21 ; Rescue
"Perlu sedikit pengorbanan untuk membuat seseorang mengerti."
♥Happy Reading ♥
.
.
.
.
Hujan deras yang mengguyur telah reda ketika malam tiba. Tanah di luar gua tempat kedua remaja berlindung itu menjadi lebih basah dan licin. Rencana untuk keluar dari hutan dibatalkan, dan memilih untuk berdiam di gua hingga esok tiba.
Cleon berkali-kali mengibaskan tangannya ke segala arah. Berharap jika dengan begitu, maka nyamuk-nyamuk yang ganas menggigit. Dia semakin kesal ketika sudah melihat hewan kecil itu menempel di lengan, tetapi ketika dipukul, ia terbang!
"Argh ... gue benci nyamuk! Kenapa harus ada acara hujan, sih?! Kalau nggak 'kan pasti udah keluar dari sini, terus tidur di kamar. Sial!" gerutunya tak terima dengan adanya hujan.
"Lo juga, kenapa diem aja? Masih takut sama hujan? Belum puas teriak-teriak kayak orang gila tadi? Teriak aja lagi, mumpung di hutan," imbuh Cleon menggebu. Dia semakin kesal karena Arsen sama sekali tidak berbicara usai histeris karena hujan.
Arsen memang menjadi lebih diam usai ketakutannya terhadap hujan mulai terkendali. Bocah itu hanya duduk menghadap api unggun dan menghangatkan tubuh. Tak ada niatan untuk membuka mulut sampai sebuah pisang terlempar ke kepalanya.
"Gue ngomong sama lo, Bocah. Bukan sama dinding gua. Ada yang ngajak ngobrol tuh dijawab, dong! Nggak bisu, 'kan?"
Lagi Cleon memancing yang bungkam untuk berbicara. Jauh di dalam lubuk hatinya, terbesit rasa khawatir pada sosok yang jelas-jelas dibenci. Cleon sendiri benci mengakui bahwa dirinya mulai terbiasa dengan mulut cerewet Arsen.
"Nggak apa-apa." Arsen menatap kobaran api di depannya. Dia tak berminat untuk sekedar membalas ucapan sarkas Cleon padanya.
"Kalo lemah, ya, lemah aja. Nggak usah sok kuat. Toh, gue nggak akan peduli," tukas Cleon enteng.
Deru angin yang berembus memasuki gua membawa udara dingin yang menusuk hingga tulang. Membuat sosok Arsen yang awalnya duduk tenang, kini mulai merapatkan jaketnya.
"Lo nggak kuat sama udara dingin? Dari kemarin gue perhatiin, kok panik gitu tiap suhunya turun dikit." Lagi Cleon bertanya karena tak bisa terjebak dalam rasa penasaran.
Tak disangka, pertanyaan itu mendapat anggukan kecil dari sosok yang lebih muda. Arsen pikir, akan lebih baik jika Cleon mengetahui soal alerginya daripada nanti ia akan menjadi beban.
"Gue alergi sama dingin, yang mana kalau sampai kena udara dingin ekstrem bisa kena syok anafilaksis."
Sebelum Cleon salah paham, Arsen buru-buru menggelengkan kepalanya dan membuat gestur tubuh yang menandakan bahwa ia baik-baik saja.
"Tapi sejauh ini gue oke, kok. Dingin di sini masih bisa gue tahan, nggak perlu khawatir. Itu pun kalau lo khawatir," lanjutnya memelan di akhir kalimat.
"Gue tanya bukan berarti khawatir, ya. Cuma kepo aja," sanggah Cleon tak terima ketika Arsen mengatakan bahwa ia peduli.
"Ini nih, tipikal cowok tsundere. Pasti kalo suka sama cewek, sok-sokan jutek. Aslinya mah cinta mati."
Untaian kata yang terlontar begitu saja dari bibir Arsen membuat Cleon terdiam seketika. Itu seperti sindirian keras untuk sikapnya, alhasil Cleon tak bisa membalas ejekan itu selain mengumpat dalam diam.
🌺🌺🌺
Langit sudah kembali cerah ketika Arsen membuka kedua matanya. Dia tidak tahu jam berapa sekarang karena arloji di pergelangan tangannya juga raib entah ke mana.
Arsen melihat api yang susah payah dipertahankan agar tetap menyala kini hanya menyisakan abu. Entah sudah berapa lama mereka tertidur hingga terik sinar matahari menembus gua menyadarkan bahwa hutan masih menjadi tempat tinggal.
"Cle—" Niat hati Arsen ingin membangunkan Cleon dari lelapnya, tetapi suara remaja itu tercekat.
Arsen lupa, kapan terakhir kali ia minum air. Sampai-sampai sekarang tenggorokannya terasa begitu kering. Untuk sekedar memanggil nama lengkap Cleon saja dia tak mampu.
Dengan sisa tenaga yang ada, bocah itu mengguncang bahu temannya. Mengakibatkan sosok yang bersandar nyaman di dinding gua perlahan mulai membuka mata.
"Apa, sih?!" ketus Cleon yang merasa tidurnya terganggu.
Pemuda itu lantas mengucek kedua matanya dan duduk tegap. Ia masih mengernyit, berusaha menyesuaikan cahaya yang tiba-tiba menusuk indra penglihatannya.
"A—ir ...."
"Hah? Lu ngomong apa barusan?" Cleon sudah sepenuhnya bangun. Dirinya agak terkejut ketika mendapati Arsen berjongkok di sampingnya. Wajah bocah itu sedikit ... pucat.
"Air." Arsen mengulang perkataannya, kali ini bisa terdengar jelas oleh Cleon.
"Oh, lo haus?"
Arsen mengangguk.
"Ya, sama. Gue juga. Dua hari loh, kita nggak minum air bersih. Kemarin cuman air hujan, nggak enak banget rasanya. Huwekk ...." tukas Cleon ketika ingatannya kembali ke saat di mana mereka menampung air hujan demi membasahi tenggorokan.
Jaket berwarna terang milik Cleon sudah tak bersih lagi. Lagi pula, dia tidak peduli lagi soal kebersihan bajunya. Yang terpenting sekarang adalah, bagaimana mereka bisa mendapatkan air bersih?
"Ya udah, ayo cari air. Kenapa diem aja?" Cleon sudah berdiri di pintu gua, tetapi ia melihat Arsen malah kembali duduk di tempat semula.
"Gue nggak bisa."
Cleon mengernyit. "Maksudnya?"
Arsen meraba bahu kanan lalu menunjukkan telapak tangannya pada Cleon. Warna merah membalut tangan remaja itu, seperti tinta yang tumpah di atas kanvas.
Mata Cleon membulat sempurna. "What the hell! Itu kenapa, anjir?!"
Tanpa berpikir panjang, Cleon mendekati Arsen kemudian melihat luka itu lebih dekat. Remaja itu semakin dibuat ternganga dengan apa yang ia lihat. Pasalnya, luka itu terlihat lebih parah dari dugaan.
Cleon juga meletakkan punggung tangannya ke dahi Arsen, seperti yang ia pikirkan. Suhu tubuh Arsen lebih tinggi, yang berarti bocah ini terserang demam. Pantas saja wajahnya terlihat pucat.
Otak bisa dibilang cerdas, tetapi tanpa peralatan yang memadai, Cleon tidak bisa berbuat apa-apa. Untuk sekedar menurunkan panas di tubuh Arsen saja, Cleon tidak tahu harus bagaimana.
Pemuda itu bangkit dan mondar-mandir beberapa kali. Berusaha memutar otak untuk menemukan cara yang tepat. Akan tetapi gagal, di saat seperti ini justru otaknya seakan berhenti bekerja.
"Lo masih bisa jalan, 'kan?" tukasnya kemudian.
Cleon merasa miris melihat keadaan Arsen saat ini. Namun, jika mereka tidak bergerak, maka kesempatan untuk menyelamatkan diri semakin kecil.
"Pelan-pelan aja, gue bantu papah," lanjut Cleon yang sedikit ragu dengan ucapannya sendiri.
Hal ini Cleon lakukan semata-mata bukan karena ia peduli. Akan tetapi, jika mereka tidak segera meninggalkan gua dan mencari jalan keluar, maka mereka akan semakin lama terjebak di hutan.
"Udah, nggak usah banyak mikir. Buruan berdiri, kita jalan sekarang."
Arsen mengangguk, yang bisa dia lakukan saat ini hanyalah patuh pada perintah yang lebih tua. Tenaganya nyaris habis tak tersisa, satu-satunya harapan adalah dengan keluar dari hutan. Dengan begitu, semua masalah terselesaikan.
🌺🌺🌺
Berjalan dengan membawa orang lain di tubuhnya ternyata tak semudah yang dibayangkan. Cleon harus bersusah-payah memapah Arsen melewati jalanan yang tak rata. Beruntung karena hutan itu sangat rimbun, mereka tidak tersiksa dengan panas sinar mentari yang bisa saja membakar kulit.
Sekitar seratus meter di depannya, Cleon melihat secercah harapan. Yaitu sebuah aliran kecil yang muncul dari himpitan batu. Belum yakin dengan apa yang ia lihat, tapi itu cukup untuk memompa semangat keduanya mendekati sumber air.
"Nah, beneran ada airnya, nih," seru Cleon dengan mata berbinar.
Perlahan Cleon melepaskan tangan Arsen dari bahunya. Pemuda itu berlari kecil menghampiri sumber air yang tadi dilihatnya. Mengambil sedikit cairan bening itu dengan kedua tangan yang ditangkupkan dan menciumnya. Ia tidak tahu apakah cara ini efektif atau tidak, yang jelas Cleon berharap air yang akan mereka minum ini tidaklah mengandung zat beracun.
"Heh, bocah! Gue belum bilang ini air beracun apa enggak. Kenapa lo udah main minum aja?!" Cleon berteriak setengah panik.
Pasalnya, Arsen sudah lebih dulu bertindak, meminum air dari aliran kecil itu dengan tangannya. Dia bahkan tidak mengindahkan peringatan yang Cleon berikan.
Cleon menarik lengan Arsen dan membuat bocah itu menunduk. "Muntahin nggak? Buruan sebelum racunnya menyebar!" tukasnya sembari memukul punggung Arsen panik.
Merasa kesal badan yang sudah sakit bertambah sakit karena pukulan Cleon, Arsen langsung terbatuk keras dan mendorong pemuda di sampingnya menjauh.
"Uhhhuuukkk ... uhhhuukkk ... gila! Gue bisa mati bukan karena minum air ini tapi karena lo pukul gue kayak orang kesetanan!" Arsen berujar penuh emosi. Ia pikir Cleon adalah orang cerdas, tapi nyatanya sama saja.
Yang disalahkan justru menggaruk tengkuknya dan tersenyum canggung. Cleon terlampau panik sampai-sampai dia menggunakan seluruh tenaganya untuk memukul punggung Arsen.
"Maaf ...." cicitnya menyesal.
Meski mendapat perlakuan yang berlebihan, Dalam hati, Arsen merasa bersyukur. Terjebak selama dua hari di dalam hutan benar-benar mengubah hubungan antara dirinya dan Cleon.
Seperti yang telah Arsen pikiran sebelumnya. Sosok Cleon yang terlihat begitu sulit diluluhkan, nyatanya memiliki rasa empati yang tinggi. Harapannya agar mereka bisa berteman semakin tinggi dan Arsen begitu menantikan momen di mana mereka bisa menjadi kawan sekelas yang akrab.
Tak jauh dari sungai kecil yang mereka temukan, ada sebatang pohon rindang. Arsen menyelesaikan urusan dahaganya kemudian mendekati pohon itu.
"Shhh ...." desisnya begitu duduk di bawah rindangnya pepohonan.
Meski sudah meminum air, tubuh Arsen sama sekali tidak mengalami perubahan. Tetap terasa sakit dan berat. Kepalanya mulai pusing dengan pandangan berkunang-kunang.
Perlahan remaja itu memijit pelipisnya, berharap jika pusing yang menyerang akan sirna. Namun, usaha itu tak membuahkan hasil. Arsen tetap diserang oleh rasa pusing dan tubuh yang seakan remuk.
"Nih, makan." Sebuah tangan terulur di depan wajah Arsen.
Itu Cleon, yang entah dari mana mendapatkan sekumpulan pisang matang di tangannya. Padahal Arsen melihat pemuda itu masih sibuk dengan air yang beracun atau tidak, tetapi sekarang sudah membawa makanan.
"Dapet dari mana pisang sebanyak ini?" tanya Arsen tak bisa mengabaikan rasa penasarannya.
Dengan santai Cleon mengupas kulit pisang dan melahapnya dengan semangat. Dia hanya menjawab pertanyaan Arsen dengan menunjuk ke arah sebuah pohon pisang yang sedang berbuah lebat.
"Kenapa diem aja? Dimakan, dong. Jarang-jarang gue bisa baik hati sama orang yang gue benci," ujar Cleon merasa tersinggung karena hasil kerja kerasnya tak dihargai.
Sebenarnya Arsen juga ingin menghargai pemberian Cleon. Akan tetapi, nafsu makan bocah itu hilang entah ke mana. Yang ingin dia lakukan sekarang hanya memejamkan mata dan tidur.
Semua hanya andai-andai Arsen saja, nyatanya dia tidak bisa membiarkan matanya terpejam barang sedetik pun. Sebab Arsen enggan merepotkan Cleon.
"Bengong lagi! Apa lu emang gini, sih? Suka ngelamun? Nggak baik buat konsentrasi kalau kebanyakan melamun!" Cleon menjatuhkan bokongnya di samping Arsen.
Mendapat teguran semacam itu membuat Arsen merasa canggung. Sebab, apa yang Cleon katakan memang benar adanya. Dia memang sering melamun ketika merasa dirinya tertekan. Terlebih sudah dua hari ia tak mengonsumsi obat yang bisa meredakan rasa gelisahnya. Itu cukup memberikan efek samping bagi Arsen.
"Oh ... nggak apa-apa, kok. Gue ... gue nggak nafsu makan. Pisangnya buat lo aja," balas Arsen sedikit tergagap.
"Terserah kalo gitu."
Malas berdebat, Cleon memutuskan untuk memakan makan siangnya dalam diam. Berjalan dengan memapah orang terluka ternyata cukup menyulitkannya. Belum lagi nanti mereka harus kembali berjalan dan mencari tempat bermalam jika saja hari ini tidak menemukan jalan keluar.
Sekilas Cleon mencuri pandang ke arah Arsen. Diam-diam ia merasa iba dengan kondisi bocah ini. Luka di bahu yang Arsen dapat pasti karena dulu bocah itu menyelamatkan Cleon dari dalam lubang. Hal ini juga membuat Cleon sedikit kesal, karena dia sekarang memiliki hutang budi pada bocah yang menyebalkan ini.
🌺🌺🌺
Kondisi jalan yang tidak mulus membuat sekumpulan pria berseragam oranye cukup kesulitan untuk menemukan letak dus remaja yang dua hari terakhir mereka cari.
Siapa lagi kalau bukan Arsen dan Cleon.
Usai mendapat kabar bahwa kedua remaja itu menghilang di malam sebelum acara kemah berakhir, pihak sekolah lantas meminta bantuan kepada tim penyelamat setempat.
Bahkan ayah Cleon sampai turun tangan dan memerintahkan beberapa bawahannya untuk menemukan keberadaan sang putra.
Dua hari sejak kegiatan pencarian berlangsung, sama sekali belum ditemukan tanda-tanda keberadaan dua remaja itu. Meski demikian, tim tidak menyerah begitu saja. Mereka terus berlanjut menelusuri isi hutan hingga sang surya perlahan condong ke arah barat.
"Pak, ini sudah mulai sore. Gimana kalau bapak kembali ke posko saja, biar tim kami yang melanjutkan pencarian," ujar salah satu pria berseragam kepada Elan yang tengah mengusap keringat di dahinya.
Sejak hari pertama pencarian dimulai, Elan memang selalu ikut turun tangan mencari keberadaan putranya. Batinnya tidak pernah tenang sedetik pun ketika membayangkan Arsen terlunta-lunta di hutan liar seperti ini.
"Iya, mukanya juga sudah kelihatan capek. Sebaiknya bapak kembali saja dulu, biar nanti saya yang antar. Kasihan nanti kalau jatuh sakit," timpal seorang anggota dengan logat Jawa yang kental.
Mendapat kebaikan demikian membuat Elan tak enak hati. Ia tersenyum dan membalas ucapan anggota tim penyelamat itu dengan halus.
"Nggak masalah, Pak. Saya masih kuat kalau cuma keliling lagi. Justru saya lebih khawatir sama keadaan anak saya, semakin lama dia ditemukan, saya semakin tidak bisa tenang. Istri di rumah juga terus-terusan tanyain kabar anaknya," tuturnya seraya menepuk ujung celana yang kotor.
"Ya sudah kalau Bapak ngeyel, yang penting tetap hati-hati. Soalnya kemarin habis hujan deras, medan jadi lebih licin," pungkas ketua tim yang sedari tadi mengamati percakapan.
Pencarian kembali dilakukan usai berbincang singkat. Seluruh anggota kembali fokus meneriaki nama dua remaja yang dicari dan tak lupa memeriksa kondisi sekitar.
Dari sore hingga malam tiba, kegiatan pencarian belum membuahkan hasil. Semua orang yang terjun ke lapangan seakan hanya memetik angin. Kondisi tanah yang terjal dan licin sangat menghambat proses pencarian. Ketua tim penyelamat memberikan kode kepada seluruh anggotanya untuk berhenti dan beristirahat.
Sembari beristirahat, anggota tim penyelamat mengadakan musyawarah singkat. Membahas tentang apakah pencarian hari ini sebaiknya dilanjutkan atau disudahi? Mengingat kondisi tanah yang bisa saja membahayakan keselamatan orang.
Di lain sisi, Elan semakin dirundung gelisah. Ketika pertama kali mendapat kabar tentang hilangnya Arsen dan satu temannya dari tempat berkemah, dirinya tengah mengunjungi cabang bengkel di luar kota. Begitu berita sampai ke telinganya, dia langsung tancap gas menuju lokasi tanpa singgah ke kediaman.
Dua hari menelisik isi hutan, ternyata benar-benar menguras habis kesabarannya. Ia sudah tak tahan lagi. Hari ini apapun yang terjadi, Elan harus menemukan Arsen dan kawannya.
"Om! Om! Tolongin saya, dong!" teriakan samar terdengar jelas di telinga Elan.
Pria itu berjarak sekitar dua puluh meter dari gerombolan tim penyelamat. Niatnya untuk mencari udara segar sekaligus menghisap sebatang rokok kini kandas ketika suara minta tolong terdengar tak jauh dari tempatnya berdiri.
Elan mengedarkan pandangan, mencoba mencari dari mana suara itu berasal. Tak lupa ia menyalakan lampu senter di genggamannya dan mengarahkan ke hutan lebih dalam.
"Woy, Om! Sini, di bawah. Om manusia, 'kan?Bukan hantu. Tolongin saya dong, ini temen saya sakit!" teriakan bocah yang berada tak jauh dari lokasi tim penyelamat mengundang perhatian orang sekitar.
Tim penyelamat berbondong-bondong mendatangi asal suara. Di mana bocah yang berteriak berada di sisi hutan yang tanahnya lebih rendah dari yang lain. Tak terkecuali Elan, pria itu lantas memasukkan kembali rokok serta pemantik ke dalam saku celananya dan bergegas menuju sumber suara.
Penampakan pertama yang tertangkap indra penglihatannya Elan sungguh membuat hati pria itu teriris. Di bawah sebuah pohon berukuran sedang, bersandar seorang bocah dengan wajah pucat pasi. Tidak perlu ditanya siapa dia, karena Elan yakin seratus persen bahwa itu adalah ....
"Arsen!"
Tanpa peduli dengan teriakan tim penyelamat yang menyuruhnya untuk berhati-hati, Elan bergegas mendekati sosok yang dua hari terakhir dicarinya.
Perasaan Elan semakin tak karuan ketika dirinya sampai di hadapan sang putra. Kondisi Arsen jauh dari kata baik, tetapi bocah itu justru menyunggingkan senyum ketika Elan tiba.
"Kirain aku bakal meninggal di sini tanpa bisa bilang selamat tinggal, ternyata Tuhan masih berbelas kasih," ujar remaja itu dengan suara serak.
"Jangan bicara omong kosong, sekarang kita langsung ke rumah sakit, ya? Kita obati luka kamu di sana." Elan bergidik ngeri ketika melihat darah memenuhi telapak tangannya saat ia memeriksa tubuh Arsen.
Hal itu hanya dibalas dengan senyuman oleh Arsen, luka itu sudah tercipta sejak pertama kali mereka tersesat. Entah sudah berapa banyak darah yang tumpah, Arsen tidak ingat. Yang jelas sekarang dia sudah mati rasa.
"Pa ...." lirihnya nyaris tak terdengar.
"Iya, ada apa?"
Elan masih sibuk membersihkan darah di bahu Arsen usai melepas jaket yang melekat di tubuh anaknya sementara menanti tim penyelamat selesai merakit tandu.
"Aku ngantuk. Tidur boleh, 'kan?"
Gerakan tangan Elan terhenti begitu mendengar kalimat itu terlontar dari mulut Arsen. Kenapa anak ini berbicara hal yang membuat hatinya kian bergemuruh?
"B–boleh ... asalkan nanti pas dibangunin, kamu bangun, oke?"
Arsen lagi-lagi tersenyum. Dia tidak sepenuhnya mendengar apa yang Elan ucapkan. Pandangannya mengabur sejalan dengan kesadaran yang menguap. Bocah itu tidak tahu apa yang terjadi pada tubuhnya, yang jelas dia merasa sakit yang tadi menyiksa kini hilang dan tubuhnya terasa ringan.
🌺🌺🌺
My poor Arsen :(
Btw, chap ini panjang banget kan? So, jangan lupa sedikit apresiasinya, tinggal vote, komen dan follow IM_Vha (◍•ᴗ•◍)
Mampir juga ke KaryaKarsa untuk bab baca duluan. Link ada di bio.
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top