ketika melihat Arsen kembali membuka pintu mobil.

Arsen menghentikan gerakannya dan menatap Elan. "Pulang aja, Pa. Aku nervous banget, nggak bohong," tukasnya dengan raut tidak tenang.

"Sembarangan!" Elan menarik lengan Arsen hingga membuat bocah itu berdiri di sampingnya. "Tujuan kamu bangun pagi-pagi, dandan rapi, bau wangi begini buat apa? Buat sekolah, 'kan?"

"Wajar kalau gugup. Namanya juga baru pertama kali masuk setelah sekian lama. Nanti juga bakal terbiasa, kok. Katanya kamu kangen sama temen-temenmu," lanjutnya dengan harapan Arsen bisa sedikit lebih tenang.

Bocah itu tiba-tiba berjongkok. "Huh, aku nggak sanggup, Pa. Aku takut," lirihnya yang masih terdengar jelas oleh Elan.

"Hei, hei ... jangan gitu, dong." Elan kembali menarik lengan Arsen agar berdiri, tapi bocah itu bersikeras untuk tetap di posisi semula.

"Nggak, ah! Aku home schooling aja nggak apa-apa, daripada deg-degan kayak gini. Kakiku lemes," balas Arsen sedikit sengit, dan berontak.

"Home schooling apanya? Tanggung, kamu udah kelas tiga. Satu tahun lagi lulus!"

Elan tak mau kalah, dia tetap berusaha membuat Arsen berdiri. Sehingga aksi tarik-menarik antara ayah dan anak pun terjadi. Sang ayah yang ingin anaknya masuk kelas, sedangkan si anak enggan beranjak membuat suasana tempat parkir yang hening menjadi bising.

Namun, hal itu tidak berlangsung lama, karena datang sosok Daniel yang menghampiri mereka dengan berlari kecil.

"Om sama Arsen lagi ngapain?" tanya bocah itu ketika melihat posisi tarik-menarik yang menurutnya aneh.

"Daniel! Pas banget kamu ada di sini." Elan melepas genggamannya dan menghampiri bocah berkaca mata itu.

"Bantu Om buat bawa anak itu masuk ke kelas. Dari tadi banyak alasan aja," pinta Elan sembari menunjuk Arsen yang masih setia di tempatnya.

Tatapan Daniel berpindah ke tempat di mana jari Elan menunjuk. Tanpa berkata-kata, ia mendekati Arsen dan berdiri tepat di hadapan remaja jangkung itu.

Daniel mengernyit. "Lo kenapa, sih? Aneh banget," tegurnya diiringi tatapan penuh tanya.

Yang diajak bicara lantas mendongak. Manik bocah itu berbinar ketika mendapati sosok Daniel kini berdiri di hadapannya. Namun, binar itu kembali redup ketika ia menyadari di mana posisi mereka sekarang.

"Gue nggak mau ke kelas. Nggak berani," jujur Arsen dengan polosnya.

Melihat Arsen dari posisi ini membuat Daniel merasa senang sekaligus geli. Senang karena dia bisa menunduk ketika berbicara dengan Arsen, karena selama ini dia selalu mendongak. Dan geli karena mendengar kalimat polos itu keluar dari mulut seorang Arsen.

"Wajar, kok, kalau takut. Gue dulu juga ngerasain hal yang sama. Tapi seseorang bilang ke gue, kalau nggak ada yang perlu ditakutkan. Karena yang temen-temen udah kangen sama gue, dan mereka udah nunggu gue balik," tukas Daniel usai menepis pikiran konyolnya.

"Dengar, 'kan? Teman-teman kamu pasti udah kangen sama kamu. Eh, kamunya malah mau home schooling. Ngelindur," ejek Elan yang berdiri di samping Daniel.

Percaya atau tidak, justru dengan memancing kekesalannya, Arsen akan merasa tertantang. Apalagi bocah itu sangat tidak suka dengan setiap candaan dari ayahnya. Terbukti, perkataan Elan membuat raut Arsen berubah, dari cemas menjadi kesal.

"Papa mana tahu rasanya jadi aku!" sengitnya lantas bangkit.

"Dikasih tahu malah adu nasib, kalau bukan anakku, kamu udah saya jual ke pelelangan." Elan masih melancarkan serangannya.

Daniel menghela napas, kemudian menarik tas ransel Arsen sehingga mau tak mau bocah jangkung itu terseret mengikuti langkahnya. Dia tidak mau berlama-lama menyaksikan interaksi ayah dan anak yang hanya membuatnya iri.

Ini bukan berarti dia tidak memiliki ayah seperti Elan. Tentu ayahnya juga baik, hanya saja Thomas itu terlalu banyak canggung dan gengsi untuk bercanda selepas itu.

"Daniel, titip Arsen, ya. Tolong diawasi selama di sekolah, dia pasti belum bisa beradaptasi. Nanti pulang sekolah biar Om yang jemput," pesan pria berkaus biru itu ketika keduanya sudah berjalan meninggalkan tempat parkir.

"Iya, Om. Serahin aja ke saya," balas Daniel mantap.

Ia melepas genggamannya dari tas Arsen dan berjalan sejajar dengan bocah jangkung itu. Daniel melirik Arsen sekilas dan terkekeh pelan.

"Gue nggak nyangka, akan ada masa di mana keadaan terbalik, dan orang kayak gue ini bakal berguna," gumam Daniel sembari membenarkan letak kaca matanya.

Arsen yang awalnya fokus mengamati kondisi sekolah yang sudah lama tidak ia singgahi lantas menoleh.

"Sorry, lo ngomong apa tadi?" Dia jelas mendengar suara dari sosok di sebelahnya, tapi dia tidak tahu apa yang bocah pendek ini katakan.

"Bukan apa-apa." Daniel menggeleng. "Sekarang ikuti gue, karena kelas kita di lantai tiga. Dan gue harap lo nggak lupa, kalau kita udah kelas tiga. Jadi lo harus banyak belajar biar-"

"Biar bisa masuk universitas negeri, 'kan?"

Langkah Arsen terhenti dan menatap lekat wajah Daniel. Membuat bocah berkaca mata itu merasa tak nyaman, dan berpikir bahwa ucapannya sudah menyinggung Arsen. Semua orang juga tahu bahwa dia tidak suka dipaksa dandan diceramahi untuk belajar. Tidak seperti dirinya, Arsen lebih memilih bebas dan melakukan apa yang ingin dilakukan.

"Sorry." Daniel menggaruk tengkuknya canggung.

"Emang itu tujuan gue. 'Kan keren, tuh, kalau gue bisa masuk Universitas Indonesia meski belajarnya di akhir, hahaha."

Ketegangan di wajah Arsen seketika sirna, diganti dengan tawa renyah yang tidak asing lagi di telinga Daniel. Bocah itu bahkan sudah melangkah dengan mantap mendahului teman sebangkunya itu.

Namun, baru lima langkah lebih jauh dari Daniel, dia kembali mundur dan berbalik menatap bocah itu.

"Gue nggak tahu ruang kelasnya di mana," celetuknya tertawa canggung.

Daniel tersenyum tipis. "Makanya jangan sok-sokan," cibirnya kemudian kembali berjalan sejajar.

Dilihat dari tingkahnya, Daniel rasa suasana hati Arsen sudah berubah. Dengan begitu, dia rasa hari pertama kembali ke sekolah tidak akan begitu sulit dilalui Arsen.

🌺🌺🌺

"Kamu mau makan apa, By? Biar aku yang pesen. Tapi sebelum itu kita cari tempat duduk dulu, ya."

Gadis itu mengedarkan pandangan dan mengira-ngira menu apa yang akan ia santap untuk makan siang kali ini. Meski begitu, sebelah tangannya masih erat menggenggam tangan sosok jangkung yang mengundang perhatian pengunjung kantin.

Kabar bahwa bocah nakal yang lama absen kini telah kembali menyebar dengan cepat. Meski teman kelasnya sudah bersikap biasa dan berusaha tidak menyinggung tentang penyebab ketidakhadiran Arsen demi kenyamanan bocah itu, tetapi tidak dengan penghuni sekolah yang lain. Siswa seperti kelas dua dan tiga yang mengenal Arsen pasti akan heboh dan menjadikannya sebagai bahan obrolan.

Arsen meremas tangan Selvi, dan berdiri kikuk. Jika dulu dia suka menjadi pusa perhatian, lain halnya dengan sekarang. Dia merasa gelisah dan tak nyaman. Bahkan jika tadi gadis ini tidak menghampirinya ke kelas, mungkin Arsen lebih memilih untuk terus berdiam di dalam ruangan.

"Udah, nggak apa-apa. Ada aku di sini, anggap aja yang manusia cuma kita, yang lain artefak," bisik Selvi yang paham dengan kecemasan kekasihnya.

Arsen menatap Selvi sesaat, kemudian mengangguk. Sarannya terdengar aneh, tetapi dia tetap berusaha mengikuti saran itu. Akhirnya mereka mendapat bangku kosong, dan Selvi memesan makanan. Meninggalkan Arsen dengan sejuta rasa cemasnya yang memutuskan untuk menunduk dan berpura-pura memainkan ponsel.

"Ih, gue baru lihat kakak itu selama mampir ke kantin ini. Apa murid pindahan?" bisik seorang siswi yang duduk di bangku belakang Arsen.

"Kenapa? Ganteng? Terus lo naksir?" Teman di sebelahnya menanggapi.

"Naksir pun gue nggak dapet apa-apa. Lo nggak lihat, tadi dateng aja gandengan sama cewek. Udah punya pacar, tuh."

"Halah, baru juga pacar, belum ada janur kuning yang melengkung. Abangku bilang, selama janur kuning belum melengkung, masih halal untuk menikung," sergah si lawan bicara diiringi tawa cekikikan.

"Abang lo stres."

Bisik-bisik itu masih terus berlanjut, atau lebih tepatnya obrolan, karena Arsen bisa dengan jelas mendengar perkataan mereka. Dan demi apa pun, itu benar-benar membuatnya tak nyaman. Gadis-gadis itu pastilah siswa kelas satu, yang mana sama sekali belum pernah bertemu dengan Arsen.

"Hayo! Lagi nonton apa?!"

Meja tempat kedua tangan Arsen bertumpu digebrak dengan cukup keras. Menyebabkan ponsel yang bocah itu genggam terlempar dan mendarat mulus ke lantai.

"Ya Tuhan, hape gue!" pekik Arsen lantas memungut benda pipih itu. Namun, kesialan memang suka menempel padanya, layar ponsel itu retak di satu sisi.

Brian menepuk pelan kepala Sony dan berujar ketus, "Udah gue bilang jangan dikagetin! Itu hape belinya pakai duit, Son!"

"Masih bisa nyala, 'kan?"

Daniel mendekati Arsen. Dilihatnya benda canggih itu masih dapat menyala dan berfungsi normal, hal itu membuatnya menghela napas lega.

"Sorry, sorry. Habisnya lo dipanggil-panggil nggak nyahut. Kalau rusak biar gue tanggung jawab, deh," sesal bocah berambut ikal itu dan ikut menatap prihatin ke layar ponsel sang kawan.

Jika biasanya Arsen akan langsung berkata kasar dan memaki, kali ini tidak. Remaja itu hanya mengangguk sambil memasukkan ponsel ke dalam saku almamater. Akan tetapi, mereka sudah terbiasa, karena sejak kejadian itu, Arsen memang tidak seperti sosoknya yang dulu.

Tak berselang lama, Selvi datang dengan membawa sebuah nampan berisi dua mangkuk bakso dan juga minuman. Dengan cekatan gadis itu menempatkan satu mangkuk di depan Arsen dan satu lagi untuk dirinya.

"Karena kamu nggak bilang mau makan apa, jadi ini aku pesen bakso. Aku juga bawa ke sini sendiri, takutnya kalo yang bawain Bu kantin nanti kamu malah diinterogasi," ucap Selvi tanpa peduli jika apa yang ia lakukan lagi-lagi menarik perhatian pengunjung kantin.

"Kalian nggak mau makan juga? Jam istirahat udah mau habis, loh." Ia melirik tiga lelaki yang berdiri di samping Arsen.

"Udah, kok. Justru kita mampir ke sini karena habis makan di kantin utara. Thanks juga udah mau seret bocah ini buat makan di sini. Kalo nggak ada lo, mungkin dia mati kelaperan di kelas," celetuk Brian lantas duduk di samping Arsen. Disusul dengan Daniel serta Sony.

"It's okay. Calon istri yang baik emang harus gitu, 'kan?" balas Selvi terkekeh pelan.

Gadis gingsul itu menyantap makan siangnya sembari berbincang dengan tiga teman Arsen. Terutama Sony, cowok itu seolah menemukan teman yang cocok untuk menanggapi ocehannya. Karena setelah sikap Arsen berubah, dia seakan kehilangan sosok yang sejalan dengannya.

Hingga isi dari mangkuk tandas, Arsen sama sekali tidak bersuara. Bahkan Daniel yang paling pendiam pun masih bisa ikut tertawa lepas dan ikut andil dalam obrolan. Bocah jangkung itu hanya fokus pada makanannya. Ketika sudah selesai, dia memilih diam dan memperhatikan.

Brian yang duduk tepat di sisi kanan Arsen tentu risi dan menyenggol lengan bocah itu.

"Lo jangan diem aja, dong. Kita susah-susah ngelawak. Ketawa, kek, buat menghargai usaha kita," tegur Brian yang membuat Arsen sedikit tersentak.

Bocah jangkung itu menggaruk kepalanya dan tersenyum. "Gue males ngomong," balasnya singkat.

"Kalau bolos males nggak?" celetuk Sony yang membuat tiga orang lainnya menatap tajam padanya.

"Sony ..." Brian menggeram, bersiap untuk melayangkan pukulan ke kepala bocah itu.

Si pemilik nama refleks berdiri dan memasang pose bertahan.

"Santai pemirsa ... maksud dan tujuan gue ajak dia bolos 'kan biar cepet beradaptasi sama sekolah. Lagian bukan bolos ke luar sekolah, kok. Cuma ke markas aja, gimana? Setuju nggak? Setuju, dong," terang Sony sembari menaik-turunkan sebelah alisnya.

Mendengar kata markas, Arsen jadi rindu tempat itu. Tidak layak disebut markas, tetapi sangat cocok untuk membuang lelah dan merokok. Tempat itu juga sudah menjadi saksi bisu bermacam momen unik dalam hidupnya. Bahkan titik balik perubahan tujuan hidupnya juga berawal dari pertemuannya dengan Daniel di tempat itu.

"Kalau aku setuju, boleh nggak, By?"

Arsen bertanya pada Selvi, karena keputusan berada di tangan gadis itu. Dia mendapat kepercayaan Tia untuk mengurusnya selama berada di sekolah.

Awalnya Selvi keberatan dengan saran Sony, apalagi ini adalah hari pertama Arsen kembali ke sekolah. Namun, begitu melihat wajah penuh harap dari kekasihnya, Selvi luluh.

Gadis itu menghela napas pasrah. "Ya udah, tapi jangan sampai jam terakhir, ya? Cukup satu atau dua jam pelajaran aja. Aku takut Tante Tia marah," putusnya kemudian.

Hal itu membuat wajah Arsen lebih cerah dari sebelumnya. Kecemasan yang sedari tadi menyelimutinya kini sirna, diganti dengan senyum antusias seperti anak kecil yang mendapat barang keinginannya. Usai berbasa-basi dan membayar makanannya, empat sekawan itu bergerak meninggalkan keramaian kantin.

🌺🌺🌺

Arsen meregangkan otot-ototnya dan menengadah. Langit siang ini sangat bersih, nyaris tanpa awan. Matahari juga tidak begitu terik, menjadikan tempat itu semakin cocok untuk bersantai. Huh, santai dengan taruhan nilai sekolah tentu saja.

"Lo suka?" Maksud pertanyaan Daniel adalah tentang tempat ini.

Sosok yang dimaksud mengangguk mantap. "Ini tempat udah turun temurun jadi markas. Yah, meski generasi sebelum kita, tempat ini buat hal-hal yang nggak bener, sih," sahutnya diiringi tawa pelan.

Daniel mengerjap tak paham, tetapi di sampingnya, Sony dan Brian ikut terkikik mendengar ucapan Arsen. Dua bocah yang sudah melekat dengannya tentu paham maksud dari kalimat itu.

"Intinya, sekarang tempat ini cuma berfungsi buat kita nongkrong. Nggak ada hal lebih buruk daripada bolos," ucap Brian, yang membuat Daniel semakin penasaran.

Meninggalkan Daniel dan Brian yang masih meributkan soal fungsi dari atap, Arsen melangkah maju dan berdiri tepat di pagar pembatas. Pemandangan dari sudut ini selalu indah, karena seluruh penjuru sekolah dan beberapa bangunan di dekatnya bisa terlihat jelas dari atas sini.

"Sampai pagi tadi, gue kira mulai dari awal itu susah. Isi kepala gue cuma takut, takut, dan takut. Tapi sekarang gue tahu, masih ada kalian, orang-orang berharga sekaligus alasan untuk bertahan." Dia melirik sekilas sosok yang turut berdiri di sampingnya.

Sony mengangguk, dan berujar, "Dan salah satu dari orang itu termasuk lo. Intinya kita semua berharga dan menjadikan satu sama lain sebagai alasan untuk bertahan."

"Lo butuh kita, dan kita butuh lo. Teori manusia makhluk sosial 'kan gitu. Orang introver pun butuh orang lain kalau mati. Mana mungkin bisa kubur diri sendiri?" sambung Daniel tiba-tiba.

Sony yang sudah memasang raut serius lantas tersedak ludah sendiri usai mendengar ucapan itu. Sementara Arsen dan Brian tak bisa menyembunyikan rasa terkejutnya.

"Daniel ...." Brian kehilangan kata-kata.

Yang dipanggil justru menatap bingung wajah sang kawan. "Kenapa? Ada yang salah sama omongan gue?" tanyanya heran.

Ketiganya menggeleng kompak.

"Nggak salah, sih, itu fakta. Cuman pas yang ngomong itu elo, jadi kedengeran jahat," jujur Sony, dan dibalas dengan anggukan kepala dari dua sahabat lainnya.

Mendengar itu, Daniel justru tertawa lepas. Membuat tiga orang yang berdiri di sebelah remaja itu terkejut dan menatapnya penuh tanya.

"Image good boy terlalu melekat sama gue, ya? Padahal udah dua tahun kita temenan, mana mungkin gue sepolos dulu," ucapnya sembari mengusap air di sudut matanya.

"Ahaha ... iya, didikan Arsen mana ada yang polos," celetuk Sony tiba-tiba.

Arsen sontak menoleh. "Kok gue? Kita bertiga, dong. Yang diam-diam bawa dia buat sering bolos ke kantin siapa? Terus yang suka resek buah ajarin dia main game siapa? Lo berdua, 'kan? Jangan salahin gue doang, dong. Yang adil," protesnya tak terima.

Alih-alih tersinggung dengan protes itu, ketiganya justru tertawa lepas. Ini adalah kali pertama Arsen mau berbicara panjang dan menggebu-gebu. Dan itu adalah pertanda bahwa dirinya yang dulu hilang kini perlahan kembali.

"Jadi ..." Brian melingkarkan lengannya ke bahu remaja lima belas sentimeter lebih tinggi darinya itu. "Mau memulai dari awal pun bukan hal yang susah, 'kan?"

Tak ada yang bersuara untuk menjawab pertanyaan yang terlontar, keempat remaja itu hanya mengangguk dengan pandangan menerawang jauh. Namun, satu hal yang mereka yakini, bahwa jalan menuju masa depan masih panjang dan masih banyak kejutan menanti.

Siang hari di pertengahan bulan September, menjadi hari paling tenang setelah sekian banyak gejolak yang Arsen alami. Meski tak yakin seberapa lama ketenangan ini akan digenggam, ia hanya ingin menjalani hari-hari seperti biasanya. Lagi pula, siapa juga yang bisa menerka skenario-Nya?

#END#

Beneran end ya guys. Ada ekstra part, tapi nggak akan aku publish di sini. Bagi yang penasaran bisa kunjungi KaryaKarsa aku, linknya ada di bio IM_Vha

Dah, sampai jumpa di cerita selanjutnya dan terima kasih telah membaca sampai akhir 😊❤️❤️

Salam

Vha
(28-10-2021) 👉 (05-04-2023)

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top