16 ; Berangkat

Pagi hari yang cerah, begitu juga dengan senyum Arsen yang begitu semringah. Sejak mentari belum menyinari bumi, bocah itu sudah selesai dengan semua persiapan. Hanya tinggal berangkat saja.

Rencananya, Arsen ingin berangkat ke sekolah menggunakan motornya sendiri. Dengan ransel besar di punggung, dia yakin bisa mengatasinya dan selamat sampai tujuan. Akan tetapi, dari semalam Elan bersikeras untuk mengantar. Hubungan mereka sedang di fase baik, oleh karena itu, Arsen tidak ingin menolaknya dan membuat semua menjadi runyam.

"Gimana semuanya, Sayang? Ada yang kurang nggak? Jangan sampai nanti pas sampai ke lokasi malah ada barang penting yang ketinggalan." Tia muncul dari balik pintu. Masih dengan apron menempel di tubuhnya, wanita itu memastikan persiapan berkemah sang putra.

Mengabaikan ujaran Tia, Arsen mengenakan sneakers kesayangannya. Meski tangan fokus mengikatkan tali, tapi pikirannya jauh berkelana. Bagaimana dia bisa menangani Cleon untuk kali ini? Karena bocah itu turut serta dalam kegiatan kemah, sudah dipastikan dia memiliki rencana buruk lain yang mungkin saja bisa mencelakai Arsen.

"Tuh 'kan, kamu ngelamun lagi. Arsen denger Mama ngomong nggak, sih?" Tia menegur sedikit keras karena merasa diabaikan.

"Eh ... eum. Iya, Ma. Maaf." Bocah itu berdiri spontan dan raut bingung tercetak jelas di wajahnya.

"Kenapa, Ma? Ada apa?" Arsen bertanya ulang, dia sedikit lengah karena terlena dalam pikirannya sampai-sampai tak tahu apa yang sudah ibunya katakan, padahal dia mendengar suaranya.

Tia membenarkan letak topi yang putranya gunakan dan menatap heran putranya untuk beberapa saat.

"Mama pesan satu hal, ya, Nak. Rutin minum obat kamu dan jangan kebanyakan melamun, usahakan sama temen terus, ya? Kalau ada apa-apa, langsung hubungi Mama atau Papa. Oke?"

Mendapat perhatian seperti ini membuat remaja yang menginjak usia delapan belas tahun itu tersentuh. Dengan lembut ia mencium punggung tangan ibunya dan tersenyum lebar. Berusaha menunjukkan bahwa dia akan baik-baik saja.

"Aku udah gede, Ma. Jangan terlalu khawatir, aku bisa jaga diri." Bohong, sebenarnya dia sedikit tidak tenang jika mengingat eksistensi Cleon.

"Ya udah kalau gitu. Ayo turun, kita sarapan dan kamu boleh berangkat. Papa udah selesai panasin mobil, tuh."

Tidak perlu diperintah dua kali, Arsen menggendong ranselnya dan berjalan menuruti tangga. Aroma masakan yang lezat langsung menerobos indra penciumannya begitu Arsen tiba di meja makan.

Dilihatnya Elan sudah duduk penuh wibawa dengan sebuah koran di tangannya. Ayah tirinya ini seperti orang kuno. Ketika zaman sudah modern, dia masih menggunakan koran untuk membaca berita daripada mengikuti info di internet.

"Pagi," sapa Arsen sedikit malas. Dia sudah berjanji pada diri sendiri untuk akur dengan Elan. Jadi, dia harus menepatinya.

Elan melirik ke arah Arsen sejenak sebelum akhirnya kembali fokus pada koran yang ia baca. "Pagi. Ayo, cepat dimakan sarapannya dan kita berangkat. Papa juga harus ke bengkel dekat sekolahmu," tukasnya tanpa menoleh.

"Iya, iya. Ini juga mau makan," sungut bocah itu sedikit masam.

Dari kejauhan, Tia tak henti-hentinya mengembangkan senyum. Satu tahun lebih menikah, akhirnya pemandangan indah yang selama ini ia dambakan kini tersaji tepat di depan mata.

Wanita itu melepas celemek di tubuhnya dan beranjak mendekati ayah dan anak yang kini sedang khusyuk menyantap sarapannya. Tia mencium puncak kepala Arsen sebelum duduk di samping suaminya.

Seperti biasa, ketika makan, maka tak akan ada satu orang pun mengeluarkan suara selain denting halus antara sendok dan piring yang beradu. Entah perasaan aneh apa yang Arsen rasakan saat ini. Yang jelas, dia ingin terus tersenyum ketika menyadari bahwa dirinya dan Elan semakin dekat. Seperti keluarga yang sempurna, Arsen memiliki ayah serta ibu yang benar-benar menyayanginya tanpa memandang kurang dan lebih.

🌺🌺🌺

Masih begitu pagi, tetapi jalanan sudah padat. Beruntung karena Elan memaksa agar mereka berangkat lebih awal, jika tidak, mungkin Arsen akan terlambat sampai ke titik kumpul yaitu sekolah.

"Kamu nggak masalah, jauh dari Mama beberapa hari?" Elan bertanya untuk mengusir keheningan.

Mendapat pertanyaan semacam itu justru membuat Arsen cemberut. Apa dia terlihat seperti bocah lima tahun yang akan menangis jika tak bertemu ibunya barang dua sampai tiga hari?

"Cuma tiga hari, bukan masalah besar, kok. Aku bukan bocah, Om. Eh ... Pa," sahut Arsen sedikit terkejut karena masih memanggil Elan dengan sapaan yang salah.

Elan terkekeh, dibanding hubungan yang lalu, sekarang ia lebih sabar dalam menghadapi sikap Arsen. Pria itu membuka kaca mobil dan menyalakan rokok. Kemacetan seperti ini bisa sampai lima belas menit lebih, cukup untuk menghabiskan satu batang rokok.

Tunggu ... Arsen mengernyit heran. Melihat ayahnya menyalakan api dan menghisap batang nikotin dengan santai. Apa artinya Elan itu perokok? Hei, Arsen baru tahu kenyataan ini!

"Papa ngerokok?" tanya bocah itu tak bisa menahan rasa ingin tahunya.

Selama ini Elan selalu murka tiap mendapati Arsen merokok, kemudian sekarang pria itu juga merokok. Apa maksudnya? Jelas Arsen tidak terima.

"Oh, ini. Cuma sekali-kali saja, nggak sering. Seminggu sekali atau dua kali sudah cukup." Elan tersenyum tipis, seakan tahu isi pikiran putranya.

"Jangan harap Papa kasih izin kamu untuk merokok hanya karena Papa melakukannya. Kamu dan Pap beda. Remaja seperti kamu, sekalinya sudah menghisap barang ini, maka tidak ingat batasan. Di samping itu, Papa nggak mau paru-paru kamu rusak di usia semuda ini."

"Singkatnya, kalau kamu ingin cita-citamu tercapai tanpa hambatan, maka berhenti merokok," lanjut Elan kemudian mematikan puntung rokoknya ke sebuah asbak yang entah kenapa tidak pernah Arsen lihat keberadaannya.

Perhatian, lagi-lagi Elan memperhatikannya. Itu menyenangkan, Arsen tak bisa memberi respons apa pun selain tersenyum senang. Jika tidak malu, mungkin dia sudah menangis bahagia di depan ayahnya.

Ada kehangatan yang menjalar setiap kali pria itu mengungkapkan perhatiannya. Seperti De Javu, Arsen merasa sosok ayahnya yang pergi kini kembali. Walau dengan tubuh dan wajah yang lain, Arsen tetap bersyukur. Pada akhirnya dia bisa kembali merasakan kasih sayang seorang ayah.

"Kalau ada apa-apa selama camping, hubungi saya atau Mama. Mau bagaimana pun kalian tidur di alam terbuka, akan ada banyak kemungkinan terjadi."

Begitu Arsen turun dari mobil, Elan lantas memberinya wejangan. Dia tahu, meski Arsen ini keras kepala dan sulit diatur. Pada dasarnya bocah itu hanya remaja belasan tahun yang harus diperhatikan. Apalagi akhir-akhir ini mentalnya tak stabil, itu membuat keduanya —Elan dan Tia— merasa was-was.

"Tenang aja, semua terkendali. Papa fokus aja urusin, tuh, bengkel, biar bisa menafkahi aku dan adikku nantinya," sahut Arsen.

Ucapan yang meluncur spontan dari mulut Arsen sukses membuat Elan tertawa lepas. Ia terbahak hingga mengeluarkan air mata.

"Jadi kamu udah pengin punya adik? Siap, deh, malam ini Papa musyawarah sama Mama," celetuknya yang membuat Arsen langsung memerah.

"Nggak usah kasih tau juga lah, Pa!" Bocah itu berjalan menjauh.

"Aku pergi dulu, besok kalau udah balik aku kabarin. See you." Arsen melambaikan tangan kepada Elan, mengabaikan panggilan yang lebih tua tentang topinya tertinggal di kursi.

Elan pasrah begitu panggilannya diabaikan. Pembicaraan tadi mungkin membuat anak itu salah tingkah dan malu. Sebab diusianya yang nyaris delapan belas, bocah itu benar-benar akan memiliki seorang adik!

🌺🌺🌺

"Daniel nggak jadi ikut?"

"Iya, barusan abangnya dateng. Katanya sih dia demam pagi tadi, sama bokap dilarang. Masa lo nggak dikasih kabar, sih? Di antara kita 'kan lo yang paling deket sama dia." Sony berujar sembari memasukkan ranselnya ke dalam bagasi bus.

Mendengar ulasan dari Sony, Arsen buru-buru mencari letak ponselnya dan membuka aplikasi chatting. Di situ sudah terdapat beberapa panggilan masuk serta pesan dari Mattew tentang Daniel.

Sial, Arsen terlalu sibuk dengan ayahnya sampai lupa memeriksa ponsel. Dibacanya pesan dari atas hingga bawah yang berisi kabar tentang sakitnya Daniel dan sebagian besar adalah umpatan Mattew karena Arsen tak kunjung membuka pesan.

"Kenapa, kok, nyengir sendiri?" tanya Brian yang merasa aneh melihat Arsen terkikik begitu berhadapan dengan ponsel.

"Gue dapet surat kutukan dari Kak Mattew," sahutnya memaksakan senyum.

Arsen bersumpah, jika Mattew tak lebih tua darinya dan bukan kakak dari sahabatnya. Dia ingin sekali saja menjatuhkan pukulan ke pipi lelaki sipit itu.

"Ayo-ayo, merapat. Kita presensi dulu habis itu baru masuk bus, terserah mau duduk sama siapa. Asal nggak beda kelamin. Pacaran dilarang!" seru salah satu panitia melalui toa di genggam.

Tak perlu menunggu diperintah dua kali, semua orang yang semula tersebar ke beberapa titip lantas berkerumun menjadi satu. Membentuk sebuah barisan rapi dan teratur.

Sesi presensi dan memeriksa kelengkapan kemah berjalan singkat karena semua peserta dapat diatur dengan baik. Tibalah saatnya untuk memasuki bus, keadaan kembali riuh ketika beberapa orang berebut kursi.

"Gue duduk sama siapa, anjir? Daniel nggak masuk!" Arsen berujar penuh emosi.

Tentu saja dia kesal karena awalnya semua sudah direncanakan. Dia akan satu bangku dengan Daniel di bus dan satu tenda dengan ketiga kawannya. Namun, semua hancur karena isi tenda tentukan oleh panitia dan teman duduknya tidak hadir.

Arsen terhuyung ke belakang ketika lengannya ditarik secara tidak manusiawi oleh sesuatu yang sayangnya adalah manusia.

"Apaan, sih, tarik-tarik?!" geramnya saat nyaris tersungkur jika saja tidak kuat menahan beban tubuh.

"Nggak usah bacot, sana duduk sama Cleon. Cuma kursi dia aja yang masih kosong. Kalau lo kebanyakan omong, mending duduk samping pak sopir aja," tukas Sofyan, teman sekelas Arsen yang kebetulan duduk di belakang bocah itu. Sofyan merasa risih ketika Arsen terus-menerus mengeluh soal tempat duduk.

Mendengar nama Cleon disebut, Arsen lantas mengedarkan pandangan. Sosok itu mengumpat dalam hati, mengapa lagi-lagi harus berjumpa dengan orang yang paling ia hindari?

"Ayo, ayo. Cepat duduk! Bentar lagi bus berangkat, jangan ada yang berdiri. Ini bukan angkutan umum," seru salah satu senior dari kursi depan.

Dengan berat hati, Arsen melangkahkan kakinya mendekati tempat di mana Cleon duduk. Di tempatnya, Cleon sudah menyunggingkan senyum penuh arti yang tak bisa Arsen pahami. Sungguh, hal ini benar-benar membuat Arsen tak tenang.

"Just relax, kali ini gue cuma mau menikmati liburan. Lo kenapa, sih? Duduk doang, kok, udah kena mental, 'kan gue jadi seneng," celetuk Cleon tanpa beban.

Bocah itu menyandarkan kepalanya ke belakang dan lagi-lagi tersenyum senang. Tanpa ia sadari, sebenarnya mental orang yang barusan ia rendahkan sudah lebih dari hancur. Arsen baru akan mengumpulkan puing-puingnya, namun Cleon lebih dulu datang untuk meluluhlantakkan tanpa sisa.

🌺🌺🌺

Baca bab selanjutnya lebih dulu di KaryaKarsa, ya.

Dan mau promosi kalo aku ada cerita baru, jangan sungkan mampir yaww

Enjoy dan see you next part~

Salam

Vha

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top