#Punishment02

Nama : AyariFujii162 (git)
Kesalahan : terlambat menyelesaikan.
Tema : Auntumn
Judul : List keinginan

Miya menatap seorang gadis yang tertidur pulas diatas ranjangnya. Masih terkena efek obat bius dari Operasi yang dilakukan nya.

Miya kembali meletakkan bunga diatas meja ruangan. Duduk dan lagi lagi memandangi gadis yang sedang diam disana, laki laki itu mengusap rambut si gadis dengan perlahan. Tumpukan bunga perlahan mengering, itu semua darinya.

"Hei, belum mau bangun?"

" I really miss you.." Miya kembali mengusap pipi gadis itu. Tangannya semakin kurus. Urat tangannya menjadi lebih biru.

"Bukannya lu mau liat musim gugur bareng gua..?"

"Ini udah masuk musim gugur, sebentar lagi Oktober dan lu masih betah tidur seminggu setelah lu operasi?"

Miya menyandarkan dirinya, menjadi teman kecil dari seseorang yang di cintai juga merupakan hal yang sulit. Dia tidak bisa lepas dari gadis ini, tidak bisa juga mengabaikannya.

Miya ketergantungan atas keberadaan nya.

"[Name]..."

Ya, [Name]. Dia adalah gadis yang selalu bersama Miya apapun kondisinya. Dia mengidap leukimia sejak kecil dan kini umurnya sudah 17 tahun, suatu hal yang lumayan bisa di syukuri karena gadis ini mampu bertahan.

Tapi kali ini tidak, dia terlalu sering mengabaikan dirinya sendiri.

Sibuk bermain dan melupakan segalanya. Miya sudah tahu suatu saat dia akan kehilangan teman kecilnya, tapi.. Miya tidak sanggup jika kehilangan cintanya.

                                                     ::
"[Name], bikin list keinginan yok! Aku liat di toktok ada yang bikin list keinginannya buat bisa di wujud in!" Miya kecil berlari dengan tas yang berisi banyak kertas berwarna warni dengan pensil warna dan spidol.

"Ayo! Kayaknya seru kalo impianku bisa di wujud in!" [Name] yang antusias langsung menyambut Miya yang berlari ke halaman rumahnya. Mereka duduk dimanapun mereka mau. Di bawah pohon atau apapun.

Miya dan [Name] mulai menulis apa yang menjadi ke inginannya. Setelah itu, Miya meletakkan keinginan itu disalam sebuah botol kaca yang sudah dia hias semalam.

"Masukin sini, nanti tiap harinya bakal kita ambil satu teruss kita lakuiinn." [Name] mengangguk mengiyakan. Lalu memasukkan benerapa impiannya kedalam sana. Miya sengaja melakukannya agar mengetahui impian [Name].

"Janji jangan dibuka sebelum keambil di hari itu ya." Miya mengulurkan tangannya dengan jari kelingking terbuka.

"Janji." Lalu gadis kecil yang pucat itu menautkan  jari kelingkingnya di jari Miya.

Sebenarnya yang tidak jujur disni adalah Miya, dia memang membuat [Name] berjanji tidak membukanya, tapi dia membuka seluruhnya ketika dia menyimpan botol itu di rumahnya. Menulisnya sebagai list yang dia tempelkan di bawah laci kamarnya.

Sampai mereka sama smaa beranjak dewasa pun, [Name] masih tidak mengetahui tentang itu.

Setiap kali bersama, Miya mencoret list yang merupakan keinginan [Name].

List terakhir adalah dia ingin pergi melihat musim gugur bersama sengan Miya. Di umur nya yang ke 17.

"Maaf.." Miya mengambil tangan gadis itu lalu menciumnya," maaf belum bisa tepatin list terakhir yang lu mau.."

Miya mengigit bibirnya, jika [Name] tidak sadar sadar, bagaimana mungkin bisa diketahui apakah donor sumsum tulang belakang yang di dapatkan akan cocok dengan [Name].

Disini, Miya benar benar merindukan tawa gadis itu. [Name] yang selalu tersenyum meskipun terkadang dia tiba tiba menangis karena merasakan sakit di sekujur tubuhnya.

Jika itu terjadi, maka Miya akan dengan segera memeluk tubuhnya. Menciumi dimana dia merasakan sakit. Mengusapnya ataupun hanya sekedar meniupnya.

Dia.. lebih memilih untuk terus memeluk dan mendengarkan keluh kesah rasa sakit yang diceritakan [Name] setiap dia merasakan sakit. Daripada menatap seseorang yang dicintainya, tertidur dan diam seperti ini. Miya.. jadi tidak mengetahui dimana rasa sakit yang dirasakan gadisnya.

Miya mengusap matanya ketika mengingat [Name] tak suka melihatnya menangis.

"Jangan nangis.. Miya jadi gak ganteng lagi.." kira kira begitulah dia selalu menenangkan Miya yang terkadang menangis karena tak bisa membantu menghilangkan rasa sakit yang dialaminya

Miya menoleh kearah pintu saat pintu ruangannya terbuka, melihat ada bunda [Name] disana. Miya tersenyum tipis. Lalu berdiri mengecup dahi gadis yang masih tertidur.

"Udah jam nya gua kerja.. maaf.. gabisa lebih lama."
Sekali lagi dia mengecup dahinya dan berjalan pergi.

Bunda [Name] tersenyum kepada miya, " makasih nak.. atas apa yang kamu kasih ke [Name] sampe dia sanggup bertahan 17 tahun.."

Miya menggeleng, " bu, aku suka [Name] dan mau sama [Name]. Jadi jangan berpikir dan berterimakasih seolah olah aku bakal ninggalin [Name] karena sakit.."

Bunda [Name] mengangguk berterimakasih. Mengusap pucuk rambut Miya, "makasih nak."

Anggukan di berikannya sebelum pergi ke luar. Ini sudah masuk jadwal kerjanya jadi dia akan bertukar menjaga dengan bunda [Name].

--

Miya menatap langit yang mana menjadi kesukaan [Name].

Lagi kali ini berwarna biru dengan awan merah yang lumayan menyala. Kali ini dia berjalan lebih lambar dari biasanya. Menatap pada ponselnya. Jika tak ada notifikasi, berarti baik baik saja.

Miya langsung pulang ke rumahnya ketika jam kerjanya selesai. Dia tidak mungkin bisa menunggu saat malam hari karena status mereka hanya teman bukan tunangan atau sebagainya. Lagipula mereka masih tujuh belas tahun.

Dia mengeluarkan list yang dia letakkan di bawah laci meja, lengkap dengan tanggal berapa saja itu diselesaikan.

Harapan terbesar Miya adalah mewujudkan semua impiannya, agar tak ada penyesalan apapun. "Maaf.. kali ini tertunda ya?"

Miya mengusap wajahnya gusar, entah kenapa dia tidak busa fokus pada pekerjaan yang dia bawa pulang ini, kali ini dia masih memikirkan apa yang terjadi disana.

Entah kenapa, mengetahui bahwa di tahun ini [Name] mencapai stadium akhir, membuat Miya lumayan cemas dengan ini.  Dia tidak bisa tenang sama sekali.

Pasalnya, rasanya berbeda dengan sebelum sebelumnya [Name] masuk rumah sakit. [Name] yang masih bisa membalas candaannya membuatnya lumayan tenang, tapi kali ini, [Name] tertidur bahkan seminggu setelah operasi. Seharusnya jika hanya efek operasi, tidak selama itu kan?

"Bener juga...kenapa gua baru kepikiran sekarang.."

Dia semakin gusar. Tak bisa duduk dengan tenang.

Semakin lama dia disini, semakin tidak tenang pula dirinya. Pada akhirnya Miya keluar dari rumahnya dan dengan cepat  melaju kearah rumah sakit.

Dia melangkah cepat menuju lantai atas rumah sakit. Melangkahkan kakinya secepat mungkin seperti tidak ingin tertinggal sesuatu. Hatinya menyangkal hal buruk apapun yang baru dia sadari sekarang.

Hingga dia berhenti di depan lorong ruangan [Name]. Dan mengatur nafasnya.

Membuka pintu ruangannya dan, kosong.

Tak ada siapapun disana. Semakin besar kekhawatiran nya  terhadap gadis yang masih tertidur- tidak.. sepertinya itu koma.

Miya berlari ke ruang resepsionis. Dengan cepat pula tangannya mengetik di layar ponselnya, mencari nama 'bunda Mertua.' Di kontaknya.

Meneleponnya berkali kali selagi berlari turun ke bawah, terlalu lama jika menunggu lift, dia lebih memilih untuk berlari turun dengan tangga.

Hingga telpon ke 6 akhirnya diangkat. Miya sedikit menghela nafas lega akhirnya ada yang bisa di hubungi.  Dia dengan cepat pula menanyakan ruangan [Name] pada resepsionis.

"Halo?"

"...eh?" Miya terdiam dengan suara yang berbeda.

"Ahh- terimakasih. Ruangan cek nya? Oke." Miya menjawab pada resepsionis saat resepsionis nya memberi tahu tentang ruangannya.

"Haloooo" suara dari telepon kembali terdengar.

Miya mendengar nya, tapi tidak menjawab sama sekali. Dia berlari menuju ruang yang ditunjukkan. Dan berlari melewati banyaknya orang yang berlalu lalang di sana.

"Miya?" Suaranya, masih saja.

Dia berhenti di depan ruangan cek [Name]. Dia masih mendiamkan telepon yang terus menerus memanggilnya. Membuka pintunya perlahan dan benar saja.

Seseorang menyapanya dengan senyum yang manis di wajahnya. Meskipun tetap terlihat pucat dan lemas. Gadis itu masih berada diatas kursi roda.

"Miyaa."

Matanya berair, sungguh. Dia benar benar menunggu gadis ini. Tangannya gemetar meraba pipi yang kurus di atas kursi roda.

"[N-name]..?"

"Iya!" [Name] tersenyum menatap Miya yang terduduk didepan gadis itu.

"Jangan nangis.. Miya jadi gak ganteng lagi." [Name] mengusap pipi Miya yang berair. Miya berdiri lalu memeluk erat tubuh ringkih gadis itu.

"Makasih.."

Miya menatap bunda nya, berharap bundanya tidak memberi tahukan semuanya. Bundanya hanya menggeleng. Artinya dia tidak mengatakan semuanya.

Miya menghela nafas lega. Lalu kembali pada pelukan [Name] yang masih terus menggumamkan kata terimakasih kasih.

"Buat apa?"

"Buat gak ninggalin aku yang penyakitan." [Name] tersenyum tipis dengan itu.

Miya langsung menutup mulutnya dengan tangannya sendiri. "Ssh.. apa apaan lu bilang gitu? Kan kita udah sama sama waktu kecil. Dan ada list yang masih belum kita tepatin kan?"

"Ohhh jadi cuma prenjon nih?" Bunda [Name] menatap Miya dan [Name] bergantian.

"Miya nganggepnya pren doang bun. Emang asu." Protes gadis itu [Name].

Miya mengambil tangan [Name] yang masih lemas. Efek penyesuaian mungkin? Lalu menciumnya. Miya membuat tubuhnya sejajar dengan [Name] dan mencium dahinya.

"Yakin yang gini cuma pren?" Miya menatap sambil tersenyum tipis.

Yang ditatap malah salah tingkah. Dia tidak bisa menjawab dan hanya menatap kearah lain.

"Hahaha~ oke, kita pacaran?" Miya melepas kan gelang yang dia gunakan. Memasangkannya di tangan gadis itu.

"Prenjon ga buruk sih, tapi kalo pacaran lebih bagus." Bunda [Name] menyeletuk lagi. Dan makin membuat [Name] tidak bisa bertingkah normal.

Lalu hanya mengangguk pelan.

"Harus cepet sehat, karena.. ini mendekati Oktober yang pasti.. dekat dengan ulang tahun lu dan musim gugur tujuh belas tahun lu."

"Gaseru anjing masih pake lu gua." Pipinya menggembung kesal. Dia masih tidak bisa banyak bergerak tapi reaksinya sangat membuat Miya ingin terus mengganggunya.

"Ah- oke oke..ekhem! Kamu mau kan? Nanti kita ke kyoto. Boleh kan bun?" Bunda [Name] mengangguk cepat.

Dia sekali lagi mengambil tangan [Name] dan menciumnya. Sebaiknya, memang [Name] tidak perlu mengetahui siapa pendonor sumsum nya. Miya berdiri untuk mengangkat tubuh [Name] dari kursi roda tapi bundanya mencegah itu.

"Gausah, nanti aja. Kamu masih masa pemulihan kan?"

"Ah-"

Bunda [Name] langsung menutup mulutnya ketika menyadari bahwa dia mengatakan hal yang tak seharusnya.

"Pemulihan?" Tanya gadis itu dengan polosnya.

"Iya, aku kan jompo. Hehe." Miya terkekeh pelan diikuti dengan [Name] yang menatapnya malas. Lalu mendorong kursi roda perlahan keluar dari ruangan cek dann menuju ruangan rawat, masih harus dirawat beberapa hari.

Syukurlah, dia mendengarkan kata hatinya untuk menemui [Name]. Sehingga kabar baik yang di dapatkannya. Bukan hanya pikiran negatif saja.

Dan soal pendonor, memang benar Miya yang mendonorkannya dengan nama orang lain. Karena Miya memiliki 70% kecocokan dibanding orang lain.

Karena itu, lebih baik gadis itu tidak tahu, agar dia tidak membenci dirinya sendiri karena itu.

"I love youuuu !" [Name] meneriakkan nya di sepanjang koridor ruangan.

Sedangkan Miya bingung bagaimana membalasnya.

"I L-word u."

"Dih gak ikhlas."

"Biarin. Yang penting aku nepatin janji sama kamu terus." 

"Heheh"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top