PUNJUNG
Warta kota, 22 Juni 2001
Warta kota, Sleman – berdasarkan laporan salah satu warga yang mengaku mencium aroma busuk dari sebuah rumah, empat mayat keluarga pemilik Pabrik Roti I***** ditemukan siang ini, Kamis (21 Juni 2001), pukul 10.46 WIB. Empat mayat nyaris membusuk itu ditemukan dengan tidak wajar dengan bekas penyiksaan dan berbagai tusukan benda tajam. Salah satu mayat dalam keadaan termutilasi. Dua lainnya dalam keadaan tanpa busana. Sementara, satu sisanya didapati gantung diri di halaman belakang.
"Saya sama tetangga lain sudah heran karena rumahnya tutupan berhari-hari. Padahal si ibu aslinya ramah dan sering nyapa-nyapa," ungkap N, salah satu tetangga saat ditemui wartawan, "Akhirnya, saya sama Pak RT ketok pintu pagar, tapi yang tercium malah bau bangkai. Pak RT sudah kadung was-was milih segera laporan ke polsek."
Penyelidikan kematian massal ini masih berlangsung. Di tempat kejadian, terdapat arit tajam yang berlumuran darah kering, diduga sebagai senjata pembunuhan. Tanda tanya besar muncul ketika tidak ditemukannya barang berharga yang hilang dari kediaman tersebut.
"Kami akan tetap berusaha meringkus pelaku meski belum ditemukan bukti signifikan. Sampai detik ini, tim investigasi kami terus melakukan penyelidikan intensif," ujar Uswanto, ketua tim penyelidik Biro Kriminalitas Polres Kabupaten Sleman.
***
"Pak Kapolres meminta laporan hasil investigasi paling lambat disetorkan besok pagi. Kabid Humas sudah terlanjur mengatur jadwal konferensi pers dengan wartawan sekitar pukul 11. Sampeyan tahu 'kan kalau ini kasus besar? Kinerja kita terus dipantau oleh publik sejak tiga hari terakhir."
Penolakan.
"Surat tugas dari atasan sudah turun tadi sore, jadi tolong sampeyan dan anak-anak magang untuk sortir dulu berkas-berkas yang sudah diambil dari TKP tadi siang. Pilah, lalu ambil data yang sekiranya bisa jadi petunjuk untuk tim investigasi. Hitung-hitung ini lembur."
Malam ini, tidak ada satupun anggota yang hadir. Sendirian.
"Sendiri saja bisa 'kan? Ingat, sampeyan itu anak baru! Kita ini sama-sama kerja, satu teledor, semua bisa kena setrap di depan kantor. Wes, plesir sama pacarmu itu besok saja. Harus tetap profesional, ngerti?"
Desah kecewa. Dengus napas yang berat. Detik-detik lengang, bersusulkan persetujuan dengan berat hati.
"Ini laporan terbaru dari tim otopsi jenazah, bisa dibaca sebagai acuan awal. Apa yang sampeyan dengar dari mulut ke mulut atau berita itu banyak sensornya. Tidak semua kebenaran itu layak dikonsumsi masyarakat."
Mata yang kuyu sedang menatapi dua kardus besar di atas meja. Juga setumpuk kertas beraromakan sengat tinta yang masih hangat. Sepenggal kalimat bergaung dari bebayang derit pintu kayu yang perlahan menutup.
"Selamat bertugas."
***
LAPORAN TIM FORENSIK : IDENTIFIKASI KORBAN
24 Juni 2001
1. Puguh Ismoyo (47) : Pemilik pabrik. Penyebab kematian karena tenggelam di sumur. Pergelangan tangan dan kaki patah. Jantung dan alat kelamin menghilang. Pembusukan hanya pada rongga dada. Ditemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada pada tubuh.
2. Utari Nawangsari (43) : Ibu rumah tangga. Penyebab kematian karena dipenggal. Jasad bagian kepala belum ditemukan. Anggota tubuh bagian tangan dan kaki hancur seperti meleleh karena terbakar. Ditemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada pada tubuh.
3. Panjalu Jayati (20) : Mahasiswa. Penyebab kematian karena kehabisan napas. Diduga dikubur hidup-hidup di halaman belakang. Tidak ada tanda penyiksaan selain bekas cekikan pada leher. Jasad kurus kering tanpa adanya sisa darah pada tubuh. Ditemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada pada tubuh.
4. Nadia Kirana (16) : Siswi SMA. Penyebab kematian karena gantung diri. Terdapat dugaan pelecehan dengan ditemukannya sisa air mani pada alat kelamin. Ditemukan sesuatu yang tidak seharusnya ada pada tubuh.
Pada masing-masing jasad, ditemukan A–
***
"Mas Nuril."
Kepala tertoleh pada kepala lain yang tetiba muncul.
"Laporan penyidikan dan kelengkapan berkas diserahkan paling lambat sebelum tengah malam. Kebetulan ada laporan baru dari saksi mata terkait jejak si pelaku."
Anggukan bersambut. Helaan napas sejenak mengudara setelah kepala tim penyelidik benar-benar pergi. Jemari kurus itu segera mengambil sembarang dari isian kardus. Sebuah buku bersampul hijau dan beberapa lembar kertas yang telah menguning.
Kamu mulai membacanya.
***
Mangsa Kartika : Sesotyå murcå ing embanan, Sotyå sinåråwèdi
Pada masa pertama, dia meratapi gemilang intan-intan yang remuk berjatuhan dari mangkuknya. Para pembayun bersimbur dalam lindap leliangan, menjadi penilik duka yang menguap bersama angin.
Sang hyang bersabda, "dia yang mencari akan dicari oleh-Nya".
Gesang Notodiningrat ~
"Punjung Manunggal : Laku Nirwana" hal. 27
***
BANK AMANAT RAKYAT
Kepada :
Bpk. Puguh
Sehubungan dengan pinjaman yang diberikan untuk modal pabrik roti, kami memberitahukan bahwa tagihan tersebut jatuh tempo pada tanggal 11 Januari 2001. Hingga saat ini, kami belum menerima pembayaran sesuai perjanjian. Berikut adalah rincian pinjaman dan jumlah yang harus dibayarkan :
Jumlah Pinjaman : Rp. 150.000.000 – jumlah yang belum dibayarkan : Rp. 90.000.000
Kami memahami situasi keuangan dapat menjadi tantangan. Namun, demi kelancaran kerja sama, kami mengharapkan pelunasan segera.
***
Buku Harianku,
Bapakku itu dungu.
Tiga tahun berselang sejak kerusuhan yang menghancurkan pabrik kami, tetapi aku tetap mendapati bapak sebagai kerbau yang dicucuk hidungnya. Dungu, bebal. Hal yang memperparah kedunguannya adalah arogansi. Pabriknya sudah lama lantak dibakar perusuh, tetapi egonya sebagai juragan tidak memudar. Kami hanya dianggap bawahannya, bukan keluarga. Perintah sana-sini, amuk kesana-kemari, dan pukul jika tidak dituruti.
Bapakku itu dungu.
Kami miskin karena kedunguan bapak. Dia bukan lagi orang kaya. Namun, harga dirinya sebagai mantan orang berduit membuatnya selalu gagal di lingkungan kerja baru. Hatinya terlalu tinggi sampai dipecat berkali-kali. Kepada ibu, dia selalu berdalih jam kerja tidak cocok, banyak pesaing dan bualan lainnya. Kini, dia berhenti bekerja dan asyik ongkang-ongkang di warung kopi perempatan. Berangkat pagi, pulang malam. Tidak berguna.
Bapakku itu dungu.
Jika bukan karena kedunguannya, aku pasti bisa masuk sekolah favorit di Jogja. Namun, dia malah ringan tangan meminjamkan uang pada orang tidak terlalu membutuhkan. Dia meminjam uang untuk dipinjamkan pada orang lain hanya demi bergelar dermawan. Ujung-ujungnya bapak yang harus menanggung semua cicilan.
Bapakku itu dungu.
Kami hancur gara-gara bapak. Kuliah Mas Jalu berantakan gara-gara bapak. Ibu menangis setiap malam gara-gara bapak. Aku dikucilkan teman sekolahku juga gara-gara bapak. Ini semua salah bapak.
Bapakku itu bangsat...
14 Januari 2001
Nadia Kirana
***
Mangsa Pusa : Bantålå rengkå, Rontoging tarulåtå
Pada masa kedua, bumi merekah, pemberkatan berguguran dari rerantingan. Dia dipertemukan, dia kini mengetahui. Dia sadar bahwa ladangnya tidak sepenuhnya mati. Sebaliknya, dialah sang peladang yang terpilih untuk menghidupi.
Untuk sang Hyang, milik-Nya semata semua petunjuk.
Gesang Notodiningrat ~
"Punjung Manunggal : Laku Nirwana" hal. 31
***
Untuk Jalu,
Semoga surat ini bisa sampai ke tanganmu. Apa kabar? Ini sudah jadi surat kelimaku sejak balasanmu yang terakhir. Aku sudah coba telepon rumahmu dan tanya teman-temanku yang tinggal di sekitaran jogja tentang kondisimu, tetapi masih nihil.
Apa terjadi sesuatu lagi?
Sejujurnya, aku khawatir sama kamu dan keluarga. Terakhir kamu bilang, ayahmu mendadak terobsesi sama buku-buku kebatinan dan mulai berperilaku aneh. Pasang teralis di pintu dan jendela, juga banyak menanam macam-macam tanaman di halaman. Semoga bukan apa-apa.
Badai pasti berlalu, aku percaya itu. Semoga masa-masa sulit kalian segera terlewati.
Oh iya, bagaimana kabar Nadia? Aku kangen buat balik ke jogja dan mengobrol sama adikmu yang manis itu. Semoga dia sehat ya. Kakakku juga dulu pernah sakit semacam itu, tetapi akhirnya sembuh juga. Aku yakin dia bakal baik-baik saja.
Kalau kamu terima surat ini, tolong segera balas ya.
Palembang, 05 Maret 2001
Yang merindumu, Nita
***
Buku Harianku,
Dua malam lalu, kami kedatangan sepasang tamu asing yang mengaku kenalan bapak. Tingkah bapak juga aneh, dia memaksa ibu yang pintar memasak untuk menghidangkan jamuan. Untuk kali pertama, aku melihat bapak berperilaku sangat sopan.
"Mereka itu ningrat, masih kerabatan dengan Ngarso Dalem." Bisik bapak.
Kami tidak tahu apa yang bapak dan dua tamu itu perbincangkan. Aku dan Mas Jalu hanya bisa saling tatap saat bapak kegirangan mendapatkan beberapa buku usang dan satu plastik berwarna hitam. Namun keesokan paginya, bapak melakukan renovasi rumah dan halaman. Dia bahkan dengan telaten menanam bunga beraneka warna, juga bibit buah-buahan.
Saat ibu bertanya, bapak cuma bilang, "Untuk menyambut tamu agung."
Terakhir, bapak menanam sebuah bibit berbentuk aneh di dekat sumur. Aku tidak mengenali itu jenis tanaman apa, tetapi melihat bentuknya yang dipenuhi bulu merangas sudah membuatku bergidik untuk mencari tahu lebih.
28 Januari 2001
Nadia Kirana
***
Pak Puguh,
Selamat atas disumpahnya Anda menjadi peladang keluarga. Mohon dilanjut membaca terjemahan kitab Punjung Manunggal halaman 47-49 sebelum menyirami pesarean di kala petang. Siapkan pupuk sebagai bentuk syukur kepada beliau untuk singgah.
???
***
Bab IV : Bibit
Wahai jiwa-jiwa yang malang, sesungguhnya ꦩꦤꦸꦱꦶꦲ (manusia) diciptakan semata-mata sebagai ladang bagimu. Dari mereka, kamu akan bertunas. Pada mereka, kamu akan bertumbuh. Teruntuk mereka, kamu akan menyibak penghidupan baru. Bentala hanyalah peristirahatan sementara. Saripati bumi semata jamuan pembuka. Teriknya mentari selayaknya pijar penghangat belaka.
ꦢꦫꦃ (darah) adalah siramanmu. ꦢꦒꦶꦁ (daging) adalah pupukmu. ꦗꦶꦮ (jiwa) adalah lenteramu.
Usailah sudah kesedihanmu. Nirwana akan bersua setelah derita. Tuhanmu telah menjadi angan-angan setelah dia meninggalkanmu. Maka, mari panjatkan do'a hanya untukNya.
Sang Hyang itu nyata.
Gesang Notodiningrat ~
"Punjung Manunggal : Laku Nirwana" hal. 47
***
Mangsa manggala : pancuran mas sumawur ing jagad
Tunggulnya ialah Maha Pengasih. Tunggalnya ialah Maha Pemberi. Dia tidak akan lupa membalas budi bagi siapa yang merawat berkatNya. Nikmati, syukuri, jangan ingkari. Apa yang dia hadiahi barulah senoktah dari kebahagiaan sejati. Inilah masa kelima.
Terpujilah Sang Hyang, sebaik-baik pemberi.
Gesang Notodiningrat ~
"Punjung Manunggal : Laku Nirwana" hal. 72
***
Buku Harianku,
Kami mendadak kaya raya.
Sulit bagiku untuk mencerna dan mengeskpresikan apa yang tengah terjadi. Begitupun Mas Jalu dan Ibu. Tentu saja, kami senang meski dalam naungan bingung sekaligus curiga. Semula, tanah di sekitar rumah mendadak subur sekali. Bunga-bunga beraneka warna bermekaran, begitupun pepohonan yang ditanam bapak tetiba berbuah mendadak seolah tak mengenal musim setiap harinya. Begitu melimpah.
Bahkan...terlalu melimpah.
Namun, Bapak memilih bungkam dan menyuruh kami menikmati "berkah".
Sejak bibit aneh itu tertanam di halaman belakang, kami juga kerap mendapatkan rezeki tanpa diduga-duga. Bapak mendapatkan kembali kepercayaan rekanan bisnis dan membangun pabrik roti sekaligus tokonya seperti dulu. Pembukaan toko roti untuk ibu juga tidak kalah meriah. Kami sampai kelimpungan meladeni pengunjung yang membludak. Begitu ramai.
Bahkan...terlalu ramai.
Entah apa yang sudah bapak lakukan dengan dua ningrat itu. Namun, kuharap kedunguan bapak kali ini tidak melewati batas. Kini, satu-satunya yang tidak bisa menikmati kebahagiaan ini hanyalah Mas Jalu. Dia mendadak sakit-sakitan dan tervonis mengidap kelainan sel darah putih. Tubuhnya makin kurus dengan rambut yang sering rontok.
Apa kami sudah kembali kaya dengan cara yang benar?
14 Maret 2001
Nadia Kirana
***
Dia telah memilih.
Sudah saatnya dia bertunas.
???
***
Bab VI : Panen
Sebuah kehidupan hanya bisa terus berlangsung dengan merenggut kehidupan lain. Itulah yang dinamakan daur hidup.
Bunda Kudus, Jeilge Goetler II (1842-1958)
Dikutip dari "Kasih Bunga Abadi"
Sejatinya, tidak ada mahluk waras yang ingin mati. Baik ladang maupun bibit. Namun, ketika Anda telah menyaksikan jiwa yang murni, Anda akan paham betapa kita senantiasa merindukan hidup. Bagi para bibit, jiwa mereka yang kelaparan selama ratusan tahun akan memasuki kehidupan kedua. Apa yang para ladang hidupi selaksa nirwana bagi mereka. Sebagai ganti, penyerahan hak milik dari ladang akan digantikan berupa penuntunan menuju kebahagiaan hakiki.
Dunia yang Anda tinggali hanya sementara. Mari berjalan melewati samsara.
Serahkan ladangmu, pujilah bibitmu.
Gesang Notodiningrat ~
"Punjung Manunggal : Laku Nirwana" hal. 99
***
Mangsa manggala : Wedharing wacånå mulyå
Tiba masa kesembilan, duhai para peladang. Suara-suara mulia telah tiba. Dengarkan, ikuti. Kepada mereka yang subur di atas ladang : benamkan dalam tanah, tungkas dari batangnya dengan aritmu, basuhlah dia hingga suci dan gantungkan pada seutas tali.
Wahai Sang Hyang, anakmu akan segera lahir.
Gesang Notodiningrat ~
"Punjung Manunggal : Laku Nirwana" hal. 104
***
Bapak sudah gila.
Bapak sudah gila.
Bapak sudah gila.
Tolong. Tolong ibu. Tolong aku
Siapapun tolong. Tolong. Tolong. Tolong
Mas Jalu pasti sudah mati. Satu-satunya yang terdengar dari ruang keluarga hanyalah raungan tertahan ibu dan bapak yang terus mengoceh tentang Sang Tunggul Tunggal (?). Bapak tidak tahu aku sudah bangun di kamar. Aku harus sembunyi.
Jika aku tidak selamat, mak–
***
Gelap. Penerangan mendadak padam.
Napasmu sontak tertahan. Sebuah kebetulan? Padahal sudah selangkah lagi kamu akan mengetahui kebenaran dari pembunuhan keluarga Ismoyo. Sayup-sayup terdengar teriakan para petugas untuk segera menyalakan diesel.
Tidak sabaran, akalmu menuntun untuk mengambil senter di laci. Hanya berkawan basuhan cahaya kekuningan, kamu mendapati catatan harian Nadia Kirana hanya berhenti sampai di situ. Dalam asumsi, kamu membayangkan bahwa pada momen itu, Puguh berhasil mendobrak masuk kamar gadis itu dan mengeksekusinya demi kelancaran ritual.
Namun, bukankah ini ganjil sekali?
"Jika Puguh adalah pembunuhnya, kenapa dia juga mati? Kalau hendak bunuh diri, kenapa dia juga termutilasi dan Nadia yang gantung diri?" benakmu.
Kamu sekali lagi mengaduk isi kardus demi menemukan kepingan pelengkap cerita. Padanya, jemarimu berhasil mendapati seonggok buku lain. Dengan perasaan yang tak menentu, kamu perlahan mulai membacanya.
***
"...Bapak! ...sudah pak! Berhenti! Tobat Pak!"
Tubuh Utari terikat pada kursi, begitupun kedua pergelangan kaki dan tangannya. Air mata ladang betina paruh baya itu tumpah membasahi pipi. Pada sekitarannya gelap, hanya tersinari lilin-lilin kecil yang melingkari. Di hadapannya, pria yang ia cintai tengah mengenggam sebilah arit yang teracung tinggi-tinggi.
"Sebentar lagi selesai, bu. Besok akan jadi awal baru bagi kita. Kita akan tinggalkan semua kefanaan ini. Jangan takut. Percaya sama aku, sakitnya cuma sebentar."
Utari menggeleng.
"Aku sudah lihat buktinya pada Jalu. Dia tersenyum! Dia bahagia! Dia telah menunggu kita! Lihat, Bu! Tanda keajaiban telah datang! Sudah kubilang ini nyata! Dia nyata! Sang Hyang bersama kita!"
Bak tersiram cairan asam, kulit pada lengan utari perlahan meleleh. Helaian kulitnya terkelupas, tersibaklah daging hingga menampakkan tetulangan putihnya. Lelehan kulit bercampur daging itu menggumpal, bergolak, selantas berlicak mencipta geliat tunas-tunas yang demikian cepat bercabang.
Ladang betina itu hanya bisa merengek penuh derita.
Bebaskan dia!
"Aku adalah peladang keluargaku. Untuk memurnikan jiwanya dalam penantian keabadian, kupersembahkan jiwamu!"
Tepat pada ujung kata, Kepala Utari telah terceraikan dari raga. Arit si peladang menebasnya dalam sekali ayun. Darah membuncah, banjir mengenang pada pualam yang dingin.
Notulensi No. 1392 "Ekstase"
Sleman, 13 Juni 2001 – 22.38 WIB
***
"Nadia, bantu bapak..." pintaan putus asa.
Ladang betina muda itu berontak saat peladang yang linglung itu membekap mulutnya. Tangan tua itu merayap naik dan meremas sebelah buah dadanya. Betina itu berupaya menepis, tetapi jemari yang kalap kian erat mengenggamnya hingga ringgisan sakit mengudara.
"...Bapak menyesal, nak. Tolong, sekali ini saja."
Dia meronta, memohon ampun.
Gelap mata. Gelap hati.
Kami mendapati pergumulan terlarang di antara keduanya. Sang betina hanya bisa merengek, menangis, meronta dan terisak-isak. Peladang yang dipanggilnya bapak telah menghancurkannya luar dan dalam. Kekacauan baru terpantik saat erangan putus-putus terbisik pada telinganya.
Bebaskan dia!
Malam ini, yang menggenapi punjung bukanlah si peladang, melainkan ladangnya sendiri. Ladang yang tercemar.
Notulensi No. 1394 "Tungkas"
Sleman, 13 Juni 2001– 23.47 WIB
***
Mangsa Asuji : Tirtå sah saking sasånå
Masa penghabisan, bibit telah matang. Tugas peladang dan ladang telah usai. Tiba saatnya, dia menempati wadah yang ia kehendaki.
Sang Hyang, tunggulmu akan manunggal.
Gesang Notodiningrat ~
"Punjung Manunggal : Laku Nirwana" hal. 166
***
Bersama catatan ini, kami kirimkan dirinya kepadamu. Ladangnya telah tercemar sehingga membutuhkan ladang baru yang masih basah. Engkau telah terpilih.
Sinuhun, tuntunlah dia jika dikau berkehendak, bebaskan dia jika dikau menolak.
???
***
"Terima kasih, kehadiranmu telah kunantikan."
Daksamu tersentak dalam ketegangan. Keseluruhan kuduk itu menggelinjang dalam remang yang gamang. Gelagap kepanikan segera mendera seisi kepala, memicu berbagai ketakutan yang mengaburkan pandangan. Kebas menggerogoti wajah, beserta lidah yang terampau kelu meneriakkan takut.
Suara yang kamu dengar ini, tepat berada di belakangmu.
"Semestinya, mangsa tidak boleh paham siapa yang melahapnya." Ujarku lembut, "Namun, aku sudah memberikan banyak jawaban padamu atas rasa ingin tahu itu."
Aku kagum, kamu masih memiliki tenaga untuk melarikan diri. Namun, hendak kemana? Kamu hanya terpojok pada sudut ruangan, merangkak penuh gentar. Bibirmu berusaha mengucap kata-kata, melafal do'a. Aku hendak tertawa, getir bahwa ladang segar sepertimu percaya kalam Tuhan bisa jadi penolong.
Kugenggam lenganmu, kulilit daksa kurusmu, kuendusi tiap jengkal kulit yang terbungkus seragam lusuh ini. Kupaksa mulut itu untuk membuka. Kepalaku perlahan memasuki rongga mulutmu, membungkam teriakanmu. Dalam hitungan detik, tubuh mungilku ini telah menerobos melewati kerongkongan hingga lambung.
"Yang kami inginkan hanyalah hidupmu."
Kubentang sulur-sulur pada seluruh jejaring pembuluh darahmu. Kugapai otakmu. Kurangkul jutaan memori-memori yang kamu simpan selama ini.
"Ribuan tahun yang lalu, peradaban kami hancur oleh bencana. Yang tersisa darinya hanyalah sisa evolusi berupa larva sepertiku yang berhamburan tiada tentu di luar angkasa. Sebagian dari kami mendarat di tanah ini, dipertemukan oleh para manusia yang mudah terperdaya oleh keajaiban kecil. Mereka teramat serakah dan culas, rela mengorbankan apapun supaya hasratnya terpenuhkan."
Rasanya sangat hangat, nyaman. Sudah lama sekali sejak terakhir kali aku memiliki raga yang utuh.
"Sebagian dari keturunan penguasa mereka memuja kami secara berkelompok. Berusaha menciptakan metode-metode agar kami bisa menemukan wadah baru. Mereka memanggil indukan pertama kami sebagai dewa, Sang Hyang Tunggul Tunggal."
Kusambut darah dan dagingmu.
"Selamat tinggal, ladangku."
***
TAMAT
Catatan :
Punjung : Anyaman lengkung dari bilah untuk menjalarkan tanaman, rumah kecil di tengah kebun atau sawah yang diberi tanaman menjalar
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top