15. My Girlfriend Isn't What You Think

"Bulan depan akan menjadi hari-hari yang berat buat kalian, jadi belajarlah mulai sekarang," kata Mrs. Lee saat mendengar bel jam makan siang dimulai. "Fighting!" serunya lagi sambil meninju udara dan hanya menerima anggukan lemas plus ucapan 'Kamsahamnida.'

Siapa pun yang ada di kelas ini, pasti tidak pernah mengharapkan ujian. Terlalu memusingkan, sekaligus membebani—terlebih untuk orang yang posisinya berada di antara hidup dan mati.

Contohnya aku, Kimberly Matsdotter—kemarin nyaris membunuh Paman Min karena telah memanggil kembali iblis wanita itu lalu mewawancarai siapa Park Eunha dan Min Yeo Reum. Semua berakhir kacau hingga Bibi Kath memarahiku.

Pasalnya di hari yang sama, Suga juga hampir membunuhku dengan alasan membuat keributan hingga nyaris mengakhiri nyawa manusia. Jika saja Paman Namjoon tidak menahan sekaligus meyakinkan Suga malam itu, kupikir Suga akan terus bertarung dengan Jimin demi memperebutkanku.

Andai mereka memperebutkanku karena cinta .... mungkin akan terdengar lebih baik, daripada memperebutkan karena ingin membunuh. Itu hanya membuatku merasa bersalah pada Jimin, sekaligus takut pada Suga.

"Argh! Hidupku akan terasa seperti di penjara hingga beberapa hari ke depan," keluhku saat Mrs. Lee pergi meninggalkan kelas dan aku merebahkan kepala di atas meja. "Kuharap cincin ini juga tidak mengawasiku saat aku berada di kamar mandi," ujarku lagi yang entah mengapa malah membuat Taehyung tertawa.

Taehyung mengetuk kepalaku pelan, seolah aku adalah pintu kemudian berujar, "Keokjeong hajimaseyo, Kim. Benda itu tidak memiliki kamera pengintai, kau bahkan bisa memakinya."

"Whoa! Jinjja?!" Kali ini Jungkook yang berseru. Ia menarik tangan kananku, membuatku terpaksa mengangkat kepala dan memerhatikan sikapnya. "Ddo-rah-ee!" umpatnya lalu mereka; Jungkook, Taehyung, dan Jimin tertawa bersama.

Aku hanya mengembuskan napas—baru-baru saja mengetahui makna dari kata tersebut yang artinya 'Freak'—kemudian memilih untuk kembali merebahkan kepala di atas meja. Namun, Jimin menahannya sembari menatap mataku dalam-dalam.

Percayalah, tatapan Jimin saat ini membuatku sungguh merasa seperti tokoh heroin pada drama romansa.

"Gwenchana, Kim," kata Jimin, sambil mengusap kepalaku yang membuat Jungkook dan Taehyung berseru pelan—mengejek.

"Whoa ... apakah ini disebut cinta bersemi di saat masalah mulai berdatangan?" tanya Jungkook sambil menepuk-nepuk bahu Taehyung.

Taehyung tertawa hingga bibirnya berbentuk kotak sempurna lalu mulai mempraktekan tindakan Jimin barusan. "Just like romance drama. Oh ... chagiya! Hahahaha."

"Bersenang-senanglah di saat aku menerima hukuman dan jangan lupakan bahwa kalian harus membantuku bicara dengan Hoseok."

"Kita bisa pergi sekarang, jika kau mau," sahut Jungkook penuh antusias.

"Dan memancingnya dengan apel. Hoseok suka sekali dengan apel. Benar, 'kan, Jungkook?"

Jungkook mengangguk mantap menimpali pertanyaan Taehyung yang sebenarnya kami pun mengetahui itu. Aku bahkan telah menyiapkan satu apel untuk Hoseok dan beberapa untuk sogokan, jika ia menolak bicara.

Sigh, akhir-akhir ini Taehyung serta Jungkook memang terlihat semakin akrab. Rumah pun jadi semakin ramai saat aku dalam masa-masa hukuman dan dipenuhi dengan pengawasan ketat oleh Suga dan Paman Namjoon.

Bahkan sampai detik ini, akan kukatakan bahwa posisiku sudah seperti seorang tahanan rumah. Hanya saja, tidak banyak orang yang tahu sebab mereka berdua bukanlah polisi (aku mengatakan hal tersebut sebagai keberuntungan). Mereka mengikatku dengan mantra seperti yang dikenakan Taehyung—cincin berbahan kayu yang tidak bisa dilepas oleh siapa pun, kecuali dua hunter tersebut.

Lalu Bibi Kath, kudengar tadi pagi dia akan pergi bersama Jin ke kuil Beomeosa untuk melakukan pemanggilan arwah Min Yeo Reum—Paman Min ikut serta dengan mereka.

Dan sisanya, aku ditugaskan mewawancarai Hoseok—melupakan pekerjaan mencari Park Eunha—agar tidak menimbulkan banyak masalah lagi. Itulah yang dikatakan Bibi Kath dan Paman Namjoon jika aku ingin terbebas sekaligus mendapat jawaban siapa Park Eunha.

"Fine and let's do this," bisikku pada diri sendiri, tetapi menerima anggukan dari Jimin, Taehyung, dan Jungkook.

Meninggalkan kelas yang sudah hampir sepi, kami melangkah menuju lorong loker kelas dua belas—tempat Hoseok biasa melakukan perbuatan iseng untuk menakut—nakuti murid lain, hingga gosip horror pun beredar dan menjadi terkenal.

Percayalah, Hoseok sangat membanggakan hal tersebut. Ia bahkan tidak pernah lelah membicarakan hal tersebut pada kami.

Butuh waktu sekitar lima menit untuk sampai di lorong loker kelas dua belas yang berada di lantai satu paling pojok. Aku mengeluarkan satu buah apel dari dalam kantong plastik kemudian, memanggil Hoseok dengan nada berbisik. Alasannya sederhana ....

... aku tidak ingin dianggap gila karena memanggil nama orang lain, padahal di antara kami tak ada yang bernama Hoseok.

"Bukan seperti itu cara memanggilnya," kata Jungkook sembari menahan kedua tanganku yang membentuk corong bibir, agar bisikanku bisa didengar Hoseok.

Aku mengernyit dan Jungkook tersenyum manis. Ia melirik ke arah Jimin lalu Taehyung secara bergantian. "Jimin, beritahu Kim bagaimana cara terbaru memanggil Hoseok. Taehyung, kau bisa nyalakan musiknya."

"Ne!" seru mereka berdua yang tanpa sadar membuat kerutanku semakin dalam.

Lagu DNA milik Bangtan Boys terdengar dari ponsel Taehyung kemudian Jimin, mengambil posisiku yang berdiri di antara mereka.

Dan aku tidak bisa membayangkan hal itu akan terjadi, di mana tiba-tiba saja Jimin menari dengan penuh kepiawaian melakukan dance cover untuk memanggil Hoseok.

Pertanyaannya adalah, apakah demam Bangtan Boys menular hingga ke arwah gentayangan? Dunia benar-benar sudah gila dan hal itu terbukti dari kemunculan kepala Hoseok di bagian perutku.

Ia memutarkan kepalanya hingga 360 derajat—tersenyum lebar sambil bernyanyi lalu ikut menari di sisi Jimin, hingga akhirnya Jungkook dan Taehyung mengikutinya.

"Be honest, kalian sudah seperti Idol sungguhan." Setelah bertepuk tangan dengan menggunakan jeda, aku segera melemparkan satu buah apel ke arah Hoseok. "Sejak kapan cara memanggil hantu bisa berubah jadi seperti ini?"

"Sejak kami menjadi fanboy dari Bangtan Boys dan meracuni Hoseok dengan memaksanya mendengarkan seluruh album mereka." Jimin tersipu malu yang mana jika momen itu tiba, ia akan menyisir rambutnya ke belakang menggunakan jemari.

Demi Tuhan, gerakan itu selalu membuatku berdebar. Pesona Jimin jadi bertambah sejuta kali lipat!!!!

Aku hanya memutar mata, sekadar menjauhkan debaran tersebut karena para lelaki itu dilarang untuk mengetahui perasaanku. "Ne, jadi sekarang bantulah aku," ujarku lalu menatap ke arah Hoseok. "Dan kau Hoseok, ke mana saja? Kuharap kau baik dan bisa bekerja sama dengan kami."

"Jangan khawatir kau sudah memberiku apel segar."

Kau mengatakan itu karena belum tahu alasan kami hari ini, Hoseok. "Aku punya lebih dari satu jika kau mau, tapi ...." Sengaja kugantung kalimatku sejenak, untuk melirik ke arah tiga temanku lalu kembali berkata, "kumohon jawablah pertanyaanku dengan jujur karena hal ini menyangkut hidup dan matiku."

Alright! Terdengar sangat mendramatisir, tetapi begitulah kenyataannya sebab Suga selalu siap untuk membunuhku atas tindakan konyol memanggil kembali iblis peliharaan Nyonya Yeo Reum, membuat Paman Min hampir terbunuh, dan membuat Park Eunha hadir sebagai mimpi burukku.

Pastikan bahwa kalian tidak memberikan pertanyaan langsung pada arwah tersebut, karena dia juga dalam pengaruh Park Eunha. Itulah yang dikatakan Bibi Kath dalam pesan singkatnya barusan, saat kami dalam perjalanan menemui Hoseok.

Saat itu pula, kupikir Bibi Kath, Jin, dan Paman Min sedang berkomunikasi dengan Nyonya Yeo Reum sebab tidak lama kemudian, Jin juga mengirimi beberapa pertanyaan untuk Hoseok melalui ponsel Jungkook.

"Apa aku terlihat akan berbohong pada teman-temanku?" Hoseok menaikkan sebelah alisnya lalu tertawa riang, sembari melayang ke sana-kemari—menikmati apel pemberian kami.

"Jika kau mendapatkan kesempatan untuk bertemu dengan arwah kekasihmu. Apa yang akan kau lakukan?"

Hoseok menghentikan aktivitasnya kemudian terbang ke arahku dan berdiri saling berhadapan. "Apa kau ingin menolongku untuk membebaskan arwah kekasihku yang ditawan Suga?"

Tepat sasaran. Hoseok menginginkan itu jadi dengan ragu-ragu aku menjawabnya dengan anggukan. "Meski kau tahu bahwa ... bahwa ...."

"Bahwa kekasihmu telah mencelakakan banyak manusia dan penyihir lainnya. Oh, come on, Kim ... kekasihku tidak sejahat itu," ujar Hoseok tanpa lelah menampilkan senyum lebarnya dan semakin memangkas jarak di antara kami berdua. "Siapa pun akan bereaksi jika ketenangannya diganggu dan Suga si keparat itu ....

"Telah mengganggu ketenangan gadisku." Seketika tatapan Hoseok berubah sendu, membuat hatiku tersentuh karena membayangkan bagaimana rasanya jika berada di posisi lelaki itu. "Suga bukanlah orang yang baik seperti yang kalian pikirkan. Lihatlah, setelah Taehyung dia mengikatmu kemudian tidak lama lagi akan membunuh kalian berdua.

"Itu 'kan yang ingin kau bicarakan, Kim?" tanya Hoseok lagi dengan kedua tangan yang sudah menyentuh bahuku.

Dan saat itu pula, kurasakan lidahku menjadi begitu kelu. Tubuhku bergetar hebat, hingga tanpa sadar melangkah mundur akibat ketakutan.

Bayangan hitam yang kulihat seperti milik Taehyung dan Suga mulai mengudara di balik punggung Hoseok-terlihat lebih pekat, seolah siap untuk mengunci paru-parumu.

"N-ne ... k-kau benar, Ho—"

"Hoseok-ssi, kau menakuti Kim," kata Jimin yang membuatku sempat terenyuh. Pasalnya aura Jimin juga berubah di waktu berasamaan, ketika ia menyentuh lengan Hoseok.

"Ah, mianhe, Kim. I'll tell you everyting, hanya jika kalian berada di pihakku."

******

Mungkin chapter ini terasa aneh. Bagaimana menurut kalian?

Belum diedit, jadi mungkin bakal ada typo, kalimat janggal, dan kalimat belum selesai.

See you soon and i love you.

* Keokjeong hajimaseyo: Jangan Khawatir

* Gwenchana : Gak pa-pa

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top