2. No Effect If You're Not A Witch

Kenyataannya, Taehyung memaksa agar aku memercayai bahwa cerita fiksi Harry Potter itu sungguhan ada di dunia nyata.

Ini gila!

Pasalnya beberapa detik sebelum menjemput kematian, Taehyung sempat menarik tanganku kuat-kuat hingga kakiku tidak lagi berpijak pada bumi. Hal tersebut menghasilkan tuntutan tersirat, agar aku segera melihat apa yang telah terjadi dan selepas membuka mata, pemandangan di luar nalar pun akhirnya tersaji.

Kami berdua duduk di atas tongkat sapu—seperti milik Harry Potter, melayang-layang di antara gedung supermarket dan beberapa toko pakaian, serta sesekali menyelinap di antara celah para pejalan kaki.

Taehyung mengendarainya seolah dia adalah seorang pro atau sekalian saja kukatan, bahwa dia mungkin merupakan alumni di sekolah Gryffindor. Jika kisah fiksi penulis terkenal J.K. Rowling ialah kisah nyata.

Dan hal yang semakin membuatku gila adalah mereka tidak menyadari keberadaan kami, padahal aku sudah membuat keributan luar biasa sejak mataku terbuka dengan mencubiti diri sendiri.

Seriously! It's like daydream, but Taehyung says this is real.

"Percuma pura-pura polos jika sudah bertemu denganku," kata Taehyung, sambil mengusap punggungku dan menyerahkan saputangannya.

"Aku tidak tahu apa yang kau bicarakan, tapi kalau kau ingin mengatakan bahwa ini adalah ilusi optik, itu akan lebih masuk akal. Lagi pula ... astaga—" Ucapanku seketika terputus saat seluruh isi perutku kembali meminta untuk dikeluarkan.

Taehyung dan sapu terbangnya yang sialan itu, mereka sukses membuatku mual seperti habis naik roller coaster.

Percayalah, terakhir kali menaiki roller coaster saat wisata sekolah tiga tahun lalu membuatku jera untuk mencobanya kembali. Bagaimana tidak, semua rencana menikmati seluruh arena permainan hancur seketika karena seisi perutku mendadak minta dikeluarkan dan mengotori seluruh bajuku.

Demi Tuhan, itu pengalaman paling memalukan semasa hidupku.

"Bodoh! Kau itu sama denganku." Taehyung masih keras kepala mengatakan kalimat yang tidak kumengerti. "Bedanya kau murni dan aku tidak."

Setelah menyeka bibir dengan saputangan pemberian Taehyung, aku menatapnya dengan tatapan jengkel sekaligus bingung. Jengkel karena Taehyung hampir saja membuatku kehilangan nyawa dan bingung karena lelaki itu terus-menerus berbicara tentang penyihir, sapu terbang, alam gaib lalu sekarang mengatakan bahwa kami berbeda.

Aku murni dan dia tidak. Lelucon macam apa yang dia maksud?

Kutahan untuk tidak memutar mata karena itu tidak sopan lalu berdiri tegap di hadapan Taehyung. "Well, aku murni western dan kau bukan karena dilihat dari Menara Busan pun Kim Taehyung tetaplah lelaki Asia paling tampan sedunia," kataku, berusaha berpikir realistis dengan kejadian beberapa saat lalu, sambil mengedarkan pandangan demi mencari tahu di mana kami berada sekarang.

Lahan berumput dengan beberapa tumbuhan bunga liar, dan di tengahnya terdapat saluran anak sungai. Kami berdiri di bawah jembatan, sedikit ke arah pinggir, seolah ingin berlindungi dari cahaya matahari.

Aku belum pernah ke tempat ini dan sekarang Taehyung menculikku, berusaha menjejalkan kembali ajaran nenek yang sebenarnya sudah hampir terlupakan sejak kematiannya.

"Sekarang katakan padaku, bahwa kau adalah pesulap yang sedang menunjukkan kemampuan untuk menarik perhatianku."

Taehyung mendecak lalu menunjuk ke arah buku yang berada dalam pelukanku. Mau tidak mau, aku jadi mengikuti arah telunjuknya.

"Hanya orang-orang keturunan penyihir murni yang memiliki buku itu," kata Taehyung. "Mustahil kau mencuri, lagi pula bau kita sama."

Kerutan samar di keningku sukses tercipta, lebih tepatnya setelah Taehyung menyelesaikan ucapannya lalu diam-diam aku segera mencium tubuh sendiri. Merasa khawatir, jika saja yang dimaksud Taehyung adalah aroma busuk, menyerupai tumpukan sampah basah selama sebulan.

Hasilnya, Taehyung hanya mengada-ada. Tidak ada aroma busuk yang mengudara di dua lipatan ketiakku.

Dia sembarangan sekali dalam menuduh seorang gadis!

Aku mengerucutkan bibur dan ketika baru saja ingin mengelak, Taehyung kembali memberikan kejutan. Dia mengambil paksa buku warisan dari grandma dan bukan menggunakan tangan, melainkan benda tersebut melayang dengan sendirinya, mengikuti pergerakan telunjuk Taehyung.

Hari ini, kupikir hal aneh bukan hanya terjadi di Salem Fork, tapi juga di Busan dan dengan orang yang berbeda.

Dulu grandma diam-diam sering melakukan hal serupa seperti yang dilakukan Taehyung, menggerakan beberapa benda untuk membersihkan rumah. Jika terbangun terlalu pagi, sesekali aku melihat pemandangan tersebut dan ketika grandma menyadari kehadiranku, benda-benda itu akan berhenti dengan sendirinya.

Lalu di Busan, pemandangan itu kembali terjadi. Diawali dengan Bibi Kath melalui butiran gula dan Taehyung dengan sapu terbang serta buku yang melayang di depan mataku.

Aku tidak tahu harus mengelak seperti apa lagi, selain mengatakan bahwa mereka ahli dalam memainkan trik sulap.

Sekali lagi, aku tidak percaya adanya sihir di zaman sekarang.

"Aku yakin ini trik sulap," kataku lagi dan tanpa sadar membuat Taehyung hampir menjatuhkan rahangnya.

"Aku tidak tahu mengapa kau selalu mengelak kebenarannya. Apa kau perlu lebih banyak bukti agar percaya bahwa Kimberly Matsdotter adalah keturunan penyihir?"

"What!? Kau sama gilanya dengan mendiang my grandma di Salem Fork."

"Well, baca tulisan di buku ini dengan jelas dan lihat! Kau akan memercayainya jika berhasil." Taehyung mengarahkan telunjuknya, membuat buku bersampul kulit milik grandma mengarah padaku, memperlihatkan halaman dua puluh tiga.

"Summoner?" tanyaku dengan nada tidak percaya seolah hal itu adalah sesuatu yang pasti akan terjadi. Aku memutar mata, terlalu jengkel karena dipaska memercayai sesuatu. "Taehyung, dengar! Seseorang sudah memaksaku untuk mempelajari hal tersebut dan kau tahu—"

"Kim! What the hell are you doing?!"

Seketika ucapanku terputus. Aku menoleh ke arah suara tersebut dan melihat Jin tengah bersandar di pagar jembatan seolah tanpa sepengetahuan siapa pun, dia sedang mengawasi kami.

Sebenarnya aku cukup terkejut. Bertemu dengan Jin di jam sekarang adalah suatu kemustahilan, karena ini masih jam kerja.

Mata Jin mengarah ke arah Taehyung. Tatapannya begitu tajam, membuatku ikut mengamati mereka secara bergantian dan akhirnya diam-diam mengambil buku nenek yang masih melayang lalu menyimpan benda tersebut di dalam tas.

Diam-diam terbesit ingin kabur dari lelaki itu. Jin tidak boleh tahu, bahwa aku sedang membolos dan semoga setelah melakukan adu tatap dengan Taehyung, ia akan menganggap wujudku tadi hanyalah ilusi belaka.

"Kim, lari sekarang!" seru Jin, membuatku terkejut dan refleks menghentikan aksi mengendap-endap.

Menoleh ke arah Jin, aku menampilkan senyum paling tidak berdosa di dunia, sambil menunggu kalimat apa yang akan lelaki itu lontarkan selanjutnya.

Kuharap Jin tidak berniat menggantikan tugas Bibi Kath untuk memarahiku karena membolos.

"Kim!" bentaknya lagi, "Kau ingin mati, hah!"

Perasaan ingin memberontak tiba-tiba bermunculan. Selama ini, tidak ada satu pun yang membentakku dan Jin ... sial! Siap-siaplah menerima tinjuanku nanti.

Aku menoleh ke arah Taehyung, ingin menarik tangannya dan memperlihatkan Jin bahwa dia sebenarnya telah berprasangka buruk. Namun, belum sempat melangkah lebih dekat, seringai jahat sewarna hitam pekat terlihat jelas dari balik punggung lelaki itu dan seketika sesuatu menghantam kepalaku.

Begitu keras hingga membuatku terjatuh dan tidak bisa melihat apa pun. Semua terlihat gelap, seperti sosok seringai jahat yang berada di belakang punggung Taehyung dan ....

Burger! Aku tidak tahu apa yang terjadi, tetapi aku bisa mendengar suara Jin berteriak memanggil namaku beberapa kali.

Di waktu bersamaan aku bisa merasakan bahwa sesuatu sedang menyelimuti tubuhku. Terasa menyesakkan, hingga bernapas pun jadi terlampau sulit.

Jin, Taehyung ... beri tahu aku apa yang terjadi sekarang dan selamatkan aku.

***

Dalam keadaan setengah tidur, aku mencium aroma kue jahe yang biasa disajikan saat natal ditambah dengan suara lumayan bising milik Jungkook. Lagi-lagi dia menyelinap masuk ke kamar dan membuat keributan untuk membangunkanku.

Lelaki itu berbicara seorang diri, seolah ada orang lain yang sedang mengajaknya mengobrol. Aku tidak masalah dengan keanehan Jungkook jika ia sedang sendirian karena kupikir mungkin dia memiliki cita-cita untuk menjadi aktor suatu saat nanti. Jadi mengasah kemampuan berdialog adalah suatu kewajiban.

Namun, semakin lama kudengar serta semakin lama bernapas dalam keadaan setengah tidur, suara Jungkook dan aroma kue jahe malah menjadi semakin mendominasi. Aku membuka mata, menguap sekali lalu duduk di atas tempat tidur.

Sambil melihat ke pergelangan tangan demi mengetahui jam berapa sekarang, aku menggaruk kepala bagaian belakang yang sebanarnya tidak memberikan reaksi gatal.

Pukul 5.02 am, terlalu pagi untuk memulai aktivitas dan Jungkook sudah membuat keributan di kamarku.  "Jungkook ... kau tahu aku malas olah raga—"

Ucapanku seketika terputus, saat sepasang netra baru bangun tidur ini menemukan kondisi kamar yang luar biasa berantakan. Serpihan kue jahe bertebaran di seluruh lantai, buku-buku peninggalan grandma berserakan di beberapa tempat, dan Jungkook tampak santai membaca buku di depan gambar pentagram berbahan selotip hitam yang tertempel di lantai kamarku.

Seketika kamarku menjelma menjadi tempat pemujaan ilmu hitam.

"Jungkook! Apa-apaan ka—"

"Aku ingin mencobanya, tapi sepertinya ini bukan bakatku," ujar Jungkook, sambil tersenyum seperti anak berusia lima tahun.

Burger, you are so cute Jungkook!

Dengan menggunakan lutut ia menghampiri tempat tidurku lalu menumpukan dagu di kedua tangan yang terlipat di atas kasur. "Oh, ya, sebelum kau bertanya, kemarin Jin Hyung membawamu di punggungnya. Kau pingsan di dekat jembatan dan tanpa memberitahu apa pun dia menyuruhku untuk menjagamu. Jadi karena penasaran dan eomma juga tidak mau memberitahu, aku memutuskan untuk mencari tahu sendiri dengan membongkar semua buku-buku di kamarmu lalu ...."

Jungkook menggantung kalimatnya, seiring dengan pergerakan refleksku saat menerima rasa sakit kepala seperti serangan vertigo.

Aku tidak pernah mengalami hal ini, tetapi beberapa detik kemudian semuanya berakhir.

Ini mustahil dan tidak mungkin Jungkook yang melakukan hal tersebut.

"Kau melihat sesuatu?" tanyaku, mencoba meyakinkan diri bahwa memang hanya aku yang melihatnya.

"Seseorang mencoba menyakitimu dan aku menangkalnya. Kau adalah yang paling lemah di antara kami dan hal itu hanya karena kau tidak memercayainya," kata Jungkook, tanpa penjelasan lebih sambil meletakkan buku yang ia baca di hadapanku.

Menaikkan sebelah alis, ribuan pertanyaan seketika saling bergantian merasuki pikiranku. Aku penasaran dengan apa yang terjadi sebelumnya dan mengapa Jin harus melakukan hal tersebut? Padahal jalan antara sekolah bahasa dengan universitasnya saling bertolak belakang.

Pasti ada sesuatu yang kulupakan dan seseorang mungkin baru saja mengambil ingatanku.

Seperti yang grandma lakukan pada mantan biarawati saat aku berusia delapan tahun. Saat itu dia tertangkap ingin bunuh diri di ruang bawah tanah gereja dan grandma mengambil beberapa ingatannya.

Aku mengartikan peristiwa tersebut sebagai salah satu kegiatan hipnotis yang sering kali dilakukan oleh para psikiater, terhadap pasien mereka.

Aku menatap Jungkook dengan tatapan curiga, setelah membaca satu kalimat yang tertera pada buku tersebut. "Apa kau ingin mengatakan hal serupa dengan nenekku, seperti ... 'kita adalah penyihir'?"

Jungkook menggeleng, membuatku bernapas lega karena ternyata masih ada orang waras di sekitarku yang tidak meyakini keberadaan penyihir. Namun, tidak lama kemudian Jungkook kembali mengisyaratkan agar aku membaca tulisan di buku tersebut.

"Kalau bukan seorang penyihir, maka mantra ini tidak akan berpengaruh setelah kau membacanya." Jungkook menunjuk sederet kalimat berbahasa Swedia yang ditulis tangan lalu ia kembali berkata, "Aku kesulitan untuk mengucapkannya. Jadi bisakah kau membantuku, Kim Noona?"

"Just Kim, kita hanya berbeda bulan. Aku Maret dan kau September," elakku, sambil mengambil buku tebal milik grandma yang dibawa Jungkook lalu membaca deretan kalimat tersebut dengan lantang dan jelas.

Berulang kali, hingga sesuatu yang bergerak terasa nyata di bawah kasurku.

Lalu kulihat Jungkook tersenyum lebar, memanggil Bibi Kath dan Jin dengan mengabaikan ekspresiku yang berubah menegang.

Bagaimana pun, aku bisa melihat jemari yang muncul dari bawah kasur, bergerak seolah ingin membebaskan diri lalu menampilkan pucuk kepalanya.

"What the hell going on? Kalian punya hutang penjelasan untuk semua ini dan mengapa aku ... tidak bisa mengingat apa pun?!" jeritku tiba-tiba pada akhir kalimat, bersamaan dengan kehadiran Bibi Kath, Jin, dan seorang lelaki asing yang sedang tersenyum menatapku.

****

Bagaimana dengan chapter ini teman-teman?

Jangan lupa berikan bintang, ya dan sampai ketemu di chapter selanjutnya. ^^

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top