14 ; Unstopable Revenge
❤️ Happy Reading ❤️
Suasana begitu mencekam ketika Cleon menginjakkan kaki ke dalam rumah megah itu. Ini adalah kali pertama dia kembali ke rumah dalam kurun waktu tiga bulan terakhir. Sebelumnya pemuda itu lebih memilih untuk menghabiskan waktunya di apartemen dekat sekolah. Kepulangan kali ini juga karena paksaan dan ancaman dari sang ayah yang akan mencabut semua fasilitas yang dia gunakan. Jika tidak seperti itu, mana mungkin Cleon mau repot-repot kembali ke tempat suram ini.
Seperti sudah dinanti, ayah dan ibu Cleon sudah duduk manis di sofa empuk berlapis beludru. Melihatnya saja bocah itu mendadak pusing. Setelah ini ia harus mempersiapkan telinga untuk mendengar amarah keduanya.
"Apa kamu masih ingin terus bermain?" Tanpa menanyakan kabar maupun menyuruh duduk, pria berwajah garang itu langsung melontarkan pertanyaan pada Cleon.
Pemuda yang masih berseragam sekolah itu hanya bungkam, tak ada niat untuk menyahut selain anggukan kecil. Jika Arsen belum hancur, maka Cleon tidak akan pernah berhenti.
Jonathan, nama pria itu, memijit pelipisnya dan mendesah kesal. Dia tak tahu lagi, apa yang harus dilakukan untuk menghentikan tingkah bodoh putranya ini.
"Papi minta kamu berhenti secepatnya. Hal-hal dan pengeluaran yang habis ini hanya sia-sia, Cleon. Daripada bermain-main menjadi anak SMA, lebih baik kamu bantu kakakmu mengurus bisnis kita. Papi kasih kebebasan untuk memilih, kamu mau urus kasino apa perusahaan. Terserah kamu, asal kamu berhenti bermain," tukas pria itu berusaha sabar. Di sampingnya, sang istri masih setia dalam diam, tetapi tatapan tajam terarah pada putranya.
"Harus berapa kali Cleon bilang, sih, Pi? Aku nggak akan berhenti sebelum orang yang bikin Gavin mati itu hancur. Aku nggak akan berhenti!" Cleon melipat kedua tangannya ke depan dada. Pembahasan ini selalu diulang ketika mereka bertemu, itu menyebalkan.
Jonathan murka. "Gavin, Gavin, Gavin lagi! Sudah berapa kali Papi bilang, dia sudah mati. Jangan pernah ungkit soal dia. Semua sudah jelas, adikmu mati karena kecelakaan, bukan dibunuh. Apa kamu sangat bodoh sampai tidak bisa membedakan fakta itu?!"
Semua orang di rumah ini tahu bahwa kematian Gavin memang murni kecelakaan, entah itu hasil dari penelitian polisi atau orang khusus yang dikirim oleh Jonathan untuk memeriksa ulang. Namun demikian, Cleon tetap menolak fakta itu dan tetap menyalahkan orang yang berada di lokasi bersama Gavin.
"Kalian yang bodoh, nggak becus urus anak. Hanya peduli soal reputasi dan terus mengisi pundi-pundi. Lebih takut hujatan publik daripada isi hati anak. Kalau Papi sama Mami nggak egois, Gavin mungkin masih ada di antara kita!"
Bersamaan dengan selesainya kalimat itu, sebuah gelas melayang bebas dan mendarat tepat di dahi Cleon. Aroma alkohol dan amis darah bercampur, menyerang indra penciuman pemuda itu. Rasa perih dan pening juga langsung menyerang, tapi Cleon tidak peduli. Dia sudah terlampau marah.
Keheningan terjadi beberapa saat setelah peristiwa pelemparan gelas itu terjadi. Jonathan sebagai pelaku sendiri cukup terkejut dengan tindakannya. Sementara Martha, sang istrinya, memekik tertahan melihat putranya terluka. Wanita itu bergegas mendekati Cleon, berniat untuk melihat kondisi putranya. Namun ketika sampai di dekatnya, Cleon menepis mentah-mentah tangan Martha.
"Cleon ...." lirih Martha tertahan.
"Iya, bunuh aja aku sekalian, Pi! Daripada nanti jadi anak yang malu-maluin. Toh, masih ada Allen 'kan? Dia mampu kok ngurus semua bisnis kalian."
Dengan tangan terkepal dan dada bergemuruh, Cleon memilih untuk hengkang dari hadapan kedua orang tuanya. Mengabaikan Jonathan yang terus-menerus mengutuknya karena tidak sopan pada yang lebih tua.
Tak berselang lama, datanglah Allen dengan wajah paniknya.
"Ada apa, Mi? Dari luar tadi ribut banget," tanyanya pada Martha yang masih mematung di tempat tadi Cleon berdiri.
Kendati demikian, dengan melihat pecahan gelas yang berhamburan di lantai serta noda darah yang ada. Allen dapat dengan mudah menyimpulkan bahwa baru saja terjadi peperangan di sini. Ditambah lagi dengan ekspresi tak bersahabat dari Jonathan, membuat Allen bergegas menuju kamar adiknya.
Setiap berdebat, kekerasan seperti ini selalu menjadi akhir. Adiknya memang sangat keras kepala. Jika sesuatu sudah dianggap benar, maka pendapat semua orang akan dicap salah. Walaupun terbilang cerdas, Cleon masih berada di usia labil. Ditambah dengan keluarga seperti ini, pasti membuatnya sulit menemukan jati diri.
"Cle, ini kakak. Gue masuk, ya?" Meski kamar tak terkunci, Allen tetap meminta izin pada sang pemilik agar tidak membuatnya tersinggung.
Tak perlu memberi jawaban pun, Cleon tahu bahwa kakaknya tetap akan menerobos masuk. Di apartemen saja lelaki itu sering keluar masuk sesuka hati, apalagi di rumah. Tak ada yang tak bisa Allen kendalikan di rumah ini, bahkan ayah dan ibunya pun selalu setuju dengan apa yang keluar dari mulut pria itu.
Melihat sang adik terduduk di tepi ranjang, Allen berinisiatif untuk mendekat. Ketika berada di depan Cleon, pria itu kaget bukan kepalang ketika mendapati luka menganga di dahi adiknya. Seakan tak peduli dengan lukanya, Cleon tetap khusyuk menghisap rokoknya.
"Astaga, Cleon! Dahi lo luka begini, kok nggak diobatin?!" pekiknya terkejut sementara si lawan bicara sama sekali tak menggubris reaksi dari kakaknya.
Paham jika dirinya diabaikan, Allen bertolak menuju lemari kecil di dekat ranjang. Mengambil antiseptik serta kapas yang akan ia gunakan untuk membersikan luka Cleon.
"Apaan, sih, Kak?!" Cowok itu menepis tangan Allen yang bergerak untuk membersihkan lukanya.
Ketika dikuasai oleh emosi, terkadang Cleon lupa batasan antara kakak dan adik. Begitu mendapat perlakuan seperti itu, Allen tentu merasa tersinggung. Dengan sedikit paksaan pria itu menjambak rambut Cleon hingga bocah itu mendongak.
"Diam atau gue akan lebih kasar dari ini," ancam pria itu dengan sorot mata tajam, tak lagi ramah seperti biasanya.
Cleon terkesima, dia tidak tahu bahwa perilaku kasarnya tadi membuat sang kakak benar-benar marah. Biasanya Allen selalu mengalah meski Cleon sering kurang ajar padanya. Akan tetapi, kali ini pria itu sungguh murka.
Masih dengan kepala mendongak, bocah itu secara perlahan mematikan puntung rokoknya dan melempar ke dalam tong sampah. Tak mau membuat banyak pergerakan yang nantinya akan membuat Allen semakin emosi.
"Gue nggak pernah mempermasalahkan soal lo yang mau balas dendam atau apalah itu. Silakan, balas aja sesuka hati. Tapi tolong, jangan pernah abaikan diri sendiri. Sebagai seorang kakak, gue nggak terima adik gue terluka karena apatis sama dirinya," celetuk Allen di sela kegiatannya.
Dengan telaten ia membersihkan darah di area dahi dan wajah adiknya. Memeriksa jikalau ada pecahan kaca yang tertinggal, sebelum akhirnya mengoleskan antibiotik dan menutupinya dengan kain kasa. Semua itu Allen lakukan dengan cekatan dan rapi.
Setelahnya, Allen mengambil tempat duduk di sebelah sang adik dan mengusap bahunya ringan.
"Maaf, gue kelepasan tadi," ujarnya menyesal.
Remaja di sampingnya tak menyahut, sepertinya Cleon masih terkejut dengan tindakan Allen barusan. Pemuda itu tampak diam dan tertunduk, tak berani menatap wajah Allen.
Tentu saja Allen tahu jika adiknya merasa takut. Namun, memang harus begitu, jika terus dibiarkan maka pribadi Cleon tak akan membaik.
"Omong-omong, bocah itu namanya Arsen, ya? Seminggu lalu, gue ketemu sama dia. Anaknya baik dan ramah, dia juga yang bantu gue pas mobil mogok. Padahal nggak kenal, tapi dia mau bantu antar sampe ke bengkel bokapnya. Entah takdir atau gimana, gue bisa ketemu sama orang yang dibenci sama adik gue sendiri, hahaha."
Allen kembali membuka percakapan. Dia tahu, membahas hal ini akan berhasil menarik perhatian adiknya. Terbukti ketika ia selesai berujar, Cleon beralih menatapnya. Sorot matanya menyala dan tak bersahabat.
"Oh, jadi lo mau bilang kalau dia orang baik yang nggak mungkin bunuh orang lain, gitu? Lucu banget lo," sinisnya tak ramah.
Salah besar ketika Allen memuji orang yang paling dibenci tepat di hadapan Cleon. Alih-alih bocah itu tergerak hatinya untuk memaafkan, justru aura kebencian semakin kuat menguar dari pemuda itu.
"Bukan itu maksud gue." Allen menggeleng cepat. "Ini soal rasa dendammu, gue rasa itu benar-benar salah. Bukannya bela dia, tapi soal kecelakaan itu. Di samping polisi dan orang-orang Papi, gue juga turut kirim orang buat periksa ulang. Itu—"
"Keluar."
"Cleon, dengerin gue dulu." Allen sedikit terkejut ketika kalimatnya belum selesai namun bocah itu justru mengusirnya.
"Gue bilang keluar!" seru pemuda itu sembari bangkit dari duduknya dan menunjuk ke arah pintu.
Meski bersuara keras, nyatanya tangan remaja itu bergetar hebat. Sudut matanya juga berair, dia mati-matian menahan agar tidak menjatuhkan air mata di depan kakaknya.
Sampai di titik ini, Allen sudah kehabisan kata-kata. Entah apa lagi yang harus dia katakan pada sang adik agar menghapus dendam butanya. Dengan langkah gontai pria itu meninggalkan kamar adiknya. Tak ada lagi yang harus di bahas di sini. Lebih baik biarkan Cleon menenangkan diri sementara ia akan membereskan kekacauan di ruang keluarga.
🌺🌺🌺
Denting sendok beradu dengan piring terdengar nyaring ketika remaja jangkung itu tanpa sengaja menjatuhkan sendok dari genggamannya. Tak hanya Tia dan Elan yang terkejut, bahkan Arsen si pelaku juga tampak syok dengan perbuatannya.
"Arsen, ada apa?" Elan menjadi orang pertama yang bertanya karena kegiatan menyantap makan malamnya terganggu.
"Ah, itu ... nggak apa-apa. Tanganku licin," kilah bocah itu yang pada dasarnya tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya.
Selama makan tadi, Arsen terus-menerus melamun. Tangannya aktif bergerak menyendok makanan, tetapi pikirannya melayang entah ke mana.
"Ya sudah, hati-hati. Jangan melamun kalau sedang makan, Nak," timpal Tia memperingati.
Arsen hanya mengangguk sebagai jawaban. Kemudian acara makan malam berlangsung normal. Sebenarnya dia tidak memiliki nafsu untuk menghabiskan makanannya, tapi mengingat ini semua adalah kerja keras Tia. Dia tidak ingin membuat sang bidadari kecewa.
Akhir-akhir ini, hubungan keluarga semakin membaik. Jika biasanya Arsen akan langsung mengurung diri di kamar atau bahkan menyantap makan malamnya di luar. Kali ini dia lebih sering makan di rumah dan ikut berkumpul dengan orang tuanya di ruang keluarga. Yah, meski akhirnya dia hanya akan menjadi penonton kemesraan dua orang dewasa itu. Hal tersebut jauh lebih baik daripada dia berkeliaran di luar rumah dan ketika pulang larut, Elan akan memukul. Oke, minimal pria itu akan mengoceh hingga telinga Arsen rasanya mau tuli.
"Bukannya kemarin hari terakhir ujian semester ganjil, ya? Hari Senin masih masuk buat apa? Masih kegiatan belajar atau gimana itu, Nak?" Sebuah pertanyaan Tia lontarkan ketika mereka tengah bersantai sembari menonton tayangan televisi.
Arsen melahap potongan terakhir brownies panggang yang mulanya tersaji di atas meja. Siang tadi Tia kembali berkreasi membuat kue manis itu. Seperti peribahasa, sekali merengkuh dayung, dua, tiga pulau terlampaui. Tia dapat menyalurkan hobi sekaligus membahagiakan putranya.
"Besok cuma class meeting, Ma. Nggak ada kegiatan belajar. Anak-anak pada pensi dan jualan gitu. Aku besok disuruh jaga stan risoles sama kue-kue tradisional. Kayaknya tengah hari aku udah pulang atau jalan sama Selvi deh, males panas-panas di lapangan," sahut bocah itu usai membasahi tenggorokan dengan susu hangat yang Tia buatkan. Wanita itu melarangnya untuk meminum kopi dengan alasan tidak baik untuk pertumbuhan.
"Waktunya sekolah, kok, malah pacaran. Lebih baik pulang, nanti saya ajari buat mengurus bengkel. 'Kan lebih bermanfaat," seloroh Elan yang dihadiahi tatapan tak suka dari Arsen.
Pria itu selalu mengganggu momen manisnya dengan sang ibu. Bukannya tak suka, Arsen hanya kesal ketika dia ingin bermanja-manja malah dijatuhkan oleh realita. Elan diam-diam mendorong Arsen untuk menjadi pewaris yang akan mengurus bisnis bengkelnya.
"Aku nggak aneh-aneh, kok, Ma. Kita kelas sebelas bakal ada kegiatan camping. Bukan wajib, sih, tapi seru. Udah lama aku nggak ikut kegiatan begitu, jadi rencananya kelas kita mau ikut. Makanya besok kita mau mulai mempersiapkan peralatan. Aku boleh ikut, 'kan?"
Hei! Yang benar saja. Bocah itu sudah merencanakan untuk membeli peralatan ini dan itu lantas baru meminta izin. Jika seperti ini, bagaimana bisa Tia menolak dan tidak membiarkannya pergi?
Sebuah tepukan ringan mendarat di kepala remaja itu.
"Kamu mau minta izin apa memaksa agar diizinkan? Udah melakukan persiapan padahal belum tentu diberi izin," tukas Elan dengan santainya.
"Terserah akulah, Om tolong jangan ikut campur urusan negara."
Arsen beralih menatap Tia dengan tatapan memohon. "Boleh 'kan, Ma?" pintanya penuh harap.
Biasanya Tia tak pernah melarang kegiatan yang pemuda itu lakukan, selagi bukan hal yang berbahaya dan merugikan.
"Iya, iya. Boleh aja kamu ikut, itung-itung buat mengisi liburan, daripada hanya di rumah. Tapi ...." Tia menatap Elan. "Kamu harus dapat izin dari Papa juga. Kalau Papa juga kasih izin, kamu baru boleh ikut camping," lanjutnya dengan senyum merekah.
Arsen terduduk di lantai setelah mendengar penuturan sang ibu, ia tak bisa berkata-kata lagi. Apa mereka sedang mempermainkannya? Mengapa Tia tiba-tiba meminta dia untuk memohon pada Elan? Menyebalkan.
"Sebenarnya saya bukan orang yang suka mempersulit orang lain. Kalau dia beriktikad baik, pasti saya permudah." Elan berujar dengan tenang, kemudian meminum kopinya.
Arsen mendengkus kesal. Namun pada akhirnya bocah itu melaksanakan apa yang ibunya ucapkan.
"Om—"
"Panggil Papa." Elan menyela.
Wajah Arsen semakin masam mendengar Elan kian gencar mengganggunya.
"Papa ... tolong kasih izin aku untuk pergi camping. Tolong, ya? Please, setelah ini aku akan jadi anak yang berbakti. Serius sumpah," tukas Arsen, bocah itu mati-matian menahan malu demi restu.
Malam yang hangat diwarnai dengan candaan dua orang dewasa hingga membuat anggota termuda tak bisa berkutik. Setelah beberapa kali menggoda hingga Arsen merajuk, akhirnya Elan maupun Tia memberi izin anak itu untuk pergi berkemah. Pada dasarnya, semua ini dilakukan hanya agar Elan dan Arsen menjadi lebih dekat dan saling terbuka. Itu adalah rencana yang disusun oleh Tia. Hari-hari yang selanjutnya, wanita itu berharap keluarga kecilnya bisa jadi lebih hangat dan menyenangkan.
Jangan lupa vote, komen dan tambahkan ke reading list biar banyak yang tahu cerita ini, yaaa. Follow juga IM_Vha Makasih 🙆🏻♀️❤️
Dan bagi yang mau baca lebih awal, bisa cek ke KaryaKarsa yaa, cerita udah end di sana. Link ada di bio.
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top