10 ; Hujan
❤️ Happy Reading ❤️
Semburat jingga di sisi barat, saat di mana sang surya berganti dengan purnama. Penampakan indah, tapi berkebalikan dengan si pemilik kamar yang dilanda gundah. Waktu sudah menunjukkan pukul enam sore. Namun, belum ada tanda-tanda sang ibunda tiba. Elan juga tak menampakkan batang hidungnya sejak mereka tiba di rumah siang tadi. Padahal katanya setelah mengantar Arsen pulang, pria itu akan kembali ke rumah sakit untuk menemani Tia. Dasar pembohong.
Jelas sekali mereka berjanji bahwa Tia akan keluar dari rumah sakit sore ini. Akan tetapi, mengapa Elan tak bergerak dari ruang kerjanya? Berulang kali bocah itu menimang ponsel di genggamannya, membuka kunci layar lantas menekan ikon kontak dan mencari nomor yang dituju. Tertulis jelas nama 'MAMA' di layar, tapi tak ada keberanian untuk menekan tombol panggilan. Ia takut mengganggu jika ternyata sang ibu sedang beristirahat. Di sisi lain, Arsen sangat merindukan suara lembut wanita itu.
Katakanlah Arsen posesif, karena itu memang apa adanya. Selama tujuh belas tahun, ah, sebentar lagi delapan belas, banyak hal tak terduga terjadi padanya. Abimanyu Mahendra, ayah kandungnya, sudah tiada sejak Arsen memasuki pendidikan sekolah dasar. Sejak saat itu, hanya Tia yang senantiasa merengkuh bahunya yang ringkih.
Ketika ia jatuh di titik terendah karena kehilangan dua sahabat dalam kurun waktu dekat, Tia juga yang menopangnya hingga mampu bangkit. Di mata Arsen, Tia adalah ibu, sahabat serta malaikat. Oleh karena itu, ketika mendengar kabar sang malaikat terluka, Arsen tak bisa mengendalikan diri.
Berusaha menekan rasa rindunya, tetapi gagal. Alhasil remaja itu memutuskan untuk menanyakan langsung pada Elan. Tangannya bergerak untuk menutup jendela karena angin malam sudah mulai menunjukkan eksistensinya.
"Eh, hujan," gumam Arsen ketika setetes air mengenai punggung tangannya. Rinainya semakin deras dan mulai membasahi balkon kamar. Beruntung Arsen menutup jendela tepat waktu, jika tidak maka air akan masuk ke dalam ruangan itu.
Membahas soal hujan, Arsen tak menyukainya. Bukan karena air yang membuat basah, atau suhu udara yang dingin. Namun, kembali ke masa lalu, sahabat dekatnya merenggang nyawa ketika hujan mengguyur lapisan kulit bumi. Peristiwa itu adalah bunuh diri, mirip dengan kasus Daniel, hanya saja saat itu Arsen gagal menyelamatkannya. Andai hujan tidak membuat jalanan macet, pasti mereka berhasil menjaga nyawa itu agar tetap berada di tubuh si pemilik.
"Ada apa?"
"Astaga!" Remaja itu tersentak ke belakang karena sosok yang muncul dari balik pintu membuatnya terkejut.
"Kamu yang ngetuk pintu ruangan kerja saya dan kamu sendiri yang kaget. Berhenti melamun, Arsen," sergah pria berkemeja putih itu.
Salah tingkah, Arsen hanya mampu menggaruk tengkuknya. "Maaf. Aku ke sini cuma mau tanya, Mama kapan pulang? Katanya sore ini udah pulang. Tapi Om, kok, belum jemput?" tanyanya yang merasa dibohongi.
Mendengar protes dari Arsen, Elan kehilangan nafsu untuk marah. Ia lupa untuk memberitahu anak itu bahwa hari ini Tia belum diijinkan pulang untuk kepentingan pemeriksaan lanjut. Dia tidak bermaksud membohongi, karena kabar dari dokter baru ia dapat sore tadi, hanya saja Elan lupa memberitahu Arsen.
"Begini, Mama memang belum boleh pulang hari ini karena—"
JJDEEERRR!!
"Argh!" Arsen yang terkejut langsung menutup kedua telinganya.
Bunyi bergemuruh serta kilat yang menyambar membuat rumah yang awalnya terang benderang menjadi gelap seketika. Sepertinya aliran listrik terputus karena sambaran petir. Analisis yang cepat, Elan harus memeriksa apakah petir benar-benar mengenai tiang listrik atau tidak. Karena rumahnya cukup dekat dengan tiang listrik, Elan khawatir jika terbakar dan merambat sampai rumah. Elan berbalik ke dalam ruang kerjanya untuk mengambil senter, ruangan masih tetap terang karena menggunakan lampu LED emergency.
"Arsen, bantu Papa nyalakan genset. Mati lampu sepertinya akan lama, kalau kita nunggu bisa-bisa sampai pagi nggak nyala karena hujan lebat," perintahnya tanpa menyadari jika sosok yang diajak bicara tak lagi berdiri tegak.
Tubuh Arsen luruh ke lantai dengan punggung bersandar pada dinding dan kedua tangan menutupi telinganya. Bocah itu bahkan mengabaikan Elan yang memanggil namanya berulang kali. Penerangan yang minim membuat Elan kesulitan menemukan keberadaan putra tirinya. Padahal tadi Arsen hanya berdiri di depan pintu ruangannya, sekarang bocah itu raib entah ke mana.
"Arsen?" Mengarahkan sorot senternya ke kanan dan kiri, akhirnya Elan mendapati bocah itu tengah berjongkok di sisi kiri pintu dengan kedua tangan menutupi telinga.
Anak itu hanya diam dan menutup rapat telinganya. Tak mengindahkan panggilan yang Elan serukan. Menyadari jika tak mendapat respons, Elan beralih mendekati Arsen.
"Hei, Arsen! Buka mata kamu, sudah gelap begini kenapa ditambah merem lagi?" serunya sembari mengguncang bahu remaja di hadapannya.
Hujan lebat diikuti dengan bunyi petir yang bersahutan, lantas disusul dengan kegelapan karena mati lampu adalah paduan sempurna yang berhasil membuat lutut Arsen lemas. Suara dan kegelapan seakan mengejeknya, di saat seperti ini Arsen berharap ia buta dan tuli sehingga tidak perlu mendengar guntur dan menatap si gelap. Benci, sungguh Arsen membenci keduanya.
Di sisi lain, Elan mulai geram karena diabaikan. Pria itu meraih salah satu lengan Arsen dan menarik bocah itu untuk masuk ke dalam ruang kerjanya. Mengabaikan pekik kesakitan bocah di genggamannya karena terkejut oleh gerakan tiba-tiba Elan. Pria itu tak habis pikir dengan tingkah laku Arsen seharian ini. Seperti orang gila, tapi dia tidak gila.
"Berhenti menutup telinga dan mata kamu! Di sini udah nggak gelap, Arsen!" Batas kesabaran Elan sangat tipis, jadi dengan mudah terkikis hanya karena tingkah menyebalkan putranya.
Perlahan Arsen membuka mata dan melepaskan tangan yang membungkus telinganya. Ia setia dalam diam, tidak ada Tia di sini, dan di luar hujan sangat lebat. Seakan tak peduli dengan perasaannya, petir malah saling bersahut-sahutan seakan bertanding siapa yang paling keras mengeluarkan bunyi.
Entah apa yang merasukinya, tanpa sadar Elan menjatuhkan telapak tangan ke puncak kepala bocah yang duduk di hadapannya. Mengacak rambut kecoklatan itu pelan tanpa mengucap sepatah kata pun. Mendapat perlakuan yang tak pernah ia bayangkan, Arsen tersentak dan menepis tangan Elan secara refleks.
"Mama, aku ... aku butuh Mama," gumamnya dengan kedua tangan memeluk lutut.
Tubuhnya yang tinggi tampak rapuh ketika meringkuk di atas sofa. Elan tak ada maksud apapun, hanya ingin mengelus rambut bocah itu. Siapa sangka jika respon yang diberikan malah ketakutan seperti itu.
"Arsen mungkin terlihat sangat nakal dan tidak bisa diatur, Mas. Tapi nyatanya dia hanya pecahan kaca yang disusun kembali agar terlihat utuh. Tolong jangan terlalu keras sama dia. Putraku sudah banyak menderita, sekarang saatnya dia menata ulang kebahagiaan."
"Hatinya sangat murni, Mas. Dia nggak pernah menaruh dendam dan selalu berbaik sangka pada setiap orang. Mementingkan kebahagiaan orang lain daripada dirinya sendiri. Aku nggak bisa membiarkan dia terluka lagi karena kebaikannya. Tolong bantu aku melindungi putra kita."
Potongan percakapan dengan Tia kembali terngiang di telinga Elan. Dia tidak menyangka jika bocah yang belum genap delapan belas tahun sudah memiliki luka sebanyak itu. Dan pantas saja hanya ibu yang bocah itu cari karena memang hanya Tia yang selalu ada untuknya.
"Hei, tenang. Ini Papa." Ugh, demi apa pun. Elan tidak tahu cara menenangkan bocah ini.
Beberapa kali pria dewasa itu mencoba untuk membujuk agak bocah itu untuk tenang. Namun, jangankan berhenti merancau, Arsen bahkan takut ketika tangan Elan terangkat untuk mengelus lengannya, menganggap bahwa Elan adalah ancaman. Jika seperti ini, bisa-bisa sampai pagi bocah ini jatuh sakit karena ketakutan.
Tampak sedikit ragu untuk beraksi, Elan tidak tahu apakah langkahnya kali ini akan berhasil membuat Arsen tenang. Namun, akhirnya dengan sekuat tenaga Elan meraih lengan bocah itu agar bangkit dari sofa dan tanpa aba-aba, pria itu memeluk bocah yang hanya beberapa sentimeter lebih pendek darinya itu.
"Dengar, Nak. Tidak ada yang perlu ditakutkan, hujan hanya air dan gelap hanya sesaat. Jangan khawatir, ada Papa di sini. Saya memang tidak sehebat mama kamu, tapi saya ada di sini. Menjaga dan melindungi kamu, jangan takut, okay?" Elan mengutuk dirinya sendiri dalam hati atas omong kosong yang ia ucapkan. Demi melihat bocah ini tenang, ia harus membujuk dengan segala metode.
Elan pikir Arsen akan berontak seperti sebelumnya, namun nyatanya tidak. Bocah itu justru membalas pelukannya dengan erat. Detak jantung tak biasa bisa dengan jelas Elan rasakan, seakan dada remaja jangkung itu bisa meledak kapan saja. Sungguh bocah malang.
Posisi seperti itu berlangsung selama nyaris sepuluh menit sebelum akhirnya Arsen berinisiatif melepaskan pelukan. Dari sudut pandang Elan, sepertinya anak itu sudah kembali tenang. Hujan tampaknya juga sudah mulai reda, tak ada lagi bunyi petir bersahutan yang membuat Arsen terus-menerus menutup kedua telinganya. Dan ketika sudah benar-benar tenang, Arsen melepas pelukan Elan lantas kembali duduk ke sofa.
"Aku minta maaf, Om. Aku ... aku nggak tahu kenapa hari ini benar-benar kesulitan buat kontrol diriku. Ini semua karena—"
"Nggak usah dipikirkan dan jangan meminta maaf. Kejadian hari ini ... saya sepenuhnya paham. Kamu tunggu di sini saja, saya mau nyalain genset," tukas Elan sebelum bocah itu menyelesaikan ucapannya.
"Oh, dan lagi. Masalah ini tidak saya sudahi sampai di sini. Kamu berhutang banyak penjelasan pada saya. Yah, meskipun Tia sudah menjelaskannya, tapi saya butuh penjelasan langsung dari mulutmu. Karena orang yang mengalaminya adalah yang paling paham tentang apa yang sesungguhnya terjadi padanya," lanjutnya tepat sebelum menghilang dari balik pintu.
Arsen memijit pelipisnya, ia jadi sedikit pusing setelah kericuhan singkat yang terjadi. Dilihatnya jam yang tertempel di dinding, satu jam lagi waktunya makan malam. Namun, hujan di luar masih cukup deras serta lampu di kamarnya juga belum menyala.
Ruangan ini dulunya adalah ruang kerja ayah kandung Arsen. Lebih dari sepuluh tahun dibiarkan tetap di kondisi semula dan Tia juga selalu menjaga kebersihannya hingga datang Elan sebagai pengguna baru. Hanya menempati, tidak mengubah tatanan awal, jadi Arsen tak akan melayangkan protes.
Lima belas menit berlalu dan Elan tak kunjung kembali, lampu di luar ruang kerja juga belum menyala. Bersandar di sofa nyatanya mengundang kantuk, beberapa kali bocah itu menguap dan berusaha mempertahankan kesadarannya.
Meski dulu dia sering tertidur di sofa ini, tapi mengingat jika si pemilik ruangan adalah Elan, Arsen jadi merasa sedikit aneh dan sedih. Ia rindu ayahnya yang duduk di kursi empuk dan bertempur dengan tumpukan dokumen. Sosok yang dirindu namun tak akan pernah ada waktu lagi untuk bertemu. Miris.
Namun, Arsen bersyukur, setidaknya Tuhan pernah mengirimkan sosok hebat di hidupnya, hingga bocah itu mengerti bahwa menjadi pahlawan tak harus beradu pedang di medan perang. Lagi-lagi Arsen mengagumi sosok ayahnya.
"Ketiduran? Hmm ... merepotkan sekali."
Elan baru saja selesai menyalahkan genset dan sekarang semua lampu sudah menyala. Namun, ketika kembali ke ruang kerja malah menemukan bayi besar meringkuk di atas sofa. Melihat ekspresi damai di wajah Arsen ketika terlelap, pria itu tak tega membangunkan. Pada akhirnya ia membiarkan bocah itu tetap tidur dan Elan sendiri beranjak ke dapur. Sebentar lagi waktunya makan malam, ia terpaksa harus masak sendiri daripada memesan melalui aplikasi. Lagi pula hujan masih cukup deras, kasihan jika si pengantar makanan terjebak macet.
Happy reading, ya. Dan untuk yang nggak sabar nunggu part selanjutnya. Silakan mampir ke KaryaKarsa.com yang link-nya ada di bio.
Dan terakhir, jangan lupa follow IM_Vha 😘
Salam
Vha
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top