34 ; Terkurung
❤️Happy Reading❤️
.
.
.
Di sudut ruangan dengan penerangan remang-remang, sosok itu menggeliat tak nyaman sebelum kedua matanya benar-benar terbuka dan terkejut dengan apa yang terjadi pada dirinya. Terbaring di lantai dingin dengan kedua kaki dan tangan terikat erat membuatnya gelisah.
Dengan sekuat tenaga, ia berusaha untuk duduk dan bergerak susah payah untuk bersandar pada dinding di dekatnya. Netranya mengedip beberapa kali untuk menyesuaikan cahaya kemudian termenung.
“Gue diculik, nih, ceritanya?” gumam bocah itu sedikit heran.
Berada di sebuah ruangan sempit nan kotor dan minim pencahayaan, serta tangan dan kaki yang terikat membuat Arsen semakin yakin dengan apa yang menimpa. Kepalanya pun terasa pusing ketika berusaha mengingat-ingat apa yang terjadi. Namun, satu hal yang ia tahu pasti, bahwa seseorang telah memaksa dia masuk ke sebuah mobil begitu dirinya keluar dari toilet.
“Eh ... toilet? Lah, gue ‘kan tadi belajar kelompok. Terus kabar mereka gimana?” Lagi-lagi ia bermonolog.
Melihat langit gelap dari sebuah jendela kecil di ruangan itu, Arsen menebak bahwa malam sudah begitu larut atau mungkin fajar segera menyingsing. Sudah berapa lama ia tidak sadarkan diri? Kepalanya pusing dan tubuhnya terasa kaku seakan sudah terbaring di posisi sama dalam waktu yang lama.
“Tolong ... ada orang nggak di luar? Tolongin, dong!” Ia berteriak dan menendang-nendang kursi di dekatnya hingga menghasilkan bunyi bising.
Tak berselang lama pintu terbuka dan menampakkan sesosok pria bertubuh tinggi besar dengan pakaian serba hitam. Arsen senang karena akhirnya ada yang datang ketika mendengar teriakannya, tetapi kedatangan sosok itu malah membuatnya menelan ludah.
“Ha–halo, Om ....” sapa Arsen pada pria yang kini berdiri di hadapannya.
Pria itu bergeming, tetapi netranya menatap tajam pada Arsen hingga membuat bocah itu bergidik ngeri.
Namun meski begitu, Arsen tak gentar. Ia kembali berucap, “Om yang ikat saya, ya? Om penculik? Nggak salah tangkap, Om? Orang tua saya nggak kaya-kaya banget, kalau minta uang tebusan juga nggak bisa sampai milyaran.”
Pria di hadapannya masih tak menjawab, dan itu membuat Arsen sedikit kesal. Baru saja dia akan kembali berucap, dia tiba-tiba berjongkok di depan Arsen hingga jarak di antara keduanya tak lebih dari setengah meter. Hal itu membuat Arsen beringsut mundur, tetapi dinding di belakangnya sudah merupakan akhir dari pergerakannya.
“O–om mau ngapain?” Arsen was-was.
Dia pikir pria itu akan memukulnya atau melakukan hal buruk lain, tapi nyatanya ia hanya memeriksa tali yang mengikat tangan dan kaki Arsen. Setelah yakin jika ikatan masih erat, dia kembali berdiri dan bersiap untuk meninggalkan ruangan itu. Akan tetapi, suara Arsen membuat langkahnya terhenti.
“Salah saya apa, sih?! Penculikan itu tindak kriminal, loh, Om. Kalau nanti sampai polisi dateng, Om bisa dipenjara,” seru Arsen dengan suara serak. Tenggorokannya terasa kering karena sejak bangun, dia belum minum air sama sekali.
“Hukum bukan hal yang sulit bagi orang yang sudah memberi perintah pada kami, dan penjara hanya seperti taman bermain.”
Jawaban pria itu membuat tubuh Arsen merinding. Apakah sosok yang memberi perintah adalah orang yang kebal terhadap hukum? Memangnya dia berurusan dengan orang sepenting apa?
“Orang itu siapa, Om?” tanya bocah itu lagi.
Namun, bukan jawaban yang ia dapat, melainkan sebuah tendangan keras mendarat di tulang keringnya. Arsen memekik dan terbatuk ketika rasa sakit tiba-tiba menjalar ke bagian kaki.
“Saya bisa tahan dengan wajah kamu yang menyebalkan itu, tapi saya benci orang yang banyak bicara,” tutur si pelaku sebelum akhirnya benar-benar meninggalkan ruangan minim pencahayaan itu.
Arsen meringkuk bersamaan dengan rasa sakit yang menjalar. Ia tidak tahu, tendangan tadi menyebabkan cedera atau tidak. Akan tetapi, sekarang tak hanya tulang saja yang sakit, dia juga merasa bahwa pergelangan tangan dan kakinya mulai terluka karena ikatan yang terlalu kencang.
🌺🌺🌺
Topik tentang hilangnya Arsen masih menjadi rahasia yang hanya diketahui oleh teman dekatnya beserta sang kekasih. Dan hal ini sangat mempengaruhi perilaku mereka, terbukti dengan diamnya Sony dan Brian yang biasanya kompak membuat onar pun kini menjadi sekalem Daniel.
“Gue nggak tenang banget, sumpah,” celetuk Brian pada dua orang yang berdiri di sampingnya.
Ketiganya membolos dari kelas karena sama sekali tak bisa fokus dengan pelajaran. Belum lagi teman sekelas yang menanyakan perihal tidak hadirnya Arsen hari ini membuat mereka semakin tak nyaman.
“Ini si Cleon juga tiba-tiba nggak masuk tanpa kasih kabar, bikin makin overthinking aja, tuh, bocah,” balas Sony yang sedari pagi tak melihat batang hidung Cleon.
“Masa Cleon juga diculik kayak Arsen?” celetuk Daniel tiba-tiba.
Baik Brian maupun Sony refleks menatap Daniel. Meski ucapan bocah ini tak berdasar, tetapi sukses membuat keduanya berpikir negatif.
“Iya juga, ya? Cleon ‘kan tajir, tuh. Siapa tahu diculik buat dapetin tebusan. Kayak di film-film gitu.” Sony turut berpendapat.
Mendengar pembahasan mereka semakin tak karuan, Brian buru-buru menengahi. “Heh! Lu berdua, ya. Udah kondisinya lagi nggak baik kayak gini, malah makin aneh aja omongannya!” gertaknya kemudian memukul pelan bahu dua bocah itu.
Usai berdebat tentang hal tidak berguna, ketiganya kompak terdiam dan tenggelam dalam pikiran masing-masing. Tanpa adanya Arsen, mereka akan menjadi lebih diam. Karena bocah itulah yang paling berenergi dan tak pernah lelah untuk bertingkah.
“Lah, kalian bertiga bolos?” Sebuah suara mengusik lamunan, dan membuat tiga bersahabat itu sontak menoleh.
“Lah, Abang sendiri juga bolos?” Brian yang merupakan salah satu anggota tim basket lumayan dekat dengan pemuda berambut gondrong ini bertanya heran.
Leo terkekeh ketika pertanyaannya dibalas dengan pertanyaan lain. Pemuda itu mengeluarkan sebungkus rokok dari saku celananya dan mengambil satu batang benda bernikotin itu dengan raut tenang.
“Gue nggak bolos, cuma mempercepat waktu istirahat aja,” balasnya enteng.
“Itu bocah kenapa bisa ilang, sih? Kalian masih berhubungan sama bocah-bocah berandal? Masih suka ikut tawuran nggak jelas? Masih suka nerobos ke club? Atau masih gangguin cewek dari sekolah lain?”
Pertanyaan beruntun yang terlontar dari bibir Leo membuat tiga juniornya ternganga. Terutama Sony dan Brian yang merupakan teman terlama Arsen. Mereka juga sudah mengalami masa nakal bersama.
“Hei, hei ,hei ... sejelek itukah kita di mata lo, Bang? Gue langsung teringat dosa-dosa di masa lalu, nih.” Sony mengelus dada, tak percaya dengan segala tuduhan berdalih pertanyaan itu.
Brian berdeham. “Kalau itu kita satu atau dua tahun lalu, mungkin iya, Bang. Tapi sekarang, kita bener-bener udah tobat. Sejak kenal sama ....” Ia melirik sosok Daniel yang juga tengah menyimak percakapan mereka.
Leo mengikuti arah pandang Brian dan tak bisa menahan tawa. Di antara empat orang dalam grup ini, Daniel merupakan sosok yang paling polos dan lugu. Meski sudah bergaul dengan Arsen, kepolosan Daniel tetap melekat. Leo memang tidak dekat dengan bocah berkacamata itu, tetapi tak jarang ketika berkumpul, dia sering dibuat tertawa dengan wajah tanpa dosa itu.
“Kalau gitu, terus apa alasan diculiknya Arsen?” Ia kembali ke pembahasan semula.
“Itu dia, Bang, yang bikin bingung sampai sekarang,” timpal Sony diiringi raut bingung, kali ini Brian maupun Daniel mengangguk setuju.
“Apa mungkin ini soal persaingan bisnis? Mungkin ada yang iri sama bisnis bokap atau nyokap si Arsen, terus mereka culik anaknya. Tapi masa iya, zaman sekarang masih model gituan? Tapi bisa juga, sih, kejahatan ‘kan beragam,” ujar Leo berspekulasi. Namun sedetik kemudian, sesuatu terlintas di pikirannya.
“Cleon berangkat nggak hari ini?” tanyanya begitu teringat wajah bocah bertindik itu. Dan dia langsung dihadiahi gelengan kepala oleh mereka.
Mungkin ini hanya perasaan Leo saja, jika dia merasa bahwa Cleon terlibat dalam kasus ini. Mengingat kejadian Arsen yang terluka dengan seragam berlubang akibat bara rokok, dan beberapa hal membahayakan lain, Leo diam-diam mencurigai Cleon. Namun, hingga sekarang dia belum bisa membuktikan jika Cleon sering berniat buruk pada Arsen. Bocah jangkung itu juga seakan menutupi hubungannya dengan si murid pindahan.
Pemuda itu mematikan rokok yang tersisa setengah dan membuangnya ke tempat sampah terdekat.
“Udah, nggak usah terlalu dijadikan beban pikiran. Kalian tahu ‘kan, kalau penculikan itu tidak kriminal? Terlepas dari seberapa cerdas, kita ini cuma pelajar. Kita nggak bisa membantu banyak, apalagi alasan penculikan nggak jelas begini. Serahkan semua sama polisi dan orang dewasa yang lain. Dan mending kalian balik ke kelas dan belajar, jangan kebanyakan bolos buat hal nggak berguna,” jelas Leo kemudian berlalu tanpa menunggu jawaban dari ketiga bocah yang ditemuinya.
Ia menghela napas, pikiran tentang apa hubungan Arsen dan Cleon berputar-putar di kepalanya. Apa dugaan jika penculikan ini berhubungan dengan Cleon itu benar? Jika iya, apa alasannya? Mengingat jika dia tidak tahu banyak tentang kehidupan pribadi Arsen membuat dirinya tidak berani menduga lebih jauh.
“Sial, masih bocah kenapa udah punya kehidupan ruwet, sih?!” gumam Leo ketika kakinya melangkah menuruni tangga.
🌺🌺🌺
Usai kejadian penendangan itu, Arsen memilih untuk tidur hingga kegelapan dari balik jendela kaca memantulkan cahaya. Karena tangannya diikat ke belakang, Arsen jadi tidak bisa melihat jam di arlojinya. Namun, dari hasil mengira-ngira, mungkin matahari sudah tinggi dan siang sudah menjelang sore.
Bocah itu berusaha kembali duduk dan bersandar di dinding. Karena tidak bisa tidur nyenyak, sekarang kepalanya terasa semakin pening. Belum lagi tenggorokan yang sangat kering membuatnya tak nyaman. Tubuhnya terasa lebih lemah, dan suasana hatinya juga tak sebagus tadi. Sekarang dia mulai dihinggapi rasa takut akan tidak bisa keluar dari tempat ini.
‘Mama sama Papa apa kabar, ya?’ batinnya gelisah.
Dia tidak bisa membayangkan betapa paniknya wajah Tia ketika tahu Arsen menghilang. Wanita itu sangat menyayanginya, meski sebagai anak, Arsen sering membuat masalah. Begitu juga sebaliknya, bagi Arsen, Tia adalah satu-satunya harta paling berharga yang dia miliki. Jika sampai Tia sedih karena dirinya, maka Arsen akan semakin merasa bersalah.
Di tengah lamunan, satu-satunya pintu yang menjadi jalan keluar dari ruangan itu terbuka. Yang datang bukannya pria yang tadi ia temui, melainkan sosok lain dengan tubuh lebih tinggi dan berwajah lebih garang dengan kumis tipis di atas bibir. Arsen berkedip beberapa kali, apakah ia diculik orang gangster atau semacamnya? Kenapa orang-orang ini bertubuh layaknya perwira?
Pria itu datang dengan membawa sebuah kantong plastik, dan mengeluarkan sebungkus roti dan sebotol air mineral di depan Arsen. Tanpa berucap sepatah kata pun, pria itu berbalik dan hendak meninggalkan tempat itu.
“Om!” teriakan serak Arsen menghentikan langkah kaki pria itu. Ia menatap wajah bocah itu tanpa berkata apa-apa.
“Gi–gimana saya bisa makan kalau tangan saya diikat gini?”
Terkesan menantang, tapi itulah faktanya. Bagaimana ia bisa makan jika anggota tubuh yang ia gunakan untuk makan saja terikat? Arsen ragu jika mereka mau repot-repot menyuapinya.
Mendengar protes yang dilayangkan Arsen membuat pria itu berpikir sejenak. Tampak menimang antara melepas ikatan atau tidak. Akan tetapi, pada akhirnya ia tetap melepas ikatan di tangan bocah itu dan duduk berseberangan dengan Arsen.
“Kamu habiskan itu semua, setelahnya akan saya ikat lagi,” tukasnya tanpa ekspresi.
Belajar dari pengalaman orang sebelumnya, Arsen memilih untuk menurut dan membuka tutup botol air mineral di hadapannya. Dia bisa menahan lapar, tapi rasa haus sangat menyiksanya. Dalam beberapa kali teguk, isi dari botol itu hanya tersisa setengah.
Setelah menghilangkan dahaganya, Arsen memungut sebungkus roti yang diberikan bersamaan dengan air itu. Membuka kemasan plastik yang membungkus, dan melahap isinya dalam diam. dia memilih untuk menundukkan kepala sampai kegiatan sarapannya selesai.
“Anu, Om ... sebelum diikat lagi, saya boleh minta tolong sesuatu nggak?” sergahnya ketika pria itu akan kembali memasangkan tali ke kedua tangannya.
Tatapan penuh intimidasi dari pria itu membuat Arsen tak berkutik. Pria itu tampak tak suka dengan kalimat yang Arsen lontarkan. Namun, tangannya berhenti sejenak dan menunggu bocah itu mengutarakan maksud.
Dengan malu-malu bocah itu lanjut berujar, “Saya kebelet pipis, Om. Bisa antar ke toilet nggak? Masa iya saya kencing di sini.”
Tak langsung mengiyakan, pria itu menimang, antara setuju atau tidak. Akan tetapi, begitu melihat wajah Arsen yang menunjukkan raut tersiksa membuatnya goyah.
Ia melepas ikatan di kaki Arsen dan berkata, “Jangan pernah mencoba untuk kabur, atau saya akan benar-benar mematahkan kedua kakimu.”
Perkataan itu membuat Arsen menelan ludah dan bergidik ngeri. Dengan gemetar ia mengangguk patuh dan pasrah ketika pria itu menyeret lengannya menuju toilet. Dia mengurungkan niat untuk kabur dengan alasan toilet begitu mendengar ancaman menyeramkan itu.
Sepertinya, dia tidak akan bisa keluar dari tempat ini dengan mudah. Begitu juga dengan orang-orang di luar yang mungkin kesulitan menemukan keberadaannya. Dan Arsen sendiri sangsi jika dia bisa keluar dengan keadaan sehat.
Maaf baru muncul lagi yaa :")
Next update Minggu, kalau nggak sabar bisa ke Karyakarsa yang udah lengkap, hehe...
See you~
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top