9. I Come Because You Call Me
Oh my God!
Entah harus berapa kali kuucapkan kalimat tersebut demi mengekspresikan keterkejutanku saat ini.
Itu Jimin dengan wujud hellhound yang jauh dari bayanganku.
Biar kuberi tahu, Jimin dalam wujud hellhound yang selalu aku bayangkan adalah seperti seekor anak anjing pada umumnya—menggemaskan, lucu, dan kau akan selalu ingin memeluknya. Namun, yang ada di hadapanku sekarang ternyata sangat jauh berbeda, hingga membuat napasmu seolah berhenti karena jantungmu telah hancur lebur setelah mendengar geraman tersebut.
Jimin terlalu menyeramkan untuk disebut puppy. Ukuran tubuhnya sebesar rumah tingkat dua, suaranya begitu keras sehingga bisa didengar dari stasiun kereta Busan di Distrik Dong.
Kuharap setelah ini, tidak ada siapa pun yang mengalami masalah pendengaran. Termasuk aku.
"Kau ... Jimin, wae?" Itulah yang kutanyakan pertama kali saat kesadaranku kembali, yang mana aku sendiri bahkan tidak sadar tengah terduduk di badan jalan dekat taman bunga di kawasan Menara Busan.
Jimin menundukkan kepalanya hingga benar-benar berada di hadapanku, seperti seekor peliharaan yang ingin dimanja tuannya. Jimin memang belum mengatakan apa pun, tapi aku paham sekali bahasa tubuh itu jadi dengan tangan gemetar kusentuh bulu-bulu halus di kepalanya.
Begitu lembut, hingga aku bisa meyakini bahwa ini adalah bulu hewan paling lembut di dunia.
"Kau memanggilku, Kim dan kita terikat satu sama lain jadi mudah untuk menemukanmu." Mataku membulat tiba-tiba. Ini adalah kontak batin, maksudnya aku bisa mendegar isi pikiran Jimin saat ia berwujud hellhound. "Jangan dekati Taehyung-ssi lagi. Dia bukan orang yang baik, Kim."
Tertawa pelan, kembali kuusap kepalanya. "Kau mengkhawatirkanku?" tanyaku pelan. "Aku baik-baik saja. Dari dulu Taehyung memang suka melakukan lelucon ekstrim."
Belum ada perbincangan lebih lanjut dan Jimin masih bertahan dengan wujud aslinya. Ia bahkan berbaring sambil membuka kedua bola matanya—menatapku—seolah tidak peduli bahwa tubuh hellhound itu telah memenuhi setengah halaman Menara Busan.
Kupikir orang-orang di sekitar kami tidak terganggu dengan pemandangan ini.
Atau mereka hanya melihatku seperti tuna wisma yang kebingungan, hingga berubah menjadi orang sinting saat mencari tempat untuk beristirahat. Pasalnya, jam bekerja telah usai dan kehidupan malam sesungguhnya pun baru saja dimulai.
Mereka—para tuna wisma mulai berkeliaran di sekitar kami, sambil sesekali mengais-ngais tong sampah mencari peruntungan.
Sejenak aku melupakan Taehyung dan juga Jimin, sebab pemandangan malam ini adalah yang pertama kali bagiku.
Kehidupan mereka ternyata jauh lebih keras dari yang kami pikirkan. Bayangkan saja setiap minggu di sekitar gereja—setelah beribadah— kami selalu membagikan sarapan gratis dan uang untuk para tuna wisma.
Kami pikir uang itu akan cukup untuk beberapa hari. Namun, siapa yang tahu bahwa hukum rimba begitu terasa di dunia mereka.
... karena barusan aku melihat sekelompok anak muda berlari, sambil memaki dan membawa tas hitam lusuh lalu di belakangnya, seorang wanita sedang mengejar mereka.
"Jimin, kau tunggu di sini," perintahku cepat, sambil segera bangkit dan hendak berlari. (Aku tidak bisa berkelahi, tapi tidak ada salahnya 'kan membantu?) "Ahjumma itu membutuhkan bantuan."
Belum sempat melangkah lebar, Jimin malah menahan kakiku kemudian sosok manusia yang tinggi menjulang itu, berdiri sambil menyentuh wajahku dengan tangan kirinya. Aku terkejut, tentu saja karena tidak tahu kapan Jimin berubah wujud menjadi manusia normal.
Dan yang jadi masalah besarnya adalah ....
... Jimin bertelanjang dada, memamerkan abs yang membuat semua gadis polos akan histeris.
"Pakai ini, Jim. Aku harus segera pergi dan jangan menahanku lagi," kataku dengan terburu-buru melepaskan baju hangat, hingga hanya menyisakan pajama.
Tubuhku menggigil saat embusan angin menerpa, tapi tidak ada pilihan lain karena ada dua manusia yang harus kuselamatkan—Jimin dan Bibi itu.
Berlari secepat mungkin, kuabaikan panggilan Jimin dan terus mengejar sekelompok pemuda yang merebut tas bibi itu.
"Ahjumma, kau tunggu di sini biar aku yang mengambil tasnya!"
"Ah, tidak ... tidak, Nak. Jangan ambil ba—"
"Ahjumma, kau tenang saja!" pekikku lagi sambil terus berlari, setelah sesaat menahannya.
Namun, kejutan itu datang. Entah bagaimana caranya, tiba-tiba saja Jimin sudah berjalan santai ke arah kami sambil membawa tas milik bibi itu.
Aku mulai bertanya-tanya dan Jimin hanya memberikan senyum manisnya.
"Tas ini milik, Bibi, 'kan?" tanya Jimin, mengabaikan ekspresi penuh pertanyaan di wajahku.
"Kamsahamnida," ucap Sang Bibi kemudian berlalu begitu saja. Tanpa melihatku dan tanpa basa-basi hangat.
Alright, itu tidak penting karena yang terpenting sekarang adalah bagaimana Jimin bisa mendapatkan tasnya tanpa mendahuluiku, terlebih dahulu.
Oh, baiklah aku melupakan satu fakta bahwa Jimin bukan manusia. Ini pasti manipulatif dan bibi itu baru saja ter—
"Kau tidak menggunakan kemampuan manipulatifmu pada ahjumma itu, 'kan?!" Mencengkram kedua lengan Jimin, kuubah posisinya secara paksa agar berhadapan denganku lalu memberikan tatapan penuh selidik.
Jimin menggeleng pelan. "Tidak sama sekali. Aku membantunya seperti yang kau inginkan, Kim," ungkap Jimin dengan nada yang menurutku penuh kejujuran jadi aku mengangguk pelan.
"Syukurlah, setidaknya bibi itu baik-baik saja, tapi—"
"Tapi aku tidak tahu harus bagaimana memperlakukan mereka karena Kim pasti takkan suka jika aku membunuh mereka."
Seruously, mataku membola. Jimin sinting! Kau akan dipenjara jika membunuh mereka.
"Jadi apa yang kau lakukan?"
"Memukul mereka. Seperti ini," kata Jimin sambil memperagakan pukulan khas atlet bela diri. "Jungkook hyung yang mengajariku. Dia sungguh luar biasa."
Dan saat mendengar ucapan Jimin barusan, aku jadi tidak tahu harus marah, bangga atau menganggap Jimin imut.
Nyatanya Jimin memang terlalu cute saat mempraktekan bagaimana dia berkelahi tadi—aku suka ekspresi bahagianya—jadi sebagai hadiah lebih baik diam saja.
Jantung ini perlu ditenangkan dan aku masih berada di tengah kota dengan hanya mengenakan pajama.
Kupeluk diriku sendiri, sambil berjalan pulang membelakangi Jimin. Sayup-sayup langkah lelaki itu terdengar, semakin lama semakin mendekat hingga sebuah back hug menghangatkan tubuhku.
"Kau kedinginan, Kim," tukas Jimin dengan nada berbisik tepat di telingaku. "Seharusnya Kim jangan memberikan jaket ini padaku. Akan kulepaskan kembali untukmu." Jimin lalu mengecup pucuk kepalaku.
Holly shit! Kenapa harus melakukan itu di saat seperti ini?
Maksudku, mencium di tempat umum—wajahku pasti sudah kacau sekali sama halnya dengan jantungku yang ... sial! Tidak bisa kuungkapkan dengan kata-kata.
"Pakai saja baju hangatnya, kau tidak ingin membuatku pingsan di jalan, 'kan?" Buru-buru kulepas pelukan Jimin kemudian berjalan cepat, agar lelaki itu tidak melihat wajah tegangku.
Kuakui ini bukan pertama kali bagiku, melakukan kontak fisik dengan seorang lelaki. Namun, kalau dia adalah lelaki paling tampan sedunia, maka itu adalah hal terlangka bagiku sebab selama enam belas tahun aku belum pernah berkencan dengan lelaki tampan.
Jangan katakan standarku payah karena selama di Salem Fork, aku sempat menyukai Jack—lelaki paling seksi di West Virginia. Namun, terpatahkan karena dia berkencan dengan sahabatku sendiri—Bianca.
Aku tidak tahu sejak kapan mereka berkencan karena yang kutahu hanyalah saat itu grandma juga meninggalkan dunia. So ... you know what should I think in that situation, right?
Bianca bahkan tidak peduli denganku jadi akan kuralat, dia bukan sahabat, tetapi mantan sahabat sejak aku mengetahui Bianca dan Jack berkencan lalu gadis itu menjelak-jelekkan namaku, mengatakan omong kosong mengenai kematian grandma hingga aku dianggap sebagai gadis aneh.
Menyebalkan, seharusnya aku jambak saja rambut pirang emasnya itu!
Jimin berjalan di sisiku lalu menautkan tangan kami berdua dan menoleh ke arahku. "Kim, kau marah padaku?"
Ya Tuhan, kau makhluk paling imut di dunia dan jika aku marah, maka itu sama saja bahwa aku adalah orang tersinting selama hidup. "Tidak, Jim. Hanya saja, mengapa kau suka sekali melakukan kontak fisik seolah kita sedang berkencan?"
"Berkencan?" Jimin menaikkan kedua alisnya.
Aku mengembuskan napas. Suhunya semakin panas, percayalah. Mungkin karena di sebelahku adalah anjing dari neraka berparas rupawan.
"Kau tidak tahu artinya?"
Jimin menggeleng.
"Kau dan aku, hanya berdua. Seperti ini lalu kau menciumku dan bisa saja melakukan hal lebih," jelasku sekenanya karena kupikir ini memalukan.
Wajahku semakin memerah.
"Aku suka mencium, Kim. Aromamu sangat enak."
"Oh, ya? Kalau begitu berikan aku uangmu dan belikan minuman gingseng sekarang," titahku demi menyembunyikan perasaan tak keruan atas sikap polos Jimin, kemudian menarik tangan lelaki itu menuju supermarket.
Beruntung Jimin tidak terlihat ingin membahas perbincangan kami lebih lanjut dan kebetulan aku juga tak berharap lebih. Jadi aku memilih duduk di kursi dekat dinding kaca—menunggu Jimin mencarikan minuman gingseng setelah beberapa kali bertanya dengan penjaga wanita yang terlihat jelas, sempat terperangah beberapa kali.
Dan saat melihat tanda bulan sabit di pergelangan tanganku,aku menyadari bahwa tanda tersebut terasa hangat.
Hangat seperti saat kau berada di musim panas pukul tujuh pagi.
"Senyummu adalah yang terbaik dari yang pernah kulihat. Jadi ... aku ingin terus berada di sisimu, Kim."
Mendengar kalimat penuh gombalan itu, seketika membuatku terperanjat hingga hampir menjatuhkan diri. Namun, beruntung karena Jimin berhasil menangkapku, sekaligus tidak beruntung sebab sekarang semua semakin kacau.
Jimin mengunci tatapanku. Seperti drama romantis dia menyisir lembut rambutku, dan ... saat itu pun tiba.
Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku. Aku menghitung mundur dengan jantung berdetak tak keruan, hingga semua hancur lebur saat suara ketukan di jendela terdengar.
"Kalian sedang apa?!" Teriakan lelaki itu penuh rasa humor yang siap untuk mengejek kami.
Seketika aku merasa ingin ditelan paus saja.
*****
Gua bingung nulis scene romantis sumvah jadi maaf cz receh atau garing banget di sini.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top