29 ; Penjelasan
❤️Happy Reading❤️
.
.
.
Dari permainan game online hingga mencoret-coret buku sketsa yang kemarin dibeli, sudah Arsen lakukan. Akan tetapi, rasa bosan justru semakin menggerogotinya tanpa ampun. Akhir pekan ini ia tak memiliki kesibukan sama sekali, bahkan sekadar kencan pun tak ada. Selvi sibuk dengan urusan pernikahan sepupunya, jadi sementara waktu gadis itu tidak akan bisa ia ajak bermain dengan bebas.
Arsen mengangkat lengan kirinya ke udara dan mengamati beberapa saat. Luka minggu lalu yang ia buat sudah sembuh total, tetapi di sana ada sebuah bekas yang mungkin tak akan pernah hilang. Ini hanya satu sayatan, selain sakit, bekas yang ditinggalkan juga sangat jelek. Lantas bagaimana dengan Daniel bisa tahan menorehkan banyak luka di kedua lengannya? Bekas yang Arsen lihat juga bukan main jumlahnya.
"Pasti sakit banget, ya, Niel? Saking sakitnya sampai lo nggak bisa rasain apa-apa," gumamnya membayangkan betapa menderitanya Daniel dulu.
Berbicara soal Daniel, Arsen jadi ingat bahwa bocah itu sudah menghindari berbicara dengannya hingga hari ini. Jika normalnya orang marah akan melampiaskan emosi yang meluap-luap, berbeda dengan Daniel, remaja itu menggunakan diam sebagai tanda bahwa ia marah. Yah, sangat cocok dengan kepribadiannya yang tak banyak bicara.
Dengan sisa kemalasan yang masih melekat, Arsen meraih ponsel dan mencoba untuk menghubungi nomor Daniel. Namun lima kali ia memanggil, lima kali juga panggilan Arsen tak mendapat jawaban. Tampaknya Daniel benar-benar tak ingin berbicara dengan Arsen.
"Kenapa, sih?!" Antara kesal dan sedih, Arsen melempar kembali ponselnya ke atas kasur.
Remaja itu berguling ke kiri dan kanan secara berulang hingga ketika dirasa pusing, barulah ia berhenti. Jika terus-menerus begini, mungkin hubungan pertemanannya dengan Daniel akan semakin buruk dan bahkan bisa berakhir dengan saling menjauh.
Tidak! Arsen menggeleng kuat. Dalam kamus hidup Arsen, jika mereka sudah berikrar sebagai sahabat, maka persahabatan itu harus dijaga agar tetap utuh selamanya. Ya, ketika keadaan belum sepenuhnya memburuk, dia harus memperbaiki semua.
Membuang semua rasa malas yang masih melekat, Arsen akhirnya bangkit dan berjalan mendekati almari pakaian. Mengambil sebuah jaket jeans dan pergi mengambil sepasang sepatu sneaker dari rak lantas menggunakannya dengan sedikit terburu.
Begitu membuka pintu, dirinya terlonjak dan mundur beberapa langkah.
"Astaga, Mama ... bikin kaget aja," gerutunya ketika melihat Tia berdiri di depan pintu kamar.
"Kamu juga bikin kaget, Mama. Baru mau diketuk, malah udah kebuka duluan pintunya," balas Tia kemudian menerobos masuk. Wanita itu meletakkan nampan berisi kue kering dan kacang atom ke atas meja.
"Kamu rapi gini, mau ke mana emang? Katanya nggak ada rencana main sama temen atau pun kencan sama Selvi. Kok, sekarang malah mau pergi?" tanya Tia penuh selidik.
Arsen menggaruk kepalanya dan tertawa canggung. "Emang nggak ada rencana keluar, sih. Tapi aku mau ke rumah Daniel sebentar, Ma," balasnya.
Sang ibu mengangguk paham. "Kalau gitu, berangkat aja nggak apa-apa. Jangan lupa pamit sama Papa di kebun belakang."
"Oke, aku berangkat dulu. Bye, Ma!" Arsen mencium punggung tangan sang ibu dan berlari kecil menuruni tangga. Mungkin menjadi terbuka di depan satu orang sahabatnya akan memperbaiki hubungan antara mereka.
🌺🌺🌺
Begitu sampai di depan gerbang rumah Daniel, Arsen langsung meminta tolong kepada satpam yang berjaga untuk membukakan gerbang. Dia sudah sangat akrab dengan para pekerja di rumah besar itu.
"Loh, Den Arsen?!" seru seorang wanita dengan sebagian rambut mulai memutih. Dengan sedikit tergopoh ia berjalan mendekati Arsen yang tengah memarkirkan motornya.
"Bi Atun ...." Arsen balas menyapa.
"Udah lama, loh, nggak mampir. Bibi jadi kangen." Wanita paruh baya itu kembali berujar.
Tawa kecil tak bisa Arsen tahan, ia sangat menghormati wanita ini lebih dari sekadar seorang asisten rumah tangga. Bi Atun adalah sosok yang secara tidak langsung membantunya dalam menyelamatkan Daniel.
"Aku ganteng, pasti banyak yang kangen, hahaha," balas Arsen cekikikan.
Setelah bercanda beberapa saat bersama Bi Atun, Arsen lantas menanyakan keberadaan Daniel. Meski tanpa bertanya pun ia tahu, Daniel pasti berada di dalam kamarnya. Bocah itu masih sama seperti dulu, lebih suka mengurung diri di dalam kamar daripada menginjakkan kaki ke dunia luar.
"Ya udah, Bi. Aku ke kamar Daniel dulu, ya?" pamit Arsen kemudian.
Arsen berlari kecil menuju tangga, dan nyaris naik sebelum sebuah suara membuat langkahnya terhenti.
"Arsen," panggil sosok yang tengah bersantai di depan televisi berukuran 120 inci.
Si pemilik nama refleks menoleh dan mendapati jika Mattew adalah sosok yang barusan menyebut namanya. Entah mengapa, setiap berhadapan dengan pria dengan mata kelewat sipit ini membuat bulu kuduk Arsen berdiri.
"Eh, Kak ...." Arsen berdiri kikuk.
Remaja jangkung itu ingin langsung melesat ke kamar Daniel, tetapi lagi-lagi ucapan Mattew membuatnya terhenti.
"Duduk sini bentar, deh. Gue mau ngomong," ujar Mattew sembari menepuk sofa di sebelahnya.
Arsen meneguk air ludah dengan susah payah. Sudah lama mereka tidak bertegur sapa, dan kini tiba-tiba Mattew ingin berbicara dengannya. Firasat Arsen tidak enak.
"Sini! Malah bengong," sergah Mattew lagi ketika merasa panggilannya diabaikan.
"Eh, i–iya, Kak." Dengan sedikit kegugupan, Arsen berjalan mendekat dan duduk tepat di samping Mattew.
Dilihatnya sosok yang lebih tua mengecilkan volume televisi. Tak langsung berbicara, pemuda itu justru mengeluarkan ponsel dan memainkannya. Membuat Arsen yang duduk di sampingnya semakin gugup.
"Gimana lukanya? Udah sembuh total?" Pertanyaan pertama terlontar dari bibir Mattew.
Arsen mengangkat kedua bahunya. "Seperti yang lo lihat, gue oke banget sekarang," balasnya.
"Oh, baguslah kalau begitu," Mattew mengangguk puas, "terus ke sini mau ngapain?" tanyanya lagi.
"Apel Tante Reina." Jawaban itu sontak mendapat sorotan tajam dari Mattew.
Takut jika sampai memancing emosi lawan bicara, Arsen buru-buru membenarkan maksud ucapannya. "Ma–maksud gue ketemu Daniel, Kak. Siapa lagi? Dia 'kan temen sekelas gue."
"Daniel?" Mattew mengernyit, "gue pikir kalian lagi marahan. Soalnya dari beberapa hari lalu, lo nggak pernah mampir buat berangkat bareng. Semalem dia juga sampai rengek ke bokap buat balikin motornya. Padahal setelah kejadian 'itu' kita udah bikin kesepakatan kalau motor dia balik pas udah kelas tiga."
Mendengar hal itu Arsen justru ikut terkejut. Apakah kemarahan Daniel begitu serius, sampai bocah itu tak lagi mau berangkat sekolah bersama? Padahal Arsen sangat paham jika Daniel sangat suka melamun ketika berkendara. Dan tentu saja hal itu sangat membahayakan keselamatan bocah berkaca mata itu.
"Sejak beberapa hari ke belakang, Daniel emang diemin gue, Kak. Tadi juga gue telepon nggak diangkat sama sekali. Dan sebenarnya ini salah gue, Kak. Makanya gue datang buat jelasin semua, biar persahabatan kita nggak makin kacau," terang Arsen dengan suara, jemarinya saling bertaut sebagai pertanda bahwa ia cemas.
Terlihat tenang, tetapi Mattew sangat memperhatikan setiap kata dan gestur yang Arsen tunjukkan. Sampai di saat ia melihat adanya kecemasan di wajah Arsen, Mattew akhirnya kembali bersuara.
"Lo mau dengar pendapat gue, nggak?"
Arsen menggigit bibir bawahnya, meski sedikit bingung dengan maksud Mattew, dia tetap mengangguk dan bersedia mendengarkan apa yang akan orang dewasa itu katakan.
"Entah lo sendiri sadar atau enggak, tapi sekarang lo berubah, Sen. Dari apa yang gue amati, cahaya lo makin redup," tukas Mattew yang berwajah serius.
Sangat singkat dan cukup ambigu, tapi dengan mudah Arsen menangkap maksud kalimat itu. Ia menunduk, tak berani menatap wajah Mattew lagi.
"Dari respons yang gue lihat, itu artinya emang bener, ada sesuatu yang menyebabkan perubahan pada diri lo." Mattew menggeleng tak percaya. "Gue agak heran, sih. Orang sekuat lo aja ternyata bisa rapuh, apalagi yang lemah kayak modelan Daniel," cibirnya mengarah pada sang adik.
Tepukan ringan mendarat di bahu Arsen, membuat bocah yang awalnya setia menunduk lantas mendongak dan menatap Mattew penuh tanya.
"Akibat sok kuat lo ini juga, yang bikin Daniel ngambek. Dia mungkin nggak sepintar gue dalam membaca suasana dan raut wajah orang, tapi lo harusnya sadar kalau Daniel pernah jatuh di posisi bawah. Kepekaan dia sama orang-orang kayak lo ini jauh lebih baik dibanding gue, Sen."
"Hari ini Daniel, mungkin beberapa waktu lagi, temen-temen dekat lo yang lain akan melakukan hal yang sama. Karena apa? Lo punya masalah tapi pura-pura baik-baik aja. Oke, mungkin itu hak lo buat sembunyiin perasaan yang sebenarnya, tapi setidaknya lo kasih penjelasan secara transparan tentang apa yang lo alami. Jangan bikin mereka ngerasa jadi teman yang nggak berguna karena lo nggak mau percaya sama mereka," sambung Mattew kemudian mematikan televisi.
Pemuda dua puluh tahun itu bangkit, dan sebelum pergi ia kembali berkata, "Daniel ada di kamar. Sekarang, mau ambil langkah apa, itu semua hak lo. Tapi pikirkan juga, akibat dari semua, Sen."
Hingga punggung Mattew tak lagi terlihat, Arsen tetap diam tertunduk di posisi semula. Ia menarik napas dan mengembuskannya dengan berat. Ucapan Mattew menambah keruh pikiran Arsen.
Padahal dia menyembunyikan semua rasa sakit agar tidak membebani teman-temannya, tapi kenapa mereka justru akan merasa tersinggung? Bukankah lebih baik mereka bersahabat dan menjalani kehidupan SMA dengan sewajarnya? Rahasia ada untuk tidak diungkap, bukan?
Ada banyak hal yang ingin Arsen ucapkan untuk membalas kalimat Mattew, tetapi hanya diam yang mampu ia lakukan. Dengan gontai bocah itu bangkit dan berjalan menuju ruangan yang semula menjadi tujuan utama.
Di depan pintu dengan sebuah tulisan 'Daniel Im room' lagi-lagi Arsen terdiam. Haruskah ia mengetuk pintu itu, atau kembali saja? Jika ia sampai bertemu Daniel, maka ia harus menjelaskan kondisinya pada bocah itu. Dan jika ia kembali, maka persahabatan mereka terancam berakhir.
Sebelum ia berhasil membuat keputusan, pintu terbuka dan menampakkan sosok Daniel dalam balutan kaus t-shirt dan celana pendek. Dia sama terkejutnya dengan Arsen yang tak menyangka bahwa pintu akan terbuka sebelum ia mengetuknya.
"Arsen? Lo ngapain di berdiri di situ?" tanya remaja yang lebih pendek terheran-heran.
Arsen yang masih belum bisa mengendalikan rasa gugupnya kemudian menjawab dengan terbata, "A–anu ... g–gue mau main aja, sih. Iya, main karena lu gue telepon nggak diangkat, jadi gue datang ke sini."
Daniel menatap Arsen dari atas sampai bawah, dan tanpa banyak bicara ia membuka pintu lebih lebar agar bocah itu bisa masuk.
"Gue mau ke dapur sebentar, lo duduk-duduk aja di situ," tukas Daniel kemudian berlalu.
Meninggalkan Arsen dan seekor hewan berbulu yang kini sudah tumbuh jauh lebih besar dari pertama kali ia ditemukan.
"Kevin sini Kevin, pus ... pus ... pus ...."
Seekor kucing berwarna putih lantas berhambur mendekati Arsen. Mengeong lembut dan menggosokkan bulu-bulu halusnya ke kaki Arsen. Pemuda itu lantas mengangkat binatang berbulu itu dan menjatuhkannya ke atas pangkuan.
"Udah gede aja, ya, lo. Padahal dulu cuman sebesar kepalan tangan," gumamnya pada si kucing.
Jika dipikir kembali, kucing ini juga berjasa. Dia menjadi penunjuk keberadaan Daniel ketika Arsen sendiri ditelan rasa panik. Berkatnya, Arsen dapat dengan cepat mengetahui bahwa Daniel berada di dalam kamar mandi.
Daniel juga pernah bercerita, jika bocah itu merasa putus asa dan hasrat untuk melukai diri muncul tiba-tiba. Maka kucing ini akan mendesak untuk tidur di pangkuannya, seakan tahu jika si tuan tengah dilanda gelisah.
"Apa gue juga beli bola bulu juga, ya? Gimana menurut lo, Kev?" Lagi, dia bermonolog. Dengan gemas ia mengusap bulu-bulu halus Kevin dan menggelitiki kucing itu.
Akhir-akhir ini ia berpikir untuk memelihara hewan seperti Daniel. Hanya saja, Arsen tak terlalu menyukai kucing, karena hewan itu terkadang berisik ketika mengeong. Mungkin anjing akan terlihat lebih baik. Ditambah dengan Elan yang katanya menyukai anjing, Arsen tidak akan mengeluarkan banyak tenaga untuk meminta izin.
"Ke sini mau ngapain?" Daniel sudah tiba dengan sebuah nampan berisi minuman dan camilan. Ia sengaja membawanya sendiri daripada merepotkan Bi Atun untuk menaiki tangga.
Arsen berdeham untuk mengurangi rasa gugupnya. "Lo ngambek apa gimana, sih, Niel? Udah empat hari lo diemin gue, anjir," gerutunya dengan suara rendah.
Si lawan bicara justru berjalan ke arah jendela dan membuka tirai serta daun jendela. Ia juga mematikan pendingin ruangan lantas kembali duduk di kursi belajar.
"Alasannya simpel." Daniel menata buku yang tadi ia baca dan meletakkannya kembali ke tempat semula.
"Karena lo bohong soal apa yang lagi lo alami. Tapi setelah berpikir ulang, gue sadar satu hal, kalau gue yang salah. Seharusnya gue nggak berlebihan, karena mau cerita apa enggak, itu hak lo. Gue sebagai teman cuman bisa kasih dukungan dari luar, sama seperti yang dulu lo kasih buat gue, Sen," tutur Daniel dengan raut penuh sesal.
Kalimat itu membuat Arsen ternganga, ketika semua orang mendesaknya untuk jujur, Daniel justru sebaliknya. Alih-alih memojokkannya seperti yang orang lain lakukan, Daniel malah menyesal karena merasa egois. Entah sekarang respons apa yang harus Arsen berikan, ia tidak tahu. Satu hal yang pasti, dia merasa bersyukur.
Melihat Arsen terdiam, Daniel kembali bersuara. "Kayak yang Sony dan Brian bilang tempo hari, gue juga temen lo. Jadi jangan sungkan buat cerita soal masalah yang lo hadapi. Kita saling menguatkan, Sen."
"Niel ...." Arsen kehabisan kata-kata, dia ingin membalas ucapan Daniel, tetapi cairan bening lebih dulu lolos dari kedua netranya.
Arsen malu, dia buru-buru menghapus air mata itu. Namun bukannya berhenti, cairan itu justru semakin deras mengalir. Alhasil Arsen menutupi wajah dengan kedua telapak tangan dan mengumpat dalam hati, 'Sialan malah mewek!'
Sementara Daniel yang menyaksikan Arsen tiba-tiba menangis jadi panik. Bocah itu lantas mendekati Arsen yang duduk di kasurnya dan menepuk-nepuk bahu kawannya.
"Lo nggak apa-apa, 'kan?" tanya Daniel cemas. Sekian lama mengenal Arsen, baru kali ini ia melihat bocah itu menangis. Antara kasihan dan geli bercampur menjadi satu.
Sementara Arsen hanya menggeleng sebagai jawaban. Dia sudah kepalang malu karena menangis di depan Daniel tanpa alasan jelas. Pada akhirnya Arsen hanya pasrah dan membutuhkan waktu sekitar sepuluh menit untuk menghentikan isaknya.
Ketika melihat Arsen mulai tenang, Daniel memberanikan diri untuk menegur. "Lo nggak kenapa-kenapa, 'kan? Gue minta maaf kalau omongan gue ada yang salah. Demi Tuhan, gue nggak bermaksud buat paksa lo, Sen."
Kepanikan yang tergambar jelas di wajah kawannya justru membuat Arsen terkekeh. Bocah itu pasti bingung melihat sisi lemahnya yang tiba-tiba.
Arsen menggeleng pelan dan berkata, "Sorry, sorry. Gue bukan nangis karena sedih atau apa, tapi karena omongan lu barusan di luar ekspektasi gue, Niel." Ia kembali mengangkat Kevin ke atas pangkuannya dan mengelus bulu hewan itu secara perlahan.
"Thanks banget, di antara semua temen yang gue kenal. Cuman lo satu-satunya orang yang nggak desak gue buat cerita. Bahkan cewek gue aja dari kemarin-kemarin curiga," imbuh Arsen lantas tertawa kecil.
Mendengar itu, Daniel pun mengangguk paham. "Itu karena semua orang punya rasa sakit, tapi nggak semua orang punya depresi. Karena gue sendiri adalah pejuang depresi, makanya setelah lihat tingkah laku lo yang agak aneh, otak gue bisa cepat tanggap dengan apa yang terjadi," tuturnya tenang seperti biasa.
"Mungkin itu bisa jadi alasan." Arsen mengangguk setuju.
"Sebenarnya kedatangan gue ke sini juga mau jujur soal apa yang ganggu gue belakangan ini. Tapi sebelum itu, gue cuman mau bilang kalau lo nggak usah terlalu khawatir. Sekarang gue udah oke, karena semua masalah udah selesai," tukas pemuda jangkung itu dengan senyum lebar.
Ya, tentu saja ia percaya diri mengatakan bahwa masalah yang membuatnya gelisah sudah selesai. Sebab Cleon sendiri sudah membuka hati dan menyadari jika dendam dalam hatinya hanya merugikan diri sendiri. Sekarang Arsen hanya perlu fokus pada pemulihan dan semua kembali seperti sedia kala.
Mulai hari ini, Arsen berjanji akan kembali menjadi sosok yang dulu dan kembali bersinar untuk menerangi orang-orang di sekelilingnya. Dan dia berharap, janji yang ia ucapkan pada diri sendiri itu dapat ia tepati.
Halo, met malam untuk semua yang masih sabar membaca cerita ini~
Aku harap nggak ada yang bosen nunggu ya. Karena ceritanya udah mau ending juga 🤭. Bakal kangen Arsen loh nantinya. Jadi nikmati pelan-pelan saja 😌
Bab baca duluan aku bakal kebut di KaryaKarsa, silakan mampir dengan klik link di bio~
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top