2. Azura

Womkela berhasil menemukan jaring yang dilupakan di rimba. Perangkap itu menjadi alasan menemui Pemudi Cerah, meski alasan utamanya karena mencari jalan keluar dari kekacauan. Saat tiba di sungai, mereka mendapatinya muncul dari air tawar, tetapi kembali berenang menjauh.

Mereka tahu ia marah kepada Isep yang melanggar hukum alam, karena tidak melakukan pertukaran. Sebab itulah mereka ingin bicara. Namun, karena terus menghindar, mereka segera membentang jaring untuk menangkapnya saat kembali muncul di air.

Usaha itu membuahkan hasil, kemudian mereka memohon, "Maafkan kami, Pemudi Cerah. Tolong beritahu petunjuk mengenai sang pemimpin." Alam memang akan memilih dengan sendiri. Namun, menunggu hanya membuat seisi Gunung Jayawijaya dikutuk.

"Tanyakan saja pada raja rimba," sahutnya ketus, kemudian manifestasi menjadi air untuk melepaskan diri dari jaring. "Aku ini roh air, kenapa pula dipanggil Pemudi Cerah?" Kini, semua menjadi masuk akal dengan pertemuan pertama mereka di dekat sungai.

Womkela yang pertama kali menyebutnya demikian menjadi tergugup. Padahal, ia hanya ingin memberikan panggilan khusus, karena mereka belum saling mengenal. "Kami pikir Roh Air tahu sesuatu," ralat Womkela kemudian.

Ia mengembuskan napas kasar. "Panggil aku Eniwit saja." Ia mengambil wujud manusia seraya keluar dari sungai. "Aku tidak bisa memberikan kalian petunjuk siapa pemimpin itu, tapi aku akan menunjukkan jalan kepada kalian berempat untuk menemui-Nya."

Mereka mengernyit. Pasalnya, yang menemuinya di sini hanya tiga orang. Serta-merta Imbong muncul dari balik pepohonan ketika persembunyiannya diketahui. Ia menyengir canggung. "Mo-mohon, izinkan aku ikut."

Para pemudi cenderung lebih lemah, dan sepatutnya menjaga ladang. Namun, sebagai anak mendiang kepala suku, Imbong tidak mungkin hanya diam dan menunggu, di saat orang lain mencari cara memperjuangkan mama.

Sementara Isep merasa jenuh dengan uluran waktu dalam wacana keberangkatan. "Baik. Biarkan aku pulang, dan Imbong menggantikanku." Ia malas berurusan dengan hal sakral lagi setelah menjadi tersangka, tetapi Eniwit segera menyangkal dan mengajak mereka semua melakukan perjalanan. Isep pun tak acuh mengikuti mereka.

***

Ada fenomena yang hanya muncul sekali dalam kurun waktu setahun. Yaitu, saat akhir menuju awal baru, suhu pada titik beku membuat Puncak Jaya mengalami hujan es dan mulai bersalju. Salju pada tempat yang disucikan itulah penangkal kobaran api kutukan di kaki gunung.

Untuk sampai ke sana, mereka harus mendaki. Berbekal tali dan tongkat sebagai alternatif memudahkan pendakian. Mereka yang biasa tersengat suhu panas pada sekitar kaki gunung, kini mulai merasa perubahan drastis di tengah perjalanan. Beruntung, Eniwit memberikan berkat sebagai roh air agar tubuh mereka terbiasa dengan udaranya.

Womkela paling bersemangat di sini. Sambil menunjuk puncak gunung, ia berseru, "Lihatlah, dari sini kepala mama mulai tampak!" Suku Amungme sangat menghormati puncak gunung dan menjadikan tempat paling sakral, di mana tersimpan berbagai ajaran mama kepada anak-anaknya.

"Kau benar," sahut Isip. Senyum hangat terpatri di bibir kelimanya, seolah mencairkan suasana dingin di sekitar pegunungan. Mereka pun melanjutkan perjalanan hingga menemukan danau-danau.

Jika tidak mendaki sekarang, mereka takkan tahu ada belasan danau berjejer di atas Gunung Jayawijaya. Warna airnya berbeda-beda, mengingatkan dengan tumbuhan leda di rimba yang sewarna pelangi. Mereka menyelisik; ada kuning, hijau, biru, bahkan dengan air nan jernih.

Beberapa danau cukup dangkal, ada pula yang tidak diketahui kedalamannya, membuat tatapan Imbong tenggelam. Sesaat, ia mengangumi parasnya yang terpantul di air. Membayangkan tengah dimahkotai bebungaan, lalu mendapat ucapan selamat sebagai pemimpin suku Amungme selanjutnya.

"Jangan terlalu hanyut dengan riak air, danau ini menimbulkan delusi," ucap Eniwit menyundulkan kepala dari danau, sehingga lamunan Imbong segera terbuyar. Kenyataannya, mereka tengah mencari pemimpin, bukan dirinyalah pemimpin tersebut.

Kini, langit berangsur senja sejauh waktu pendakian berjalan. Sesekali, mereka merasakan gunung es di Puncak Jaya menurunkan salju. Womkela beringsut dari sandaran pohon tempat melepas penat. "Sudahi istirahatnya. Kita lanjutkan perjalanan sebelum menyambut matahari terbenam kedua kali."

"Ya. Jika lewat dua hari kita tidak ditemukan, kita dianggap anak hilang," sahut Isep disambut gelak tawa oleh kawan-kawan. Sekarang perasaannya berangsur baik, dan benar bahwa kekacauan telah memudahkan mereka keluar tanpa dicurigai.

Mereka pun melanjutkan perjalanan melewati danau warna-warni. Sesekali muncul delusi ketika bayangannya terpantul di air. Seperti saat Isip kelelahan, dan merasa sudah berdiri pada Puncak Jaya. Padahal, masih dalam perjalanan, sehingga Isip nyaris terjatuh. Beruntung Imbong segera menariknya, meski berakhir jengah karena sempat berdelusi yang tidak-tidak pula.

Setelah berhasil melewati bagian tersulit, gunung bersalju menyambut mereka. Isep berlarian merentangkan tangan, takingin ada orang lain mendahului untuk menjangkau Puncak Jaya. Eniwit mengulurkan tangan sambil tertawa jenaka saat merasakan butiran salju menyentuh telapak tangannya. Sementara Isip bergeming. Antara kepalang kelelahan, serta terhipnotis oleh salju di tanah yang tak seharusnya bersalju.

Womkela berjalan mendekat seraya meraih tangan Eniwit, disusul yang lain saling berpegang tangan. Ia memandang kawan-kawannya dengan netra berbinar. "Hei, ini saatnya meneriakkan keinginan kita ... kalian tahu, kan?" tanyanya yang langsung dibalas anggukan.

Serta-merta mereka mengucapkan doa turun-temurun dari Moyang Purba, "Kami telah melakukan perjalanan sakral mendaki puncak kepala mama, 'tuk memadamkan kutukan dengan salju ajaib-Mu. Wahai Moyang Purba, suri tauladan kami. Tunjukkanlah jalan menuju padang bahagia abadi, dunia hai jogon. Di mana tiada penyakit, lapar, dahaga, kebencian, permusuhan, dan maut."

Bersama dengan itu, terdengar suara alam memekakkan. Kilatan di langit saling bersahutan seolah menyambut doa tersebut. Butir-butiran salju melingkupi mereka. Jiwanya pun berdesir saat menyatu dengan salju, menciptakan perasaan hangat sekaligus dingin. Kini, mereka mendapat posisi pemimpin dengan mengorbankan raga sejati.

Womkela, Isip, Isep, Imbong telah bertemu dengan Eniwit yang menunjuk jalan menuju hai jogon sebagai awal baru. Kelimanya menjadi gaib saat diturunkan kembali ke kaki gunung. Tubuh-tubuh mereka layak serpihan kecil, kemudian terbentuk menjadi batu oleh proses alamiah.

Disebut sebagai batu azura, bagian yang tertinggal dari lima legenda gaib. Batu azura pun dipelihara, menjadi cikal bakal kesuburan kembali tanah Papua karena pengaruh-Nya. Pun salju di Puncak Jaya tak hanya hadir saat keajaiban dalam setahun, tetapi suku Amungme dapat merasakan salju abadi setiap saat.

Sejak saat itu, tradisi wiwogo tidak lagi membakar batu, tetapi memuliakan batu azura. Sekali lagi, Tuhan kembali melakukan evolusi. Mulai dari Nagawan Into dengan posisi terpisah dari alam, berubah menjadi animisme ketika para keturunan-Nya menyatu dengan alam. Namun, kemudian bergerak dinamisme saat roh pemimpin mendiami batu azura.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top