7. You're Suck!
Entah sejak kapan manusia, iblis, dan arwah orang mati bisa berteman dengan sangat baik, bahkan begitu kompak untuk mengerjai orang lain hingga kehilangan kesabarannya.
Semua itu terdapat pada Jungkook, Jimin, dan Hoseok lalu aku-lah korbannya.
Sial! Hanya karena aku tidak tahu banyak tentang sihir dan hanya berpedoman dengan buku milik grandma yang kuanggap sebagai cerita dongeng, mereka bisa membohongiku melakukan tindakan konyol.
Tidak perlu kujelaskan seberapa banyak mereka memintaku melakukan hal konyol untuk melakukan sihir karena yang terparah adalah, Jungkook mengatakan bahwa jika ingin mendapatkan sapu terbang atau senjata sekali pun, maka aku harus lari keliling lapangan sebanyak tiga puluh enam kali putaran.
Saat itu kupikir ini tidak ada bedanya dengan latihan wajib militer.
"Kau harus melakukannya jika ingin mendapatkannya. Sudah kubilang tidak ada sesuatu yang didapatkan secara instan, bahkan para koruptor harus merogoh banyak uang untuk mendapatkan sesuatu dalam penyuapan." Jungkook tertawa geli saat melihat ekspresi kelelahanku setelah mengelilingi lapangan sebanyak tiga puluh enam—ralat hanya tiga puluh kali putaran—atau jika berlanjut kau akan melihat gadis malang yang kehabisan napas.
Aku mengabaikannya dan berbaring di atas lapangan berumput sambil mengatur napas.
Kuharap angin tidak berembus kencang hingga menyingkap rok sekolahku, karena jika hal tersebut terjadi sama saja dengan memberikan tontonan gratis kepada tiga makhluk kurang ajar itu.
"Kau hanya membual, Jungkook," kataku setelah mengambil napas sebanyak-banyaknya lalu menyeka keringat di kening. "Kupikir yang kulakukan hanya cukup membaca mantra atau menyebutkan keinginanku saja. Seperti saat aku memanggil Jimin, iya, 'kan?"
Katakan iya Jimin! Itulah yang kuucapkan melalui tatapan mata. Namun, sepersekian detik kemudian aku memutar mata. Jimin menggeleng lalu berkata, "Itu berlaku untuk kemampuan alamiah, Kim."
"Kau tahu, Kim? Jika kau terlalu sering memutar bola matamu, maka suatu saat nanti kau bisa melihat otakmu dengan menggunakan matamu itu." Hoseok tertawa dengan perkataannya barusan, Jimin dan Jungkook mengikuti, sedangkan aku lagi-lagi memutar bola mata.
Lelucon Hoseok barusan adalah yang paling payah sedunia.
"Kalian hanya menipuku, berikan bukunya akan kucoba mengikuti setiap langkahnya." Sambil mengulurkan tangan ke arah Jungkook, aku mengisyaratkan agar lelaki manis itu segera memberikan buku grandma yang dia sita beberapa jam lalu.
Keterlaluan, bukan? Sejak kapan seorang pelatih menyita buku pedoman para muridnya kecuali jika ketahuan melakukan kecurangan? Tapi kupikir, aku tidak melakukan kecurangan sedikit pun. Bahkan memulainya saja belum.
Andai Taehyung ada di sini dan aku bisa berkomunikasi menggunakan telepati, mungkin aku bisa meminta bantuan Taehyung secara diam-diam.
Jungkook memberikan satu buku tebal milik grandma, aku segera mengambilnya. Namun, sesuatu terasa aneh ketika benda tersebut menyentuh tanganku. Terlalu ringan.
Aku menaikkan sebelah alis, menatap Jungkook dengan tatapan penuh tanya.
Mereka bertiga tertawa lagi, membuatku semakin bertanya-tanya lalu beberapa detik kemudian kepulan asap warna jingga terlihat di depan mata, di tangan kanan tempat aku memegang buku grandma.
Buku itu menghilang, meninggalkan sesuatu yang lebih kecil di dalam genggamanku.
Dasar tukang pamer! Lagi-lagi menggunakan sihir.
"Sekali lagi kau melemparkan lelucon, jangan harap akan mendapatkan jatah makan malam karena aku akan—"
"Daripada mengomel, lebih baik lihat dulu apa yang ada di dalam genggamanmu," kata Jungkook memotong ucapanku, sambil melipat kedua tangan di atas dada.
Memiringkan bibir beberapa saat seperti yang dilakukan pasien stroke, aku segera membuka genggamanku—Jimin dan Hoseok berdiri di antara tempat dudukku. Mereka tampak penasaran, tetapi tidak denganku karena pasti hanya daun kering atau binatang menjijikan seperti sebelumnya.
I'm a dead cheese! Mataku berbinar tidak bisa bergaya cool saat melihat apa yang ada di telapak tanganku. Well, Jungkook tahu bagaimana cara membuatku agar tidak terlalu marah akibat ulah isengnya. Dua permen cokelat dan selembar uang untuk membeli minuman, sudah cukup membuatku senang.
"Kau haus, bukan?" tanya Jungkook, sambil memegang buku grandma (yang asli) dengan menyelipkan jari telunjuk di antara lembaran-lembaran kertas di dalamnya.
Aku mengangguk. Bukan hanya aku, tapi Jimin dan Hoseok juga.
Err ... tunggu, sejak kapan hantu bisa merasakan haus?
"Aku hanya ingin mengikuti gerakan kalian berdua," kata Hoseok, seolah bisa membaca raut wajahku yang dipenuhi dengan pertanyaan.
"Gunakan uang itu untuk membeli minuman dan bawa ke sini tanpa harus menyentuhya. Kau tetap di sini," pinta Jungkook—tidak masuk akal bagiku—jika belum memercayai sihir.
"Menyenangkan!" seruku penuh keceriaan karena aku juga terlalu lelah untuk berjalan kaki. "Berikan bukunya, aku pasti bisa melakukannya hanya dengan sekali percobaan. Seperti bagaimana aku memanggil Jimin."
"Aku akan memeriksanya dari mesin minuman. Hoseok-ssi, kau ingin ikut?" tawar Jimin yang diam-diam membuat mataku berbinar. Kemungkinan makhluk tampan kesayanganku ini pasti akan menolongku demi menyelamatkan harga diriku di hadapan Jungkook, jika aku mengalami kegagalan di percobaan pertama.
"Kenapa tidak? Aku suka jalan-jalan." Hoseok terbang terlebih dahulu menuju gedung sekolah yang jika dari arah lapangan, harus menaiki banyak anak tangga kemudian memasuki lorong loker dan mesin minuman terdekat berdiri kokoh di belokan pertama.
Jimin mengikuti ke mana Hoseok pergi. Namun, belum sempat melangkah jauh Jungkook menahannya dengan berkata, "Jimin, jangan manjakan Kim di saat latihan, arraseo?"
Dan Jimin mengangguk lalu kembali berlari kecil mengikuti Hoseok, meninggalkan aku yang tanpa sadar membuka mulut seperti seorang idiot—Jungkook menegurku, dengan menyentuh daguku kemudian menaikkannya.
"Jadi ... terbangkan uangnya ke mesin minuman kemudian—"
"Aku tahu," kataku sambil merebut buku mantra di tangan Jungkook dan membukanya secara acak—mencari daftar isi. "Dan aku tidak sebodoh itu. Percayalah, hanya satu kali percobaan."
Jungkook tersenyum dengan gaya meremehkan kemudian duduk di sampingku, sambil memasang earphone. "Lakukan dan kita lihat."
Aku mengangguk mantap lalu membaca mantra halaman sepuluh, setelah meletakkan satu lembar uang pemberian Jungkook di atas telapak tangan kiri.
Beberapa titik cahaya merah magenta terlihat hampir menyelimuti uang tersebut, secara perlahan bagian ujung kertas itu menghilang. Namun, beberapa detik kemudian ....
... aku mengembuskan napas panjang.
Memalukan.
"Kau harus percaya sepenuhnya sebelum memulai semua ini," kata Jungkook lalu berebahkan tubuhnya, sambil masih mengamatiku.
"Oh, yeah ... dan aku sudah memercayainya. Asal kau tahu saja."
Setelah mendengar ucapanku, Jungkook hanya mengedikkan bahu. Aku bisa melihatnya dengan memberikan lirikan tajam. Percayalah, itu salah satu kehebatanku sebagi manusia—bisa melirik hampir 360 derajat. Mustahil, memang! Tapi aku bisa melakukannya.
"Pergilah dan bawa minuman untukku," kataku dengan nada tegas, sengaja menyuarakannya agar bisa terdengar oleh Jungkook—biasanya mereka hanya mengucapkan dari dalam hati, tapi karena Jungkook mengatakan aku belum memercayai sihir maka akan kuperlihatkan melalui ucapan lantang—sama seperti pertama dia membuatku memanggil Jimin ke dunia ini.
***
Setelah sembilan puluh sembilan kali (aku menghitungnya, percayalah) mengucapkan kalimat serupa, bahkan melakukan ritual paling konyol dengan berjalan mengelilingi Jungkook yang sedang membaca, aku tidak mendapatkan hasil apa pun. Uang pemberian Jungkook hanya mampu menghilang separuh di telapak tanganku kemudian kembali lagi seperti semula dan terus seperti itu, sampai tenggorokanku mengering.
"Aku tidak tahu lagi apa yang kurang denganku." Setelah genap mengucapkan mantra ke-seratus kali, akhirnya aku memutuskan untuk menjatuhkan diri—berbaring di sebelah Jungkook.
Lelaki itu melepaskan earphone-nya lalu melambaikan tangan ke arah tangga. Aku menoleh dan melihat Jimin berjalan menuruni tangga sambil membawa satu kaleng berwarna hijau-kuning—lemon bersoda—minuman favoritku—Jimin pantas mendapatkan predikat peliharaan paling perhatian sedunia.
"Kau hanya perlu memercayainya, Kim"—Jungkook memasukkan eraphone dan bukunya ke dalam tas lalu menoleh ke arahku—"Sama seperti saat kau memanggil Jimin. Hal itu berhasil karena kau baru saja melewati pengalaman sihir bersama Taehyung, bukan?"
Aku mengembuskan napas. "Lebih tepatnya Taehyung yang memaksaku untuk melewati pengalaman tersebut," kataku lalu mengambil kaleng minuman yang diberikan Jimin. "Thanks, Jimin."
"Mungkin kau perlu umpan untuk memercayai sekaligus mempelajari kemampuanmu."
Aku menengadahkan kepala. Yang barusan berbicara itu Hoseok dan kau tahu di mana dia berada, yaitu tepat di atas kepalaku—membungkuk seperti kami adalah makhluk kembar siam.
Lagi-lagi dia membuatku terkejut dengan menampakkan diri seperti itu.
"Kau umpannya," kataku asal yang disambut gelengan kepala oleh Hoseok.
"Aku tidak keberatan menjadi umpan. Kim tidak akan menyakitiku."
"Ya! Jangan berpikiran konyol Jimin. Jika kau jadi umpan, itu sama saja merusak konsentrasi Kimmy." Jungkook memukul pundak Jimin, sambil menatap ke arahku seolah tahu apa yang ada di dalam pikiranku.
Jungkook sialan, dia pasti meledekku karena sempat merona ketika Jimin bersikap perhatian denganku. Namun, kupikir aku tidak harus menyangkal fakta tersebut karena semua gadis pasti menyukai perhatian dari lelaki tampan.
Oh, God! Jangan sampai Jungkook mengatakan hal yang lebih memalukan lagi.
"Aku tidak akan merusak konsentrasi Kim, Jungkook hyung," ujar Jimin, membuatku memutar mata—Jimin terlalu polos untuk mengerti reaksi para gadis dan Hoseok kuharap jangan lagi mengutarakan lelucon payah karena tindakan barusan.
"Aku tulus ingin membantu Kim. Bagaimana pun, aku masih belum tahu bagaimana cara membalas kebaikannya karena telah menyelamatkanku dari neraka." Jimin melingkarkan lengannya di lenganku—seperti sungguhan tidak paham seperti apa efeknya terhadapku. "Jadi aku serius ingin menjadi umpan."
"Kau ... babo," bisikku sambil memalingkan wajah ke arah lain—yang pastinya bukan ke arah Jimin atau Jungkook, apalagi Hosek—mereka berada di sebelah kanan dan depanku—aku memilih arah kiri, memerhatikan tangga seolah ada pertunjukan paling menarik di sana.
Dan ... yep! Sesuatu yang menarik baru saja terlihat di anak tangga, seperti seorang superstar di bawah lampu sorot dengan beberpa flash kamera menyilaukan mata.
Oke itu berlebihan, tapi aku menyukainya karena dia adalah Suga—bersama Taehyung dengan sapu terbangnya.
Aku tidak tahu akan jadi apa setelah ini karena berada di tengah-tengah dua kubu berbeda itu menyulitkan. Terlebih ... hormon perempuanku menolak untuk diajak berkerja sama.
Sudah kuberitahu, 'kan Suga itu tipeku dan ....
"Keliatannya menarik, kami juga akan ikut melatihmu, Kim." Suga berdiri di anak tangga terakhir, sedangkan Taehyung duduk manis di tanah berumput berbentuk bidang miring yang terhubung dengan lapangan—sapu terbangnya sudah pergi ke arah utara setelah Taehyung menjetinkkan jari. "Tidak perlu mendapatkan izin dari Jungkook atau Jimin, bukan? Apalagi pada arwah gentayangan itu.
"Aku juga akan membantumu. Tenang saja, kau akan sangat terbantu jika ada aku," timpal Taehyung, membuatku semakin bingung untuk menolak. "Bukankah kau bisa memanggil Jimin setelah kita menaiki sapu terbang bersama?"
"Err ... kalian ...." Akan mengacaukan konsentrasiku. Sungguh! "Bagaimana bisa ...." Dengan kompak bergabung menjadi satu seperti ini? Ada rencana ingin membuat sebuah boygroup berisi enam lelaki tampan?
Burger! Yang kukatakan barusan itu hanya bercanda, tapi yang jelas aku tidak bisa memilih kalimat mana yang lebih tepat untuk kuutarakan kepada Suga dan Taehyung.
"Kami mengamatimu dan kupikir kalian tidak berbahaya," ujar Suga, sambil memperbaiki letak topi baseball-nya.
"Kau payah sekali, Kim," kata Taehyung dan itu menyakitkan sungguh.
****
Belum diedit
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top