13 ; Konsultasi
❤️ Happy Reading ❤️
Hari yang cerah, ketika remaja bercelana pendek itu mendongak maka yang ia lihat adalah hamparan langit biru tanpa ada sekelumit awan yang menutupi. Cuaca cenderung panas, itulah mengapa sekarang Arsen hanya mengenakan celana pendek putih dan kemeja hitam lengan pendek pula. Dengan sebuah waist bag terselempang di tubuhnya, cukup memberi kesan sederhana namun tetap modis. Memiliki ibu yang mengelola butik dan mencintai fashion memberi keuntungan tersendiri untuknya.
"Sini, Nak. Jam sepuluh nanti kita baru bisa bertemu Dokter Rian, sekarang kita ke kantin dulu. Beli camilan atau minum daripada di dalam harus menunggu lama," tukas Tia kemudian menggandeng tangan putranya ke arah yang dimaksud.
Arsen tak menolak meski tubuhnya diseret ke sana kemari, karena dia sudah pasrah setelah semalam ibunya memohon agar ia untuk pergi ke rumah sakit. Meski Arsen sangat benci aroma obat-obatan, hari ini ia harus datang ke tempat ini demi kebaikannya sendiri.
"Kita pulang aja, deh, Ma. Aku nervous banget," celetuknya usai meneguk air mineral yang ibunya belikan.
Tia tidak terkejut dengan respons yang ditunjukkan oleh putranya, karena sudah hampir dua tahun berlalu sejak terakhir kali anak itu bertemu dengan sosok yang membuatnya gugup seperti ini. Dengan lembut wanita itu menggenggam tangan si buah hati dan mengusapnya dengan lembut.
"Udah dua tahun, loh, nggak ketemu Dokter Rian. Sangking kangennya sampai nervous, ya?" Niat Tia adalah untuk mencairkan suasana, namun sepertinya Arsen terlampau gugup sehingga tak bisa menanggapi gurauan ibunya.
"Mama ...." Arsen sedikit merengek. Tak peduli jika beberapa pengunjung kantin heran akan tingkahnya.
"Ssst ... nggak malu, ya? Dilihatin banyak orang loh, Nak. Lagi pula, semalam 'kan kamu sendiri yang sudah janji sama Mama untuk datang. Masa kurang lima belas menit lagi malah pulang?" ujar Tia berusaha meyakinkan.
Menghadapi Arsen mode manja lebih sulit daripada yang nakal. Jika itu soal membolos dan berkelahi, Tia hanya perlu menegur dan berpura-pura marah, maka anak itu akan merasa bersalah dengan sendirinya dan berakhir dengan tidak mengulangi kesalahannya beberapa waktu ke depan. Namun, jika manja, Tia yang akhirnya kalah karena tidak tega melihat buah hatinya merengek.
Tia melirik arlojinya. "Ayo, kita pergi sekarang. Kurang sepuluh menit lagi, kasihan kalau Pak Dokter nungguin," tukasnya tak memberi kesempatan Arsen untuk menolak.
Alhasil meski dengan jantung berdetak tak karuan, Arsen tetap mengekor di belakang ibunya hingga tiba di depan sebuah ruangan yang tak asing baginya. Dua tahun lalu, tempat ini adalah destinasi yang paling sering remaja itu kunjungi. Tak disangka, ketika lama berpisah akhirnya dia kembali lagi.
"Oh, halo, Arsen. Bagaimana kabarnya? Aduh, baru dua tahun nggak ketemu, kamu sudah setinggi ini, ya?" Baru saja menutup pintu, Arsen sudah dihujani oleh ocehan seorang pria berseragam khas dokter yang kini menatapnya penuh takjub.
Pria empat puluh tahun itu bangkit dari duduknya dan menghampiri Arsen. Dipandanginya wajah bocah yang dulu pernah menangis dan merancau di hadapannya kini telah tumbuh menjadi seorang pemuda tampan, dokter itu tak bisa menyembunyikan rasa harunya. Ia menepuk bahu Arsen dan mengacak rambut kecoklatan itu dengan gemas.
"Saya baik, Dok. Tapi ada beberapa hal yang bikin saya nggak nyaman," kata Arsen. Bocah itu tak membalas kehangatan yang dokter itu berikan, ia terlalu gugup.
Tak mendapat balasan hangat, Dokter Rian hanya bisa terkekeh. "Mari duduk, kita mulai saja konsultasi hari ini."
Meski diawali dengan kecanggungan, akhirnya konsultasi yang dilakukan berjalan lancar seperti dulu. Arsen bukan tipikal orang yang suka menyembunyikan isi hatinya, walau pun begitu beberapa hal perlu ditutupi. Begitu juga dengan pertemuan kali ini, meski ibunya mengajak Arsen bertemu psikiater, masalahnya tak akan selesai dengan mudah. Banyak hal yang sangat mengganggu bocah itu hingga dia bahkan tidak bisa bernapas dengan leluasa.
🌺🌺🌺
"Begini, Mbak. Aku rasa anakmu masih punya sesuatu yang dia sembunyikan. Tidak seperti dulu, dia menceritakan semuanya padaku secara gamblang. Sedangkan hari ini, meski sudah banyak bercerita, dia terlihat seperti sedang membagi apa yang harus diucapkan dan apa yang tidak bisa."
Dokter Rian mengambil sebuah buku yang sedikit usang dan membacanya sebentar. Buku itu adalah buku yang dulu ia gunakan untuk mencatat setiap perkembangan dari pasiennya, Arsen. Membolak-balik halaman dan membaca ulang beberapa saat kemudian kembali beralih pada sang lawan bicara.
"Kamu tahu 'kan, Mbak? Arsen itu punya PTSD, setelah peristiwa dua sahabatnya meninggal di waktu berdekatan. Satu orang bernama Gavin dan satunya lagi Angga. Setelah dua tahun perawatan, dia banyak mengalami perubahan yang menurutku sangat pesat. Anak itu sangat hebat, Mbak." Dokter Rian menjeda kalimatnya dan beralih menatap buku baru yang tadi ia gunakan untuk mencatat.
Di satu sisi, Tia tak banyak bicara. Dia lebih memilih untuk diam dan menanti penjelasan dari dokter yang merupakan sahabat suaminya dulu. Dan satu-satunya dokter yang mendapat kepercayaan Arsen untuk berbagi keluh kesahnya.
"Aku nggak tahu, apa penyebab pasti yang memicu kambuhnya penyakit itu. Namun, dilihat dari apa yang tadi Arsen ceritakan, aku memiliki sedikit kesimpulan bahwa ada sesuatu yang membuat Arsen kembali mengingat masa-masa kelam itu. Entah itu orang atau apa, aku tidak tahu pasti, Mbak. Anak itu berusaha menutupinya," tukas Dokter Rian mengakhiri cerita panjangnya.
Ketika mendengar penuturan sang dokter, Tia sendiri setuju dengan pendapat tentang Arsen yang menyembunyikan sesuatu darinya. Meski terkesan manja dan blak-blakan, perlu diperhatikan bahwa putranya sudah beranjak dewasa. Umumnya ketika anak sudah menginjak usia remaja, mereka akan mulai menjaga jarak dan mulai tidak mempercayai orang lain bahkan orang tuanya sendiri. Entah aneh dan terkesan menyebalkan, mereka tak akan peduli dan menyebut hal semacam ini sebagai privasi.
Tia menghela napas. "Kupikir ucapan kamu ada benarnya. Arsen sedikit suram akhir-akhir ini. Aku merasakan keanehan sejak dia kembali mendapat mimpi itu setelah sekian lama. Sewaktu ditanya ada apa? Dia hanya bilang tidak apa-apa, tapi suamiku bilang, Arsen kembali menjadi histeris ketika mendengar suara petir."
"Padahal semenjak lepas dari perawatan kamu, dia 80% kembali ke pribadi yang dulu. Astaga, aku nggak bisa tenang sekarang," lanjutnya dengan raut frustrasi. Dia tidak menyangka jika dugaannya benar, bahwa putranya tidak baik-baik saja.
Dua orang dewasa dalam ruangan itu sama-sama terjebak dalam kekalutan. Bagaimana tidak? Bocah yang sudah digadang-gadang sembuh dan tidak memunculkan gejala kambuh selama kurun waktu dua tahun, kini kembali retak.
"Oke." Dokter Rian menanggalkan kacamata yang sedari tadi bertengger di hidungnya. "Sementara ini, aku akan beri dosis yang biasanya dan minta Arsen untuk rutin minum obat ini. Dua minggu lagi, aku mohon kamu ajak dia temui aku lagi," pungkasnya kemudian.
"Apa aku sudah gagal melindungi, putraku?" Lebih tepatnya Tia bertanya pada diri sendiri, namun hal itu terdengar hingga telinga dokter Rian.
Dokter itu menyerahkan resep dan berujar, "Kamu itu sudah menjadi ibu idaman semua anak. Bagaimana bisa disebut gagal? Ayolah, Mbak. Jangan berpikir begitu, ini semua sudah takdir yang diatur Tuhan. Kita jalani dan terus berusaha saja, jangan berpikir negatif."
Takdir yang menyedihkan menimpa putranya. Arsen selalu berada di posisi sulit sejak remaja itu lahir. Banyak kemalangan menimpanya tanpa bisa dicegah. Ibu mana yang tega melihat anaknya terus menerus berada di posisi sulit. Setiap melihat Arsen menangis, hati wanita itu sangat terluka.
Di luar ruangan, Arsen sudah bosan menanti ibunya selesai berbicara dengan dokter. Beralih ke game online pun tetap tak bisa menghalau rasa jenuh. Dengan tidak sabar bocah itu terus memandang ke arah pintu, berharap agar ibunya cepat muncul dan mereka segera meninggalkan tempat penuh orang sakit ini. Tunggu, sebenarnya Arsen juga termasuk orang sakit itu. Akan tetapi dia benci obat.
"Nak, kita ambil obatnya dulu," tegur Tia begitu melihat putranya duduk anteng di kursi tunggu dan memainkan ponselnya.
"Hati-hati di jalan, Mbak." Dokter Rian muncul di belakang Tia.
Arsen lantas menatapnya tajam. "Dok, jangan goda Mama saya. Sekarang Mama udah nggak jomblo lagi, ingat itu," ancamnya pada dokter yang baru saja menjadi tempat ia mengeluh itu.
"Loh, bukannya kamu nggak suka sama papa barumu. Boleh, dong, saya berjuang buat geser posisi dia di hati Mama kamu." Bukannya mengalah, dokter itu justru melancarkan serangannya. Menggoda putra Tia selalu menjadi kesenangan tersendiri baginya.
Arsen nyaris melontarkan umpatan jika saja Tia tak segera menarik bocah itu menjauh. Kebiasaan sang dokter untuk mengganggu putranya tak pernah berubah. Jika soal perawatan, mereka sangat cocok. Namun, di luar itu, dokter Rian suka sekali membuat Arsen marah. Meski hanya bercanda, terkadang Arsen suka berlebihan dalam bereaksi. Menggemaskan, tapi juga kadang membuat jengkel.
🌺🌺🌺
"Ma, itu mobil siapa?"
Yang Arsen maksud adalah sebuah sedan yang terparkir di samping mobil Elan. Cukup mewah, namun kendaraan itu terlihat asing baginya. Tia yang selesai memarkir mobil juga sedikit heran ketika melihat ada mobil lain terparkir di halaman rumah.
"Mungkin tamu Papa. Ya sudah, sana kamu siap-siap aja. Katanya mau ada janji sama Selvi. Nanti marah loh kalau kamu terlambat jemput," ujar Tia mengingatkan.
Mendengar nama kekasihnya disebut, raut bocah itu berubah suram. Baru saja Selvi membatalkan rencana kencannya karena gadis itu harus menemani ibunya pergi ke salon. Padahal sudah lama mereka tidak menghabiskan waktu bersama, kencan hari ini pun harus batal.
"Nggak jadi, Selvi ada urusan lain. Aku mau tidur aja. Capek," keluhnya dengan raut murung.
Tia mengatupkan mulutnya. Tak disangka bahwa Arsen bisa berubah murung hanya karena tak jadi pergi bersama kekasih. Dengan lembut ia merengkuh kedua bahu Arsen dan menyalurkan kekuatan.
"Nggak apa-apa jangan sedih, kencannya bisa ditukar besok. Hari ini Mama bikin Brown Cookies, deh. Biar kamu nggak sedih lagi, gimana?"
Tawaran itu adalah kelemahan terbesar Arsen. Dia termasuk golongan orang yang suka macam-macam kue manis. Mendengar rayuan itu, mau tak mau Arsen sedikit mengembangkan senyum.
Ibu dan anak itu berjalan beriringan memasuki rumah. Akhir pekan yang seharusnya dihabiskan bersama kekasih kini diganti dengan menemani ibunya membuat kue, Arsen rasa itu sepadan. Setidaknya dia tetap bersama orang yang ia sayang dan itu membuatnya bahagia.
Setidaknya, bahagia hingga mereka memasuki ruang tamu dan melihat siapa yang berkunjung.
"Baru saja dibicarakan, orangnya datang," celetuk wanita paruh baya yang duduk di samping pria yang tak asing lagi bagi Arsen.
Pemilik mobil yang terparkir di halaman rumah tadi ternyata adalah kakek dan nenek Arsen, orang tua dari Elan. Kedatangan mereka lagi-lagi membuat remaja itu kehilangan nafsu makan. Ia buru-buru memacu langsung dan bergegas menuju kamarnya. Namun, sebuah suara menghentikan laju bocah itu.
"Opa sama Oma datang, beri salam dulu. Nggak sopan langsung pergi begitu saja, Arsen." Itu Elan dengan mulut pedasnya memaksa Arsen untuk berhenti dan membalikkan badan.
"Selamat siang, Opa, Oma." Dengan canggung, pemuda itu mencium punggung tangan dua orang yang duduk di sofa ruang tamu.
"Ya ampun, baru menikah sudah dapat cucu sebesar ini. Duduk di samping Oma, biar Oma bisa lihat setampan apa cucu kita," tukas wanita pertengahan enam puluh tahun itu. Tanpa aba-aba ia menarik lengan Arsen hingga duduk di sampingnya.
Jika ditanya baik atau tidak? Sebenarnya orang tua Elan sangat baik pada Arsen. Dapat menerima menantu janda beranak satu dengan lapang dada, dan tidak menyebar kebencian pada Arsen maupun ibunya. Namun, tetap saja Arsen tak bisa menerima perlakuan itu secara gamblang karena hati manusia sulit ditebak.
"Mama sama Papa, kok, datang nggak kabar-kabar dulu? Saya jadi nggak enak karena harus bepergian sementara ada tamu di rumah," ujar Tia berusaha mengalihkan perhatian mertuanya. Dia paham bahwa sang putra tak nyaman berada di antara orang asing. Meskipun pernikahan mereka sudah memasuki usia satu tahun, tapi Arsen masih segan untuk dekat dengan mereka.
Saat Tia mengalihkan pembicaraan, saat itu juga Arsen bangkit dari duduknya dan berjalan menjauh.
"Maaf, Oma. Aku harus kerjain tugas sekolah. Oma ngobrol aja sama Papa dan Mama. Aku pamit," tukasnya kemudian berlari kecil menaiki tangga. Semakin cepat ia sampai kamar, semakin cepat dia bisa bernapas lega.
🌺🌺🌺
Dengan sebatang rokok bertengger di bibir ranumnya, angan bocah itu mulai melayang jauh. Jika dipikir-pikir, memiliki ayah sehebat Elan adalah hal yang membuat Arsen bersyukur. Setidaknya sang ibu tak lagi harus mengurus keluarga kecil ini sendirian. Pria itu juga bisa diandalkan sebagai tukang pukul jika saja Arsen membangkang. Meski berkedok benci, kenyataannya Arsen begitu menyayangi pria itu dan sangat berterima kasih sudah menjadi pria yang bisa diandalkan oleh ibunya.
Dibandingkan dengan kesempurnaan yang tercipta di keluarga ini, Arsen merasa dirinya adalah penyebab terciptanya kecacatan. Tia belum sepenuhnya keluar dari lingkaran masa lalu jika ada Arsen yang selalu berada di sisinya.
Pernah terlintas di pikiran pemuda itu untuk meninggalkan rumah ketika Tia dan Elan resmi menjadi sepasang suami istri. Namun kala itu, Tia justru menangis pilu. Dia bahkan hampir menghancurkan rumah tangga sang ibu karena wanita itu berkata lebih baik tidak memiliki suami daripada harus kehilangan satu-satunya anak yang dicintai.
Arsen mana tega. Dari binar matanya, remaja itu tahu bahwa sang ibu juga mencintai pria berdarah Tionghoa itu. Pada akhirnya dia tidak mengizinkan keegoisan menghancurkan kebahagiaan orang tercinta. Namun sebagai gantinya, kebahagiaan bocah itulah yang harus menjadi korban. Tak apa, toh bahagia bocah itu bisa diatur. Asal orang yang disayang bahagia, maka Arsen juga bahagia.
Bukannya bodoh, Arsen seratus persen sadar dengan tindakannya. Melukai diri sendiri untuk orang yang disayangi adalah hal yang wajar baginya. Karena jujur, Arsen tidak memiliki alasan untuk hidup selain membuat orang-orang hebat di sekitarnya bahagia.
Selamat datang dan selamat membaca. Maaf juga karena kemarin Minggu lupa update.
Jangan lupa tinggalkan jejak dan follow IM_Vha ya 🙆🏻♀️❤️
Seperti biasa, bab baca duluan ada di Karyakarsa. Link bisa langsung diakses di wattpad aku 🤩
Nih, bonus anak kesayangan Mama Tia
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top