35 ; Hurt
❤️Happy Reading❤️
.
.
.
Hari ketiga Arsen terkurung di ruangan minim cahaya itu, dan orang-orang yang membawanya sama sekali tidak memberi kejelasan tentang mengapa ia diculik. Baju putihnya tak lagi bersih karena terkena debu lantai yang cukup tebal. Tubuhnya juga sudah dihinggapi oleh beberapa luka lecet dan lebam dari dua pria yang mudah merasa kesal itu.
Akan tetapi, dia merasa bersyukur, karena mereka mau melepaskan ikatan di kaki dan tangannya. Sekarang Arsen bisa bergerak bebas meski kemungkinan kabur dari tempat itu sangat tipis. Luka lecet yang ditinggalkan kini terlihat semakin memerah karena tidak diobati.
Manik kelamnya menatap pintu kusen tak jauh dari tempat ia berdiri. Dari semalam, Arsen sudah mencari jalan keluar selain pintu itu, tetapi hasilnya benar-benar nihil. Kecuali jika tubuhnya kecil, dia mungkin bisa melarikan diri lewat lubang jendela itu.
“Duh, sial! Karena kebanyakan mikir, gue jadi kebelet kencing,” gerutunya pada diri sendiri.
Ini adalah kali kelima Arsen ingin buang air kecil dalam kurun waktu dua jam. Dia takut, jika kedua pria itu akan murka karena terlalu sering ke toilet.
“Ya Tuhan, hamba udah nggak kuat!” Usai berkata demikian, dia berjalan mendekati pintu dan mengetuknya pelan.
“Om, tolong buka pin—“ Dia bergerak mundur ketika pintu tiba-tiba terbuka sebelum dia menyelesaikan kalimatnya.
Dua pria yang sedari kemarin menahannya berdiri di hadapan Arsen. Namun, yang datang tak hanya mereka saja, di belakangnya muncul satu orang lagi yang tampak asing di penglihatan bocah itu. Instingnya menangkap sinyal bahaya, dan tanpa sadar ia kembali mundur.
“Anu ... saya kebelet pipis lagi, Om. Boleh ke toilet?” Sebenarnya hasrat untuk buang air sudah hilang, tapi karena terlalu gugup, dia mengatakan omong kosong.
Pria asing yang berdiri di antara dua pria berbaju hitam itu mendekat dengan langkah begitu tenang. Dari penampilannya saja Arsen bisa dengan mudah menebak bahwa orang ini adalah dalang di balik penculikan ini. Jika begitu, maka dia benar-benar dalam bahaya.
Si pria berkumis tipis lantas mengambil sebuah kursi di sudut ruangan dan mempersilakan pria asing itu untuk duduk. Tebakan Arsen benar, pria paruh baya ini adalah bosnya.
“Kamu terlihat sehat untuk ukuran korban penculikan, ya?” Suara bariton pria itu mengejutkan Arsen, bocah itu berdiri kikuk dan tak berani melontarkan balasan.
“Omong-omong, kamu tahu siapa saya?”
‘Dih, sepupu yang masih berhubungan darah aja gue lupa. Apalagi orang asing kayak Anda,' batin Arsen sedikit dongkol, tetapi ia hanya memberi gelengan karena takut jika ucapan yang meluncur dari bibirnya akan membuat pria ini tersinggung.
“Kalau begitu, bagaimana dengan Gavin atau Cleon Lexander?” Pria itu menatap tepat ke netra Arsen. Dia bisa melihat dengan jelas perubahan ekspresi anak itu begitu ia menyebut nama Cleon.
Nama itu, Arsen tentu tidak asing lagi. Dia mendapat pertanyaan serupa ketika pertama kali Cleon tiba di sekolahnya sebagai seorang murid pindahan. Ia memberanikan diri untuk melihat wajah pria di depannya dengan jelas. Mata hazel dan tatapan tajam itu mengingatkan Arsen pada seseorang. Namun, ia mencoba untuk menyangkal kemungkinan yang hinggap di pikirannya.
Sebelum ia menyadari sesuatu, pria itu kembali berucap, “Saya ayah dari dua bocah itu, Jonathan Lexander.”
Mendengar hal itu, Arsen sepenuhnya kehilangan pijakan. Pria ini memang memiliki hubungan dengan Cleon, bukan saudara atau apa, melainkan ayah kandungnya.
“S–salah saya apa, Om? Kenapa ... kenapa Om sampai culik saya?” Remaja itu bertanya dengan suara bergetar.
Pria sedang duduk di hadapannya ini merupakan sosok yang mengerikan, jauh lebih kejam dari Elan. Dia mendengar soal seluk beluk keluarga dari Cleon sendiri, ketika pemuda itu mencoba untuk menjalin pertemanan.
Sosok itu bangkit dan mendekati remaja yang wajahnya sudah sangat pucat itu. Mengikuti insting, Arsen ikut memundurkan langkah, tetapi karena tidak hati-hati ia pun terjatuh. Melihat wajah pria itu dari posisi duduk membuatnya terlihat lebih menyeramkan. Tubuhnya sama tinggi dengan Arsen, tapi pria ini jauh lebih berisi dan tampak atletis meski beberapa helai rambutnya sudah memutih.
“Alasan saya menculik kamu ....” Jonathan membungkuk, dan meneliti setiap lekuk wajah Arsen yang tampak ketakutan. Setelah puas dengan ekspresi yang ia lihat, Jonathan kembali duduk di kursinya.
“Karena kamu penyebab dua anak saya jadi lupa dengan posisinya. Bahkan Gavin sampai kehilangan nyawa karena hatinya yang lembek. Saya tidak pernah mengajarkan pada anak saya untuk menjadi orang lemah. Dia menjadi seperti itu karena bergaul dengan kamu, dan sekarang langkah bodoh itu diikuti oleh kakaknya,” imbuh pria itu sembari mengeluarkan sebatang rokok.
Remaja itu tercengang. Apa pria ini baru saja menyalahkannya? Sama seperti Cleon dulu menumpahkan dendam padanya.
“T–tapi Gavin ...” Arsen tak bisa melanjutkan ucapannya ketika ingatan tentang Gavin yang terjatuh dari gedung tiga lantai terulang secara otomatis di otaknya.
Jonathan mengembuskan asap rokok ke depan wajah Arsen hingga membuat bocah itu terbatuk. “Yah ... saya tahu, dia mati bukan karena kamu bunuh. Tidak seperti Cleon yang mudah termakan dendam, saya selalu mengutamakan logika dan fakta yang ada. Dan tadi kamu bertanya soal alasan saya menculik kamu? Hmm ... mudah saja, itu karena saya ingin memberi hukuman pada anak saya melalui kamu,” jelas Jonathan.
Netra Arsen membulat, dia tidak sebodoh itu untuk tidak mengerti maksud dari ucapan Jonathan. Namun, ia masih tidak mengerti kenapa pria ini harus menculiknya.
“Arsen Mahendra, delapan belas tahun bulan Oktober lalu. Pernah berpindah sekolah ketika masih SMP dan sekarang merupakan salah satu siswa di SMA Abdi Nusantara. Anak tunggal, ibu pemilik beberapa butik yang tersebar di beberapa kota, dan ayah tiri juga merupakan pemilik dari bengkel dengan cabang yang tidak bisa dibilang sedikit.”
Itu latar belakang dia dan keluarganya, cukup detail mengingat tak banyak orang tahu bahwa Arsen pernah berpindah sekolah ketika SMP. Melihat betapa mudahnya pria ini menemukan membuat Arsen merinding. Keringat mulai membasahi tubuhnya, meski suhu ruangan tak begitu panas.
“Kenapa harus saya?” Suara bocah itu terdengar lemah. Dia sangat ketakutan sekarang, tetapi menculik karena perubahan sifat anaknya, menurut Arsen itu tidak masuk akal.
Jonathan terkekeh pelan mendengar pertanyaan itu. Ia kembali bangkit kemudian berjongkok tepat di depan Arsen yang semakin ketakutan.
“Ternyata kamu lebih bodoh dari yang saya kira.” Jonathan menggeleng geli.
“Walaupun yang bersalah adalah anak saya, mana mungkin saya melukai dia? Bahkan meski saya menghajar dia, tidak akan memberi efek jera padanya. Menyerang kelemahannya, adalah jalan terbaik yang saya tempuh. Dan saat ini, kamu merupakan titik kelemahan putra bungsu saya, Cleon.”
Arsen beringsut mundur. Demi apa pun, ucapan pria ini membuat seluruh tubuhnya gemetar. Karena terlalu takut, tanpa sadar air mata telah mengajak sungai. Dadanya terasa sesak, sakit antara rasa bersalah dan takut bercampur menjadi satu. Siksaan batin seperti ini jauh lebih menyakiti Arsen daripada pukulan. Mental Arsen bisa dikatakan jauh lebih lemah dibanding fisik.
“Hei, hei ... saya bahkan belum melakukan apa-apa. Kenapa kamu sudah menangis? What a cry baby.” Jonathan semakin tergelak melihat reaksi dari Arsen.
Tanpa aba-aba, ujung puntung rokok yang menyala mendarat di kening Arsen. Tak sampai di situ saja, Jonathan menjambak kepala Arsen dan menekan puntung itu guna memperdalam luka.
“ARRGHH!!” pekik Arsen begitu rasa perih dan panas hinggap ke permukaan kulitnya. Dia tak bisa melepaskan cengkeraman Jonathan dan berakhir kesakitan.
Pria itu baru menyudahi permainannya ketika bara di ujung rokok padam dan Arsen menangis kesakitan. Seperti orang tak berperasaan, pria itu justru tertawa puas melihat remaja di hadapannya tersedu-sedu. Luka yang ia buat itu setidaknya akan meninggalkan bekas dalam waktu yang cukup lama.
Jonathan menepuk-nepuk bahu Arsen. “Begini, Nak. Saya nggak bermaksud buat menghabisi kamu, saya hanya akan mematahkan salah satu lengan atau kaki kamu. Cleon akan tahu tentang itu, setelahnya dia akan menyadari kesalahan yang selama ini dia tempuh,” urainya dengan senyum miring.
“O–om salah! Kalau kayak gini caranya, Cleon justru akan semakin benci sama Om.” Mengabaikan rasa perih di dahinya, Arsen membalas ucapan Jonathan dengan sisa-sisa keberanian yang ia miliki.
Ketika ucapannya disangkal, Jonathan tampak terkesima sejenak hingga bocah itu lanjut mengutarakan isi pikirannya.
“Saya nggak tahu, apa pekerjaan dan sebesar apa kekuasaan Om. Tapi kalau seperti ini cara Om mendidik anak, wajar aja Cleon membangkang dan selamanya nggak akan ada perubahan ke arah yang lebih baik,” lanjut Arsen dengan suara melemah.
Dia tahu, ucapannya ini akan membuat pria ini murka, terbukti dengan kedua tangan Jonathan yang terkepal erat usai begitu Arsen menyelesaikan kalimatnya. Dia juga tahu, kelancangan ini bisa saja membahayakan keselamatan diri sendiri. Akan tetapi, Arsen merasa perlu mengatakan hal itu kepada orang tua diktator ini.
“Kamu—” rahang Jonathan mengeras, “berani sekali berkata seperti itu! Seolah-olah tahu segalanya tentang anak saya. Orang seperti kamu ini yang sangat saya benci,” geramnya begitu kesal.
Sebuah pukulan nyaris dilayangkan, tetapi tangan Jonathan terhenti di udara begitu mendengar balasan Arsen.
“Saya nggak tahu banyak tentang Cleon, tapi apa Om juga sepenuhnya mengerti tentang anak Om sendiri? Saya rasa enggak. Karena dari sekilas pandang aja, Om ini cuman mau segala perintahnya dituruti, tapi nggak peduli dengan pendapat orang lain. Orang kayak Om nggak pantas disebut ayah!”
Jonathan bungkam, tidak bisa memberi balasan atas ucapan bocah ingusan di depannya ini. Dia mengusap wajah dengan tangan kanan kemudian tertawa terbahak-bahak.
“Kamu benar-benar pintar bicara, ya? Saya nyaris terharu karena kata-kata mutiara kamu, hahaha.”
Belum sempat Arsen bereaksi, sebuah tendangan telak mengenai perutnya. Bocah itu tersungkur dan batuk beberapa kali karena dihantam tanpa persiapan. Dengan pandangan yang sedikit kabur, Arsen melihat tatapan Jonathan yang begitu dingin dan menusuk.
Tak sampai di situ saja, sosok Jonathan mengambil sebuah balok kayu yang memang banyak tersimpan di tempat itu dan menggunakan benda itu sebagai senjatanya. Arsen tahu akan bahaya yang mendatanginya, tetapi tubuhnya sudah lemas akibat tendangan keras dari pria berkemeja hitam itu.
“Sakit?” tanya Jonathan usai empat kali memukulkan kayu ke tubuh Arsen dengan sekuat tenaga.
“Sa–kit ....” Bocah itu mengangguk lemah. Dia berusaha untuk melindungi bagian vitalnya, tapi serangan Jonathan yang membabi-buta membuat ia tak bisa berbuat banyak.
Ketika pertanyaannya tak mendapat respons, Jonathan semakin menggila. Ia menyuruh kedua orang yang sedari tadi menonton untuk memegangi Arsen. Dengan begitu ia bisa dengan bebas menghajar.
Bak orang kesetanan, dia terus memukul dan memukul tubuh bocah yang sama sekali tak mampu memberi perlawanan itu. Hingga Arsen memuntahkan darah, pria itu baru melempar kayu di genggamannya ke sembarang arah. Ia memerintahkan kepada kedua suruhannya untuk melepas bocah itu dan membiarkannya tergeletak begitu saja.
“Tuan, apa ini tidak berlebihan?” Pria yang berbadan lebih kecil bertanya. Dia yang sering mendapat luka ketika melakukan misi pun merasa ngeri ketika melihat kondisi Arsen sekarang.
Jonathan tak langsung menyahut. Ia melirik Arsen sejenak dan mengamati setiap luka yang menyelimuti tubuh bocah itu. Awalnya dia hanya ingin melukai lengan dan kaki Arsen, tapi karena terlalu terbawa suasana, dia sedikit kelewatan. Meski demikian, pria itu tetap terlihat tenang dan tak terpengaruh.
“Yah ... saya agak berlebihan, tapi tidak masalah. Ingin bertahan atau tidak, itu tergantung kemauan dia.” Ia mengeluarkan sebatang rokok dan menyalakan pemantik.
“Tugas kalian adalah hilangkan semua barang bukti, jangan sampai ada jejak yang tertinggal. Sebentar lagi anak saya akan datang untuk menyelamatkan bocah ini, dan setelahnya polisi juga tiba. Kalian harus pergi sebelum mereka menangkap kalian, karena itu akan sedikit mempersulit saya serta diri kalian sendiri,” imbuhnya kemudian memungut puntung pertama yang tadi ia gunakan untuk melukai Arsen.
Tak mau berlama-lama, ia langsung bertolak meninggalkan tempat itu usai urusannya selesai dan menyerahkan sisanya kepada para bawahan.
Setelah mendapat perintah, kedua pria berkaus hitam itu mengangguk dan melakukan tugasnya dalam diam. Si pria yang berbadan lebih kecil berjongkok di depan Arsen dan menatap bocah itu dengan sorot mata iba.
“Semoga kita tidak dipertemukan lagi di keadaan seperti ini,” ujarnya kemudian mengusap setitik darah dari pipi Arsen. Meski gerakannya tidak berguna karena tubuh bocah itu nyaris diselimuti oleh darah dan luka yang mengerikan.
Rekannya yang melihat hal itu berdecak. “Jangan menggunakan perasaan ketika bertugas!”
“Niatnya juga begitu, tapi anak ini mirip mendiang adik saya. Melihat dia seperti ini, saya seperti melihat adik saya.” Pria itu terkekeh.
Si pria berkumis tipis menepuk bahu rekannya. “Kita memang harus segera pensiun dari pekerjaan ini, hahaha.”
Begitu dirasa tak ada jejak yang tersisa, keduanya memacu langsung meninggalkan ruangan sempit itu tanpa menutup pintunya. Meninggalkan bocah yang kini meringkuk lemah beralaskan lantai dingin dengan kesadaran yang mulai menipis.
Sudut mata Arsen merekam setiap gerakan orang-orang yang menganiayanya, dan dia masih bisa mendengar ucapan iba dari salah seorang yang kemarin menculiknya. Ternyata orang semenyeramkan mereka masih memiliki hati nurani, pantas saja dua hari dikurung, mereka mau memberi makanan untuknya.
Bibirnya terbuka hendak meneriakkan kata tolong, tetapi hanya rintihan yang mampu ia keluarkan. Kerongkongannya bahkan kini terasa sakit dan rasa asin bercampur amis seakan memenuhi mulut.
Arsen kembali menangis. Apakah ini akhir dari hidupnya? Dia bahkan belum mengucapkan salam perpisahan kepada Tia dan Elan. Minggu depan juga merupakan hari di mana dia akan pergi berkencan dengan Selvi. Ada juga agenda untuk pergi ke pantai bersama teman-temannya.
Masih banyak hal yang belum ia lakukan, dan sepertinya Arsen tak lagi memiliki kesempatan untuk menuntaskan keinginan itu satu persatu. Miris, di saat dia sudah memiliki semangat hidup usai Cleon memaafkannya, justru ayah dari bocah itu yang datang menghancurkannya.
Banyak hal yang hinggap di pikirannya membuat kepala Arsen pusing. Sesak di dada membuat ia kesulitan bernapas, entah sampai kapan dia bisa bertahan. Matanya yang terbuka kini perlahan terpejam. Jika keajaiban ada, dia berharap kali ini Tuhan akan menunjukkan sedikit keajaiban padanya.
“Arsen, Arsen! Jangan tutup mata kamu! Kami akan bawa kamu ke rumah sakit, tetap bertahan, oke?”
Sebuah seruan membuat bocah yang nyaris kehilangan kesadaran itu kembali membuka matanya. Wajah ini terlihat tidak asing baginya, tetapi ia sama sekali tidak bisa mengingat. Kapan dirinya bertemu dengan orang ini?
“Kak, gimana ini?”
Sosok lain muncul dari balik punggung pria yang tadi meneriakinya untuk bertahan. Meski sudah berada di ambang batas kesadaran, Arsen masih bisa mengenali siapa orang itu.
Lucu sekali, di saat si ayah mencoba untuk menghabisi nyawanya. Kini datang si anak yang berusaha untuk menyelamatkannya. Hal itu membuat Arsen tanpa sadar menarik kedua sudut bibirnya, permainan yang mereka buat sungguh membuat Arsen lelah.
Dia tak lagi menghiraukan panggilan dan permohonan dari mereka agar mempertahankan kesadaran. Rasa kantuk begitu membuai, mungkin dengan sedikit tidur, sakit yang menyerang sekujur tubuhnya akan sedikit berkurang.
Hal terakhir yang Arsen lihat adalah raut panik di wajah Cleon dan ... apa dia menangis?
SEDIKIT mengandung bawang, merica, garem dan bumbu dapur lainnya, ya? 🙂
Di KaryaKarsa udah aku upload sampai end. Silakan mampir ges. Kalian bisa pilih yang perbab atau mau yang paket sewa isi 4 bab dengan harga lebih murah.
Oke sip. Sekian... Titip anak ganteng 😗✌️
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top