#Punishment01
Nama : Aohana Mashiro (Mashiro) aomashi
Kesalahan : Tidak menyelesaikkan Angst Week dengan tepat waktu
Tema : Free / Bebas
Judul : Pengagum Rahasia
Sepasang manik toska Nilou menatap sebuket besar bunga padisarah di tangannya, benak berusaha menerka-nerka sosok sang pengirim.
Mungkin sudah tiga bulan lebih gadis bersurai merah itu menerima buket dengan bunga yang sama tiap kali selesai tampil. Sayangnya, tak ada nama tercantum dalam buket bunga tersebut. Ia bahkan tak pernah mendapati sang sosok pengirim kala meletakkan buket itu, mengingat banyaknya penonton yang memberikan hadiah maupun pujian usai penampilan menakjubkannya.
Nilou penasaran siapa sebenarnya sang sosok anonim pengirim buket padisarah itu. Tentu, ia yakin orang tersebut pastilah bukan bagian dari Akademiya― orang-orang dari instansi tersebut tak pernah sekali pun memuji penampilannya, bahkan tak ayal mereka mengatakan tarian yang ditampilkannya hanyalah membuang-buang waktu dan tidak berguna.
Sekumpulan orang yang mengaku intelektual tapi berpikiran sempit dan bermulut pahit, Nilou yakin sosok yang mengiriminya buket bunga keunguan beraroma semerbak itu bukan salah satu bagian dari mereka.
"Hei, Nilou! Penampilanmu tadi luar biasa!" puji makhluk kecil melayang bersurai putih dengan mahkota aneh di atas kepala― Paimon dengan suara riang. "Paimon sangat menyukai tarianmu!"
Gadis pirang bergaun putih di sebelah Paimon― Lumine mengangguk, senyuman merekah di bibir mungilnya. "Gerakanmu benar-benar indah. Aku sampai tidak bisa memalingkan pandangan darimu."
"Ah, Paimon dan Lumine." Nilou mengerjap kala mendengar pujian dari dua sekawan pengembara itu. Ia pun menoleh, bibirnya lantas mengulas senyum manis. "Terima kasih. Aku senang kalian menyukai penampilanku."
Setelah berucap demikian, kedua manik toskanya kembali menatap buket padisarah di dekapannya. Ekspresi bingung yang terlukis di rupa Nilou membuat Paimon dan Lumine melirik satu sama lain, sama-sama merasa penasaran dan cemas dengan apa yang tengah mengganggu pikiran teman penari mereka.
"Nilou?"
"Eh, iya?" Nilou menoleh kala mendengar panggilan bernada tinggi dari Paimon, mendapati makhluk pixie kecil nan aneh itu dan Lumine yang menatapnya dengan air muka khawatir. "Ada apa? Kenapa kalian memasang ekspresi seperti itu?"
"Apa kau baik-baik saja?" tanya Paimon cemas. "Kau baru saja melamun, lho."
Lumine berdeham setuju, kedua iris kuning keemasannya menatap ke arah buket besar bunga padisarah yang dipegang oleh sang gadis bernetra toska. "Apa mungkin hal yang mengganggu pikiranmu berhubungan dengan buket bunga di tanganmu? Dari tadi kau melihatnya terus."
"Eh, benarkah?" tanya Nilou meminta konfirmasi, yang mana langsung dibalas anggukan oleh Lumine dan Paimon. Gadis bersurai merah itu langsung menghela napas panjang, memasang ekspresi menyesal. "Maafkan aku. Karena terlalu larut dalam pikiranku, aku menjadi mengacuhkan kalian."
"Tidak apa-apa!" tanggap Paimon sembari melambaikan kedua telapak tangannya. "Jadi, bisakah kau menceritakan hal yang sedang mengusik pikiranmu? Mungkin saja Paimon dan Lumine bisa membantu."
Lumine mengangguk. "Tidak perlu sungkan, Nilou."
Bibir Nilou bergetar pelan, keraguan terpancar jelas dari selarap iris toska miliknya. Sang dara ingin membagi rasa penasaran ini dengan kedua temannya itu, namun di sisi lain, ia tak ingin merepotkan mereka karena mendengarkan masalahnya. Dirinya benar-benar bingung.
"Nilou." Paimon dan Lumine menatap sang adiratna bersurai merah dengan tatapan kesal dan tidak sabaran, keduanya berkacak pinggang.
Ditatap dengan pandangan demikian membuat niat Nilou untuk menyimpan masalahnya sendiri goyah. Namun pada akhirnya, iktikad tersebut runtuh jua.
Nilou menghela napas. "Baiklah, baiklah. Aku akan memberitahu kalian."
Jawaban yang diberikan oleh sang gadis penari membuat Paimon dan si pengembara melempar senyum kepada satu sama lain, keduanya mengangguk dengan seuntai senyum menghias rupa.
"Sebenarnya, beberapa bulan belakangan, aku selalu menerima satu buket bunga padisarah setelah selesai tampil--"
"Eh? Bukannya itu hal yang wa--hmph!" Selaan Paimon langsung berhenti begitu Lumine membungkam mulutnya. Pixie kecil itu bergumam tidak jelas dengan tatapan kesal pada si pembungkam.
Sang gadis bersurai pirang tidak menghiraukan gerutu tak jelas dari teman kecilnya yang dibungkan olehnya, memilih untuk menoleh ke arah Nilou. "Lanjutkan."
"B-Baiklah ...?" balas Nilou dengan agak ragu-ragu. "Sampai mana kita tadi ... oh iya! Jadi, aku selalu menerima satu buket bunga padisarah usai menampilkan tarian, tapi di buketnya tidak ada nama dari pengirimnya. Selain itu, aku juga tidak pernah melihat siapa yang meletakannya di dekat panggung. Sehingga hal ini membuatku penasaran."
Paimon menepis tangan Lumine yang sedari tadi membungkam mulutnya, kemudian menimpali, "Jadi intinya, kau penasaran dengan identitas pengagum rahasiamu?"
"Pengagum rahasiaku?"
"Yup! Mengirimimu bunga dengan identitas anonim, bukannya itu yang dinamakan pengagum rahasia?" terang Paimon sembari menyedekapkan tangan di depan dada. "Ada beberapa orang yang melakukan hal itu kepada orang yang mereka kagumi. Biasanya karena faktor malu, ada suatu hal yang menghalangi mereka untuk mencantumkan identitas atau hanya karena ingin terkesan misterius saja."
"Hm ... ada benarnya juga." Nilou mengangguk-anggukan kepala tanda mengerti. Ia lalu melihat ke arah Paimon, menorehkan seuntai senyum. "Terima kasih, Paimon. Kau tahu banyak, ya."
Sang pixie kecil tersenyum pongah sembari berkacak pinggang sebagai tanggapan. Lumine hanya bisa menghela napas dan menggelengkan kepala atas gestur yang diperlihatkan oleh pemandu perjalanannya itu.
"Dengan ini, ranah orang yang kita curigai sebagai Sang Anonim akan menjadi semakin sempit," jelas Lumine dengan senyuman sembari menyatukkan kedua telapak tangannya. "Berdasarkan penjelasan Paimon, aku memiliki asumsi siapa saja yang berkemungkinan menjadi Sang Anonim."
"Siapa saja?!" tanya Nilou antusias sembari menggenggam kedua telapak tangan Lumine, rasa penasaran benar-benar terpancar dari mimik wajahnya yang tidak sabaran.
Lumine melepaskan telapak tangannya dari sang gadis bernetra toska dan mulai menjelaskan, "Akan kujelaskan satu persatu. Orang pertama dari asumsiku adalah Cyno--"
"Eh?! Jenderal Mahamatra dari Akademiya itu?! Tapi itu tidak--" Nilou langsung menutup mulutnya dengan kedua tangan ketika mendapati Lumine menatapnya tajam sembari menaruh telunjuk di bibirnya sendiri. "M-Maaf."
Sang pengembara hanya menghela napas, ia kemudian melanjutkan, "Seperti yang kukatakan tadi, orang pertama yang berkemungkinan di balik identitas Sang Anonim adalah Cyno, Sang Jenderal Mahamatra dari Akademiya. Tentu aku memasukannya dalam daftar kemungkinan bukan tanpa alasan.
"Aku dengar beberapa desas-desus bahwa Jenderal Mahamatra terlihat di Kota Sumeru di waktu-waktu tertentu.
"Lalu, saat aku dan Paimon pergi ke Desa Gandharva untuk mengunjungi Tighnari dan Collei, ketua penjaga hutan itu terlihat sangat kesal karena dia mengatakan kalau ada yang memetik bunga di Hutan Avidya tanpa izin. Dari ekspresinya, wajah kesal Tighnari lebih mengerikan daripada saat mendapati orang yang memakan jamur beracun karena tak membaca buku panduan.
"Kalau menurut asumsi Collei, masternya itu hanya bereaksi demikian jika menyangkut soal Cyno.
"Sedangkan untuk bunga ya, aku tidak tahu jenis mana yang dimaksud oleh Tighnari karena kala itu aku tak terlalu peduli dengan masalah tersebut.
"Lalu, orang kedua yang berkemungkinan adalah Al-Haitham. Walau berasal dari Akademiya, tapi tampaknya dia punya konflik dengan instansi itu. Dia orang yang cukup kaya menurutku, sehingga membeli satu buket besar bunga padisarah bukan hal yang sulit untuknya. Lalu, dia juga terkesan misterius, sehingga patut masuk ke daftar asumsi kita.
"Nah, sudah. Aku hanya berpikir dua orang itu yang mungkin merupakan sosok asli dari Sang Anonim," ucap Lumine sebagai akhiran penjelasan panjang lebarnya, ia menoleh ke arah Paimon yang melayang di sebelahnya. "Paimon, kau ingin menambahkan?"
"Penjelasanmu terlalu rinci sampai Paimon pusing," keluh sang pixie bermata biru gelap. "Tapi, dari penjelasan Lumine tadi, bukankah sudah jelas kalau identitas Sang Anonim itu si Jenderal Mahamatra? Kalau Al-Haitham ... menurut Paimon dia cenderung terlihat seperti orang yang melakukan transaksi ilegal dengan organisasi mencurigakan seperti Fatui."
Lumine mendelik. "Hush Paimon, mulutmu!"
"Apa? 'Kan ini hanya pendapat pribadi," kilah Paimon sembari mengendikkan bahu.
Sementara kedua kawan seperjalanan itu bertengkar, Nilou kalut dalam pikirannya sendiri. Penjelasan dari Lumine memenuhi benaknya.
Ada dua orang yang berkemungkinan sebagai orang yang mengirimkan buket bunga padisarah padanya yaitu Cyno dan Al-Haitham. Awalnya terdengar meragukan mengingat dua orang tersebut berasal dari Akademiya. Namun setelah dipikir-pikir, ada kemungkinan mereka melakukannya jika didasarkan pada salah satu faktor yang disebutkan oleh Paimon beberapa saat lalu.
Keduanya misterius dan patut dicurigai, Nilou tak bisa menentukkan yang mana sebenarnya si pengirim buket anonim.
"Nilou?"
Atas panggilan tersebut, selarap ambar toska mengerjap. "Iya?"
Paimon menghela napas. "Lagi-lagi kau melamun."
Kekehan lolos dari mulut sang dara bersurai merah, bibirnya menyunggingkan senyum canggung. "Maaf, aku hanya kepikiran soal obrolan kita tadi."
"Itu baru asumsiku saja, jadi tidak perlu terlalu dipikirkan," saran Lumine sambil menepuk pundak kanan Nilou. "Lebih baik kau fokus untuk penampilanmu selanjutnya, ya."
Nilou mengangguk mengerti. "Kau benar. Terima kasih, Lumine, Paimon."
"Sama-sama!" jawab Paimon dan Lumine secara serentak.
"Kalau begitu kami pamit dulu. Kami ada janji dengan Tighnari di Desa Gandharva," tutur Lumine sembari tersenyum, tangannya terangkat dan melambai ke arah Nilou. "Sampai jumpa, Nilou."
"Kami pergi dulu, ya!"
Nilou melambai balik. "Iya, hati-hati di jalan."
Ketika sang pengembara dan pemandu kecilnya telah melangkah cukup jauh, gadis berambut merah panjang itu menghela napas panjang. Kedua netranya kembali memandang buket padisarah dalam dekapan, menikmati rupa indah sekumpulan bunga keunguan itu sebelum memasang ekspresi bimbang.
Bagaimana aku tidak bisa tidak memikirkan soal ini....
❁❁❁
Riuh tepuk tangan dan sorak sorai dari para penonton terdengar begitu meriah usai Nilou menyelesaikkan tariannya. Sang gadis penari memasang senyum cerah, membungkukkan badan ke arah pemirsa sebagai gestur berterima kasih atas apresiasi yang didapat.
Nilou menegakkan tubuhnya kembali, memandang senang orang-orang yang bersorak maupun tersenyum karena penampilannya. Sungguh pemandangan yang menyenangkan hati, sang adiratna tak ingin berhenti melihatnya.
Di antara kerumunan, manik toskanya menangkap sosok berjubah hitam dengan topi anubis yang beranjak dari tepi panggung nan penuh dengan buket bunga. Sosok itu pergi usai meletakkan buket bunga ... padisarah!
Mungkinkah orang itu....
Tanpa membuang waktu, Nilou langsung melompat turun dari panggung, mendarat mulus di atas jalanan kota. Ia pun berlari, mengejar sosok pria berjubah yang diasumsikannya sebagai si pemberi buket padisarah. Bibirnya terus melantunkan kata maaf membelah kerumunan yang masih bergerombol.
Ketika pandangannya kembali menyapu sekitar, Nilou tak lagi melihat sosok berjubah tersebut. Ia gagal mengetahui identitas Sang Anonim.
Kedua telapak tangan gadis itu mengepal. Padahal tinggal sedikit lagi.
Sang adiratna sama sekali tak mengetahui kala rasa dongkol memenuhi relung hatinya, selarap netra jingga tengah menatapnya sebelum menghilang di antara hiruk-pikuk jalanan Kota Sumeru.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top