25 ; Tragedy

"Jangan menggantungkan kebahagiaanmu pada orang lain, karena hanya kecewa yang akan kamu dapatkan."

❤️Happy Reading❤️
.
.
.

Arsen mengucek kedua matanya dan berkedip beberapa kali guna mengembalikan pandangan yang masih buram. Matanya melirik ke samping, Elan sedang fokus mengendalikan setirnya untuk memarkir mobil. Hal itu membuat Arsen sadar, bahwa mereka sudah sampai tujuan.

Arlojinya menunjukkan pukul setengah lima sore. Pantas saja matahari sudah tidak seterik tadi.

"Pantai?" gumamnya ketika tahu sang ayah membawa mereka ke sebuah pantai.

"Papa ngapain ngajak aku ke pantai ginian? Aku mah bisa main sendiri sana temen-temen, astaga."

Elan tersenyum, dia sudah menduga seperti ini adalah reaksi pertama yang Arsen berikan. Pria itu tak banyak bicara selain menyuruh Arsen untuk mengikuti langkahnya.

Baru bangun tidur dan kondisi perut keroncongan membuat remaja jangkung yang banyak protes itu kini menjadi patuh. Saat ini dia hanya berharap agar Elan membawanya pergi untuk makan.

"Kamu mau makan dulu, atau langsung main? Di sini kita bisa lihat sunset dengan jelas. Spot foto juga banyak dan nanti malam kebetulan ada semacam pasar malam di pesisir. Apa yang ada di sini nggak pernah mengecewakan," jelas sang ayah dengan menggebu.

Arsen mengusap perutnya. "Makan dulu, deh, Pa. Aku udah nggak kuat."

Elan terkekeh mendengar jawaban putranya, ditambah wajah Arsen yang memelas semakin membuat ia tak tega.

"Oke, habis makan. Kamu ganti baju di penginapan dan kita langsung meluncur lihat sunset," pungkasnya kemudian.

Tak perlu menunggu lama, mereka mampir ke salah satu rumah makan yang sudah menjadi langganan Elan. Ayah dan anak itu menyantap makanan tanpa banyak bicara. Hingga ke suapan terakhir, binar wajah Arsen sepenuhnya kembali. Tidak seperti tadi, sekarang dia sudah siap beraksi!

🌺🌺🌺

Pemandangan yang tersaji di depan mata benar-benar membuat Arsen ternganga. Dia tidak tahu bahwa pantai indah yang dimaksud Elan, ternyata sungguh seindah ini.

Air jernih dengan pasir putih yang begitu memanjakan mata. Langit jingga dan matahari yang begitu besar di ufuk barat, dapat dengan jelas ia lihat. Adanya deretan pohon kelapa yang ditanam di sepanjang pesisir menambah nilai estetika tempat itu.

"Dilihat dari muka kamu? Pasti ini semua di luar ekspektasi, 'kan?" celetuk Elan yang sudah berdiri di samping remaja itu.

"Iya, deh. Iya." Kali ini Arsen tak bisa mengelak.

Tanpa menunggu aba-aba, Arsen menjatuhkan ranselnya di samping Elan. Ia sendiri berlari ke arah air dan melompat-lompat seperti anak kecil. Mengabaikan teriakan sang ayah yang menyuruhnya untuk tidak berlaku sembrono.

"Jangan masuk ke air, bahu kamu masih ada jahitan yang belum sembuh, Arsen!"

Meski peringatannya diabaikan, Elan sama sekali tidak geram. Pria itu menyambar tas putranya, kemudian duduk di bawah pohon kelapa tak jauh dari tempat Arsen bermain.

Melihat tingkah Arsen yang seakan tak sadar dengan usianya, membuat Elan tertawa sendiri. Dia tidak pernah bahwa melihat anak gembira, ternyata bisa membuat dia merasa bahagia.

Mengingat perlakuan tak baiknya pada Arsen sejak pertama kali menikah dengan Tia, membuat Elan menyesal. Selama hampir satu tahun, ia sudah bersikap kasar pada Arsen. Padahal nyatanya, bocah itu tak bersalah. Hanya Elan dan sifat kekanakannya yang selalu mementingkan diri sendiri yang membuat bocah itu terluka.

Ide mengajak Arsen pergi ke pantai usai sekolah, muncul begitu saja. Ketika Elan mengutarakan niat itu kepada sang istri, Tia langsung menyetujui tanpa pikir panjang. Alhasil, Elan dibantu oleh Tia, menyiapkan beberapa helai baju untuk mereka berdua yang akan menginap semalam di sini.

Pria itu mengeluarkan ponsel dan mengambil beberapa foto Arsen yang sedang asyik memainkan pasir. Bocah itu banyak bergerak, sehingga hasil jepretan yang Elan ambil menjadi blur. Meski demikian, ia puas dengan hasilnya. Kemudian mengirimkan foto itu kepada sang istri melalui aplikasi pesan.

[Anakmu banyak gerak] tulisnya dengan melampirkan foto.

Tak lama setelahnya, notifikasi berisi pesan balasan dari Tia masuk.

[Dia emang nggak bisa diem, Pa. Dulu pas kecil, kalau sore banyak gerak kayak gitu. Pasti malamnya kecapekan terus ngigau. Aku sampai capek harus puk puk 😂😂😂]

Membaca balasan pesan dari istrinya, lagi-lagi membuat Elan tertawa. Dari kecil hingga sekarang, Arsen tak pernah kehabisan energi untuk terus bergerak. Ia salut dengan Tia yang begitu sabar mengurus putranya yang ajaib.

"Senyum-senyum sendiri. Mencurigakan," tegur sosok yang tiba-tiba sudah duduk di samping Elan.

Pria itu nyaris berteriak kaget, tetapi urung begitu tahu jika orang itu adalah Arsen.

"Kamu bikin kaget aja! Kenapa mainnya udahan? Capek?" protes Elan usai berhasil mengendalikan rasa terkejutnya.

Yang diajak bicara menghela napas lelah. "Iya, mana airnya dingin. Takut masuk angin. 'Kan besok sekolah," papar Arsen.

"Masih ingat sekolah ternyata," ledek Elan yang dibalas dengan pukulan keras di lengan oleh Arsen.

Elan menahan lengan Arsen ketika bocah itu bersiap bangkit. "Eh, mau ke mana?"

"Balik ke rumah, dong. 'Kan udah selesai main," sahut bocah itu ketus, dia kesal.

Bukannya mendapat izin, lengan Arsen justru ditarik hingga dirinya kembali duduk. Elan menahan kedua bahunya dengan rangkulan hingga membuat Arsen berpasrah diri.

"Justru ini bagian inti dari pantai yang saya mau tunjukkan ke kamu. Jangan main pergi aja." Elan menunjuk ke arah barat.

"Dua menit lagi matahari terbenam. Seperti yang Papa bilang di awal, sunset di sini nggak jauh beda dengan yang ada di film-film," imbuhnya.

Tak ada jawaban yang keluar dari mulut Arsen. Bocah itu hanya diam dan memperhatikan arah yang dimaksud ayahnya. Ia ingin membuktikan, sebagus apa melihat matahari terbenam dari tempat ini. Sampai-sampai Elan begitu percaya diri.

Seperti yang pria itu katakan, dua menit berlalu. Matahari perlahan kembali ke peraduan. Binar jingga kekuningan memenuhi langit. Netra Arsen berbinar seketika. Apa yang ia lihat sekarang ... benar-benar lebih indah dari yang ia bayangkan.

Mata bocah itu memanas, nyaris saja bulir bening meluncur bebas. Beruntung Arsen lebih dulu menghentikan aliran itu. Entah mengapa, ia merasakan getaran aneh yang membuatnya sedih.

"Kenapa?" Elan kaget ketika melihat Arsen tiba-tiba mengucek kedua matanya, bocah itu juga terlihat kesal.

"Aku ...." Remaja itu menggeleng. "Nggak papa, kok," lirihnya sedikit serak.

Elan tak tahu apa yang ada di pikiran anaknya saat ini. Dirinya juga tak berani untuk menanyakan. Pada akhirnya ia hanya berharap, tak ada sesuatu serius yang mengganggu pikiran Arsen.

🌺🌺🌺

Mulut remaja jangkung itu lagi-lagi dibuang ternganga dengan apa yang ia lihat sekarang. Maniknya menatap tak percaya dari Elan kemudian beralih dengan apa yang tersaji di hadapannya.

"Papa kesambet apa, sih, sampai ajak aku ke tempat bagus kayak gini dalam satu hari?" ungkapnya tak percaya.

Elan mengangkat bahu. "Cuma mau bikin seneng anak, masa nggak boleh?" sahutnya abai.

Meski beberapa waktu belakangan Elan baik kepadanya, Arsen tak menyangka jika pria itu sampai memberinya kejutan beruntun. Baru saja dia selesai bermain di pantai dengan pesona luar biasa, kini Elan membawa Arsen ke sebuah pasar malam ala pesisir.

Lampu warna-warni menghiasi pintu masuk tempat hiburan itu. Dari luar saja Arsen bisa melihat lalu-lalang pengunjung yang tak surut meski hari sudah larut. Ada banyak pedagang yang menjual berbagai jenis makanan dan juga mainan, serta tak sedikit juga wahana permainan yang belum pernah bocah itu lihat sebelumnya.

"Terus, kita ngapain di sini?" tanya si anak yang masih berdiri di dekat ayahnya.

"Ya, kamu mau ngapain, terserah kamu. Papa jadi ATM berjalan aja," sahut Elan enteng. Pria itu mengedarkan pandangan, mencari sesuatu yang sekiranya bisa menjadi oleh-oleh untuk istrinya.

Mata Arsen langsung berbinar begitu mendengar pernyataan yang papanya ungkapkan. Tentu bocah itu tak akan menyia-nyiakan kesempatan emas ini. Ia langsung berlari ke arah penjaja makanan tak jauh dari tempatnya berdiri. Melihat-lihat menu dan langsung memesan tanpa peduli tentang harga yang tertera.

"Pak, saya pesen dua corn dog, ya. Pakai mayonaise sama saus yang pedes!" pintanya penuh semangat.

Pesanan pertama belum selesai dimasak, Arsen bergeser ke kedai di sampingnya dan kembali menyebutkan pesanan yang lain. Membuat Elan tertawa dan geleng kepala melihat sisi kekanak-kanakan dari diri Arsen. Pria itu sama sekali tak keberatan tentang seberapa banyak uang yang akan ia keluarkan, sekarang ini tujuannya hanya satu, yaitu melihat putranya bahagia.

Dua puluh menit mampir dari kedai satu menuju kedai lain. Kini kedua tangan Elan penuh dengan kantong plastik berisi makanan, Sementara si pelaku kini berjalan di samping Elan, sedang melahap es krim sembari melihat-lihat permainan.

"Kamu yakin bisa makan ini semua? Ini sepertinya kebanyakan kalau hanya dimakan satu orang saja," celetuk Elan sembari memperlihatkan kantong yang ia bawa.

Masih santai menyantap es krim. Arsen menyahut enteng, "Ya tinggal dimakan sama Papa, dong. Aku beli banyak bukan berarti bakal aku habisin sendiri."

"Lagian, ini kalo pertama aku pergi ke tempat ginian, Pa. Maksudku sama orang tua. Soalnya ..." Wajah Arsen berubah murung, "semenjak papaku meninggal, Mama nggak pernah ajak aku pergi ke tempat kayak gini. Liburan juga jarang, karena dulu Mama sibuk ngurus butik kecilnya. Mama pasti capek, aku jadi nggak tega ngajak Mama main ke tempat hiburan begini."

Ah, bocah ini membuka luka lama yang ia selalu pendam. Elan enggan melihat wajah murung itu terlalu lama. Pria itu meraih lengan Arsen dan menyeretnya ke depan sebuah kedai kopi. Dia mengajak bocah itu untuk duduk di salah satu bangku.

"Udah, ini semua makanan dihabisin dulu. Jangan makan sambil berdiri. Papa juga mau ngopi dulu, deh. Jangan ke mana-mana," tukas Elan kemudian pergi memesan minuman yang ia inginkan.

Sementara itu, Arsen mulai melahap satu per satu makanan yang tadi ia beli. Memikirkan rasa sedih yang tiba-tiba muncul membuat Arsen kelaparan. Padahal dia sudah berjanji untuk tidak sedih tiap mengungkit soal ayah kandungnya lagi, tetapi rasanya sulit. Apalagi sosoknya begitu ia sayangi.

Manik bocah itu mencuri pandang ke sekeliling. Menurutnya tempat ini cukup ramai, padahal Arsen tidak tahu bahwa ada pantai seindah ini di ibu kota. Atau mungkin dia saja yang kurang berpengalaman? Entahlah, yang jelas ia merasa berterima kasih pada Elan. Karena dia sudah mengajaknya ke tempat ini.

Omong-omong soal Elan, pria itu tak kunjung kembali usai mengatakan akan membeli kopi. Jangan-jangan ayahnya terserat, pikir Arsen. Bocah itu mengedarkan pandangan, mencoba menemukan di mana papanya membeli kopi. Namun nihil, dia tak melihat punggung Elan di antara kerumunan orang-orang.

Arsen mulai gelisah, dia ingin mencari Elan saja. Berada di tempat asing sendirian membuat Arsen tak nyaman. Ia mengabaikan pesan sang ayah untuk menunggunya di tempat itu dan bangkit meninggalkan kedai. Karena panik, dia sampai melupakan fungsi ponsel yang ada di saku celananya.

"Eh, nggak waras itu orang. Itu kalau jatuh bisa beneran menghadap Rahmatullah," bisik salah seorang yang lewat di depan Arsen.

Bocah itu mengernyit, apa maksud orang barusan? Arsen melihat banyak orang berkerumun tak jauh dari tempatnya berdiri. Remaja itu berpikir, mungkin yang dibicarakan oleh dua orang tadi berasal dari situ. Akhirnya Arsen mendekat, siapa tahu ayahnya juga ada di antara mereka.

"Heh, Mbak. Turun! Bahaya di situ!" teriak seorang pria paruh baya.

"Turun, Neng. Astaghfirullah, cowok bisa dicari lagi. Tapi nyawa cuman satu, Neng." Ibu-ibu berkerudung merah ikut meneriaki.

Arsen tak bisa menyembunyikan rasa penasarannya, bocah itu masuk ke dalam kerumunan dan mengambil barisan terdepan. Hendak memastikan, alasan apa yang membuat orang-orang itu berteriak.

Di depannya, tepat di balkon lantai tiga sebuah apartemen dekat pasar malam. Seorang wanita berdiri di tepi balkon, tak ada ketakutan di wajah cantik itu. Justru ia bersiap melompat jika saja pria di belakangnya tak membujuk untuk berhenti.

Arsen tak bisa mendengar jelas, perdebatan apa yang tengah terjadi di atas sana. Hanya saja, sekarang jantungnya berdetak sangat kencang dan butiran keringat dingin mulai menghiasi dahi bocah itu. Melihat kejadian ini, mengingatkannya pada masa lalu.

Pemuda itu memutar tubuh, bersiap untuk meninggalkan lokasi sebelum kenangan itu mengikis kewarasannya. Baru saja kaki jenjangnya akan melangkah, terdengar bunyi berdebum dari belakang punggung remaja itu. Setelahnya pekikan terkejut dan ngeri silih berganti hinggap ke telinganya.

Begitu menengok, pemandangan yang sangat Arsen hindari justru tersaji tepat di depan matanya. Wanita yang tadi berdiri di balkon, kini tubuhnya terbaring di lantai bermandikan darahnya sendiri.

Lutut Arsen kehilangan kekuatannya, bocah itu duduk bersimpuh dengan napas memburu. Dia melihat orang meregang nyawa tepat di depan mata, tetapi tidak ada yang bisa ia lakukan. Air mata mengalir begitu saja tanpa bisa dibendung. Sial, hanya menangis yang bisa dia lakukan.

Kerumunan semakin banyak dan Arsen tetap berada di posisinya. Ia nyaris terinjak jika saja tak ada seseorang yang menarik lengannya untuk berdiri.

"Arsen! Kamu ke mana saja, sih? Papa 'kan suruh kamu tunggu di kedai itu. Belum ada dua puluh menit ditinggal, kamu udah pergi gitu aja!" berang Elan ketika berhasil menyeret anaknya keluar dari kerumunan.

Yang dimarahi tidak merespons, bocah itu malah berjongkok dan menutup rapat kedua mata dan telinganya. Hal itu membuat Elan seketika bingung. Pria itu ikut berjongkok dan berusaha mendengar, apa yang bocah itu katakan.

"Maaf ... maaf aku yang salah ... hiks-"

Ini bukan pertama kalinya Elan melihat Arsen seperti ini. Maka ia langsung paham dengan apa yang terjadi setelah mendengar bocah itu merancau. Peristiwa tadi pasti memicu trauma anaknya.

"Sstt ... it's okay. Kamu tenangkan diri kamu. Sekarang kita kembali ke penginapan, ya?"

Pria sipit itu merangkul bahu Arsen dan membantunya berdiri. Penginapan mereka hanya berjarak dua puluh lima meter dari tempat hiburan. Tak butuh waktu lama bagi ayah dan anak itu sampai ke rumah.

Tampaknya, liburan dadakan kali ini tidak berjalan sesuai rencana.

🌺🌺🌺

Begitu sampai di penginapan, Elan mengajak Arsen untuk duduk di ruang tamu. Pria awal empat puluhan itu mendekap tubuh Arsen dan menepuk punggung bocah itu dengan lembut. Sebenarnya dia tidak tahu, apa yang biasanya Tia lakukan ketika putranya seperti ini. Elan hanya melakukan sesuai insting.

"Aku takut, Pa. Hiks ... Gavin meninggal karena aku, Angga juga meninggal karena aku." Arsen terisak.

"Kenapa aku sepayah itu sampai-sampai nggak bisa selamatkan mereka? Padahal mereka percaya banget sama aku ...." rancaunya serak. Bocah itu menenggelamkan wajahnya di dada ayahnya dan menangis keras.

Elan tidak tega mendengar tangis pilu arsen. Namun, ia juga tak tahu harus berbuat apa selain memeluk dan menyalurkan kehangatan.

"Tenang ... tenang. Jangan menyalahkan diri sendiri atas apa yang terjadi. Hidup dan mati seseorang ada di tangan Tuhan." Elan menepuk pelan kepala Arsen.

"Semua sudah diatur, hanya jalan ceritanya saja yang berbeda. Jika orang itu meninggal karena kamu terlambat menyelamatkan, bukan berarti itu salah kamu. Bukan berarti kamu pembunuhnya, ini hanya soal alur yang Tuhan ciptakan."

"Jangan menyiksa diri dengan kesalahan yang tidak kamu perbuat, Nak," sambungnya mempererat pelukan.

Tangis Arsen semakin kencang begitu mendengar nasehat Elan. Pria itu benar, tapi melakukan tidak semudah melemparkan kata-kata. Selama empat tahun ini, Arsen sudah mencoba untuk melupakan dan memaafkan diri sendiri. Namun, nyatanya, dia hanya berpura-pura lupa untuk baik-baik saja.

Bagaimana dia bisa lupa, sedangkan dua sahabatnya menghembuskan napas terakhir di depan mata Arsen? Bahkan kematian Gavin dan Angga hanya berbeda dua bulan. Jika saja bukan demi mamanya, Arsen lebih memilih untuk ikut mengakhiri hidup saja.

Malam semakin larut, satu jam berlalu dan akhirnya Arsen benar-benar tenang. Setelah itu, Elan baru berani meninggalkan bocah itu sebentar untuk ke dapur membuat segelas susu. Hanya perlu lima menit untuk ia kembali.

"Ini diminum dulu." Elan meletakkan segelas susu ke meja di depan sang putra.

"Habis ini lebih baik kamu tidur, besok pagi-pagi sekali kita pulang. Terserah kamu, mau absen atau berangkat sekolah," pungkasnya kemudian duduk di samping Arsen.

Remaja jangkung itu tak banyak bicara. Dia menyambar susu yang Elan berikan dan menandaskan isinya. Pikirannya terlalu kalut, untuk sekadar berbicara pun bocah itu enggan.

Telapak tangan Elan menepuk pelan bahu putranya. "Seperti yang kemarin Papa bilang. Tolong jangan sembunyikan apa pun dari kami. Melihat kamu seperti ini, Papa dan Mama justru sangat tersiksa," tuturnya halus.

"Aku bukannya sembuyiin fakta-fakta yang aku tahu. Aku cuma-ssshh ...." Bocah itu memijit pelipisnya. Rasa pusing mendadak menyerang begitu hebat.

"Hei, kenapa? Kamu pusing?"

Elan yang sedari tadi memperhatikan Arsen, merasa panik ketika melihat raut kesakitan dari wajah anaknya. Sedangkan Arsen hanya menjawab pertanyaan sang ayah dengan anggukan lemah.

"Ya sudah, sekarang kamu istirahat aja di kamar. Ini pasti gara-gara kamu nangis lama tadi."

Pria itu tak menunggu jawaban dan langsung memapah Arsen menuju kamar. Dia sudah cukup kelabakan ketika melihat bocah itu menangis sesenggukan. Dan sekarang ia tak mau dibuat khawatir lagi jika Arsen jatuh sakit.

Maaf telat update, dan selamat membaca~

Tinggalkan jejak dan follow aku IM_Vha juga 😗

Bab baca duluan ada di KaryaKarsa yang link-nya ada di bio. Silakan yang sangat amat kepo bisa ke sana.

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top