1. Wiwogo
Nagawan Into, Tuhan bagi semesta menguji keturunan-Nya untuk menjaga alam. Ia mendirikan suku Amugme, sekaligus anak sulung dari bangsa manusia. Sementara tanah bagaikan mama, rahim yang mengandung manusia hingga bisa berpijak di atasnya. Manusia dan alam bagai kesatuan. Maka, jika merusak alam hancurlah mereka beserta tanah Papua.
Memiliki wilayah nan masyhur membuat mereka gemar melakukan perburuan. Tiga pemuda yang baru menginjak remaja ingin menunjukkan kejantanan dengan membawa hasil buruan untuk ritual akhir tahun. Namun, sekian lama melempar ubi dan singkong, tak sekalipun babi hutan terjerat umpan. "Sudahlah, makanan macam ini tidak mempan. Kita panah saja hewan keparat itu!"
Dua kawannya tengah memgamati dari atas bebatuan. Mata Womkela awas memindai sekitar seraya menyahuti, "Kita hanya boleh memanah sekali dan tepat sasaran, karena hewan persembahan harus dibawa hidup-hidup."
"Ya. Itu petuah Kepala Suku," timpal Isip. Ia lebih menikmati duduk di batu sembari berkecipak di sungai setelah lelah berjalan tadi. Airnya yang jernih memperlihatkan ikan-ikan kecil berenang, membuat pusaran dengan gelembung di kakinya.
Mendapat tanggapan demikian, Isep berdecak kesal. Kontradiktif dengannya, Isip terlalu patuh pada aturan. Untunglah keduanya tidaklah kembar. Hanya lahir bersamaan, lalu diberi nama serangkai oleh orang tua masing-masing. Isep pun takmau ambil pusing, kemudian memutuskan menelusur sendirian.
Pepohonan leda menjulang menyelimuti rimba. Batangnya sewarna pelangi akibat permukaan yang bergetah. Membuat sorot mata pemuda itu berubah teduh tatkala memandang keindahan alam. Jauh di sana, semak belukar bergoyang kencang meski desau angin tak berembus lebat. Isep lantas mengambil ancang-ancang memanah, ia merasa lebih nyaman bergerak individu.
Sementara itu, umbi-umbian yang dilemparkan dua kawannya telah habis. Skeptis, karena sekian umpan tak memunculkan babi hutan, Womkela segera menuju perangkap. Rupanya, yang tersembunyi di sana justru membuat terpana ... ada pemudi berkulit cerah disinari matahari, seolah bersaing manakah lebih indah antara sang surya atau kecantikannya?
Rambut ikalnya tampak digerai, bola mata yang berkaca-kaca justru menarik bagi Womkela. Terlebih caranya saat makan dengan lahap. Tiba-tiba ia menyadari sesuatu. "Hentikan! Kau tidak boleh makan singkong mentah-mentah," pekiknya panik, sebab kadar sianida tumbuhan itu bisa membuat keracunan.
Ia membalas dengan kernyitan singkat, kemudian kembali mengunyah hingga pada santapan terakhir. "Daripada itu, tolong keluarkan aku dari dalam sini," ucapnya pamrih sambil memelas tatkala terperangkap.
Womkela yang semula mematung perlahan melepaskan tali-temali pengikat jaring. "Kenapa kau berada di sini?" Pasalnya, para pemudi sibuk meracik untuk makan besar. Namun, Womkela belum pernah melihat pemudi berkulit cerah sebelumnya, mereka cenderung hitam manis bagai tersengat matahari.
"Mencari udara segar dari sumbernya." Pemudi Cerah mendongak, ada berbagai macam flora tumbuh dalam satu vegetasi. Rantingnya merambat dengan daun lebar melambai-lambai. "Kau tahu? Angin muson timur punya nuansa berbeda, seolah mengatakan 'selamat tinggal akhir tahun'."
Angin pun menjawab dengan menyibakkan rambutnya, membuat Womkela kepayahan menghadapi puber pertama. Ia segera menyangkal, "Dan apa kau tahu? Pemudi dilarang berburu. Kamilah yang melakukan persembahan untuk dimasak Mama."
Pemudi Cerah hanya tersenyum. Taklama kemudian, terdengar derap langkah mendekat. "Buruanmu tidak buruk juga." Isip memberi sarkas tatkala menyelisik seseorang sedang duduk manis di sana, sementara ia tidak mendapat babi hutan. Sebagai gantinya, Isip menangkap ikan untuk menu sampingan.
"Jika mengambil sesuatu dari alam, haruslah membayar dari milik kalian yang setimpal," ucap Pemudi Cerah tiba-tiba, tatkala memandang Isip tengah menenteng ikan pada bentangan akar sebagai pengait kepala ikan satu dengan lainnya.
Awalnya, Isip ragu memberikan kerang paling indah yang dipilih di sungai tadi sebagai timbal balik dari alam. Syukurlah, ia menerima dengan baik. Dari situlah mereka memahami ada sesuatu berbeda dari pemudi itu, tak serupa dengan orang lain ....
Mereka pun memutuskan bergegas pulang. Di tengah perjalanan, barulah Womkela mengingat bahwa telah melupakan jaring di rimba. Alih-alih merasa kalut, ia justru sumringah. "Sepertinya takdir mempertemukan kita lagi," ujarnya membatin sambil melanjutkan perjalanan setapak.
Wilayahnya terbentang hingga dataran tinggi di kaki Gunung Jayawijaya. Langit bersih dibubuhi awan sirius seperti gula-gula kapas melingkupi pengunungan. Ketika mereka sampai di lereng, asap putih mengepul dari rumah penduduk. Nuansa kehidupan itu membuat bersemangat untuk pulang. Naas, seseorang yang menyambut di depan gapura sangat ingin dihindari.
Ia berdiri tanpa alas kaki dengan tinggi ideal, hanya saja bobot tubuhnya cukup kurus. Bahkan, kalung dari kulit labu kering takcukup menutupi tulang dadanya. Saat Womkela dan Isip lewat, ia tertawa mengejek. "Memanah sekali dan tepat sasaran atau tidak memanah sama sekali?" tanyanya memprovokasi, mengabaikan penari yang menghibur para pemuda kembali ke kaki gunung.
Keduanya hanya berlalu mengikuti hingar-bingar manusia menuju tanah lapang. Masing-masing membawa kelengkapan ritual, yaitu setumpuk kayu, bebatuan dan racikan. Suara nyanyian pun terdengar, guna memanggil para suku Amungme berkumpul melakukan ritual akhir tahun.
Angaye-angaye, no emki untaye
Angaye bao, aa, bao
Angaye-angaye, wagana nikaro
Morae banago, bao, aa, bao
Antok anu ae anago, bao, bao
Jilki untae bawano, bao, bao
Lagu purba itu saling sambung, saling sahut hingga terdengar kompak. Jika aksara tidak cukup mewakili perasaan, maka nyanyian dapat dilantunkan merdu untuk memuji mama, meliputi; gunung, lembah, hutan, dan rimba. Mereka pun melanjutkan bait kedua.
Kukasih gunung-gunung, yang agung mulia
Dan awan yang melayang, keliling puncaknya
Kukasih hutan rimba, pelindung tanahku
Kusuka mengembara, di bawah naungmu
Bersama nyanyian itu, tanah lapang kini dijejali lautan manusia. Mereka hendak melaksanakan tradisi wiwogo; masing-masing diberi giliran menumpuk satu batu miliknya dengan dibubuhi api kayu, kemudian menyanyi, menari mengelilingi api unggun.
Entakan kaki penari takkalah keras dari tepuk tangan penonton. Gerak-geriknya penuh ketegasan, memberikan dinamika tersendiri dengan pakaian terbuka yang dikenakan. Terlebih, rok para pemudi dalam balutan serat kayu merumbai saat tengah bergoyang.
"Wiwogo adalah cara kita menghargai Moyang Purba. Jiwa-jiwa kalian bagai bara bebatuan untuk kembali pada mama, tanah Papua." Suara Kepala Suku menggema, "Perjalanan menjejaki penghujung tahun telah usai. Akan ada jalan menuju padang bahagia abadi, dunia hai jogon. Di mana tiada penyakit, lapar, dahaga, kebencian, permusuhan, dan maut."
Para suku Amungme mengangguk takzim, mereka bersorak-sorai meratapi kobaran api. "Janji kita untuk menjaga alam sebagai rahim mama, mensucikan gunung-gunung sebagai kepala mama. Sampai awal menjadi akhir, dan akhir menuju titik penghabisan."
Ketika kayu menyisahkan arang dan batu mulai memanas, Kepala Suku berdiri menghadap pasak tempat babi hutan digantung untuk memanahnya, diikuti para tetua adat. Inilah yang mereka nantikan saat ritual, ketika babi dipanah dan langsung mati menjadi pertanda acara sukses.
Akan tetapi, wajah-wajah penuh senyuman sirna ketika para tetua tak berhasil memanah. Dilanda gundah jika itu pertanda acara takkan berjalan baik, hingga satu per satu pemuda diberi giliran. Isep jadi besar kepala. Sebab ialah pembawa persembahan, serta anak panahnya berhasil membunuh babi hutan.
Para pemudi pun memasak hewan itu di tungku api tempat wiwogo dilaksanakan. Sayang, segalanya terbukti tidak baik-baik saja ketika api memenuhi kuali. Semakin lama, semakin berkobar hingga mereka menjauhi pusat kebakaran. Imbong---salah satu juru masak sekaligus anak kepala suku menyadari ada kejanggalan. "Apa yang sebenarnya terjadi?"
Isep menggeleng, ia pun dilanda kalut. Barulah saat Womkela berhasil meredupkan api, terlihat kenyataan yang lebih pahit ... persembahan babi di tiang pasak berganti dengan tubuh Kepala Suku. Semua memekik, beberapa menangis ketika melihat ritual ternistakan, serta meninggalnya figur utama bagi suku Amungme.
Ingatan Isip mundur ke belakang, kala ia memberikan kerang sebagai pertukaran untuk ikan yang ditangkap. "Kau ...." Ia memandang Isep dengan kernyitan dalam, takut jika perkataannya melukai hati pemuda itu. "Tidak memberikan timbal balik kepada alam dari apa yang kauburu?"
"Jangan menuduhku!" Isep gelagapan. "Aku berburu murni tanpa paksaan, dan memberi persembahan tanpa mengharap timbal balik apa pun," ujarnya dengan menggebu. Takmau dirinya disalahkan.
Belum sempat Isip menyanggah, seorang wanita paruh baya yang dipanggil mama, karena posisinya sebagai istri kepala suku membuat perkumpulan pada bekas lingkaran api. Di sampingnya ada Imbong, ia masih berkabung atas kepergian sang papa.
"Suku Amungme telah dikutuk." Sejurus kalimat itu berhasil menarik atensi mereka. "Nagawan Into telah mengkaruniai kekayaan alam, tapi kita hanya mengambil tanpa membalas. Sekarang, lihatlah bagaimana alam murka, mengambil hal berharga milik kita."
Mama beralih menatap satu per satu dari mereka dengan serius. "Sebelum seisi Gunung Jayawijaya dikutuk, harus ada jiwa pengganti Kepala Suku yang telah tiada," pungkasnya tegas, meski masih merasa kehilangan.
Semua tentu ingin mengambil posisi agung tersebut. Sayangnya, pemimpin tidak diwariskan ataupun dipilih berdasarkan jumlah suara, melainkan secara alami terjadi karena proses waktu dan situasi. Pun setelah Nagawan Into menurunkan anaknya ke bumi, tidak ada lagi gagasan bahwa Tuhan terpisah dari alam. Roh dan alam berada dalam satu dunia, dan itulah pemimpin yang dicari.
Mereka masih bimbang dengan betapa sulit mendapat pengganti kepala suku, tetapi menjadi wajar jika ia layak dikatakan pemimpin. Womkela lantas tersenyum penuh arti. Ia berbisik kepada Isip, "Pemudi Cerah pasti tahu sesuatu."
Isip mengangguk. Pemudi Cerah memahami hal mendalam tentang alam. Terlebih ia tidak mengalami gejala apa pun setelah keracunan, seolah tahu dirinya abadi. Sebelum keduanya kembali menuju rimba, Womkela pun hendak membawa Isep ikut bersama.
"Ayo, kau juga harus tanggung jawab." Isip memohon sambil membantu Womkela mengunci pergerakan. Isep telah melibatkannya dalam masalah, dan Isip ingin membuat pemuda itu menebus dosa. Beginilah keterpautan keduanya di antara tindakan bertolak belakang.
"Jangan seenaknya. Aku takmau terlibat lagi!" Isep meronta-ronta, tetapi keduanya tidak menggubris seraya bergegas menelusur rimba. Berharap Pemudi Cerah memang tinggal di sana, dan meramalkan kedatangan ketiganya. Dalam malam gulita, tanpa mereka sadari ada seseorang yang membuntuti.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top