2 ; Sedikit Goyah
❤️ Happy Reading ❤️
Suasana mencekam ketika pintu rumah terbuka. Memang biasanya seperti ini ketika mamanya pergi berkunjung ke salah satu cabang butiknya di luar kota. Tapi akhir-akhir ini menjadi lebih menyeramkan dari biasanya.
Jam dinding menunjukkan pukul setengah sepuluh malam, cukup awal untuk seorang Arsen kembali. Keadaan rumah sudah gelap, hanya menyisakan lampu teras dan satu lampu di dalam yang masih menyala. Itu berarti penghuni yang lain sudah tidur.
"Huft ...." Arsen menghela napas, sedikit merasa lega. Ia memiliki kunci cadangan sendiri jika pintu utama dikunci, jadi ia dapat memasuki rumah dua lantai itu dengan mudah.
Hari ini Selvi, sang kekasih, mengajaknya untuk makan malam sekaligus kencan dan Arsen tak mampu menolak. Memang akhir-akhir ini gadis itu terlalu sibuk dengan kegiatan OSIS, sehingga jarang memiliki waktu berdua bersamanya. Jadi untuk menyembuhkan rasa rindu sang kekasih, Arsen menuruti kemauan Selvi untuk kencan sepulang sekolah.
Sebenarnya mereka hanya mampir makan ke warung dan jalan-jalan keliling kota, tapi karena Selvi melihat ada pasar malam, akhirnya mereka tergiur untuk mengunjunginya. Hanya berkeliling dan membeli beberapa jajanan ternyata menyita waktu hingga selarut ini. Tidak masalah, karena begitu melihat senyum bahagia di wajah sang kekasih, Arsen rasa itu imbang. Sekarang ia hanya tinggal membersihkan diri dan berangkat tidur. Besok Daniel akan berangkat ke sekolah bersamanya, mengingat anak itu taat aturan, jadi Arsen harus bangun pagi agar tidak terlambat untuk sampai ke sekolah.
Ketika melewati ruang keluarga, Arsen mengernyit, televisi dan lampu masih dalam keadaan menyala. Tubuhnya menegang, itu berarti seseorang itu belum tidur. Tidak, ia tidak mau bertemu dengannya, terlebih sekarang hanya ada mereka berdua di dalam rumah itu. Dengan langkah hati-hati Arsen berusaha mencapai kamarnya. Namun, sosok yang sedang bersantai sembari menikmati secangkir kopi menyadari kedatangannya.
"Pulang terlambat lagi," gumam pria itu tanpa menoleh ke belakang. Ia sengaja mematikan beberapa lampu karena ia pikir itu adalah pemborosan.
Arsen tak berkutik, ia menghentikan langkahnya dan terpaku di tempat ia berdiri. Jika dengan mamanya, ia mungkin berani beralasan tapi dengan pria ini, Arsen rasa itu sia-sia.
Elan mematikan televisi dan bangkit dari tempat duduk, berjalan mendekati Arsen. Menatap putra tirinya dari atas sampai bawah sebelum akhirnya buka suara.
"Kamu nggak buta, 'kan? Masih bisa lihat sekarang sudah jam berapa?"
Kalimat tanya itu tertuju pada bocah di hadapannya yang kini menunduk khusyuk. Arsen memang terbilang tinggi, tapi jika di banding Elan, ia sepadan bahkan Elan masih lima sentimeter lebih tinggi dari bocah itu. Dan postur tubuh tentu lebih berisi Elan karena pria itu rajin berolahraga serta pemegang sabuk hitam taekwondo. Hal itu yang membuat Arsen tak berkutik jika berhadapan dengan papa tirinya.
"Arsen!" Bentakan itu membuat bocah di depannya tersentak.
"Bukan urusan, Om. Lagian pulang jam segini juga udah biasa buat saya. Mama juga nggak pernah larang. Dan lagi, saya tahu batasan saya, Om. Jangan ribet, deh." Bukan Arsen jika tak melakukan pembelaan, meski ia tahu resiko apa yang akan ia dapat, tapi anak itu tak mau hanya diam dan disalahkan.
"Kamu—"
"Terserah, tahu begini dulu pas Mama bilang mau nikah nggak akan aku restui. Orang kayak Om mana pantas buat Mamaku." Arsen memotong ucapan Elan sebelum pria itu selesai bicara.
Hal itu membuat pria tiga puluh sembilan tahun itu semakin geram. Ditariknya kerah seragam Arsen dan ia tekan lehernya dengan satu tangan, hingga membuat bocah itu sulit bernapas. Bahkan perlawanan yang Arsen berikan tak membuat Elan melepaskan cengkraman dengan mudah. Ia justru mendorong tubuh Arsen hingga punggungnya membentur tembok.
"Om ... le–lepas ...." Sekuat tenaga Arsen berusaha mendorong tubuh itu menjauh, tapi satu sentimeter pun Elan tak mundur dari posisinya berdiri.
"Kalimat itu bahkan lebih pantas diucapkan untuk kamu. Karena Tia-lah yang tidak pantas menjadi ibu dari anak nggak berguna seperti kamu. Apa kamu lupa dengan dosamu?"
Pelan, tenang, dan tegas. Kalimat yang Elan lontarkan membuat sekujur tubuh Arsen lemas. Bocah itu berhenti memberontak bahkan ketika cekikan di lehernya tak mengendur, ucapan Elan menusuk tepat ke ulu hatinya. Titik kelemahan Arsen berada di masa lalunya yang kelam, hanya segelintir orang yang tahu tentang seluk beluk masa itu. Dan Elan yang hadir di masa depan justru mengungkit semua.
Melihat orang di hadapannya tak memberi perlawanan, Elan melepaskan genggamannya dan tersenyum puas.
"Miris, wanita sebaik itu harus memiliki anak pendosa seperti kamu," tuturnya kemudian.
Arsen terbatuk hebat dan berusaha meraup oksigen sebanyak yang ia mampu. Wajahnya memucat dan setitik air mata jatuh di pipinya, dia memang sangat rapuh jika teringat dengan masa itu. Usianya memang belia, tapi siapa sangka bahwa ia sudah merasakan banyak luka yang bahkan itu bukanlah kesalahannya. Arsen, sebersih dan seputih apa pun hatinya, orang yang sudah tahu masa lalu Arsen akan melabelkan kata pendosa padanya.
"Kita sama-sama pendosa, apa salahnya kalau sekarang aku berusaha mengganti dosa itu dengan hal baik, biar Tuhan sudi berbelas kasih?"
Bocah itu memungut tas yg terjatuh di lantai dan dengan lunglai berjalan meninggalkan sisa-sisa ketegangan. Setiap berhadapan empat mata dengan Elan selalu saja terjadi pertengkaran. Dan hari ini pria itu bahkan mengungkit masa lalunya.
Arsen memijit pelipisnya, pening tiba-tiba menyerang. Ia melepas seragamnya dan melemparkan ke sembarang arah. Dipandanginya cermin dan bergidik ngeri, luka memar tercetak jelas melingkar di lehernya. Ya, itu bekas cengkraman tangan Elan tadi yang membuat Arsen nyaris tidak bernapas lagi jika saja pria itu terus menekan lehernya.
Setelah membersihkan diri dan mengenakan piama tidurnya, Arsen bersiap untuk tidur. Sebelum itu, tidak lupa ia memberi kabar kepada kekasihnya bahwa ia akan tidur cepat sekarang. Entahlah, selain ibu dan teman, Arsen juga sangat mencintai gadis berlesung pipi ini. Dengan kehadiran mereka, itu sudah cukup baginya. Kebahagiaan sederhana yang ia impikan sudah lengkap. Dan sekarang ia hanya berharap agar Elan bisa menjadi salah satu sumber kebahagiaannya juga, bukan kehancuran.
Memiliki ayah seperti itu, Arsen merasa miris. Dulu ia menyelamatkan Daniel dari kediktatoran sosok kepala keluarga, dan sekarang dirinya berada di posisi itu. Lantas siapa yang akan menyelamatkan dirinya?
🌺🌺🌺
Setelah Mattew lulus, Daniel masih tidak diijinkan untuk berangkat sekolah mengendarai motornya sendiri. Entah ia harus bersyukur atau kesal karena sejak peristiwa itu kedua orang tua dan sang kakak menjadi lebih protektif padanya. Sehingga Daniel hanya boleh berangkat diantar salah satu anggota keluarga atau bersama Arsen. Dan hari ini ia menumpang pada Arsen, tetapi hingga pukul setengah tujuh bocah itu tak kunjung menunjukkan batang hidungnya. Daniel menduga jika bocah jangkung itu bangun kesiangan.
"Masih belum datang?"
Mattew dengan celana pendek dan kaus oversize muncul di samping Daniel, lelaki itu baru saja bangun tidur dan mendapati adiknya masih duduk di ruang makan. Apa dia tidak akan terlambat pergi ke sekolah? Dan lagi, ke mana bocah tinggi itu?
Daniel menatap ponselnya dan menghembuskan napas dengan gelisah.
"Kak, antar gue, ya. Kayaknya Arsen bangun kesiangan, nih. Semalam dia habis kencan sama pacarnya, pasti kecapekan. Antar gue, ya?" tuturnya kemudian. Dia tidak mau berurusan dengan satpam sekolah jika terlambat, itu menyebalkan.
Mattew menatap jam dinding dan mengangguk. "Oke, tunggu sebentar. Gue ganti baju dulu sama ambil kunci mobil, lima menit."
Sembari menanti Mattew selesai bersiap, Daniel memutuskan untuk keluar rumah. Betapa terkejutnya ia ketika tahu Arsen sudah berbincang dengan Pak Anto, anehnya bocah itu tidak membawa motor.
"Eh, Niel," sapanya ketika tahu Danial muncul dari balik pintu. Bocah itu berlari kecil mendekati kawannya.
"Ah, gue mau telpon lo tapi kelupaan gara-gara ngobrol sama Pak Anto, hehe."
"Motor lo mana?" Karena waktu semakin siang, Daniel menjadi lebih sensitif, dia tidak mau terlambat tapi Arsen malah bergurau.
Melihat sahabatnya tidak mau bercanda, Arsen tertawa canggung. Bocah itu mengutarakan maaf dan mengatakan alasan mengapa ia tidak membawa motor. Apalagi kalau bukan karena Elan berhasil menyita kunci motor bocah itu karena perdebatan semalam.
"Jadi gue boleh numpang? Hehe," pintanya dengan wajah memelas.
Mendengar alasan yang Arsen berikan, Daniel dengan cepat paham. Memang benar, semenjak ibu Arsen menikah lagi, Daniel merasa jika kawannya ini sedikit sulit bergerak. Entahlah, Daniel tidak terlalu mengerti bagaimana pribadi ayah tiri Arsen. Hanya saja ia berspekulasi mungkin pria itu seperti papanya dulu, sedikit diktaktor. Oh, Daniel harap itu hanya perkiraannya saja karena sampai sekarang Arsen juga masih bersikap biasa saja, tidak pernah mengeluh tentang keluarga barunya.
"Kalau memang nggak bisa berangkat bareng, kasih kabar. Lu jangan bikin adek gue telat datang ke sekolah," celetuk Mattew dari balik pintu mobil. Pria itu sudah terlihat lebih segar dari sebelumnya.
Melihat kedatangan Mattew, Arsen menjadi semakin canggung. Ia hanya cekikikan sembari menggaruk tengkuknya yang tidak gatal.
"Yuk, buruan masuk. Kalau ngobrol terus, udah pasti kalian telat." Lagi, Mattew berucap pada dua bocah yang saling melempar tatapan.
Dua siswa SMA itu mengambil duduk di kursi belakang, dan hal itu membuat Mattew mendengkus geram. Apa mereka anggap dirinya sopir? Begitu melihat waktu yang semakin mendesak, ia hanya diam tak jadi melayangkan protes. Tujuannya sekarang adalah segera mengantar mereka sampai sekolah dan dia bisa kembali berkencan dengan kasurnya. Hari ini dosen tidak masuk, hanya memberi tugas saja, jadi Mattew bisa memakai sisa waktunya untuk bersantai.
Daniel memakai headset lantas mendengarkan musik melalui ponselnya. Ya, ia harus memperbaiki suasana hatinya sebelum tiba di sekolah. Sementara itu, Arsen yang bosan hanya memandang ke luar jendela mobil tanpa berucap sepatah kata pun, ia juga masih marah karena hari ini Elan menyita motornya.
Keheningan yang tercipta membuat Mattew tak nyaman, biasanya jika Arsen menumpang, suasana dalam mobil pasti ramai. Bocah itu sangat berisik, suka sekali berkomentar tentang apa saja yang dia lihat di jalan. Namun, mengapa sekarang diam? Huh, Mattew jadi tidak percaya jika yang menumpang padanya ini adalah teman dekat Daniel.
"Arsen tumben diam, sakit gigi?" tanyanya sembari melihat ke spion dalam mobil. Anak itu hanya duduk sembari melihat ke luar jendela, seperti tidak bersemangat.
Daniel yang hanya menggunakan sebelah headset, mendengar kalimat yang kakaknya ucapkan lantas menoleh ke samping. Memang benar, temannya ini menjadi sedikit kalem. Uh, itu aneh.
Yang menjadi pusat perhatian hanya menggeleng pelan. "Nggak mood ngomong aja," sahutnya.
Sejauh Daniel mengenal Arsen, dia adalah bocah yang ekspresif. Dia dapat dengan mudah mengekspresikan perasaannya tanpa bisa menutupi. Dan jika sekarang dia diam dengan wajah tak baik, bahkan tanpa berpikir keras pun orang bisa tahu jika anak ini sedang memikirkan sesuatu.
Sebelum Daniel berujar, Mattew sudah lebih dulu angkat bicara. "Begini, ya, adik-adikku, jangan mentang-mentang image lu setiap harinya terlihat kuat dan garang, itu artinya lu bisa selesaikan semua masalah sendiri. Terkadang batu yang terlihat nggak seberapa besar pun harus diangkat beberapa orang karena beratnya. Sama halnya dengan manusia, masalah yang terlihat kecil belum tentu bisa dia selesaikan sendiri. Paham?"
"Gue yakin, orang kayak lo pasti punya lebih dari satu teman yang bisa lo percaya buat cerita. Salah satu dari mereka pasti mau jadi tempat berbagi lo. Gengsi karena lu cowok? Halah basi. Kita juga manusia yang punya hati, bisa merasakan sakit juga, dan bukan hal memalukan kalau nangis. Kita ambil contoh Daniel, lo juga tahu 'kan gimana dia berjuang sampai sekarang? Bahkan semua nggak lepas dari campur tangan lo. Jadi ambil pelajaran dari kebaikan yang udah lo lakukan," lanjut Mattew tanpa menoleh.
Sejak peristiwa itu, Daniel akui bahwa Mattew telah banyak berubah dan makin dewasa. Tingkat kepekaan terhadap emosi seseorang meningkat, bahkan Daniel yang pandai menyembunyikan emosi pun kini tak bisa berkutik di hadapan Mattew. Anak itu sekarang lebih suka terbuka jika berkomunikasi dengan kakaknya, toh sedikit perubahan pada ekspresi atau emosi dapat Mattew lihat. Dan melihat ucapannya yang ia tujukan pada Arsen, apa temannya benar-benar sedang tidak baik?
"Arsen," panggilnya pada sosok yang kini termenung.
Melihat raut khawatir di wajah Daniel, mau tak mau Arsen terkekeh.
"Gue nggak apa-apa, sumpah. Emang ada yang lagi gue pikirin, tapi nggak seberat itu, kok. Gue rasa ini masih bisa ditangani tanpa bantuan. Makasih, Kak, buat sarannya. Gue paham maksud lo. Memang bakal ada waktu di mana gue butuh bantuan kalian, tapi nggak sekarang." Dengan helaan napas, Arsen mengutarakan pendapatnya. Memang benar, untuk saat ini ia belum butuh uluran tangan, itu artinya suatu saat memang ia akan membutuhkan uluran tangan itu.
Mendengar jawaban Arsen, Mattew sudah paham maksud anak itu, jadi dia tidak mau bertanya lebih jauh lagi. Mobil yang dikendarainya juga sudah sampai di depan gerbang SMA, mereka berdua harus bergegas jika tidak ingin terlambat.
"Niel, nanti kalau pulang telpon gue. Untuk hari ini jangan pulang larut dulu, Mama tadi bilang kalau Omma mau ke rumah. Jadi kita siap-siap buat sambut kedatangannya," tutur Mattew ketika sang adik turun dari mobil.
Daniel menjawab, "Iya, lagi nggak ada tugas mendesak juga, kok."
Itu adalah kali pertama Mattew bisa berbicara santai dan penuh hati-hati pada Arsen. Pria sipit itu biasanya akan berlagak garang jika ada Arsen, entah kenapa, sangat seru ketika melihat bocah nakal itu jadi seperti kucing yang dimarahi.
Cukup terkejut karena baru kali ini Arsen melihat sisi lembut Mattew. Dan diam-diam merasa iri pada Daniel karena memiliki seorang kakak yang sangat peduli pada adiknya. Semoga saja ia memiliki seorang adik yang bisa ia jaga, seperti bagaimana Mattew menjaga Daniel. Ah, membayangkan saja sudah membuat Arsen memekik gemas.
Selamat membaca~~~
Tapi jangan lupa follow IM_Vha Tambahkan juga cerita ini ke reading list biar orang lain bisa mampir juga 😘
Salam
Vha
(10-07-2022)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top