40 ; Pamit
❤️ Happy Reading ❤️
Sinar matahari langsung menyeruak masuk ke dalam kamar bernuansa putih itu begitu Tia menyibak tirai jendela. Sosok di atas ranjang lantas memiringkan tubuhnya membelakangi sang ibu. Meski enggan bangun, pandangannya menjadi silau ketika jendela kamar dibuka lebar.
"Kamu nggak mau olahraga-olahraga gitu, Nak? Kamu bakal lama, loh, di rumahnya. Setidaknya sampai kaki kamu sembuh," sergah Tia yang tengah menata buku-buku yang berceceran di ranjang bocah itu.
"Kakiku aja belum bisa jalan dengan bener. Gimana mau olahraga?" sahut Arsen dari balik gulungan selimut.
Sejak keluar dari rumah sakit, kondisi kakinya memang belum pulih. Untuk berjalan saja, Arsen membutuhkan bantuan kruk. Karena itulah, dia jadi malas beranjak dari tempat tidur jika tidak ada hal penting yang harus dilakukan. Mandi pun harus dipaksa oleh Tia, jika tidak, Arsen lebih baik tidak menyentuh air. Toh, dia hanya berdiam di kamar, dan menurutnya itu tidak mengotori tubuhnya.
"Kalau gitu setidaknya keluar dari kamar, temenin Mama bikin kue, yuk. Daripada suntuk di kamar terus." Tia mengubah topik pembicaraan.
"Nggak. Di kamar lebih aman." Arsen semakin membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhnya hingga sebatas leher.
"Nanti kalau aku keluar dari sini, mereka pasti pukul aku, Ma. Bahkan karena aku izin ke kamar mandi aja dimarahi, kadang juga dipukul. Padahal aku nggak kabur, kok. Aku cuma mau buang air kecil aja," gumamnya sembari menggigit ujung kuku.
Cerita itu sudah berulang kali Tia dengar. Setiap diminta untuk meninggalkan kamarnya, Arsen terus beralasan demikian. Ketika berkonsultasi dengan dokter Rian, cerita yang sama juga bocah itu ungkapan. Akibat dari ketakutan itu, Arsen menutup diri dan menghindari pertemuan dengan orang-orang. Bahkan dia sering terkejut ketika sosok Elan tiba-tiba memasuki kamar. Jika diteruskan, hal ini akan berdampak buruk pada kehidupan Arsen.
Terpaku sejenak, Tia kembali bersuara. "Ini 'kan di rumah, Nak. Nggak akan ada yang marahi kamu, apalagi pukul. Bahkan kalau kamu mau jalan-jalan pun nggak akan Mama larang, kok. Ada Papa juga yang akan jaga kamu," bujuknya dengan suara rendah.
Wanita dengan apron menempel di tubuhnya itu awalnya pesimis jika putranya akan termakan bujukan. Namun, secercah harapan muncul ketika Arsen menyibak selimut di tubuhnya dan mengubah posisi menjadi duduk. Ia menatap lekat wajah sang ibu kemudian mengangguk, dan senyum tipis langsung terukir di bibir Tia.
"Tapi jangan paksa aku buat olahraga. Kaki sama tanganku masih sakit, Ma," ungkapnya memberi syarat.
Tanpa berpikir panjang, Tia lantas mengiyakan permintaan itu. Tidak ada yang lebih membahagiakan untuknya saat ini, selain melihat Arsen mau meninggalkan kamarnya meski hanya sesaat. Dengan cekatan, wanita itu mengambilkan kruk dan membantu putranya menuruni tangga. Ketika melewati ruang tengah, mereka bertemu dengan Elan yang tengah berkutat di depan laptopnya. Pria itu tak kalah senang ketika melihat dua orang terkasihnya berjalan beriringan.
"Mau digendong nggak?" celetuk Elan begitu keduanya melewati belakang sofa yang ia duduki.
Pertanyaan itu membuat Arsen mendengkus kesal. Dia menatap Elan dengan alis menukik.
"Hush! Papa jangan bikin keributan, dong. Anaknya baru semangat malah digoda lagi. Nanti kalau ngambek, Papa yang tanggung jawab."
Tia mencubit pelan bahu suaminya, dan sebelum segalanya semakin buruk, ia menuntun Arsen untuk segera meninggalkan ruangan itu. Elan selalu seperti itu, meski tahu kondisi kesehatan anaknya, terkadang dia tidak bisa menahan diri untuk mencari masalah. Bahkan tiga hari lalu, Arsen sempat melempar gelas ke arah pria itu karena terlampau kesal dengan leluconnya.
"Kamu mau cookies atau yang lain? Kebetulan Mama kemarin habis belanja bahan-bahan kue. Jadi kamu bebas mau request apa," ucap Tia sembari memasangkan apron ke tubuh. Wanita itu juga mengikat rambutnya yang masih legam meski usianya nyaris berkepala empat.
Arsen memainkan poninya yang mulai memanjang hingga menutupi alis. "Aku mau brownies panggang, tapi aku juga mau makan nassar juga, Ma."
"Nastar maksudnya." Sang ibu terkekeh kecil begitu Arsen salah menyebut salah satu nama kue.
"Iya, pokoknya itu. Kue apa pun yang dibuat Mama selalu enak, kok," papar Arsen kemudian meletakkan kepalanya ke atas meja dengan tangan kanan sebagai tumpuan.
"Oke, dan apa pun yang kamu mau, Mama pasti bikinin."
Dengan cekatan, Tia mengambil bahan dan alat yang akan ia gunakan untuk membuat kue yang Arsen minta. Meski tak bisa bergerak bebas, bocah itu sesekali membantu ibunya untuk mempercepat proses pembuatan. Bibirnya juga tak henti-hentinya bertanya ini dan itu. Karena nyatanya, Arsen suka mengganggu sang ibu ketika berada dapur.
"Kamu olesin mentega ke dalam loyang bisa, 'kan? Nanti biar Mama yang tuang adonannya."
Tak menunggu jawaban, Tia langsung meletakkan sebuah loyang berukuran sedang ke hadapan Arsen beserta mentega. Dia juga memberi sebuah kuas sebagai alat untuk mengoles. Dengan patuh anak itu melakukan perintah ibunya, perlahan menutupi permukaan loyang dengan mentega.
"Udah selesai belum bikin kuenya?" Suara Elan mengalihkan perhatian ibu dan anak itu.
"Tinggal masukin loyang, terus panggang ke oven dan tunggu matang aja, Pa. Kenapa?" sahut Tia sembari menuangkan adonan ke dalam loyang yang sudah diolesi mentega.
Mendengar penuturan itu, Elan lantas mendekati Arsen dan mengusap kepala bocah itu pelan. Merasa jika kedatangan Elan tidak untuk mengganggunya, Arsen tidak berontak ketika pria itu mendekat.
"Itu, temen Arsen ada yang dateng, katanya mau kasih tahu soal tugas sama bantu belajar," sahutnya kemudian beralih menatap Arsen.
"Papa nggak nyangka, temen-temen kamu setia banget. Setiap hari mau repot-repot mampir buat ajarin kamu," lanjutnya kemudian.
Orang yang pertama kali muncul di pikiran Arsen adalah Daniel, karena bocah itulah yang mau mengajarinya setiap hari meski tak jarang diabaikan olehnya. Hari ini juga Daniel sudah mengirim pesan padanya, dan mengatakan bahwa dia akan singgah.
"Kalau gitu kamu ke kamar aja, Nak, biar Mama yang lanjutin ini. Kasihan Daniel nunggu lama, dia pasti juga udah capek karena dari sekolah terus mampir ke sini," usul Tia yang kini sudah beralih membuat kue selanjutnya.
Menyetujui usul sang ibu, Arsen kemudian meraih kruk yang ia sandarkan di dekat tempat ia duduk. Kemudian tanpa berucap sepatah kata, dia bangkit dan berjalan meninggalkan dapur. Tawaran Elan untuk membantunya menaiki tangga pun dibalas dengan gelengan.
Elan mengusap dagunya dengan raut sedikit bingung. "Padahal yang dateng bukan Daniel, loh, Ma," tukasnya kemudian.
Sang istri tersenyum kecil. "Nggak masalah, 'kan temennya bukan cuma Daniel, Pa. Bahkan Leo yang satu tahun lebih tua aja sering mampir ke sini."
Meninggalkan sepasang suami istri yang berkutat dengan adonan kue. Arsen dibuat ternganga dengan sosok teman yang disebutkan Elan tadi. Sama seperti sang ibu, dia juga berpikir jika orang itu adalah Daniel. Namun, yang hadir di hadapannya justru sosok yang paling akhir ingin ia temui.
"Cleon," lirihnya begitu melihat sosok itu sudah duduk tenang di sofa.
Si pemilik nama refleks berdiri begitu melihat sosok Arsen memasuki kamarnya. Dia bergerak mendekati bocah itu, dengan niat untuk membantunya. Namun, uluran tangan Cleon diabaikan begitu saja, Arsen beranjak menuju ranjangnya dan duduk.
"Apa kabar?" sapa Cleon berbasa-basi.
Terhitung satu minggu sejak Arsen keluar dari rumah sakit, baru kali ini Cleon berani mengunjungi kediaman remaja jangkung itu. Beberapa kali sahabat Arsen sudah mengajaknya untuk ikut serta ketika mereka mampir, tetapi Cleon selalu beralasan. Sekarang, dia bisa melihat kondisi Arsen secara langsung, dan itu membuatnya lega. Bocah itu terlihat jauh lebih baik dari saat mereka menemukannya tergeletak tak berdaya di ruangan sempit itu.
"Ada perlu apa?"
Tak peduli dengan basa-basi, Arsen langsung pada intinya. Bocah itu menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jari. Begitu poni tersibak, Cleon melihat sebuah bekas luka yang cukup mengerikan di dahi Arsen. Ia meneguk ludah, itu pasti salah satu luka yang ditinggalkan oleh ayahnya.
Cleon menggaruk tengkuknya. "Gue ... cuma mau mampir aja. Sama ajarin lo pelajaran hari ini, kebetulan Daniel nggak bisa dateng."
Dahi Arsen mengernyit. "Nggak mungkin, deh. Perasaan tadi Daniel udah chat gue," gumamnya tak percaya.
Bocah itu lantas meraih ponselnya dan memeriksa aplikasi pesan. Namun, dia harus menelan kekecewaan karena apa yang dikatakan Cleon adalah benar adanya. Bocah berkaca mata itu urung berkunjung karena suatu alasan.
"Lebih baik lo pulang aja. Gue nggak masalah kalau nggak belajar satu hari. Besok biar Daniel atau yang lain dateng buat ngajar," pungkas Arsen dengan kepala tertunduk. Sedari tadi, dia memang menghindari kontak mata dengan Cleon.
Tentu saja Cleon paham dengan gelagat bocah itu. Tak mau ambil pusing, dia justru mengeluarkan beberapa biji buku tulis dan meletakkannya ke atas meja belajar Arsen. Dia juga menaruh sebuah kantong kertas yang tidak Arsen ketahui isinya.
"Oke, gue nggak akan maksa juga, tapi ini gue kasih semua buku catatan gue. Semuanya tertulis rapi. Dan kalau lo mau pelajari, mungkin itu bisa lebih berguna daripada harus ngulang lagi lewat buku paket," tukas Cleon sembari menepuk-nepuk buku yang baru diletakkan.
"Dan ..." Cleon mendekati Arsen hingga jarak keduanya hanya tersisa satu meter, "tujuan utama gue datang adalah untuk minta maaf."
"Gue minta maaf atas semua kemalangan yang udah terjadi sama lo. Gue nggak tahu harus ngomong gimana, tapi yang jelas gue minta maaf, Sen. Gue-"
Arsen dengan cepat memotong ucapan Cleon. "Anu ... lo nggak perlu minta maaf."
Masih dengan kepala tertunduk, dia kembali berujar, "Jangan salahin diri sendiri juga, karena ini juga bukan salah lo. Fakta kalau gue masih hidup sampai sekarang 'kan juga karena bantuan lo. Gue nggak nyalahin lo, kok."
Alis Cleon terangkat sebelah, tak percaya dengan apa yang barusan ia dengar. Apa kepala bocah ini sempat terbentur sesuatu?
"Tapi ini emang salah gue. Bokap gue bertindak sampai sejauh itu juga karena gue yang bandel. Andai gue nggak ngelawan dia, pasti semua ini nggak bakal kejadian." Cleon bersikeras.
Lagi-lagi ucapannya dibalas dengan gelengan oleh Arsen. Bocah itu kini mendongak dan menatap Cleon, tetapi itu tak bertahan lama. Setelah mata mereka saling bertatapan, Arsen kembali menunduk.
"O-oke, anggap aja gue maafin lo, tapi yang terpenting adalah jangan salahin diri sendiri. Karena nanti lo bisa berakhir kayak gue, nggak bisa lepas dari bayang-bayang masa lalu."
Telunjuk Arsen tertempel ke pelipisnya. Kemudian dengan tatapan kosong, ia lanjut berkata, "Sewaktu ingatan itu datang, yang muncul di kepala lo cuma kejadian buruk itu. Terputar terus kayak kaset rusak, dan ketika lo sadar kalau itu nggak bisa diubah, yang tersisa cuma rasa sakit serta penyesalan."
"Pokoknya nggak ada yang bagus dari terjebak dalam masa lalu," pungkasnya diakhiri dengan gelengan pelan.
Apa yang terucap dari mulut Arsen membuat Cleon seketika bungkam. Kalimat yang sudah susah payah ia susun untuk meminta maaf, kini hilang entah ke mana. Dengan mengatakan itu, Arsen seolah peduli sekaligus memberitahu tentang penderitaannya selama ini.
Cleon menarik sebuah kursi dan duduk di atasnya. Ia menyandarkan punggungnya ke badan kursi dan menengadah. Reaksi yang diberikan Arsen benar-benar di luar dugaannya. Alih-alih marah atau kecewa, dia justru mengkhawatirkan orang yang jelas-jelas sudah membuatnya di posisi ini. Namun, ketika mengingat orang itu adalah Arsen, Cleon serta merta tertawa.
"Gue nggak nyangka bakal dapet perhatian dari korban. Lo jadi orang jangan terlalu baik, dong. Bikin penjahat ngerasa bersalah aja," cibir pemuda bertindik itu tak habis pikir.
"Iyakah? Apa bisa gitu?" celetuk Arsen tiba-tiba. Sejujurnya, dia tidak mengerti maksud dari ucapan Cleon barusan.
"Hah?" Cleon ternganga, tetapi beberapa detik kemudian dia kembali terbahak.
Melihat ekspresi bodoh Arsen membuat Cleon tak bisa menahan diri untuk tidak tertawa. Dia sudah berekspektasi bahwa momen ia meminta maaf akan sangat dramatis, berakhir dengan pengusiran misalnya. Namun, nyatanya bocah ini justru tak sedikit pun menyimpan dendam. Tak berselang lama, Arsen juga ikut tertawa, dan itu membuat Cleon semakin terbahak-bahak.
"Eh ... ada apa, nih? Kok, kayaknya seru banget, sampai ketawa-tawa gitu."
Sosok dengan apron yang masih menempel di tubuhnya itu menerobos masuk. Tangan kanannya membawa sebuah nampan berisi minuman serta camilan, sedangkan tangan kiri bertugas untuk membuka pintu.
"Ternyata yang dateng Cleon, ya. Kamu udah lama nggak mampir, loh. Ke mana aja?"
Tia menaruh nampan ke atas meja dan mendekati Arsen. Ia mengusap kepala bocah itu dan tersenyum simpul, baru saja ia melihat sang putra tertawa dan rona wajahnya kembali hidup.
"Sebetulnya nggak sibuk apa-apa, Tante. Cuman emang akhir-akhir ini aku males keluar rumah, hehe," dusta Cleon, mana mungkin dia berkata bahwa tak berani datang untuk berhadapan dengan Arsen.
Tia beralih menatap Arsen. "Kamu ketawain apa?" tanyanya kemudian.
Arsen menggeleng. "Aku cuman ikut ketawa aja, Ma. Soalnya Cleon ketawa," sahutnya polos.
Mendengar itu, Cleon ternganga dan hanya bisa mengangguk canggung di depan Tia. Dia tidak percaya, Arsen bisa menjadi sepolos itu sampai-sampai dia tak berkutik berhadapan dengannya.
"Ya udah, lanjutin lagi belajar sama ngobrolnya. Mama balik ke dapur buat tungguin kue." Ia beralih menatap Cleon. "Tante titip Arsen sebentar, ya. Terima kasih juga udah mau bantu dia belajar," pesannya pada Cleon.
Dua remaja itu mengangguk patuh. Hingga pintu kembali tertutup, raut ceria yang terpasang di wajah Cleon lantas sirna. Pemuda itu kembali ke mode serius dan mengambil sebuah macaron dari atas piring.
"Actually, my reason to be here is not just to beg for your forgiveness. But also, I want to tell you that I will be leaving this country as soon as possible," tuturnya penuh penekanan.
"Maksudnya mau piknik gitu?"
Pertanyaan itu membuat Cleon menepuk dahinya. "Ya Tuhan, tolong kuatkan hamba!" desisnya berusaha sabar.
Dia kemudian berdiri dan mengambil kantong kertas yang tadi ia letakkan di atas meja belajar, dan memindahkannya ke telapak tangan Arsen. Itu hanya sebuah hadiah kecil sebagai permintaan maafnya atas perbuatan yang tak termaafkan.
"Intinya gue bakal pergi jauh, gue juga udah bukan salah satu teman kelas lo. Dengan ini, gue harap keselamatan kalian terjamin, dan nggak akan jatuh korban selanjutnya," terangnya lantas duduk di sofa. Cleon mengambil macaron keduanya.
"Lebih lengkapnya, nanti gue jelasin setelah pikiran lo balik normal. Saat ini cukup itu aja, dan izinin gue buat makan ini." Cleon menunjuk pada sepiring kue yang tadi dibawa oleh Tia dan mulai melahapnya.
Arsen hanya mengangguk patuh dan bertanya-tanya dalam hati, 'Emang gue nggak normal?'
Awalnya Arsen menganggap enteng ucapan Cleon. Ia pikir cowok itu hanya pergi untuk bersenang-senang melepas stres. Toh, dia tahu apartemen tempatnya tinggal, jika kakinya sudah pulih, Arsen akan berkunjung ke sana. Hingga suatu hari ia menyadari, saat itu adalah kali terakhir dirinya bertemu dengan pemuda bertindik itu. Cleon tak lagi menampakkan diri di rumahnya, maupun sekolah.
Janji penjelasan yang ia katakan tak pernah tersampaikan. Sosok itu menghilang bak ditelan bumi, satu-satunya nomor yang bisa menjadi penghubung pun tak pernah lagi tersambung. Satu hal yang Arsen tahu, Cleon benar-benar tidak ingin membawa bahaya pada mereka.
Kurang 1 bab lagi end. Fyi juga, aku udah update Special Chapter dari cerita ini di KaryaKarsa, ya. Dan hanya ada di KaryaKarsa, karena untuk Wattpad cuma sampe end aja. So, yang mau baca bisa langsung ke KaryaKarsa aku, linknya ada di bio~
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top