28 ; Tekanan

❤️Happy Reading❤️
.
.
.


“Kamu yakin nggak mau Papa antar?”

Pagi ini Arsen memutuskan untuk masuk sekolah bersama Cleon. Ia lelah mendapat bermacam pertanyaan dari orang-orang dekatnya tentang alasan ia absen kemarin. Padahal sudah jelas-jelas Tia maupun Elan memberi tahu bahwa dirinya sakit, tetapi mereka tak mau langsung menerima mentah-mentah alasan itu dan meneror Arsen dengan bermacam pertanyaan.

“Nggak usah, Pa. Cleon ‘kan juga temen sekelasku, dia bawa mobil juga, hari ini biar aku berangkat bareng dia. Besok juga aku udah bisa naik motor sendiri,” tolak bocah jangkung itu sembari menyisir rambutnya dengan jemari tangan.

Di sampingnya, Cleon tersenyum kikuk ketika mendapat tatapan penuh selidik dari Elan. Pria ini seakan mengerti seberapa bahayanya Cleon sehingga dia selalu memasang tampang was-was ketika putranya berdekatan dengan pemuda itu.

“Kalau gitu terserah kamu, nanti pas pulang bisa hubungi Papa atau Mama. Biar salah satu bisa jemput,” pungkas Elan tak bisa memaksakan kehendak.

Arsen menggeleng cepat. “Nggak usah. Nanti aku naik ojol aja, ribet amat pakai dijemput. Kenangan terakhir dijemput sama Papa, tuh, memalukan.”

Mendengar penuturan itu, Elan tertawa renyah. Dia tidak menyangka Arsen akan sangat malu ketika ia memanjakannya.

“Ya sudah, kalau gitu terserah, deh. Yang penting pulang selamat.” Tia datang melerai.

Wanita itu kemudian bangkit dan mengantar dia bocah berseragam SMA itu keluar dari rumah menuju halaman di mana mobil Cleon terparkir.

“Belajar yang rajin, ya. Bolosnya dikurangin, sebentar lagi kamu kelas tiga, loh,” pesan sang ibu sebelum Arsen memasuki kendaraan roda empat milik Cleon.

“Iya, Ma. Aku 'kan udah nggak nakal lagi sejak kelas satu,” ujar Arsen melontarkan pembelaan.

Dari kursi kemudi Cleon berkata, “Tante, kita berangkat dulu, ya? Terima kasih udah izinin saya nginep di sini.”

Masih dengan senyum mengembang, Tia menanggapi ucapan Cleon, “Iya, sama-sama. Tante seneng kalau Arsen punya teman yang mau ajarin dia. Hati-hati di jalan ....”

Usai berbasa-basi, akhirnya mobil yang dikendarai Cleon keluar dari kediaman Arsen dan melaju membelah hiruk-pikuk di pagi hari. Kecanggungan kembali terjadi begitu hanya tersisa mereka berdua dalam satu ruang sempit itu.

“Orang tua lo selalu begitu?” Cleon adalah orang pertama yang membuka obrolan.

Arsen yang semula pura-pura memainkan ponsel lantas mendongak dan menatap Cleon dengan sedikit bingung.

“Maksudnya? Emang ada yang aneh sama ortu gue?”

Masih dengan tatapan dan tangan fokus pada kemudi, Cleon kembali berucap, “Mereka selalu perhatian begitu sama lo?”

“Oh, itu ....” Arsen ber-oh ria, sekarang ia paham arah pembicaraan Cleon.

“Nggak juga, sih. Cuman emang akhir-akhir ini mereka jadi lebih protektif ke gue. Tapi dulu ... bokap gue suka main tangan, hahaha,” lanjutnya dengan tawa sumbang.

Si lawan bicara berdecak. “Setidaknya sekarang semua baik-baik aja. That’s make me envy every time I think about it,” jujurnya dengan rahang mengeras.

Benar juga, dari cerita Gavin dulu, keluarganya memang sangat kaya dan ahli dalam bisnis gelap. Berbicara soal harta, mungkin hingga keturunan kesepuluh tak akan pernah habis. Namun, satu yang membuat sahabatnya itu benci dengan keluarga, yaitu tak ada kata harmonis di dalamnya.

Gavin pernah berkata bahwa mereka memiliki keturunan hanya untuk dijadikan alat pencetak uang. Miris dan itu sekaligus membuat Arsen bersyukur, meski tidak sekaya mereka, setidaknya Arsen masih memiliki kebahagiaan di dalam keluarga yang Tia dan Elan bangun.

But, it’s okay. Takdir ini nggak akan gue hindari. Dan mulai hari ini,” Cleon memandang Arsen sekilas dan kembali fokus pada jalanan, “gue kasih satu kesempatan buat lo untuk membuktikan bahwa lo pantas dimaafkan.”

Arsen mengerjap beberapa saat kemudian ternganga, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja ia dengar.

“L–lo serius?” Arsen kembali memastikan.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Cleon, pemuda itu hanya mengangguk dan tetap fokus mengemudi. Sementara itu, Arsen sama sekali tidak bisa menyembunyikan raut bahagianya. Bocah itu meninjukan kepalan tangannya ke udara dan berseru riang.

Yes!

🌺🌺🌺

Baru saja Arsen meletakkan tas di atas meja, kedua kawannya langsung datang mengerubungi dan melemparkan tatapan penuh tanya. Kecuali Daniel, yang tampak tenang dan masih fokus pada buku meski Arsen adalah teman sebangkunya.

“Heh! Lu beneran sakit nggak, sih? Kenapa kemarin nggak masuk dan sekarang udah masuk? Lo sakit apaan, Sen?” Sony langsung menghujani Arsen dengan tiga pertanyaan sekaligus.

“Lo sakit fisik apa batin?” Giliran Brian menimpali dengan suara sedikit rendah.

Arsen sudah membaca pesan-pesan sahabatnya yang mengatakan bahwa Cleon bertanya soal trauma pada mereka. Dia ragu, akankah kehidupan berjalan seperti biasa jika teman-temannya tahu tentang gangguan mental yang sejak lama ia sembunyikan?

“Masuk angin, njir. Nyokap gue bukannya udah bilang?” sanggah Arsen diiringi raut kesal.

Dari tempat duduknya, Cleon tersenyum miring mendengar jawaban yang Arsen lontarkan. Ternyata bocah itu benar-benar tidak ingin sahabatnya tahu tentang kelemahan yang ia miliki. Menurut Cleon, keputusan itu tidak sepenuhnya salah, karena manusia terkadang menyeramkan. Di depan mereka akan terlihat peduli, tetapi ketika sudah membelakangi mereka justru mengejek kelemahan manusia lainnya.

“Nggak usah bohong, deh. Cleon kemarin ngomong aneh, tahu nggak?”

“Kita temenan udah hampir tiga tahun, Sen. Masa hal serius kayak gini, lo nggak kasih tahu kita?” timpal Sony menanggapi ucapan Brian.

Suasana kelas mulai ramai ketika semua siswa sudah tiba dan bel tanda masuk akan segera berbunyi. Arsen jadi khawatir, keingintahuan dua orang ini akan menarik perhatian teman kelas lainnya.

“Sumpah gue nggak kenapa-kenapa, tapi emang ada sedikit trauma pas di hutan kemarin karena gue nggak suka hujan. Selebihnya gue oke,” pungkas Arsen dengan suara rendah.

Brian dan Sony saling tatap kemudian mengangguk.

“Oke, kali ini gue nggak ikut campur, karena lu sendiri yang berusaha buat nutupin. Tapi next time, jangan ragu cerita masalah ke kita karena kita ini temen lu, Sen,” tukas Brian sembari menepuk pundak sang sahabat.

Sony pun menanggapi ucapan Brian dengan anggukan dan berujar, “Jangan sok kuat cuman karena lo bos di grup kita.”

“Iya, iya. Bacot amat jadi orang, lagian sejak kapan gue selemah itu sampai lo berdua mellow nggak jelas gitu? Jijik banget, mending cari pacar sana!”

Dalam hati Arsen bersyukur, dia sahabatnya ini tak terlalu peduli soal urusan pribadi masing-masing jika pihak yang ditanya sudah menutup jalan. Meski tak tahu apa yang terjadi, mereka akan tetap memberi dukungan dari luar. Namun, kini masalah Arsen ada pada Daniel, bocah itu sedari tadi diam seakan tak peduli dengan pembicaraan mereka. Bukannya senang karena dia tak ikut campur, Arsen justru curiga bahwa Daniel mungkin marah padanya.

“Lo kenapa dari tadi diem?” bisik Arsen pada Daniel ketika kelas sudah dimulai.

Bocah berkaca mata itu beralih fokus dari buku ke arah Arsen. Tak langsung menjawab, Daniel diam sejenak seakan memikirkan kalimat yang pas untuk diucapkan.

“Seharusnya gue yang tanya, lo kenapa?” balasnya kemudian.

Arsen mengangkat bahu. “Gue nggak kenapa-kenapa, tuh. Tadi juga udah gue jelasin, ‘kan?”

Daniel mengangguk dan kembali fokus pada guru yang menjelaskan di depan. “Lo bisa akting di depan Sony, Brian dan teman-teman yang lain. Tapi maaf, itu nggak mempan buat gue, Sen,” tukas Daniel tak acuh, remaja itu seakan enggan berbicara lebih banyak dengan Arsen.

Arsen termenung sejenak, jadi inikah alasan diamnya Daniel sedari tadi? Bahwa bocah itu tahu jika ada yang salah dari dirinya. Sungguh sial, padahal selama ini Arsen sudah berusaha menguatkan Daniel, tapi kali ini malah Daniel melihat sisi lemahnya. Lalu apa yang harus Arsen lakukan?

“Maaf.” Akhirnya hanya itu yang mampu ia ucapkan.

“Jangan minta maaf kalau lo nggak berbuat salah,” sahut Daniel dengan cepat.

Setelahnya, remaja berkaca mata itu tidak lagi menanggapi ucapan Arsen. Entah itu gurauan atau sekadar bertanya soal materi yang tidak ia pahami. Dan untuk pertama kalinya, Arsen menyadari bahwa Daniel marah.

🌺🌺🌺

“Kamu yakin kemarin cuman demam biasa?” tanya gadis berseragam SMA yang duduk di kursi penonton bersama dengan Arsen.

Rencananya Selvi ingin menemani Arsen hingga latihan basket selesai, karena pemuda itu nyatanya tak ikut berlatih, hanya duduk menjadi pengamat.

“By?” Selvi menegur Arsen ketika pertanyaan yang ia lontarkan diabaikan.

“Eh ... i–iya. Kenapa?” Sedikit tergagap Arsen menanggapi panggilan Selvi.

“Kamu mikirin apa, sih? Kenapa akhir-akhir ini suka ngelamun gitu? Ini bukan kali pertama aku lihat kamu aneh kayak gini, loh, By,” beber gadis berlesung pipi itu.

Dengan cepat Arsen menggeleng. “Nggak mikirin apa-apa, kok,” sahutnya lagi.

Sebenarnya Selvi tidak ingin ikut campur urusan pribadi Arsen, tetapi melihat tingkah aneh cowok itu beberapa waktu belakangan membuatnya tak bisa menahan diri. Sebut saja Selvi berlebihan, tapi dia benar-benar sangat mencintai Arsen sama dengan pemuda itu mencintainya. Meski bisa dibilang Arsen adalah cinta pertamanya, sampai sekarang Selvi belum memiliki pikiran untuk menemukan orang lain sebagai cinta kedua.

“Aku nggak mau, loh, By. Kamu punya masalah tapi pura-pura oke, padahal kamu punya banyak orang yang bersedia jadi tempat pegangan sewaktu kamu nggak bisa berdiri sendirian,” tukas Selvi lagi.

Pemuda di sampingnya tak lagi beralasan. Dari raut wajah, Selvi menduga bahwa Arsen tengah memikirkan ucapannya barusan. Baru saja cowok itu membuka mulut dan hendak berucap, seseorang datang dan menginterupsi percakapan mereka.

“Pacaran lagi!” seru sosok yang baru tiba.

Leo mengambil tempat duduk di samping Selvi yang membuat Arsen membelalakkan mata. Bocah itu lantas menodongkan botol air mineral yang ia pegang ke depan wajah Leo dan menatapnya penuh ancaman.

“Minggir nggak?!” ketusnya penuh emosi.

Pemuda berambut gondrong yang semula cekikikan lantas bangkit. “Woi, santai wahai adikku. Gue nggak akan ngembat pacar adik sendiri. Astaga Tuhan ... galak banget!” Kini ia beralih duduk di samping Arsen.

So, apa kabar? Kemarin bolos, ya?” tanya Leo sembari mengawasi jalannya latihan di lapangan.

Lagi-lagi orang datang dan bertanya soal ketidakhadirannya kemarin. Demi apa pun, Arsen muak. Bocah itu menepis tangan Leo yang tersampir di bahunya.

“Nggak usah kepo, biasanya gue juga bolos. Baru kali ini lo tanya kabar, Bang,” desis Arsen tak suka.

Sang senior terkekeh mendengar ujaran sarkas dari Arsen. Namun, Leo tak akan semudah itu menyerah untuk berbicara dengan Arsen. Ia kembali merangkul bahu adik kelasnya itu dan kembali berceloteh.

Leo berkata, “Karena hari ini lo nggak ikut latihan Sebagai kapten, gue akan kasih hukuman buat lo, yaitu bantu gue bersihin gudang peralatan selagi mereka latihan.”

“Ogah! ‘Kan ada petugas kebersihan, ngapain gue harus bersihin gudang?” Arsen berusaha melepaskan rangkulan Leo, tetapi pemuda itu seakan enggan melepaskan dirinya.

“Hukuman!” Leo bersikeras.

Ketika keduanya beradu kekuatan untuk saling merangkul dan melepas, Selvi bangkit dari tempat duduk. Menginterupsi dua pemuda yang tengah bergelut itu hingga mereka berhenti dan menatap bingung pada gadis itu.

“Kenapa, By?” Arsen menjadi orang pertama yang bertanya.

Selvi menggeleng. “Nggak apa-apa, aku cuman mau bilang kalau aku nggak bisa temenin kamu nonton latihan anak basket sampai akhir, karena mamaku tiba-tiba chat suruh aku pulang buat temenin beliau ke rumah sepupu.” Gadis itu menunjukkan pesan yang dimaksud ke depan Arsen.

“Oh, ya udah nggak apa-apa. Kamu pulang duluan aja. Nanti kabarin, ya, kalau udah sampai,” balas Arsen dengan senyuman.

Selepas kepergian Selvi, tangan Arsen ditarik paksa oleh Leo hingga bocah itu sedikit terseok-seok untuk menyejajarkan langkah dengan Leo.

“Apaan, sih, Bang?!” Arsen menyentak tangan Leo begitu mereka sudah sampai di gudang penyimpanan alat-alat basket.

“Oke, sorry kalau gue agak maksa. Tapi bisa nggak, kalau lo jawab pertanyaan yang gue kasih ini dengan jujur?” ujar Leo berusaha tenang.

Rasa pusing langsung menghinggapi kepala Arsen begitu mendengar permintaan aneh dari sang senior. Ia benar-benar tak paham dengan apa yang terjadi pada orang-orang hari ini. Kenapa mereka sangat cerewet dan ingin tahu tenteng dirinya?

“Oke, first, kepala gue pusing, jadi tanya aja langsung nggak usah basa-basi. Kedua, lo harus antar gue pulang kalau mau dapat jawaban jujur.” Arsen mengajukan persyaratan.

Tanpa berpikir dua kali, Leo langsung menyetujui permintaan Arsen. “Sekarang jawab pertanyaan gue, lo beneran nggak kenapa-kenapa?”

“Ya Tuhan!” Arsen memijit pelipisnya dan mendengkus. “Lo tahu nggak? Satu hari ini udah berapa orang yang tanya kayak gitu ke gue?”

Leo menggeleng.

“Nyaris semua orang yang gue kenal tanya begitu, Bang! Dan itu bikin gue yang awalnya oke, sekarang jadi pusing,”  papar Arsen dengan wajah kesal.

Bocah itu hendak pergi meninggalkan gudang usai melontarkan kekesalan, tetapi Leo kembali menahan langkahnya. Pemuda itu bahkan mencengkeram erat lengan Arsen seakan enggan untuk melepaskan jika belum mendapatkan apa yang ia mau.

“Apa lagi?!” Arsen tak lagi memiliki tenaga untuk melawan, dia membiarkan tangan Leo menggenggam lengannya hingga ruam kemerahan muncul.

Menyadari tak ada perlawanan, Leo pun melepaskan genggaman dan lanjut berucap, “Tolong kasih tahu gue, lo kenapa, Sen? Beberapa bulan terakhir lo aneh tahu nggak? Sebagai sahabat sekaligus kakak, gue khawatir.”

Kalimat itu membuat Arsen tak bisa menahan tawanya. Ia menepuk bahu Leo beberapa kali dan menatap tepat ke manik kecokelatan milik Leo.

“Lo lucu, Bang,” balas Arsen sembari mengusap air di sudut matanya.

“Di saat seperti ini, harusnya bukan gue yang lo khawatirkan, tapi masa depan lo. Ingat, sekarang lo kelas tiga, tinggal satu semester lagi lo lulus. Bukannya kelulusan dan nilai lebih penting daripada lo mikirin gue?”

“Ingat, Bang. Terlepas dari sedekat apa pun kita, bahkan sampai lo sebut gue adik. Pada dasarnya kita nggak punya alasan yang kuat untuk tahu masalah pribadi masing-masing,” lanjut Arsen.

Penuturannya cukup membuat Leo tak berkutik. Ia sadar, perhatian dan kepeduliannya pada Arsen seakan mereka adalah keluarga dekat. Seperti kakak dan adik, setidaknya itulah yang selama ini Leo pikirkan. Namun nyatanya, tidak ada landasan dasar yang kuat untuk dijadikan alasan dari semua perhatian itu. Leo hanya orang asing yang kebetulan singgah di kehidupan Arsen.

“Setidaknya gue berusaha jadi abang, teman atau apalah itu yang bisa meringankan sedikit beban lo, Sen. Karena berkat lo juga, gue tahu tentang tujuan hidup gue sekarang,” ucap Leo ketika melihat Arsen kembali melangkah.

Ia kemudian menyusul langkah bocah satu tahun lebih muda darinya itu dan menjatuhkan tepukan ringan di bahu Arsen.

Thanks, udah ingetin. Sekarang biar gue antar pulang, kebetulan udah lama nggak ketemu sama Tante Tia,” tukasnya yang dihadiahi dengan cibiran dari Arsen.

“Bilang aja mau makan malam gratis, pakai bilang kangen segala.” Arsen berpura-pura meludah di depan Leo sebelum akhirnya melangkah mendahului pemuda itu. 

Hai, silakan mampir ke KaryaKarsa untuk bab baca duluan, ya! Aku akan tetap update di sini seminggu sekali. Mungkin akan berhenti update saat mendekati ending, biar kalian penasaran. Ngehehe  ಡ⁠ ͜⁠ ⁠ʖ⁠ ⁠ಡ

Terakhir, silakan follow IM_Vha dan baca karya-karyaku yang lain juga :D

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top